Rabu, 30 Desember 2015

Urgensi Visi Perlindungan Anak di Kalangan Pendidik

Upaya Peningkatan Peran Sekolah dalam Mengatasi Problem Kekerasan Anak di Era Globalisasi


Pengantar

Jika kita mengamati pemberitaan di media massa, baik media nasional atau daerah, hampir setiap hari kita menemukan berita tentang kasus kekerasan anak di sekolah. Detail kasusnya sangat beragam, mulai dari bentuknya, pelakunya, latarnya, dan sebagainya.

Menurut laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak), pada tahun 2013 ada 3.023 pengaduan kasus kekerasan anak. Jumlah ini meningkat 60 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.383 kasus (Tempo, 20 Desember 2013).

Data yang lebih komprehensif dapat ditemukan pada laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di akhir tahun 2014 yang merekam kasus kekerasan anak di berbagai bidang untuk periode tahun 2011-2014 sebagaimana dalam tabel berikut ini:



Masalah kekerasan anak ini menjadi semakin problematis bila kita mengamati pelaku kekerasan tersebut. Pada bulan Oktober 2014 lalu, Komnas Anak merilis data bahwa anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual anak jumlahnya meningkat pada tahun 2014. Jika tahun 2013 anak-anak sebagai pelaku kekerasan seksual berjumlah 16 persen dari 3.339 kasus, di tahun 2014 hingga bulan Oktober 2014 jumlahnya meningkat menjadi 26 persen (Tempo, 22 Oktober 2014).

Jika dipikirkan secara mendalam, data-data tersebut sebenarnya merupakan peringatan keras bagi kita, terutama bagi para orangtua dan kalangan pendidik. Anak-anak kita sejauh ini telah banyak dibesarkan dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan. Mereka sendiri terlibat secara langsung dalam berbagai bentuk kekerasan tersebut—bahkan juga sebagai pelaku. Apa yang bisa kita bayangkan kelak dengan generasi yang sehari-hari dilingkupi dengan berbagai bentuk kekerasan?

Tulisan ini hendak melihat secara lebih dekat bagaimana lembaga pendidikan formal, yakni sekolah, dapat mengambil peran untuk mengatasi problem kekerasan anak yang semakin hari semakin pelik. Secara lebih khusus, tulisan ini akan menguraikan dari sisi apa saja peran itu bisa dimainkan oleh sekolah, termasuk juga oleh lembaga yang menyiapkan tenaga-tenaga profesional di bidang pendidikan, yakni perguruan tinggi yang mengelola jurusan keguruan dan pendidikan.

Sekolah dan Kasus Kekerasan Anak

Peran sekolah untuk bisa ikut memecahkan masalah kekerasan anak ini sangatlah strategis. Lingkungan sekolah menjadi salah satu tempat penting dalam alam pergaulan dan perkembangan kepribadian anak. Untuk era sekarang ini, hampir semua anak bersentuhan secara langsung dengan dunia pendidikan formal atau sekolah. Selain itu, secara struktural, lembaga sekolah memiliki struktur yang luas dari daerah hingga tingkat nasional dan pada tingkat tertentu ada peluang intervensi yang cukup kuat dari pusat struktur untuk memasukkan hal tertentu di sekolah-sekolah tersebut.

Di lingkungan sekolah anak tidak saja belajar dan mendapatkan ilmu dan pengajaran. Di sekolah, anak juga menjalin hubungan sosial di antara sesama peserta didik atau anak yang lain. Di lingkungan perkotaan, kala kesibukan sehari-hari menyita banyak waktu para orangtua, anak memulai jalinan hubungan sosialnya yang lebih erat dari sekolah. Terkadang, mereka menemukan teman sebaya mereka sebagai ruang berbagi yang nyaman dan efektif. Dalam posisi yang demikian, teman sebaya atau lingkungan pada umumnya dapat berperan sebagai saluran sosialisasi dan pembentukan nilai/karakter tertentu.

Secara teoretis, dalam buku Democracy and Education (1964: 20), John Dewey memaparkan bahwa sekolah di antaranya berfungsi sebagai lingkungan buatan untuk memperkenalkan dunia pada anak dan untuk menyiapkan mereka sebelum terjun ke dunia yang sebenarnya. Selain itu, menurut Dewey, sekolah berfungsi untuk memurnikan berbagai kecenderungan yang buruk dan merusak di masyarakat.

Fungsi yang pertama membuat sekolah senantiasa dituntut untuk mengevaluasi dan memutakhirkan kurikulum dan pembelajaran yang ada agar lingkungan buatan yang dirancang dapat benar-benar sesuai dengan kondisi serta tantangan zaman. Sedangkan fungsi yang kedua merupakan sisi “defensif” sekolah, yakni untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nilai positif yang dianut sebuah kelompok atau masyarakat. Untuk fungsi yang kedua ini, sekolah berusaha semaksimal mungkin agar hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut tidak turut tertanam pada diri anak didik.

Kedua fungsi ini tentu saja menuntut kerja kontekstualisasi bagi para pengelola sekolah. Artinya, kedua fungsi sekolah ini harus didudukkan pada situasi konkret tertentu yang tentu saja terus berubah.

Namun demikian, dalam kaitannya dengan masalah kekerasan anak, kedua fungsi tersebut memiliki problem tersendiri. Problem itu muncul jika kita melihat fakta dan data bahwa ternyata sekolah justru juga menjadi tempat bersemainya kekerasan terhadap anak. Pada titik ini, kita akan tiba pada pertanyaan: bagaimana kita bisa berharap agar fungsi sekolah tersebut dapat berjalan dengan baik jika nyatanya saat ini sekolah menjadi salah satu tempat yang penuh dengan praktik kekerasan dalam berbagai bentuknya?

Fakta tentang kekerasan terhadap anak yang terjadi sekolah dapat dijumpai di media massa. Tahun lalu, media marak memberitakan kasus sodomi di sebuah sekolah internasional di Jakarta yang ternyata melibatkan pihak sekolah. Kasus serupa yang melibatkan pelajar atau anak-anak bahkan juga sudah terjadi di daerah pedesaan. Selain itu, di bulan Oktober 2014 lalu, dunia pendidikan sempat geger akibat berita kekerasan seksual yang pelaku dan korbannya masih duduk di bangku kelas 4 SD di Medan. Di Tasikmalaya, terungkap seorang guru agama mensodomi 25 pelajar. Di Lumajang, 7 siswa SD dicubit oleh 92 siswa lainnya atas perintah seorang guru gara-gara tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR).

Dalam bentuk yang tidak sangat vulgar dan relatif tersembunyi, kekerasan di sekolah berwujud praktik bullying dan bisa juga berupa penelantaran hak dan kebutuhan dasar anak. Bullying bisa berupa praktik perploncoan atau ancaman (intimidasi) berulang dan masif yang mengakibatkan tekanan psikis. Kultur di sekolah tertentu yang membuat siswa senior memiliki posisi yang superior pada siswa junior sering menjadi sumber penyebab kasus bullying. Menurut sebuah penelitian, secara internasional kasus bullying di sekolah berjumlah 23% di SMP dan 10% di SMA (Gultom, 2007).

Contoh bullying di sekolah diungkapkan oleh mantan kepala SMAN 3 Jakarta, Retno Listyarti, yang juga menjadi sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Berdasarkan informasi yang dihimpun, Retno mencontohkan pemerasan yang sering terjadi bentuknya berupa pemerasan siswa senior pada junior saat di koperasi sekolah. Siswa junior diminta membayar makanan yang dibeli siswa senior. Bahkan pernah Retno menemukan siswa kelas XII meminta membelikan lipstik seharga Rp 400 ribu kepada adik kelasnya (CNN Indonesia, 25 Mei 2015).

Penelantaran adalah bentuk kekerasan yang relatif sulit diidentifikasi. Bahkan, pihak-pihak yang terkait atau bahkan korban bisa saja tak merasakan bahwa apa yang dihadapinya itu termasuk penelantaran yang merupakan salah satu bentuk kekerasan. Bentuk konkretnya berupa pembiaran hal-hal yang terkait dengan hak dan kebutuhan dasar anak untuk mendapatkan layanan yang baik. Misalnya, penyediaan toilet yang sesuai dengan kebutuhan anak, baik laki-laki, perempuan, maupun yang berkebutuhan khusus.

Berikut data teperinci kasus kekerasan anak di bidang pendidikan selama tahun 2011-2014 menurut catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI):



Cita ideal fungsi sekolah dan fakta kekerasan anak di lapangan ini setidaknya memunculkan dua pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan. Pertama, sejauh mana sebenarnya kekuatan sekolah untuk menanamkan visi perlindungan anak atau nilai-nilai ramah anak atau sikap anti-kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah bila disandingkan dengan unsur lainnya yang juga berperan sebagai sumber (sosialisasi) nilai dalam kehidupan sehari-hari? Kedua, faktor apakah yang paling penting mendapatkan perhatian dengan mempertimbangkan unsur internal sekolah untuk menciptakan sekolah yang ramah anak berdasarkan visi perlindungan anak?

Pertanyaan pertama berada pada ranah sosial-politik-kebudayaan dan terkait dengan kedua fungsi sekolah sebagaimana digambarkan oleh Dewey di atas. Artinya, ini terkait dengan daya dan posisi sekolah di antara berbagai lembaga sosialisasi yang lain yang saling menarik dan memengaruhi anak. Pada titik inilah sangat relevan untuk melihat formasi sosial saat ini yang sering digambarkan dengan istilah “globalisasi”.

Istilah globalisasi memiliki dimensi yang sangat luas, meliputi aspek sosial, politik, kebudayaan, ekonomi, dan juga agama. Dalam konteks sosial-budaya, istilah ini menggambarkan proses yang terjadi di berbagai sektor yang menjadikan kehidupan di berbagai belahan wilayah negara menjadi semakin “mendunia” dan saling terkait. Menurut Anthony Giddens (1999), globalisasi bukan semata fenomena ekonomi, tetapi juga transformasi ruang dan waktu. Intensifikasi hubungan tingkat dunia akibat revolusi teknologi informasi melahirkan pola relasi baru dalam bidang ekonomi, sosial, politik, komunikasi, perilaku sehari-hari, dan relasi antar-individu.

Dalam kaitannya dengan kedua fungsi sekolah di atas, globalisasi memungkinkan terjadinya interaksi yang semakin luas dan mendalam dalam ruang-ruang kehidupan yang dilalui anak. Anak akan lebih mudah berjumpa dengan individu, kelompok, informasi, pandangan, ideologi, nilai, dan sebagainya, yang berbeda yang berasal dari belahan dunia yang lain.

Situasi yang demikian membuat posisi sekolah menjadi cukup problematis dari segi fungsinya. Sekolah tersaingi oleh berbagai lembaga sosial yang lain dalam memengaruhi penanaman nilai pada diri anak. Hadirnya lembaga-lembaga baru dengan pola-pola pergerakan yang mengiringinya, seperti intensifikasi dan diversifikasi media-media baru dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat, termasuk dunia anak, jelaslah memberi pengaruh yang kuat dan semakin nyata. Kondisi psikologis anak yang cenderung mudah meniru pada apa yang tertangkap dari panca indera menjadikan anak di era globalisasi berada dalam posisi yang cukup rentan. Melalui media-media baru, seperti televisi dan internet, anak dengan mudah dapat menerima informasi, data, dan contoh dari sumber-sumber yang dekat yang pada giliran berikutnya dapat memengaruhi sikap dan cara berpikirnya.

Kehadiran media-media baru yang mudah diakses anak itu yang juga berperan sebagai pembentuk sikap dan nilai bagaimanapun akan berpengaruh pada posisi dan fungsi sekolah. Singkatnya, dalam situasi demikian, fungsi sekolah sebagaimana dituturkan Dewey di atas bisa saja dirongrong, dimentahkan, atau bahkan diambil alih oleh media-media baru ini.

Darmaningtyas (2011: 196-200) membahas fenomena globalisasi ini dengan kecenderungan lahirnya “generasi mall/handphone” di kalangan pelajar yang pada gilirannya menantang fungsi atau peran konvensional guru dan sekolah baik sebagai sumber ilmu maupun sumber panutan moral. Masalah ini menjadi semakin mengkhawatirkan karena faktanya penetrasi globalisasi dengan berbagai perangkatnya sudah semakin jauh ke pelosok, tidak hanya terbatas di wilayah urban saja.

Persoalan yang kedua terkait kondisi internal di sekolah. Sejauh ini, konsep sekolah ramah anak atau sekolah yang menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak masih belum tersosialisasikan secara cukup baik di kalangan pendidik (sekolah). Karena itu, secara umum masalah utama kekerasan di sekolah di antaranya dipandang berakar dari kurangnya kepedulian dan pengetahuan para pendidik dan pengelola sekolah tentang kekerasan dan dampaknya terhadap anak didik. Oleh sejumlah kalangan, tindakan yang tergolong kekerasan fisik atau psikis bahkan terkadang dianggap sebagai bagian dari upaya pendidikan.

Belum satunya visi dan pemahaman para pendidik di sekolah dapat terlihat dalam berbagai kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah yang di antaranya melibatkan pihak guru atau pihak sekolah. Batas-batas di antara tindakan mendidik dan memberi hukuman yang dapat dianggap sebagai tindakan kekerasan tampaknya masih menjadi hal yang diperdebatkan, paling tidak di kalangan guru—juga di kalangan masyarakat. Lebih dari itu, persoalan pun cenderung kurang intensif dibicarakan di sekolah sehingga sulit terbentuk visi dan pemahaman yang sama di antara sesama guru dan pengelola sekolah.

Pandangan yang berbeda terkait batas tindakan mendidik dan tindakan yang dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan ini kadang juga berkait dengan unsur pemahaman budaya atau bahkan juga agama. Faktor inilah yang di antaranya membuat persoalan ini menjadi semakin problematis. Ada yang menilai bahwa dalil budaya atau agama kadang menjadi alat legitimasi praktik kekerasan terhadap anak.

Amanat Undang-Undang

Sebelum melihat secara lebih jauh persoalan perlindungan anak di lingkungan sekolah pada khususnya, penting kiranya mencermati secara sekilas peraturan perundangan yang terkait dengan hal tersebut. Regulasi atau basis legal ini penting dikemukakan karena dari situ pula dapat ditemukan semangat yang hendak dituju dari upaya perlindungan anak ini.

Kesadaran akan pentingnya jaminan perlindungan anak dari tindak kekerasan sebenarnya telah tertuang dalam undang-undang, yakni UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (yang kemudian disempurnakan dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) dan UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Kedua undang-undang tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa anak juga memiliki harkat dan martabat kemanusiaan sehingga anak juga punya hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal. Selain itu, anak harus dijamin mendapatkan perlindungan dan bebas dari diskriminasi.

Pasal 54 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”

Landasan yang lebih mendasar dapat ditemukan pada Pasal 28 B butir 2 Undang-Undang Dasar 1945 dan amandemennya yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Dalam kaitannya dengan norma yang bersifat internasional, pada tanggal 25 Agustus 1990 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB pada tahun 1989 yang memuat semangat dasar perlindungan anak dan amanat pemenuhan hak-hak anak. Hak-hak anak menurut Konvensi Hak-Hak Anak dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu :
1. Hak kelangsungan hidup: hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya.
2. Hak perlindungan: perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran.
3. Hak tumbuh kembang: hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial.
4. Hak berpartisipasi: hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang memengaruhi anak.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 menyebutkan bahwa “pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.” Tentu saja lingkungan sekolah yang penuh dengan praktik kekerasan tidak sesuai dengan amanat undang-undang ini. Bahkan, jika dicermati lebih dalam, pasal ini tidak saja terkait dengan perlindungan anak di sekolah, tapi juga menyentuh aspek kesejahteraan anak di sekolah.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam rumusannya tentang “sekolah ramah anak” menyimpulkan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan konsep tersebut, yakni prinsip tanpa kekerasan, prinsip tanpa diskriminasi, prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak dan hak untuk tumbuh dan berkembang, serta prinsip menghargai pendapat anak.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, ada cukup banyak perangkat normatif (regulasi) lainnya yang menjadi dasar bagi penguatan prinsip perlindungan anak selain yang sudah disebutkan di atas, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
2. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 05 Tahun 2011 tentang Kebijakan Pemenuhan Hak Pendidikan Anak
3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 06 tahun 2011 tentang Panduan Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga Pendidikan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak bagi Anak yang Mempunyai Masalah
5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan
6. Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak

Meski amanat undang-undang telah sangat jelas dalam menuntut pemenuhan anak dan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi, kita melihat bahwa masalah ini masih belum menjadi isu penting yang mengemuka di sekolah. Indikatornya terlihat dari masih banyaknya kasus kekerasan terjadi di lingkungan sekolah dan belum adanya perhatian serius dari pihak sekolah atau pengurus publik di bidang pendidikan. Dalam situasi yang seperti ini, siapa yang kira-kira dapat memainkan peran penting untuk mengangkat dan menangani isu ini secara lebih luas?

Dengan mempertimbangkan dan melihat sistem internal di sekolah dan cara penyiapan tenaga pendidik profesional dilakukan melalui sistem pendidikan tinggi, dapat disimpulkan bahwa unsur kepemimpinan di sekolah dan para calon insan pendidik memegang peran yang strategis untuk berperan dalam penanggulangan masalah kekerasan anak. Namun demikian, di balik kedua aktor tersebut, tentu saja hal yang lebih mendasar adalah visi perlindungan anak yang tertanam dalam pikiran dan orientasi pengelola sekolah dan para calon guru.

Peran Kepala Sekolah

Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang peka terhadap hak anak dan dapat menjamin perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah, peran kepala sekolah sangatlah strategis. Kepala sekolah adalah sosok yang menentukan arah kebijakan strategis sekolah yang tecermin dari program-program kerja yang dilaksanakan. Dari sosok kepala sekolah jugalah perubahan penting di sekolah baik menyangkut sistem maupun out-put siswa bisa diharapkan (Kartono, 2011: 76-79). Belum cukupnya perhatian kalangan pendidik terhadap persoalan kekerasan terhadap anak bisa jadi merupakan bentuk cerminan dari belum tersentuhnya kesadaran kepala sekolah akan pentingnya masalah ini.

Karena itulah, pada tataran yang mendasar, visi kepala sekolah, kepekaan dan kepeduliannya pada isu perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah akan sangat menentukan arah program sekolah yang mendukung bagi diterapkannya prinsip-prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak sehingga sekolah dapat terbebas dari tindakan kekerasan. Visi yang dimiliki kepala sekolah inilah yang pada giliran berikutnya diharapkan dapat ditularkan pada para pemangku kepentingan lainnya di sekolah, baik itu guru, wali murid, dan sebagainya.

Secara normatif, seorang kepala sekolah menurut Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah harus memiliki 33 kecakapan yang meliputi lima dimensi, yakni kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial. Dalam posisi sebagai manajer, kepala sekolah menurut ketentuan dalam peraturan tersebut dituntut harus memiliki kompetensi untuk “menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik.”

Dari ketentuan ini, kita dapat menghubungkan antara kondisi yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik di sekolah dengan penerapan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak. Dengan kata lain, penerapan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah pada gilirannya akan mendukung bagi terciptanya iklim sekolah yang kondusif.

Sekolah yang menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak pasti akan sangat mendukung bagi berkembangnya potensi diri anak. Anak akan merasa nyaman di lingkungan belajarnya sehingga dapat mengembangkan potensinya tanpa harus terintangi oleh hambatan kejiwaan atau tekanan psikis dalam berbagai bentuk. Lingkungan sekolah yang ramah anak akan memberi ruang yang lebih besar bagi terwujudnya fungsi dasar sekolah sebagaimana digambarkan Dewey di atas.

Namun demikian, melihat masih maraknya kasus kekerasan di sekolah yang bahkan jumlahnya kian meningkat, sementara kita bisa simpulkan bahwa upaya sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah untuk menciptakan sekolah ramah anak tampaknya masih harus melalui jalan yang panjang. Mungkin saja kepala sekolah yang memiliki kepekaan dan visi perlindungan dan kesejahteraan anak masih tidak mudah kita dapatkan. Atau bisa saja sudah ada kepala sekolah yang punya kepedulian dan visi perlindungan anak tapi masih kesulitan menerjemahkannya secara nyata dalam program sekolah.

Penelitian yang dilakukan Raihani tentang kepemimpinan kepala sekolah di tiga sekolah di Yogyakarta (2011) memperlihatkan bahwa isu kekerasan anak tampak masih belum menjadi isu yang mengemuka. Visi tentang perlindungan anak di lingkungan sekolah belum mendapat perhatian serius dari pimpinan sekolah dan warga sekolah yang lain. Menurut penelitian tersebut, persepsi kesuksesan sekolah masih banyak terfokus pada soal akademik dan non-akademik yang kurang secara langsung menyebut isu perlindungan anak sebagai salah satu indikatornya.

Terkait dengan persoalan ini, hegemoni media dalam mencitrakan ukuran kesuksesan sekolah mungkin cukup berperan besar sehingga isu perlindungan anak kurang mengemuka. Dalam penelitian Raihani, out-put siswa yang berprestasi disebut sebagai salah satu indikator keberhasilan kepemimpinan di sekolah. Beberapa tahun terakhir kita memang cukup sering menyaksikan berita tentang prestasi siswa di ajang kompetisi sains di tingkat internasional yang ternyata cukup menarik perhatian masyarakat sehingga berkembang pandangan bahwa kesuksesan kepemimpinan di sekolah di antaranya ditandai dengan prestasi siswa di bidang lomba bertaraf internasional. Padahal, ukuran kesuksesan yang demikian ini masih bersifat cukup dangkal dan bisa jadi cukup berjarak dengan substansi nilai pendidikan (Mushthafa, 2013: 29-34).

Belum kuatnya visi perlindungan anak di sekolah membuat praktik kekerasan cenderung dianggap biasa di sekolah, seperti dalam bentuk hukuman fisik dan kekerasan verbal atau psikis. Kepala sekolah perlu memiliki strategi yang jitu untuk bisa mengubah situasi ini ke arah yang ideal. Butuh perubahan paradigma yang mungkin bersifat cukup revolusioner agar berbagai pihak di sekolah—pimpinan, guru, karyawan, komite sekolah, murid, orangtua, dan masyarakat lingkungan sekolah—bisa memiliki kepedulian dan visi yang sama untuk membumikan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah. Tantangannya juga menjadi lebih rumit jika kita melihat kesibukan sekolah dan para guru saat ini yang sarat dengan beban administrasi pembelajaran.

Jalan panjang penguatan visi perlindungan anak di sekolah melalui kepemimpinan kepala sekolah ini akan semakin terasa ketika kita melihat fakta di lapangan tentang masih belum terlembagakannya penguatan profesi kepala sekolah terkait dengan kompetensi dasar sebagaimana disebutkan dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007. Pembibitan calon kepala sekolah dan peningkatan kompetensi mereka melalui program pelatihan yang terstruktur, menyeluruh, dan berkelanjutan masih menjadi pekerjaan rumah instansi pendidikan di Indonesia. Desain peningkatan kompetensi kepala sekolah saat ini masih berada pada tahapan uji coba (tahap awal). Menurut penelitian Jalal dan Supriadi, kebanyakan kepala sekolah di Indonesia tidak memperoleh pendidikan yang cukup terkait peran mereka sebagai kepala sekolah (Raihani, 2011: 4).

Pengalaman penulis terlibat dalam penyiapan bahan pembelajaran untuk peningkatan kompetensi berkelanjutan kepala sekolah pada bidang-bidang spesifik sesuai dengan Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 (Maret 2013-November 2014) yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI bekerja sama dengan Australia’s Education Partnership with Indonesia menunjukkan bahwa kompetensi kepala sekolah di Indonesia masih jauh dari harapan atau standar yang ada.

Syawal Gultom, Ketua Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, mengakui rendahnya kompetensi dan kinerja kepala sekolah di semua jenjang. Menurutnya, faktor campur tangan politik lokal dalam pengangkatan kepala sekolah menjadi faktor penyebabnya. Secara lebih teperinci, berdasarkan pemetaan kompetensi kepala sekolah yang dilaksanakan di 31 provinsi, ternyata kompetensi sosial dan supervisi kepala sekolah umumnya rendah. Dari batas minimal nilai kelulusan yang ditetapkan, yakni 76, hanya nilai kompetensi kepribadian saja yang lulus, yakni rata-rata 85. Sedangkan kompetensi manajerial dan wirausaha rata-rata 74, supervisi 72, dan sosial 63 (Kompas, 24 Juli 2012).

Selain itu, disparitas mutu pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia menjadi faktor kunci yang membuat jurang perbedaan kompetensi kepala sekolah di antara berbagai daerah tersebut cukup lebar (Darmaningtyas, 2011: 165-169). Untuk kompetensi mendasar yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendiknas Nomor 13 Tahun 2007 saja ternyata masih banyak kepala sekolah yang perlu diberi pelatihan. Sedangkan visi perlindungan anak terkait dengan wawasan dan kemampuan yang sifatnya pengembangan atau tingkat lanjut yang bersifat kontekstual.

Belum tertatanya pengembangan profesionalitas kepala sekolah tampak saat uji kompetensi kepala sekolah dilaksanakan tahun lalu di Bandung. Ada 180 Kepala SD yang mempermasalahkan hasil uji kompetensi kepala sekolah karena kriteria kelulusannya dianggap tidak jelas. Apalagi ada informasi yang beredar bahwa kepala sekolah yang tidak lulus uji kompetensi akan kembali menjadi guru biasa (Pikiran Rakyat, 10 Februari 2014).

Dalam konteks yang lebih luas, kepala sekolah sebenarnya juga memiliki ruang bersama di tingkat lokal berupa organisasi atau perkumpulan kepala sekolah di tingkat kabupaten yang bernama Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Namun demikian, menurut Darmaningtyas (2011: 122-124), perhimpunan ini cenderung menjadi alat politik birokrasi untuk memantau dan mengendalikan sekolah-sekolah yang ada sesuai dengan kehendak pemangku kebijakan setempat. Inilah yang oleh Mochtar Buchori (2002: 63) dikatakan bahwa para guru, dan termasuk juga pengelola sekolah, tidak memiliki otonomi atau kebebasan pedagogis. Mereka hanya menjadi instrumen birokrasi yang tugasnya sebatas menjalankan instruksi atasannya saja.

Untuk itu, pada poin yang kedua dari uraian dalam tulisan ini, penguatan visi perlindungan anak di sekolah perlu juga memperhatikan aspek yang bersifat antisipatif. Untuk mengarah ke sana, maka penanaman visi perlindungan anak di sekolah sejak dini harus diberikan kepada para calon pendidik, yakni para mahasiswa yang menempuh studi di jurusan keguruan/pendidik profesional.

Visi Perlindungan Anak bagi Mahasiswa Keguruan

Untuk menanamkan visi perlindungan anak di kalangan pendidik, langkah penting yang juga perlu dicermati adalah dengan memasukkan gagasan tentang perlindungan anak ini kepada kalangan mahasiswa di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Asumsinya, mahasiswa di LPTK inilah yang nanti akan terjun di dunia pendidikan (sekolah) sebagai guru dan mungkin juga kepala sekolah.

Namun demikian, Mochtar Buchori dalam penelitiannya tentang perkembangan pendidikan guru di Indonesia melontarkan kritik yang penting untuk diperhatikan. Menurutnya, LPTK atau jurusan keguruan/pendidik profesional di perguruan tinggi secara umum berkualitas rendah sehingga hanya menghadirkan guru mediocre. Selain itu, kebanyakan mahasiswa yang masuk LPTK sebenarnya tidak bercita-cita untuk menjadi guru, tapi hanya untuk mendapatkan pekerjaan (Buchori, 2007: 157-160).

Mantan rektor Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Paul Suparno (2005: 20-22) juga punya pendapat yang sama. Mantan rektor kampus yang semula bernama IKIP Sanata Dharma tersebut berpendapat bahwa kualitas intelektual mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ada di tingkat kedua atau ketiga. Paul Suparno memberi ilustrasi bahwa banyak guru baru lulusan FKIP tidak menguasai bahan yang diajarkan. Bahkan beberapa tampak masih grogi saat di depan kelas. Ini, menurutnya, menunjukkan bahwa kematangan profesional mereka yang mestinya meliputi tiga bidang, yakni bidang keahlian atau keilmuan, bidang pembelajaran, dan bidang kepribadian, masih bermasalah.

Pada bidang yang ketiga, yakni bidang kepribadian, terkait erat visi perlindungan anak ini. Aspek kepribadian ini erat kaitannya dengan pemahaman atas nilai-nilai kemanusiaan, termasuk di dalamnya yang terkait dengan hak anak.

LPTK atau perguruan tinggi yang membuka jurusan keguruan belakangan juga semakin banyak dibuka di daerah. Minat masyarakat memang tampak cenderung semakin tinggi untuk masuk ke LPTK seiring dengan kebijakan tunjangan sertifikasi guru. Sedangkan sistem seleksi masuk ke LPTK tersebut masih cukup longgar dan tidak ketat sehingga input mahasiswanya bukanlah yang terbaik di antara calon mahasiswa yang ada.

Ini jauh berbeda dengan sistem seleksi yang terjadi di Finlandia, negara yang dipandang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia. Leena Krokfoss, Wakil Dekan Fakultas Keguruan University of Helsinki dalam film dokumenter The Finland Phenomenon (2011) memberi gambaran tentang ketatnya persaingan calon mahasiswa untuk masuk di LPTK di Finlandia. Menurut Krokfoss, pada tahun 2011, dari 1600 pendaftar di jurusan keguruan yang ada, hanya 10% yang diambil.

Selain sistem seleksi atau tes masuk, Paul Suparno (2005: 21) juga menyoroti sistem pendidikan di FKIP yang masih kurang berbasis praktik. Dalam The Finland Phenomenon, disebutkan bahwa sistem pendidikan calon guru di Finlandia berbasis riset dan praktik. Mahasiswa memiliki ruang yang cukup luas untuk mengamati proses pembelajaran di kelas dan berdiskusi dengan guru di sekolah tentang praktik pembelajaran yang efektif. Hal seperti ini yang masih belum cukup lazim dalam sistem pendidikan di LPTK di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan visi perlindungan anak, kiranya perlu juga mahasiswa-mahasiswa LPTK diajak berdiskusi secara mendalam atas fenomena kekerasan anak. Bahkan, jika memungkinkan, mereka diberi pengalaman langsung mengamati dari dekat kasus-kasus spesifik di tingkat lokal. Lebih jauh lagi, mungkin juga perlu dijajaki kemungkinan praktik pendampingan oleh mahasiswa atas kasus kekerasan anak.

Kondisi umum yang cukup memprihatinkan pada LPTK yang ada itu menjadi pekerjaan rumah tersendiri untuk kita bisa mengharapkan bahwa dari lembaga tinggi tersebut akan lahir tenaga-tenaga pendidik yang memiliki visi perlindungan anak yang kuat. Menurut Mochtar Buchori, lemahnya visi pengabdian di kalangan mahasiswa LPTK ini memberi jalan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan kehilangan fungsi sosialnya yang bersifat strategis yakni sebagai lembaga yang memiliki kekuatan kultural (cultural force) untuk perubahan (Buchori, 2002: 61).

Melihat situasi LPTK secara internal serta isu perlindungan anak itu sendiri, maka sebenarnya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, secara umum, penguatan LPTK mau tidak mau harus dilakukan untuk membuat lulusan-lulusannya dapat mengambil peran yang visioner di dunia pendidikan. Kedua, isu perlindungan anak harus secara terencana ditanamkan dalam perkuliahan di LPTK. Upaya membangun pemahaman dan kepekaan atas kebutuhan anak dan masalah-masalah yang berkaitan dengan penyediaan lingkungan belajar yang kondusif untuk anak harus terus diperkuat.

Secara ringkas, dua hal ini bisa juga digambarkan menurut pemaparan Mochtar Buchori (2002: 68) saat berbicara tentang reformasi pendidikan di Indonesia: bahwa sekolah harus mengubah orientasinya dengan menekankan pada unsur intelektualitas dan aspek kepekaan normatif sekaligus. Aspek yang kedua inilah yang akan memberi makna lebih mendalam pada proses pendidikan. Dari sana pulalah, nilai-nilai kemanusiaan dapat terus dijaga dalam proses pendidikan termasuk nilai dan penghargaan atas hak anak.

Penutup: Perlindungan Anak dan Pendidikan Kontekstual

Dua titik fokus yang berusaha diangkat dalam tulisan ini terkait upaya peningkatan peran sekolah dalam mengatasi problem kekerasan anak bisa dibilang baru bersifat mikro. Pada tataran yang lebih luas, isu kekerasan anak akan juga terkait dengan kebijakan pendidikan yang lebih bersifat makro.

Ini bisa terlihat jelas jika kita menyimak pendapat Darmaningtyas (2011: 341-346) yang menyatakan bahwa kekerasan di sekolah, seperti tawuran, juga sangat terkait dengan masalah kebijakan yang bersifat makro yakni akses anak miskin dan bodoh yang sulit untuk masuk ke sekolah bermutu. Kekerasan berupa tawuran antarpelajar menurut pengamatan Darmaningtyas salah satunya lahir akibat kekecewaan anak miskin dan bodoh atas ketidakadilan sistem pendidikan yang ada yang menutup akses mereka untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. Tertutupnya akses ke sekolah bermutu ini membuat kemungkinan mobilitas vertikal mereka jadi sulit terbuka.

Sampai di titik ini terlihat betapa tantangan untuk menanamkan visi perlindungan anak di sekolah bukan pekerjaan yang mudah. Namun demikian, di balik berbagai tantangan tersebut, satu hal yang penting digarisbawahi adalah bahwa menekuni masalah perlindungan dan kesejahteraan anak bagi sekolah dan kalangan pendidik sebenarnya merupakan peluang yang besar untuk membawa praktik pendidikan di sekolah ke wilayah yang bersifat kontekstual. Jika proses pembelajaran dan pendidikan di sekolah sejauh ini sering disorot cenderung berorientasi-buku-teks (text book oriented), maka upaya untuk menerapkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan anak di sekolah merupakan bentuk pendidikan yang nyata dan kontekstual. Warga sekolah bersama-sama diajak untuk ikut memecahkan masalah penting di masyarakat, yakni kekerasan anak, dan menjawabnya dengan langkah bersama dari semua pihak yang berkepentingan.

Wallahu a‘lam.


Bahan Rujukan

Buchori, Mochtar, 2002, Pendidikan Antisipatoris, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Kanisius.

______________, 2007, Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool sampai ke IKIP (1852-1998), Yogyakarta: Insist Press.

Darmaningtyas, 2011, Pendidikan Rusak-Rusakan, Cetakan Kelima, Yogyakarta: LKiS.

Dewey, John, 1964, Democracy and Education, Cetakan Ketiga, New York: The Macmillan Company.

Giddens, Anthony, 1999, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, London: Profile Books.

Gultom, Junifrius, 2007, “Kekerasan di Sekolah, Wajarkah?,” Harian Kompas, 17 November 2007.

Kartono, ST., 2011, Menjadi Guru untuk Muridku, Yogyakarta: Kanisius.

Mushthafa, M., 2013, Sekolah di Antara Himpitan Google dan Bimbel, Yogyakarta: LKiS.

Raihani, 2011, Kepemimpinan Sekolah Transformatif, Yogyakarta: LKiS.

Suparno, Paul, 2005, “Calon Guru di FKIP: Mutu Intelektualnya Kelas Kedua atau Ketiga,” Majalah Basis, No. 07-08, Tahun ke-54, Juli-Agustus 2005.

“180 Kepala Sekolah Dasar Berencana Gugat Hasil Uji Kompetensi ke PTUN,” Pikiran Rakyat, 10 Februari 2014, diakses di http://pikiran-rakyat.com/pendidikan/2014/02/10/269488/180-kepala-sekolah-dasar-berencana-gugat-hasil-uji-kompetensi-ke-ptun pada 24 Mei 2015.

“2014, Kekerasan pada Anak Diprediksi Meningkat,” Tempo, 20 Desember 2013, diakses di http://metro.tempo.co/read/news/2013/12/20/064538984/2014-kekerasan-pada-anak-diprediksi-meningkat pada 24 November 2014.

“Cerita Retno soal Tradisi Bullying Finansial di SMAN 3,” CNN Indonesia, 25 Mei 2015, diakses di http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150525060521-20-55383/cerita-retno-soal-tradisi-bullying-finansial-di-sman-3/ pada 25 Mei 2015.

“Komnas: DKI Tertinggi Angka Kekerasan Seksual Anak,” Tempo, 22 Oktober 2014, diakses di http://nasional.tempo.co/read/news/2014/10/22/063616237/Komnas-DKI-Tertinggi-Angka-Kekerasan-Seksual-Anak pada 24 November 2014.

“Kompetensi Kepala Sekolah Masih Rendah,” Kompas, 24 Juli 2012, diakses di http://edukasi.kompas.com/read/2012/07/24/05154075/Kompetensi.Kepala.Sekolah.Masih.Rendah pada 24 November 2014.


Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan dalam International Conference on Helping Profession on Child Abuse and Protection pada tanggal 3 Desember 2015 yang diadakan oleh Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) bertempat di Auditorium Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Tulisan ini diterbitkan dalam prosiding acara tersebut.


Read More..

Minggu, 27 Desember 2015

Jurus Ampuh Menyingkir dari Sesat Pikir


Judul buku: Kitab Anti Bodoh: Terampil Berpikir Benar Terhindar dari Cacat Logika dan Sesat Pikir
Penulis: Bo Bennett, Ph.D.
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, September 2015
Tebal: 380 halaman


Kemampuan untuk berpikir benar bukanlah pembawaan yang senantiasa dimiliki setiap manusia. Menarik kesimpulan dan berpikir dengan benar adalah keterampilan yang harus dipelajari. Itulah yang dipelajari dalam ilmu logika yang dirintis oleh Aristoteles.

Buku ini adalah buku populer di bidang logika. Bo Bennett, Ph.D., penulisnya, tidak memaparkan istilah-istilah teknis dan cara bernalar menurut ilmu logika. Sebaliknya, Bennett mengambil jalan yang berbeda: ia menunjukkan secara jelas dan menarik berbagai jenis sesat pikir yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam ilmu logika, sesat pikir biasanya dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu sesat pikir karena bahasa, sesat pikir formal, dan sesat pikir material. Namun, karena ditujukan untuk pembaca umum, Bennett dalam buku ini langsung saja memaparkan lebih dari 300 bentuk cacat logika atau sesat pikir yang telah dihimpunnya selama bertahun-tahun (hlm. 23). Di setiap uraian bentuk cacat logika atau sesat pikir, Bennett memberinya nama, memberi gambaran singkat, rumus atau bentuknya, contoh, penjelasan, pengecualian, dan juga kiat untuk terhindar dari sesat pikir tersebut.

Sistematika uraian yang seperti ini memang cukup memudahkan pembaca untuk memahami tiap model yang diterangkan. Bahkan bisa terasa mengasyikkan karena contoh yang diangkat cukup sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari.

Cacat logika yang paling populer, termasuk dalam ilmu logika, diistilahkan argumentum ad hominem. Sesat pikir model ini terjadi saat orang tidak menyerang substansi argumen yang dikemukakan, tapi justru menyorot pada orang yang melontarkan argumen.

Untuk model ini, Bennett menjelaskannya dalam tiga bentuk. Ada yang dengan cara menistakan pelontar argumen, mengacu pada konflik kepentingan, dan mengaitkan tanpa dasar. Misalnya, ada orang menyebut Pol Pot, pemberontak komunis Kamboja, yang sangat kejam dan menentang agama. Lalu ada yang menghubungkan seseorang, sebutlah ia Dadang, yang juga menentang agama dengan melabelinya sebagai orang yang juga sangat kejam (hlm. 35-40).

Dengan latar pengalaman dan kesarjanaan di bidang pemasaran dan psikologi sosial, Bennett juga menemukan argumen yang cacat di dunia bisnis. Di bidang bisnis, proposisi atau pernyataan banyak dipergunakan untuk membujuk. Misalnya sesat pikir yang disebutnya “mengacu kepada rayuan gombal.” Sering ditemukan dalam iklan kalimat yang menyatakan: “Anda harus membeli mobil ini karena Anda akan terlihat sangat keren dengan mobil ini. Bahkan Anda akan terlihat lebih muda di balik kemudi mobil ini” (hlm. 81).

Tak ada argumen dalam kalimat ini. Si penjual sama sekali tak mengemukakan argumen. Yang ada hanya pendasaran palsu berupa rayuan gombal.

Sesat pikir kadang juga dibangun melalui sikap subjektif berupa keberpihakan yang bersifat apriori. Saat ada sejumlah data yang dapat berstatus sebagai argumen, seseorang kadang menyeleksi bagian tertentu yang sesuai dengan kecenderungan subjektifnya. Ini yang oleh Bennett disebut “perhatian yang pilih-pilih.” Contohnya, saat ada informasi bahwa Indeks Harga Saham Gabungan menguat 200 poin dan rupiah menguat atas dolar Amerika, tetapi harga cabai rawit melambung, seseorang kadang kemudian mengatakan bahwa kondisi ekonomi sedang payah hanya dengan mendasarkan pada harga cabai rawit dan mengabaikan fakta lainnya (hlm. 320).

Ada juga pengelabuan dengan cara menonjolkan prestasi seseorang. Pelontar argumen menyebutkan beberapa keberhasilan yang dicapai seseorang, lalu menggunakannya untuk membenarkan salah satu pendapatnya (hlm. 52).

Memang benar bahwa tidak semua tindakan yang diambil seseorang selalu berdasarkan pada pertimbangan rasional yang ketat. Namun, membiarkan pandangan, keyakinan, tindakan, atau sikap kita berdasar pada argumen sesat pikir bukanlah sesuatu yang lucu.

Buku ini menuntun kita untuk menunjukkan berbagai bentuk sesat pikir di sekitar kita. Dengan mengenali berbagai bentuk sesat pikir dan menyingkirkannya, kita mengembalikan kehormatan diri kita sebagai makhluk otonom yang mampu bernalar.

Di tengah berbagai bentuk perbudakan akali dan bujuk rayu terselubung yang menipu, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan juga politik, buku ini adalah bagian dari upaya mendidik masyarakat agar cerdas dan kritis dalam mengambil sikap.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 27 Desember 2015.

Read More..