Minggu, 25 Mei 2008

Bukan Cerita-Pembunuhan Biasa

Judul buku : In Cold Blood

Penulis : Truman Capote

Penerjemah : Santi Indra Astuti

Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta

Cetakan : Pertama, September 2007

Tebal : viii + 476 halaman



Cukup banyak novel yang mengisahkan cerita pembunuhan bergaya detektif ataupun horor. Tapi buku karya Truman Capote—wartawan The New Yorker—ini bukanlah cerita-pembunuhan biasa. Hal utama yang membedakan karya Capote ini adalah titik tolak dan pengolahannya. Capote mengangkat cerita dalam buku ini dari kisah nyata.


Awal penulisan buku ini bermula saat Capote membaca berita pembantaian keluarga petani kaya di Holcomb, Kansas, di koran New York Times 16 November 1959. Empat orang yang meninggal dengan sadis adalah Herb Clutter, istrinya Bonnie, dan kedua anak remaja mereka, Nancy dan Kenyon. Selain cara pembunuhan yang tampak sangat kejam dan sadis, motif pembunuhan ini tampak gelap di mata petugas kepolisian. Tak ada tanda-tanda perlawanan yang berarti, dan, yang lebih mengherankan, polisi tak menemukan benda berharga yang dicuri. Saat si pembantai akhirnya tertangkap enam pekan setelah kejadian, diketahui bahwa mereka mengambil tak lebih dari 42 dolar dari rumah korban.


Tertarik dengan berita tersebut, Capote berangkat ke tempat kejadian bersama sahabatnya, Harper Lee—pengarang novel terkenal To Kill a Mockingbird. Setiba di Holcomb, Capote menjadi benar-benar terpikat dengan kasus ini, sehingga ia kemudian mengikuti perjalanan kasus ini hingga lima tahun empat bulan lebih. Terutama di tahap-tahap awal, Harper Lee sangat membantu kerja reportase Capote.


Alur utama novel yang dibagi dalam empat bagian ini sebenarnya terbilang cukup sederhana. Dimulai dari latar kejadian dan kasus pembantaian di bagian pertama, perburuan si pelaku dan kisah perjalanan pelaku yang melarikan diri, tertangkapnya si pembantai, dan berakhir dengan penggambaran malam eksekusi si pembantai di bulan April 1965, di sebuah gudang yang dingin di sudut lapangan Penjara Negara Bagian Kansas di Lansing.


Keistimewaan pemaparan cerita dalam buku ini akan tampak jika pembaca melihatnya dari sudut pandang jurnalistik. Bagaimanapun, jika dilihat dari latar penulisan, novel ini pertama dan terutama harus dilihat sebagai sebuah karya jurnalistik. Sebuah liputan mendalam atas sebuah kasus yang disajikan dengan kecanggihan narasi yang memukau. Dalam novel ini, Capote berhasil menggambarkan detail setiap bagian cerita dengan amat cermat.


Karakter semua tokoh penting dalam novel ini tergambar dengan sangat kuat. Karakter masing-masing anggota keluarga Clutter, misalnya, tergambarkan dengan cukup kuat, baik dengan langsung menceritakan kehidupan sehari-hari mereka atau melalui interaksinya dengan para tetangga. Karakter keluarga Clutter yang dikenal baik dan disegani oleh para tetangga karena ramah dan suka membantu digambarkan di bagian awal novel ini dengan sangat baik, dengan secara detail menuturkan aktivitas masing-masing anggota keluarga di hari terakhir mereka sebelum pembantaian. Sesekali ada kilas balik yang bersifat umum untuk memperkuat deskripsi yang disajikan. Ketakutan warga Holcomb yang terteror setelah peristiwa pembantaian itu juga tergambar dengan baik dengan cara menuturkan pembicaraan orang-orang di kawasan terpencil itu, baik di kedai, kantor pos, sekolah, atau rumah penduduk.


Karakter dua pembunuh, Perry dan Dick, mendapat porsi pemaparan yang lebih banyak lagi—karena dapat dikatakan bahwa kedua orang inilah tokoh utama novel ini. Karakter dua pemuda ini menjadi semakin tergambar kuat setelah mereka ditangkap, dalam proses pemeriksaan, dan selama proses pengadilan. Dalam menggambarkan karakter Perry dan Dick ini sepertinya Capote cukup terbantu oleh akses yang dimilikinya untuk mengikuti kasus ini dari dekat dan menelaah arsip-arsip yang berhubungan dengan tokoh dan peristiwa. Dalam novel ini, misalnya, ada kutipan surat untuk Perry dari salah seorang temannya, dan juga kutipan pernyataan autobiografis Perry dan Dick untuk psikiater. Bahkan Capote juga mengikuti eksekusi kedua pembunuh itu.


Karya Capote ini sering digunakan sebagai rujukan dan contoh dari apa yang populer disebut sebagai “jurnalisme baru”. Jurnalisme baru, yang populer di Amerika sejak 1960-an, berusaha mengatasi keterbatasan gaya penyajian berita yang kering, dan berusaha menyampaikan berita mendalam secara lebih segar kepada pembaca. Genre jurnalisme yang kadang juga disebut “jurnalisme sastrawi” ini adalah sebentuk reportase yang dikerjakan secara mendalam, dengan gaya penulisan yang lincah dan renyah. Menurut Andreas Harsono dari Pantau, jurnalisme sastrawi menukik lebih dalam daripada apa yang lazim dikenal sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan peristiwa, tetapi masuk ke dalam psikologi yang para pelaku dan menerangkan mengapa ia melakukan hal tersebut.


Tentu saja dalam model penulisan jurnalisme sastrawi fakta tetap harus menjadi patokan utama. Dalam konteks ini, buku Capote yang disebutnya sebagai “novel nonfiksi” ini bisa menjadi agak kontroversial. Disebutkan dalam Wikipedia bahwa selama mewawancarai narasumber, Capote tak pernah mencatat dan hanya mengandalkan ingatannya. Ia baru menulis setelah wawancara selesai. Capote mengklaim bahwa memorinya mampu mengingat 94% persis seperti apa yang dikatakan narasumber. Terkait dengan aspek faktual dalam novel ini, memang ada beberapa komentator yang meragukannya.


Terlepas dari hal tersebut, bagaimanapun novel ini memang bukan cerita-pembunuhan biasa. Jika kita melihatnya sebagai sebuah karya “fiksi”, sangat layak jika dikatakan bahwa novel ini disebut-sebut sebagai a brilliant insight of criminal mind, sebuah kajian lengkap dan emosional untuk mengenali benak para penjahat. Dunia gelap Perry dan Dick diceritakan dengan sangat terperinci dan penuh emosi. Di sisi yang lain, jika kita membaca karya ini sebagai “novel nonfiksi”, sebagai sebuah karya jurnalistik, maka novel ini bisa memberikan inspirasi bagi para jurnalis untuk menyajikan fakta, peristiwa, ataupun fenomena dengan cara penyajian baru yang lebih tajam, mendalam, dan mencerahkan.


Tulisan ini dimuat di Harian Sinar Harapan, 1 November 2008.

Read More..

Selasa, 13 Mei 2008

Meneladani Muhammad

Judul buku : Muhammad: Rasul Zaman Kita

Penulis : Tariq Ramadan
Penerjemah : R. Cecep Lukman Yasin
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2007
Tebal : 422 halaman


Saya pikir, hukum Islam itu tidak ada. Yang ada ialah sejarah Muhammad, dan dari sanalah tiap-tiap pribadi kita mengambil pelajaran sendiri-sendiri tentang hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia. Sejarah Muhammad adalah sumber agama Islam.” Petikan catatan harian Ahmad Wahib, pemikir kritis Islam berdarah Madura yang meninggal di usia 31 tahun pada 1973 kembali hadir dalam ingatan saya, begitu saya tuntas membaca buku Muhammad karya Tariq Ramadan pada 26 Desember akhir tahun lalu. Saat saya kembali membaca utuh diari Wahib dalam kutipan di atas, saya tergambar akan sebuah pandangan yang cukup ekstrem tentang betapa vital posisi dan makna sejarah Nabi Muhammad dalam konteks agama Islam. Sekilas, Wahib seperti sampai menafikan hukum Islam dan ingin mengembalikan semua ajaran Islam pada sejarah Muhammad. Tapi saya tak cukup yakin Wahib berpikir hingga sedemikian jauh. Bagi saya, ia mungkin hanya ingin mengingatkan umat Islam pada sumber pokok ajaran dan inspirasi Islam, yakni sejarah Nabi, agar jangan sampai kita terlalu terpaku pada produk hukum Islam yang terbentuk sepeninggal Nabi Muhammad dan melupakan sumber aslinya.

Penghargaan dan penghormatan atas Nabi Muhammad dapat tercium di berbagai ranah. Lingkungan kebudayaan saya yang berlatar Madura memperlihatkan hal ini secara amat jelas. Tiap tahun, di bulan Maulid, orang-orang merayakan kelahiran Nabi dengan penuh suka cita, mulai dari orang yang benar-benar berpunya hingga orang yang berpenghasilan seadanya. Dalam setiap ritual keagamaan dan sosial, pembacaan shalawat Nabi menjadi satu keharusan tak tertulis yang tak dapat ditawar. Saat shalawat dilantunkan, saya merasakan seolah-olah orang yang menggelar acara itu sebenarnya juga ingin turut mengundang Baginda Nabi untuk hadir di tengah-tengah mereka.

Di dunia buku, saya menemukan pengakuan yang kuat dari kalangan intelektual, baik muslim maupun nonmuslim, tentang posisi penting Nabi Muhammad. Annemarie Schimmel menulis And Muhammad is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety (edisi Indonesia diterbitkan Mizan pada 1991, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan), yang memaparkan berbagai bentuk penghormatan umat Islam terhadap Nabi Muhammad. Kenangan masa remaja juga mengantar saya pada buku karya Michael H Hart, seorang ilmuwan Amerika, yang dalam bukunya berjudul The 100 (edisi Indonesia diterjemahkan oleh Mahbub Djunaidi dan diterbitkan Pustaka Jaya pada 1982) menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan pertama sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah.

Setiap kali ke toko buku, saat berdiri di hadapan rak buku-buku Islam, saya sering tertegun menyaksikan buku-buku yang ditulis tentang sejarah Nabi Muhammad—belum lagi buku-buku tentang orang-orang di sekitar beliau (ibu, istri, putra-putri, dan sahabat-sahabatnya). Ada jejak kekaguman, kerinduan, dan penghormatan yang mendalam di antara pagina karya-karya tentang biografi Nabi. Para penulisnya berasal dari berbagai zaman, mulai dari awal perkembangan intelektual Islam hingga masa kini. Dalam khazanah klasik, kita mengenal Ibn Hisyâm (w. 213 H./828 M.) yang menulis al-Sîrah al-Nabawiyyah. Di antara karya belakangan yang cukup legendaris terdapat karya Muhammad Husain Haekal, seorang intelektual-politisi Mesir, berjudul Hayât Muhammad (1953), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ali Audah. Ada juga karya Martin Lings (Abu Bakar Sirajuddin) yang berjudul Muhammad (terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh Serambi, diterjemahkan oleh Qamaruddin SF). Juga karya Karen Armstrong yang berjudul Muhammad: A Biography of a Prophet, yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sirikit Syah (Penerbit Risalah Gusti, 2001).

Di penghujung November tahun lalu, saat mampir ke kantor Penerbit Serambi di sela-sela mengikuti Konferensi Guru Indonesia di Balai Kartini Jakarta, saya sempat melihat buku terbaru karya Tariq Ramadan berjudul Muhammad: Rasul Zaman Kita yang baru saja diterbitkan Serambi. Pada pandangan pertama, saya kurang tertarik untuk membaca buku yang judul aslinya In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad ini. Dalam benak saya, paling-paling buku ini tak banyak berbeda dengan karya tentang biografi Nabi yang lain—saya pikir, mungkin lebih mirip dengan semacam karya Karen Armstrong daripada karya Martin Lings. Lagi pula, saya pernah membaca terjemahan karya Tariq Ramadan yang lain yang diterbitkan Mizan (Maret 2002), berjudul Teologi Dialog Islam-Barat: Pergumulan Muslim Eropa, dan saya tidak terlalu dibuat kagum saat tuntas membacanya. Isinya tak terlalu istimewa.

Di perjalanan pulang, saat singgah di sebuah toko buku di Surabaya, akhirnya saya memutuskan untuk membeli buku ini. Tapi saya tak membeli buku ini untuk saya sendiri. Kebetulan, ada seorang teman yang berpesan untuk dibelikan buku apa saja, asal bertema keislaman. Jadilah saya putuskan untuk membeli buku ini.

Sesampai di rumah, sebelum buku ini diambil oleh si pemesan, saya mencoba membaca pengantar buku ini. Ternyata, saya mulai terpikat pada buku karya Tariq Ramadan yang sekarang menjabat Presiden European Muslim Network (EMN) ini. Tanpa sadar, saya kemudian terus membacanya hingga ke bab dua. Sampai di situ, saya kemudian memutuskan bahwa buku ini termasuk buku bagus yang harus dikoleksi. Saya pun segera menghubungi teman saya di Malang untuk membelikan buku ini. Kebetulan saat itu dia hendak mudik ke Madura.

Saat membaca bagian pengantar buku ini, saya tak merasakan rasa bosan seperti saat membaca Teologi Dialog Islam-Barat yang berhasil tuntas dibaca terutama karena saya hendak menuliskan resensinya untuk media. Saya menikmati buku ini. Dari bagian pengantar, saya sudah bisa merasakan bahwa Tariq menulis buku ini dengan sentuhan emosi yang kuat. Saat membaca kembali bagian pengantar buku ini, saya teringat sebaris kalimat dalam bagian pembuka al-Hushûn al-Hamîdiyyah, yang menyatakan: wa syaraf al-ulûm bi syaraf al-ma‘lûm. Nilai agung pengetahuan itu terletak pada keagungan objek kajiannya. Saya membayangkan sosok Nabi yang teramat agung. Saya teringat puji-pujian untuk Nabi dalam Burdah yang konon memiliki kekuatan bermacam rupa. Saya teringat akan orang-orang Islam yang setiap tahun merayakan kelahiran Nabi dengan penuh cinta. Saya teringat kiai-kiai Karay Ganding yang menabuh hadrah dan bershalawat dengan khusyuk dan penuh penghayatan—tidakkah beliau-beliau itu sampai trance? Saya membayangkan, menulis biografi Nabi sama sekali tak sama dengan menulis panduan belajar internet atau menulis teknik meresensi buku. Sepertinya, butuh kapasitas moral dan spiritual tertentu—selain keluasan wawasan pengetahuan keagamaan dan kesejarahan—untuk menuliskan sejarah agung sosok Muhammad. Dan, saya rasakan bahwa Tariq menulis bukunya ini dengan emosi, kekaguman, dan rasa takzim yang penuh.

Karena itulah, di akhir ucapan terima kasihnya dalam buku ini, Tariq menegaskan bahwa buku ini adalah inisiasi baginya—inisiasi menuju kerendahan hati dan jalan pengembaraan menuju diri (hlm. 10). Bagi Tariq—yang pernah menekuni khazanah keislaman klasik di Universitas al-Azhar Kairo dan mendapat gelar MA di bidang filsafat dan sastra Prancis dan Ph.D. di bidang studi Islam dan bahasa Arab di University of Geneva yang didirikan oleh John Calvin (1509-1564)—kehidupan Nabi merupakan ajakan menuju spiritualitas (hlm. 18). Dalam buku ini, Tariq berupaya untuk mendekati kehidupan Muhammad dari perspektif kekinian, sehingga kemudian ditegaskan bahwa tujuan utama buku ini adalah “menjadikan kehidupan Rasul sebagai cermin bagi kita yang dengannya para pembaca yang sedang menghadapi tantangan zaman mampu menyelami hati dan pikiran mereka sendiri dan memahami berbagai persoalan hidup dan masalah sosial dan moral yang lebih luas” (hlm. 16). Maka dari itu, jika Muhammad karya Martin Lings—yang meraih penghargaan dari pemerintah Pakistan dan terpilih sebagai biografi Nabi terbaik dalam bahasa Inggris dalam Konferensi Sirah Nasional di Islamabad tahun 1983—memiliki keunggulan narasi yang jernih dan acuan langsung pada sumber-sumber klasik, maka Muhammad karya Tariq Ramadan yang edisi bahasa Inggrisnya terbit pada bulan Februari 2007 ini memiliki kekuatan pada aspek analisis kontekstualnya yang dipadu dengan refleksi yang kental dengan nilai-nilai spiritual.

Alur buku ini tak jauh berbeda dengan buku-buku biografi Nabi yang lain. Bahkan, penuturan fakta tentang kehidupan Nabi dituturkan secara cukup ringkas. Selain juga merujuk pada sumber-sumber klasik primer seperti yang dilakukan Martin Lings, yang terpenting, di setiap bagian buku ini Tariq menjaga kepaduan pergerakan kehidupan Nabi dan ajaran spiritual Islam dengan situasi kekinian. Penekanan Tariq untuk menjaga kerangka besar keterpaduan perjalanan hidup Nabi dengan wahyu dan ajaran Islam tergambar dalam bentangan pemaparannya yang enak diikuti. Dari segi ini, tak heran jika di banyak bagian buku ini saya menemukan kutipan-kutipan ayat al-Qur’an yang seperti ingin menegaskan keterpaduan tersebut. Lebih dari sekadar semacam asbâbunnuzûl bagi ayat-ayat tertentu, pemaparan Tariq saya rasakan memiliki ketajaman refleksi yang kuat. Dalam ikhtiar pemaknaan yang padu dengan situasi kontemporer inilah, di beberapa bagian, saya menemukan uraian-uraian dan tafsir yang mencerahkan, inspiratif, dan cukup orisinal.

Keunggulan ini sudah saya rasakan ketika saya membaca bab dua. Saat Tariq bercerita tentang masa kanak-kanak Nabi, saya menemukan penjelasan yang unik dan terasa cukup baru. Selama ini, paling tidak di pemahaman saya yang sangat terbatas, kehidupan Nabi saat diasuh oleh Halimah di pedalaman Arabia seperti dituturkan begitu saja dan tak terlalu dikaitkan dengan kehidupan kekinian. Namun demikian, pada bagian ini Tariq menunjukkan dengan cukup meyakinkan bahwa kedekatan Nabi yang cukup intens dengan alam pada tahun-tahun pertama kehidupannya telah memberikan dasar-dasar keimanan dan pola relasi ketuhanan yang unik, yang berlandaskan pada perenungan mendalam, yang pada tahap pendidikan spiritual berikutnya memberikan kemampuan untuk menangkap makna, bentuk, dan tujuan ritual keagamaan. Dengan kata lain, alam raya yang dipenuhi tanda-tanda akan kehadiran Sang Pencipta telah menanamkan rasa kepekaan spiritual mulai dari kesadaran akan keagungan Tuhan, dorongan untuk mengamati, merenungkan, serta menjaga dan menghargai alam, dan sebagainya (hlm. 34-41, bdk. hlm. 258-259, 385-387).

Tak heran, jika kita juga akan banyak menemukan ayat-ayat al-Qur’an yang bertutur tentang peristiwa-peristiwa alam. Tariq Ramadan pada bagian ini mengutip peristiwa turunnya ayat 190 surah Âlu ‘Imrân—yang sering menghadirkan kenangan masa lalu saya, saat tiap fajar mendengarnya mengalun dari pengeras suara Masjid Jamik Annuqayah—beberapa tahun kemudian ketika Nabi tinggal di Madinah. Ayat itu berbunyi: Inna fî khalq al-samâwât wa al-ardh wa-khtilâf al-layl wa al-nahâr la-âyât li uli al-albâb. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Diriwayatkan bahwa Nabi menangis sepanjang malam setelah ayat ini diwahyukan. Saat fajar datang, sebelum mengumandangkan azan, Bilal menanyakan apa yang membuat Nabi menangis. Nabi menjelaskan makna kesedihannya sambil menambahkan: “Sungguh celaka orang yang mendengar ayat ini tapi tidak mau merenungkannya!”

Kehidupan kontemporer yang semakin bernuansa perkotaan dan modern terasa semakin memutus kedekatan dan kepekaan manusia terhadap alam. Baru-baru ini secara kebetulan saya menemukan tulisan Dewi Lestari di weblognya berjudul “Harta Karun untuk Semua” yang sangat mencerahkan tentang hal ini. Menurutnya, “sebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir rantai pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta”. Bagaimanapun, dalam tingkat tertentu, gaya hidup modern saat ini memberikan pengaruh pada penyemaian dasar-dasar pendidikan spiritualitas. Tak heran, di sekolah-sekolah di kota pada khususnya saya mendengar ada semacam program “outbound” atau “tadabbur alam” yang berusaha mendekatkan anak didiknya dengan alam sekitar. Memang, bagi orang-orang kota, suasana alam yang betul-betul natural menjadi barang mewah, sehingga mereka terpaksa harus membuat sebuah program khusus untuk bisa lebih akrab dengan alam. Harian Kompas (edisi 1 Juli 2007) pernah meliput fenomena ini, saat masyarakat ibukota di hari libur sekolah banyak mendapatkan penawaran paket wisata ke kawasan pedesaan sekitar Jakarta. Memikirkan hal ini, terlintas di benak saya potongan sajak Goenawan Mohamad berjudul “New York”: bulan telah mengerosong/setelah salju pergi/kulitnya putih bimasakti/tapi neon-neon New York/mengusirnya/ke pelosok.

Saat membaca bagian ini, wawasan dan kepekaan saya terhadap masalah-masalah lingkungan hidup masih belum begitu terasah. Konteks pemaknaan pendidikan alam dan spiritualitas semakin saya rasakan setelah saya mengikuti sebuah pertemuan bertema pendidikan lingkungan hidup di Pasuruan Maret lalu. Tidak hanya disuguhi fakta-fakta tentang kehancuran alam yang juga menyiratkan rendahnya tanggung jawab moral dan tipisnya spiritualitas manusia, di forum itu saya juga belajar dan berbagi berbagai metode untuk lebih mendekatkan diri dengan alam atas dasar sikap peduli. Dari situ saya semakin sepakat dengan Tariq bahwa pendidikan alam memiliki andil besar bagi pembentukan dasar-dasar spiritualitas universal.

Di sepanjang buku ini, Tariq, yang merupakan cucu tokoh legendaris Hasan al-Banna, berusaha menyelami jantung kehidupan Nabi melalui kisah kehidupannya sehari-hari. Di beberapa bagian, Tariq menggambarkan akhlak Nabi dalam bergaul dengan golongan nonmuslim dan pandangan dunia di luar Islam. Pada bagian yang paling awal, Tariq menggambarkannya saat bertutur tentang Pakta Kehormatan (hilf al-fudhûl). Pakta ini dibuat untuk meredakan konflik antarkelompok yang biasa terjadi di Mekah. Pakta ini menempatkan penghargaan atas prinsip keadilan dan dukungan terhadap kelompok tertindas di atas semua pertimbangan kekerabatan dan kekuasaan. Muhammad muda terlibat dalam pertemuan terbentuknya kesepakatan pakta tersebut. Setelah diangkat menjadi Nabi, Muhammad menegaskan bahwa jika pada masa Islam ia diminta terlibat dalam perjanjian semacam itu, ia akan menerimanya dengan senang hati. Tariq mengelaborasi pernyataan Nabi ini dengan cukup panjang lebar. Di antaranya Tariq menegaskan bahwa pernyataan Nabi ini “merupakan sanggahan yang gamblang terhadap kecenderungan pemikiran yang muncul secara sporadis di sepanjang sejarah pemikiran Islam—dan hingga saat ini—bahwa sebuah kesepakatan bisa dipandang sah secara moral oleh orang Islam sepanjang ia memiliki karakteristik keislaman dan/atau jika ia dilakukan sendiri oleh orang-orang Islam”. Jadi, lanjut Tariq, pernyataan Nabi yang mengakui sebuah pakta yang dibentuk sebelum turun wahyu dan berkomitmen untuk membela keadilan dan menentang penindasan terhadap mereka yang lemah ini menyiratkan konsekuensi bahwa “pesan Islam sama sekali bukanlah sistem nilai tertutup yang berlawanan dan berseberangan dengan sistem nilai lainnya. Sejak awal, Nabi tidak memandang kandungan pesan yang dibawanya sebagai ungkapan murni keberbedaan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang berasal dari masyarakat Arab atau masyarakat lainnya” (hlm. 54).

Dalam laku yang lebih sederhana tapi tak kalah bermakna, diriwayatkan bahwa saat sudah hijrah ke Madinah Nabi pernah berdiri untuk menghormati prosesi penguburan jenazah seorang Yahudi yang melintas. Para sahabat yang keheranan bertanya, dan dengan tegas Nabi menjawab: “Bukankah ia juga manusia?” (hlm. 179). Selain itu, dalam peristiwa hijrah, Nabi menggunakan jasa seorang Badui nonmuslim bernama Abdullah ibn Urayqat untuk menjadi pemandu ke Yatsrib—dalam perang Uhud, Nabi juga dipandu oleh seorang nonmuslim (hlm. 239). Dalam situasi genting yang bisa-bisa mempertaruhkan nyawa beliau dan Abu Bakar, Nabi tak segan menaruh kepercayaan pada seorang nonmuslim yang dikenal keterpercayaannya (perkataannya bisa dipegang) dan keahliannya dalam memandu di padang pasir. Dari sini Tariq mencatat: “semua laki-laki dan perempuan yang bergaul dengannya mungkin tidak memiliki keyakinan yang sama dengannya, tapi mereka memiliki kualitas moral dan/atau kualitas kemanusiaan yang mulia” (hlm. 164).

Akan tetapi, Nabi juga pernah bertindak tegas kepada kaum Yahudi saat tinggal di Madinah. Di antaranya adalah saat Nabi memaksa keluar warga perkampungan Yahudi Bani Nadir (hlm. 249-255). Tentu saja Nabi memilih tindakan ini bukan tanpa dasar. Saat Nabi menunjukkan itikad baiknya untuk membayar tebusan atas insiden pembunuhan yang dilakukan seorang muslim, Amr ibn Umayyah, atas dua orang Yahudi dari Bani Amir—sekutu Bani Nadir—sebagai pembalasan karena rombongan Amr yang diundang Bani Amir dibunuh, justru para pemuka Bani Nadir menunjukkan sikap yang tak bersahabat, meski jelas-jelas mereka telah mengkhianati kesepakatan pakta perlindungan. Lebih jauh, para pemimpin Bani Nadir malah berniat membunuh Nabi. Nabi memberi waktu sepuluh hari agar mereka keluar dari Madinah, atau, kalau tidak, mereka akan dihukum mati. Tapi, karena provokasi Abdullah ibn Ubayy, mereka malah memperlihatkan penentangan yang berarti maklumat perang. Akhirnya Nabi mengepung Bani Nadir sampai mereka menyerah. Pada titik akhir konflik, justru Nabi tidak hanya membatalkan ancamannya, tapi juga menunjukkan kemurahan hatinya. Nabi mengizinkan mereka pergi dengan membawa harta benda mereka.

Dari peristiwa tersebut, seperti juga dalam kasus pengusiran Bani Qaynuqa (hlm. 210-214), saya dapat merasakan sikap tegas Nabi berhadapan dengan pelanggaran kesepakatan dan sikap lembut beliau untuk tetap bertindak dengan sentuhan kemanusiaan yang dalam. Dalam kejadian Perang Uhud, saat pasukan Nabi mengalami kekalahan tragis, Nabi hampir saja bertindak berlebihan saat melihat jasad kaum muslim yang meninggal dan dirusak oleh kaum kafir, termasuk jasad pamannya, Hamzah. Karena sangat terpukul, dalam kemarahannya Nabi mengutarakan keinginannya untuk membalas dendam dan merusak tiga puluh jasad pasukan musuh pada pertempuran selanjutnya. Tapi kemudian turunlah wahyu (Q., s. al-Nahl/16: 126) yang mengingatkan Nabi bahwa penghormatan terhadap jasad manusia adalah sesuatu yang tak bisa ditolak. Nabi diingatkan akan etika perang, juga ihwal urutan prioritas, penghormatan atas ciptaan Tuhan, kehormatan dan integritas manusia, kebijaksanaan, dan kesabaran (hlm. 243-244).

Kembali pada peristiwa hijrah, saya menemukan sebuah uraian yang cukup menyentuh dalam buku ini. Saat bersembunyi di Gua Tsawr, Nabi bersama Abu Bakar diselamatkan oleh jaring laba-laba yang menutupi mulut gua dari sergapan kaum kafir Mekah yang mengejarnya. Tariq menekankan betapa kisah ini mengemukakan sebuah ironi mendalam yang menggiring pada sikap rendah hati di hadapan kemahakuasaan Tuhan: hidup Nabi dan Abu Bakar terselamatkan tak lain oleh jaring laba-laba yang rapuh. Di sinilah, saya menemukan pelajaran tentang makna tawakkal yang begitu dalam (hlm. 163).

Tema kerendahan hati diangkat secara khusus beberapa kali dalam buku ini. Sekali lagi, demikianlah yang saya rasakan saat Tariq menuturkan kisah Nabi yang mendapat tiga pertanyaan dari kaum kafir Mekah, dan Nabi langsung menjanjikan jawabannya esok harinya (hlm. 116-120). Nyatanya, wahyu yang diharapkan memberi jawaban atas ketiga pertanyaan itu tak kunjung turun hingga dua pekan. Dan begitu wahyu turun (Q., s. al-Kahf/18: 23-24), isinya malah memuat teguran dan peringatan bagi Nabi bahwa status, pengetahuan, dan nasibnya bergantung pada Rabb-nya, Pendidiknya, Yang Maha Esa dan Mahakuasa. Secara lebih utuh, dalam ayat-ayat lain yang kemudian terhimpun dalam surah al-Kahf, tema kerendahan hati dan ketergantungan pada Tuhan ini kembali muncul pada kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr. Dari sini saya kemudian paham bahwa anjuran untuk membaca surah ini setiap hari Jumat tak lain adalah untuk menjadi semacam pengingat agar kita tak mudah lupa diri dan melupakan-Nya.

Hijrah sebagai sebuah momentum keberagamaan oleh Tariq dieksplorasi secara cukup luas. Hijrah sebagai sebuah pengasingan menurut Tariq adalah bentuk lain dari ujian keimanan. Pengasingan “menuntut kaum muslim awal agar selalu belajar untuk tetap setia terhadap makna ajaran Islam di tengah perubahan tempat, budaya, dan memori... Masyarakat Islam [...] sejak awal harus membedakan antara hal-hal yang berasal dari prinsip-prinsip Islam dan hal-hal yang secara khusus terkait dengan budaya Mekah... Pengasingan merupakan sebuah pengalaman yang paling jelas dan mendalam tentang semua itu, karena ia menyiratkan ketercerabutan diri dengan tetap beriman kepada Tuhan yang sama, kepada makna yang sama, dalam lingkungan yang berbeda” (hlm. 168, 170). Tariq memberi contoh bagaimana Umar ibn al-Khaththab harus belajar menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Misalnya, setelah Umar menghardik istrinya yang membantahnya (sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Mekah), sang istri menjawab bahwa ia harus membiasakan diri dengan hal itu dan menerimanya sebagaimana yang dilakukan Nabi.

Tariq juga menunjukkan bagaimana Nabi berusaha mengubah kebiasaan dan praktik yang berlaku di masyarakat Arab dan Badui yang tak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Saat di Madinah, seorang tetangga dari Persia mengundang Nabi untuk makan bersama. Akan tetapi, karena Nabi tak diizinkan hadir bersama Aisyah, Nabi menolak undangan itu sampai dua kali. Saat diundang untuk ketiga kalinya, Nabi hadir—karena Aisyah diperkenankan untuk ikut serta. Di sini, Nabi menegaskan kemungkinan kehadiran dan peran perempuan di ruang publik—sesuatu yang sulit diterima dalam tradisi masyarakat Mekah (hlm. 233-234).

Sifat dan akhlak Nabi yang terpuji tergambar dalam hampir setiap peristiwa. Kelembutannya dalam menghadapi umat dan sesama, tatakramanya bergaul dengan keluarga dan tetangga, penghargaannya pada prinsip-prinsip musyawarah dan dorongannya agar para sahabat di sekelilingnya tetap berani mengemukakan pendapat, keterbukaannya pada khazanah kebudayaan lain yang bernilai positif, semuanya dikemukakan dengan baik di banyak bagian buku ini. Dari situlah saya dapat merasakan bagaimana Muhammad memang adalah sosok pribadi yang terpuji. Muhammad memperlihatkan kualitas moral yang patut diteladani (Q., s. al-Ahzâb/33: 21), karena, sebagaimana dinyatakan Aisyah, akhlak Nabi adalah al-Qur’an.

Saya, yang mengaku sebagai umat Muhammad, terus terang sering merasa malu saat sadar bahwa saya kerap tak menjadikan sosok dan pribadi Baginda Nabi sebagai teladan dalam menjalani hidup. Mungkin itu karena saya belum cukup mendalam mengenal sosok dan pribadi beliau. Mungkin saja saya lebih mengenal profil kehidupan tokoh sejarah yang lain daripada kisah agung Nabi. Tapi, untuk menghibur diri, saya berpikir bahwa mungkin saya tidak sendirian dalam hal ini. Jika dipikir dengan jernih, sungguh ironis bila kita tak mengenal lebih dekat sosok Nabi yang dalam banyak riwayat dikisahkan amat mencintai umatnya. Dan bukankah umat Muhammad, berbeda dengan umat nabi-nabi yang lain, telah dianugerahi banyak keistimewaan oleh Allah, sebagaimana dipaparkan dengan tuntas oleh Sayyid Muhammad ibn ‘Alawî al-Mâlikî dalam Syaraf al-Ummah al-Muhammadiyyah. Saat selesai membaca buku ini, saya merasa bahwa buku ini, terutama, dan atau buku-buku biografi Nabi lainnya, semestinya wajib dibaca oleh setiap orang yang mengaku muslim—mengaku sebagai umat Baginda Muhammad. Hanya setelah mengetahui lebih jelas kehidupan, sejarah, dan pribadi Nabi, baru kita akan dapat lebih dalam mencintai, dan kemudian meneladaninya sambil berharap bahwa kita akan mendapatkan syafa’atnya.

Meski tak secara amat detail memaparkan perjalanan hidup Nabi, buku yang ditulis oleh tokoh kelahiran 1962 yang dinobatkan Majalah Time sebagai salah satu “inovator dunia di bidang spiritualitas” ini memiliki kelebihan yang sangat patut diacungi jempol. Buku ini berhasil memberikan refleksi dan pemaknaan kontekstual yang inspiratif dan menggugah. Bagi yang belum pernah membaca biografi Nabi secara ringkas, buku ini bisa langsung memberikan gambaran umum kronologis yang cukup bernas. Akan tetapi, saya merasa bahwa buku Martin Lings yang sudah saya baca sebelumnya sangat membantu saya dalam proses mencerna buku ini. Mungkin karena Martin Lings banyak menggunakan sumber-sumber klasik awal, seperti karya Ibn Hisyâm, Ibn Ishâq, al-Thabarî, dan sebagainya—Tariq banyak merujuk pada karya Ibn Hisyâm dan hadis-hadis otoritatif. Jika pembaca masih kurang puas, bisa dilanjutkan dengan membuka karya Muhammad Husain Haekal, meskipun edisi bahasa Indonesianya terasa agak “berat” dibaca.

Alâ kulli hâl, akan semakin afdal rasanya jika selama membaca buku ini kita memulainya dengan berdoa, baik dengan bershalawat untuk Baginda Nabi, maupun juga untuk si penulis buku ini dan seluruh umat Islam. Jika Tariq telah berhasil menulis buku ini dengan sentuhan emosi yang kuat, maka pembaca buku ini sebaiknya juga membacanya tak hanya dengan nalar, tetapi juga dengan penghayatan, sambil berharap bahwa dengan begitu buku ini juga bisa memberi jalan bagi kita untuk menjadi pribadi yang terpuji—di mata sesama, lebih-lebih di mata Allah swt.

Wa mâ tawfîq illâ bi-lLâh.




Tulisan ini dimuat di Jurnal 'Anil Islam No. 1/Vol. I/2008, diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Read More..

Minggu, 04 Mei 2008

Runtuhnya Kekuatan Bahasa Ibu: Madura



Bahasa ibu – atau yang secara populer, tetapi kurang tepat, disebut juga bahasa daerah – di Indonesia saat ini sedang terancam kepunahan. Globalisasi yang menyerbu melalui berbagai media telah meminggirkan khazanah budaya daerah, termasuk bahasa. Penutur bahasa daerah cenderung semakin sedikit.

Kekhawatiran semacam ini sebenarnya cukup berkembang di Tanah Air, seperti tercermin pada Kongres Kebudayaan Madura Maret 2007 di Sumenep, atau dalam Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang beberapa bulan sebelumnya.

Kerisauan berbagai pihak, terutama kalangan budayawan, atas nasib budaya dan bahasa ibu ini didasarkan atas kesadaran, kedua hal tersebut memuat nilai-nilai signifikan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seseorang.

Ajip Rosidi (Suara Merdeka, 26/2/2007), sastrawan dan penggagas Hadiah Rancage, menegaskan, anak-anak belajar memahami dunia dan lingkungannya melalui bahasa ibu. Bahasa ibu menancapkan nilai-nilai dan norma yang kemudian berakar kuat pada diri seseorang.

Seperti disinyalir Ajip Rosidi, generasi mutakhir Indonesia saat ini bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Ini terutama banyak ditemukan di kota-kota besar. Afrizal Malna, penyair kontemporer Indonesia, memberikan pengakuan yang cukup menarik disimak. Bagi penyair kelahiran Jakarta itu, bahasa Indonesia yang menjadi bahasa ibunya ?telah kehilangan akal budayanya dan diterima hanya sebagai alat komunikasi dan politik penyatuan? (Afrizal, 2002: 68-70).

Ada nuansa keterasingan yang terekam karena nilai-nilai kebudayaan yang tersimpan dalam bahasa Indonesia tak pernah bisa akrab dengannya. Ada catatan kerinduan atas bahasa ibu dan khazanah kebudayaan yang dikandungnya, yang ternyata tak dimiliki oleh bahasa Indonesia.


Kasus di Madura

Dalam konteks kebudayaan Madura, ada satu contoh mutakhir tentang meredupnya bahasa Madura. Awal 2008 ini, Lomba Cipta dan Baca Puisi Madura yang digelar Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Wiraraja Sumenep ternyata hanya diikuti 17 peserta.

Terkait dengan itu, Achmad Zaini Makmun, Staf Ahli Balai Bahasa Surabaya, semakin yakin dengan hasil riset yang memprediksi bahwa bahasa Madura akan musnah pada tahun 2024. Hal itu akan ditandai dengan hilangnya apresiasi dan kepemilikan warga Madura terhadap bahasa ibunya.


Tiga masalah utama

Menurut penulis, setidaknya ada tiga masalah utama dalam proses pemudaran bahasa ibu ini. Pertama, masalah dokumentasi yang ditandai oleh tidak cukup banyaknya dokumentasi tentang bahasa Madura yang ditulis dengan rapi, baik, dan dapat diakes secara luas, baik dalam bentuk kamus maupun karya kesusastraan pada umumnya. Menurut Prof Mien, sampai saat ini berbagai karya literer Madura, seperti Trunojoyo, Joko Tole, Ke' Lesap, dan Bindara Saud, belum tertuang dalam buku sastra yang standar.

Andai kata sudah ada upaya dan produk yang terdokumentasi, lalu ke mana sebenarnya arah pemanfaatan khazanah bahasa Madura tersebut untuk konteks kekinian?

Di zaman dengan kemajuan ilmu dan teknologi luar biasa seperti saat ini, terlihat jelas betapa bahasa ibu seperti bahasa Madura tak cukup kredibel berperan sebagai penyampai kemajuan-kemajuan itu.

Sebenarnya cukup menarik untuk melihat peran pesantren tradisional (atau pesantren salaf) di Madura yang hingga saat ini menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pengantar utama dalam pengajaran kitab kuning. Bagi sebagian mereka, bahasa Madura bahkan dipandang lebih lengkap dan komprehensif menggambarkan status gramatikal struktur bahasa Arab dalam kitab kuning yang diajarkan dibandingkan dengan bahasa lain.

Akan tetapi, saat ini banyak pesantren di Madura mengalami transformasi kelembagaan (pendidikan) yang cukup menarik untuk diamati sehingga lambat laun penggunaan bahasa Madura dalam pengajaran kitab kuning atau sebagai bahasa pengantar mulai merosot. Banyak pesantren mengadopsi begitu saja sistem pendidikan nasional yang notabene tidak berbasis bahasa ibu. Kecenderungan kuat ini sungguh telah melemahkan peran pesantren dalam melestarikan bahasa Madura.

Hal penting lain: parahnya kedudukan karya terjemahan kitab-kitab kuning ke dalam bahasa Madura yang ditulis dengan huruf Arab pegon dalam dunia percetakan. Banyak karya jenis ini yang dicetak dengan kemasan amat sederhana dan dijual dengan harga cukup murah.

Seperti cetakan karya-karya bernilai dari Kiai Abdul Madjid Tamim (Pamekasan), Kiai Umar Faruq (Bangkalan), Kiai Muhammad Nur Muniri Isma'ili (Pamekasan), dan sebagainya. Bahkan, beberapa karya kiai ternama, Kiai Habibullah Rais (Sumenep), harus dicetak dan didistribusikan sendiri. Hal ini seperti sebuah proses pemusnahan yang berlangsung sistemik dan sistematis.


Dalam kesenian

Peran penting lain pesantren dalam pelestarian bahasa Madura ada pada pengembangan sastra Madura, khususnya pada bentuk syi’ir, salah satu bentuk puisi Arab yang lazim digubah di kalangan santri atau kiai.

D Zawawi Imron (1989: 194-198) mencatat, sebenarnya ada beberapa syi’ir Madura yang pernah diterbitkan. Namun, sayang, dokumentasi syi’ir Madura itu saat ini nyaris tak dapat ditemukan lagi, antara lain karena dokumentasi tidak dilakukan dengan cukup baik, bahkan oleh penggubahnya.

Akhirnya, masalah ketiga bahasa Madura ada di soal kelembagaan. Siapakah secara kelembagaan yang dapat berperan aktif untuk mengupayakan pelestarian bahasa dan sastra Madura? Berbagai lembaga sosial di masyarakat, seperti digambarkan di atas, semisal pesantren atau seni tradisi, ternyata tak cukup memiliki daya tahan kuat untuk memaksimalkan pemanfaatan bahasa dan sastra Madura.

Sementara itu, pemerintah cenderung memperlakukan kekayaan khazanah budaya lokal dalam paradigma pariwisata, yang sesungguhnya hanya selimut dari proses peminggiran.

Kini tinggal mengharap Kongres Bahasa Madura dapat segera terlaksana. Di ajang itu berbagai persoalan dapat dibicarakan secara mendalam sehingga bahasa Madura yang digunakan oleh lebih dari 13 juta penutur itu tak tinggal hanya jadi sejarah, pengisi kertas yang kian menguning.


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 7 Juni 2008.

Read More..