Jumat, 19 November 1999

Bertamasya ke Masa Lalu: Catatan dari Museum Benteng Vredeburg

Setiap arus waktu yang telah berlalu tak dapat lagi kembali. Bahkan, upaya untuk merangkumnya dalam suatu bentuk dokumentasi, bila itu diartikan secara ketat, hanya akan berakhir dengan kekecewaan. Apa yang telah berlalu, akan segera retak--dalam istilahnya Goenawan Mohamad. Tetapi, manusia adalah makhluk dengan kemampuan untuk selalu mengatasi berbagai bentuk keterbatasannya (transendensi). Dalam konteks inilah, manusia menurut Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Martin Heidegger (1889-1976) ditandai dengan ciri historisitas (historicity). Historisitas adalah khas menandai manusia, dan tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya. Dalam pengertian ini, manusia adalah subyek sekaligus obyek sejarah. Di satu sisi, manusia terlahir dalam suatu kubangan sejarah tertentu yang akan terus membentuknya sepanjang waktu, sementara ia sendiri juga senantiasa berusaha melakukan inovasi-inovasi kreatif dalam rangka "mengubah" jalannya sejarah. Pada yang terakhir ini, nampaklah dimensi kebebasan manusia dalam memutuskan setiap keputusan tindakannya, yang selanjutnya akan menumbuhkan bakat kreatif, inovatif, serta inventif dalam diri manusia.
Museum Benteng Vredeburg--untuk selanjutnya akan disebut Vredeburg saja--adalah bagian dari usaha manusia (Indonesia) untuk dapat mengenang kembali berbagai hal (yang dianggap) penting yang terjadi di Indonesia. Secara khusus, Vredeburg adalah sebuah museum perjuangan, yang mempersaksikan kegigihan rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya dari cengkeraman penjajah. Vredeburg adalah saksi mata atas tekad bangsa Indonesia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan, yang diikuti oleh suatu proses tawar-menawar dialektis antara berbagai pihak yang berkepentingan.
Sebagaimana disebutkan dalam Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, museum ini bertugas untuk mengumpulkan, meneliti, merawat dan mengkomunikasikan benda-benda bersejarah kepada masyarakat. Dari benda-benda tersebut tentu dapat mengkomunikasikan nilai-nilai luhur yang berkembang dalam sejarah perjuangan Indonesia. Secara historis, Vredeburg dibangun mulai 1767 dan selesai pada tahun 1787. Pembangunan Vredeburg dibangun atas usul Kompeni Belanda dengan dalih untuk menjaga keamanan keraton. Padahal, maksud Kompeni ketika itu adalah untuk lebih mempermudah kontrol terhadap aktivitas kraton kalau-kalau hendak melawan Kompeni. Secara yuridis, Vredeburg adalah milik kasultanan Yogyakarta, meski secara de facto Vredeburg selalu digunakan oleh bukan hanya orang kraton Yogyakarta.
Fungsi Vredeburg senantiasa berubah sepanjang sejarahnya. Kadang sebagai media pertahanan militer, penampungan prajurit, balai pengobatan, gudang senjata, dan sebagainya. Terakhir, dengan sebuah ketetapan dalam bentuk Surat Keputusan Mendikbud RI Prof. Dr. Fuad Hassan No. 0475/0/1992 tanggal 23 November 1992, secara resmi Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional Bangsa Indonesia dengan nama Museum Benteng Yogyakarta.
Koleksi yang dimiliki Vredeburg setidak-tidaknya sudah cukup mampu membuktikan serta menunjukkan semangat bangsa kita, dulu. Berbagai peristiwa bersejarah dipentaskan, baik dalam bentuk lukisan, foto, benda-benda, maupun visualisasi lainnya. Tengoklah misalnya, lukisan aksi Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di bawah pimpinan Letkol Soeharto, atau koleksi mesin ketik dan Kenap yang digunakan sebagai sarana perjuangan Tentara Pelajar di daerah Turi, Sleman. Atau, lukisan-lukisan pada saat-saat proses pembangunan Kraton Yogyakarta.
Namun demikian, bila Vredeburg memang dimaksudkan untuk dapat mengantarkan para pengunjungnya untuk bertamasya ke masa lalu, masuk dalam arus semangat juang rakyat melawan segala bentuk penindasan, maka yang penting sebenarnya adalah soal kesediaan mereka (pengunjung) untuk dapat terlibat dengan momen-momen bersejarah itu. Artinya, berbagai koleksi yang ada di Vredeburg sebenarnya hanyalah semacam monumen sekaligus dokumen--dalam istilahnya Michel Foucault (1926-1984). Dan, yang menentukan kebermaknaan benda-benda itu adalah sejauh mana pengunjung dapat ikut terlibat sekaligus menghayati etos masyarakat ketika itu.
Inilah kesulitan yang cukup problematik untuk dapat memenuhi maksud dari Vredeburg itu sendiri. Apalagi, di saat mana kesadaran historis dikekang dan diblokade sedemikian rupa, kesulitan ini menjadi kian meningkat. Dalam pandangan Goenawan Mohamad, tidak ada institutional memory yang mampu menghubungkan pengalaman antar-generasi dalam masyarakat Indonesia, sehingga kesadaran sejarah sulit terbentuk. Apalagi, blokade informasi yang hendak bermaksud memberikan versi alternatif terhadap model sejarah yang resmi dijaga dengan ketat, sehingga semakin memiskinkan akses masyarakat menuju pengetahuan masa lalu itu.
Dalam konteks inilah, maka Vredeburg secara agak ekstrem bisa juga dilihat sebagai suatu versi dari sejarah Bangsa Indonesia. Artinya, sebagai sebuah museum perjuangan, Vredeburg bisa jadi hanya menyajikan sejumlah etos sejarah milik kelompok tertentu, dan mengabaikan faktor-faktor lain yang secara obyektif juga berperan dalam proses sejarah itu sendiri. Pembacaan alternatif semacam inilah yang sebenarnya dibutuhkan dalam memahami setiap peninggalan sejarah suatu masyarakat.

Daftar Bacaan
Bertens, K., Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Gramedia, 1987.
Budiharja, (Ed.), Buku Panduan Museum Benteng Yogyakarta, Yogyakarta: Museum Benteng Yogyakarta, 1998.
Goenawan Mohamad, "Menyalakan Lilin dalam Kegelapan", dalam FX Baskara T. Wardaya (Ed.), Mencari Demokrasi, Jakarta: ISAI, 1999.
Horrock, Chris, dan Jevtic, Zoran, Mengenal Foucault for Beginners, Bandung: Mizan, 1997.

Read More..

Senin, 15 November 1999

Gus Dur Tidak Perlu Dibela

Judul Buku: Gus Dur, Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan & Pernyataan Gus Dur
Penulis: Al-Zastrouw Ng
Penerbit: Erlangga, Jakarta
Cetakan: Kedua, Oktober 1999
Tebal: 290 + xii halaman


Mungkin hanyalah Gus Dur satu-satunya tokoh paling kontroversial dalam sejarah politik Indonesia. Tokoh yang kini “menguasai” Istana Negara ini memang terlalu sulit dipahami orang-orang, bahkan oleh pakar politik sekalipun. Pada suatu saat mungkin Gus Dur dipuji karena kecerdasan atau keberanian move politiknya, tetapi bisa juga Gus Dur dihujat habis-habisan karena statemen atau langkah politik tertentu. Begitulah, orang sesekali menyebut Gus Dur sebagai reformer—jauh sebelum gerakan tuntutan reformasi meluas secara massif—, dan sesekali pula orang ada yang menyebutnya sebagai destroyer.


Buku yang laku keras di pasaran ini ditulis oleh salah seorang mantan asisten pribadi Gus Dur: Al-Zastrouw Ng. Buku ini merupakan bagian dari upaya klarifikasi atas beberapa laku politik Gus Dur, terutama pada bulan-bulan terakhir menjelang terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI. Secara spesifik, ada lima pokok soal yang dibahas secara panjang lebar, yakni kehadiran Gus Dur di Istana Negara dua hari menjelang lengsernya Soeharto, pembantaian di Banyuwangi, Deklarasi Ciganjur, rangkaian silaturrahim ke tokoh-tokoh Orde Baru, dan Open House di kediaman Gus Dur.

Kalau mau dicermati secara kritis, di sisi inilah sebenarnya kelemahan buku ini. Sidang pembaca tentu akan banyak berharap bahwa buku ini akan banyak bercerita tentang sosok pribadi Gus Dur, presiden baru Bangsa Indonesia di Era Reformasi. Provokasi judul yang dipilih setidaknya mengarah pada bayangan yang demikian. Nyatanya, buku ini lebih banyak bercerita konteks peristiwa kelima hal tersebut di atas secara lebih luas, sehingga sosok pemikiran Gus Dur secara lebih spesifik dan mendalam terasa terabaikan. Dalam uraian tentang kasus Banyuwangi yang ditulis hampir 50 halaman misalnya, Al-Zastrouw, penulis buku ini, lebih banyak mendeskripsikan data lapangan kasus Banyuwangi itu. Sementara, untuk memahami inti pemikiran Gus Dur dalam kasus ini pembaca sebenarnya hanya cukup mencermati alinea terakhir di ujung bab saja.

Terlepas dari kenyataan tersebut, bahwa fenomena buku ini cukup mampu menyedot animo pasar adalah sesuatu yang menarik. Ada semacam dugaan kuat yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia—atau setidak-tidaknya para pendukung Gus Dur—saat ini amat merindukan informasi-informasi menarik tentang Gus Dur dari orang-orang terdekatnya—demikian juga tentang tokoh-tokoh yang lain. Semacam catatan biografis. Kerinduan semacam ini bertolak dari suatu fakta lapangan yang menunjukkan bahwa betapa selama ini citra seorang tokoh, apalagi yang bermain di bidang politik, amat ditentukan oleh suatu konstruksi media massa. Tentang siapa Gus Dur, Amien Rais, Megawati, dan yang lainnya, orang-orang hanya dapat mereka-reka dalam pikiran mereka melalui informasi-informasi yang disusun sedemikian rupa oleh para juru disket. Hal ini sebenarnya tidaklah berarti kurang baik. Namun, orang-orang tentu akan sepakat bahwa media massa di era sibernetik ini bekerja dengan alas kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan, sebagian mungkin akan setuju bila dikatakan bahwa beberapa media bekerja di bawah kontrol kepentingan gurita kapitalisme-global atau kelompok kepentingan tertentu. Pun, keterbukaan pers yang seiring dengan tuntutan reformasi memang cukup berdampak positif, meski hal ini kadang menghadirkan euforia yang berlebihan dan tak jarang menyesatkan.

Dalam konteks yang demikian, buku ini sebenarnya merupakan sebuah awal yang cukup baik untuk lebih mengayakan wacana figur aktor politik di Indonesia. Semacam upaya transparansi kehidupan tokoh pada publik, sehingga publik memiliki referensi yang kaya untuk menilai. Dilihat dari segi isi, buku ini cukup bisa dikatakan suatu pembelaan atas kelima laku politik Gus Dur menjelang Pemilu ’99 tersebut. Atau, lebih tepatnya, suatu klarifikasi publik dan upaya membentuk komunikasi secara lebih cair. Pembelaan memang tidak terlalu perlu dilakukan. Gus Dur sendiri mungkin tidak suka hal itu. Bahkan, “...Tuhan pun tidak perlu dibela,” tulis Gus Dur pada pertengahan 1982 di Majalah Tempo. Apa yang dilakukan Al-Zastrouw melalui buku ini adalah semacam —dalam bahasa Gus Dur—“informasi dan ekspresi diri yang ‘positif-konstruktif’, dengan mendudukkan persoalan secara dewasa dan sewajarnya”.

Beberapa kalangan mungkin akan khawatir bahwa buku ini hanya akan menumpulkan kritisisme masyarakat terhadap Gus Dur, karena klarifikasi yang dilakukan memang cukup potensial untuk ditafsirkan sebagai suatu pembelaan. Tetapi, sosok Gus Dur sendiri sebenarnya memang problematik, bila dihadapkan dengan soal kritik atau oposisi. Persoalannya, Gus Dur sejak dulu sudah dikenal sebagai seorang oposan dan konsisten dengan perjuangan menegakkan hak-hak minoritas yang tertindas. Lagipula, Gus Dur juga seorang pemimpin umat (Islam-NU), sehingga cukup memiliki legitimasi yang kuat. Lalu, dari mana oposisi bisa diharapkan? Apakah kehadiran buku ini hanya akan lebih menumpulkan kritisisme yang amat perlu ditumbuhkan itu?

Mungkin, perlu ada buku-buku lain yang menulis tentang pemikiran Gus Dur secara lebih mendalam, terutama dari perspektif teoritis yang lebih canggih, lebih dari sekedar buku ini atau buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Bahaya Pemikiran Gus Dur (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999) yang lebih terkesan provokatif-doktriner itu. Perlu ada semacam wacana tandingan terhadap wacana-wacana yang telah disebarkan ini, tentu—dalam perspektif Foucault—dengan konsekuensi hantu-kuasa yang ikut mendekam di dalamnya. Kita tunggu saja, dan tidak perlu takut dengan bahaya hantu-kuasa itu. Sebab seperti kata Foucault, “Bila segala sesuatu ternyata berbahaya, setidaknya ada yang bisa kita lakukan.”

Tulisan ini dimuat di Majalah Balairung Edisi Khusus/TH. XV/1999.

Read More..

Senin, 08 November 1999

Lalu, Untuk Siapakah Agama itu?

Judul Buku : Tuhan Tidak Perlu Dibela (Kumpulan Kolom)
Penulis : Abdurrahman Wahid
Pengantar : Bisri Effendy
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 1999
Tebal : 270 + xlii halaman


Pertanyaan yang selalu saja muncul dalam sejarah perjalanan agama-agama adalah untuk siapakah sebenarnya agama itu “dibuat”? Apakah Tuhan adalah ibarat seorang raja, yang memiliki “kerajaan agama” sehingga perlu dibela dari berbagai rongrongan terhadap kekuasaan Sang Tuhan itu? Kalau memang demikian, mengapa Tuhan yang Mahasegalanya itu masih perlu dibela?

Dalam kenyataan sejarah, agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu. Konteks yang sedemikian lalu menyeret agama ke suatu wilayah yang cukup politis: ia menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok. Nama Tuhan, yakni “Sang Penguasa Agama”, dibawa-bawa ke sana kemari, mirip sebuah barang dagangan. Kalau sudah demikian kejadiannya, apakah yang terjadi sebenarnya bukan merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri?

Kolom-kolom “klasik” Gus Dur--panggilan akrab Abdurrahman Wahid--yang terkumpul dalam buku ini kurang lebih berusaha menyoroti peranan agama dalam masyarakat yang sedang mengalami berbagai proses perubahan--politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan--, seperti juga sekarang ini. Dalam tulisan-tulisan yang awalnya dimuat di Majalah Tempo ini, tercium kesan yang cukup kuat akan suatu kekhawatiran terjadinya perselingkuhan agama dengan sebuah kepentingan politik kelompok tertentu--yakni dengan mengatasnamakan agama, atau bahkan Tuhan--sehingga akhirnya melahirkan suasana politik kekerasan atau kekerasan politik dengan dalih agama.

Ajakan Gus Dur untuk tidak usah membela Tuhan yang diserukan pada pertengahan 1982 ini kurang lebih didorong semangat untuk menyadarkan kembali akan hakikat keberagamaan manusia. Agama pada awal kelahirannya selalu merupakan koreksi atas kecelakaan sejarah yang menindas manusia sekaligus martabat kemanusiaannya. Tetapi, perkembangan sejarah justru cenderung mengebiri watak profetis dari agama itu sendiri, sehingga lahirlah praktik-praktik kekerasan dengan suatu pengawalan dari patron (kekuasaan) politis. Menurut Gus Dur, hal ini terjadi karena akibat dari perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit. Pada orang-orang semacam ini, kesadaran pluralisme sama sekali diabaikan. Sebagai suatu instrumen dalam formasi non-diskursif--dalam istilah Michel Foucault--agama lalu melakukan represi terhadap berbagai nalar yang liar dengan ditopang oleh suatu tafsir tunggal terhadap formasi diskursif dari agama itu sendiri, yakni teks suci. Hal inilah yang kemudian melahirkan suatu pemandangan paradoks dalam sejarah agama-agama: agama yang mula-mula hendak menghidupkan martabat kemanusiaan justru menjadi pisau pembunuh kemanusiaan itu sendiri.

Gus Dur sangat tidak sepakat dengan politik pengatasnamaan Tuhan dalam laku politik umat Islam yang telah seringkali terjadi dalam sejarah politik Islam Indonesia. Alasannya sederhana saja: sebab Tuhan yang dibawa di situ adalah Tuhan-yang-berada-dalam-wacana, bukan Tuhan-yang-berada-di-luar-sana. Because the Truth is out there. Kebenaran yang menjadi legitimasi dalam kasus ini sudah masuk dalam wilayah kepentingan kelompok, bukan suatu Kebenaran-Transendental.

Dalam suasana yang sedemikian rumit ini, Gus Dur lalu menjunjung tinggi semangat penggalian otentisitas peran agama dalam masyarakat melalui sebuah kreativitas berpikir. Kalau ada kelompok tertentu yang menganggapnya sebagai tindakan liar--atau bahkan murtad--bagi Gus Dur lebih baik diserahkan kepada gerak sejarah. Klaim pembenaran terhadap diri sendiri mesti dihindari. Cukup diimbangi saja dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif konstruktif”, dengan mendudukkan persoalan secara dewasa dan sewajarnya. Dalam kasus pemikiran “dekonstruksionis” Ahmad Wahib atau gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid di tahun 1970-an, misalnya, Gus Dur betul-betul menghargai hal itu sebagai sebuah kreativitas manusia menghadapi tantangan zamannya. Seperti yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan ketika menggagas untuk mengumpulkan teks al-Qur’an yang semula berserakan; atau Imam Syafi`ie, ketika menyusun kembali metode pengambilan hukum agama dari al-Qur’an dan Hadits dengan membatalkan sejumlah metode lain yang mendahuluinya. Pun, seperti pernah dialami al-Ghazali sebelum dan sesudah menjadi sufi; al-Ghazali sebenarnya berubah dalam visi, tetapi tetap dalam keagungan ilmu karena mempertahankan hak untuk memeriksa segala teks agama melalui kemerdekaan berpikir, melalui sebuah kreativitas nalar. Di sinilah, penghargaan terhadap nilai kreativitas sebagai bentuk perjuangan (“jihad intelektual”) untuk lebih memanusiakan manusia betul-betul dijunjung tinggi.

Sebagai sebuah bagian dari “misteri Tuhan” yang cukup sulit diungkap, pikiran-pikiran kontroversial Gus Dur memang cukup menarik diikuti. Setidaknya, begitulah pengakuan Lance Castle--seorang pengamat asal Australia. Dan kalau kita ingin ikut memecahkan puzzle bernama Gus Dur, terutama dalam konteks reformasi politik saat ini, sebenarnya bisa dimulai dengan mencermati gagasan-gagasan klasik Gus Dur yang termuat dalam buku ini--yang kebanyakan ditulis pada tahun 1970-an hingga 1980-an. Buku yang diantarkan secara cukup panjang, kritis, dan cerdas oleh Bisri Effendy ini sekiranya dapat pula ikut meramaikan wacana politik Islam di Indonesia, terutama dalam konteks yang begitu luas antara bingkai keagamaan, kebangsaan, serta kebudayaan.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 7 November 1999.

Read More..