Judul buku: Prinsip-Prinsip Etika: Landasan Teori untuk Memecahkan Kasus-Kasus Dilema Moral
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: xvi + 182
Dalam menghadapi arus kehidupan yang membuat orang terombang-ambing, pada akhirnya manusia membutuhkan pegangan untuk memandunya mengambil keputusan. Bagi sebagian besar kalangan, moralitas diyakini dapat berperan membantu memberikan panduan.
Moralitas itu sendiri dapat digali dari beragam sumber. Agama, misalnya, mengajarkan norma-norma moral. Namun berbagai sumber moral yang melahirkan norma-norma moral itu tidak serta merta bisa langsung dijadikan panduan praktis saat situasinya masuk pada hal yang bersifat dilematis. Dilema moral membutuhkan pendekatan yang berbeda yang tak cukup dari hal yang semata bersifat normatif.
Pada titik inilah dibutuhkan refleksi filosofis tentang moral yang dalam ranah filsafat akrab dikenal dengan istilah “etika”. Dalam pengertian ini, etika bersifat lebih terbuka dan reflektif, tak seperti moral yang cenderung normatif atau imperatif.
Buku ini membahas beberapa tema yang termasuk prinsip-prinsip etika. Dalam lima bab, Haryatmoko, penulis buku ini, menjelaskan aspek praktis dari beberapa teori etika untuk menjadi kerangka pandang dalam menjawab persoalan nyata sehari-hari. Dari sini, sudah jelas terlihat kelebihan buku ini: bahwa buku ini tidak ingin menjadi buku yang membahas filsafat moral (etika) pada tataran yang abstrak saja, tapi juga mengangkat masalah-masalah nyata, khususnya juga dalam konteks Indonesia.
Selain bab pertama yang memberi pengantar umum tentang apa itu etika dan ruang lingkup dasarnya, empat bab berikutnya dari buku ini membahas beberapa tema pokok etika, yakni perkembangan kesadaran moral menurut Lawrence Kohlberg, aliran deontologi Immanuel Kant, etika keutamaan Aristoteles dan MacIntyre, utilitarianisme Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, etika proporsionalisme Richard MacCormick, etika altruis Emmanuel Levinas, dan etika komunikasi digital.
Saat menguraikan pemikiran Kohlberg yang sudah menjadi klasik, uraian dalam buku ini saya lihat mengungguli buku-buku lain dalam bahasa Indonesia yang membahas tema serupa. Buku-buku lainnya misalnya lebih banyak mencukupkan pada uraian pemikiran Kohlberg dengan beberapa kasus yang ditelitinya.
Buku Fahruddin Faiz yang berjudul Filsafat Moral (Mizan, 2024) misalnya secara cukup jernih menguraikan pemikiran Kohlberg tersebut dalam sekitar 30 halaman, seperti juga Haryatmoko menghabiskan jumlah halaman yang sama dalam memaparkan Kohlberg. Bedanya, Haryatmoko dalam buku ini memberi contoh yang cukup detail pada setiap tahapan dalam konteks kehidupan sehari-hari di Indonesia, termasuk juga bentuk-bentuk latihan untuk mencapai tahapan moral tertentu.
Buku Franz Magnis-Suseno berjudul 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Kanisius, 2000) juga menyediakan satu bab untuk menguraikan pemikiran Kohlberg tapi tidak melampaui keluasan uraian yang disajikan oleh Haryatmoko dalam buku ini.
Dengan demikian, aspek terapan dalam buku Haryatmoko ini menjadi sangat terlihat jelas, meski Haryatmoko sama sekali tidak menyinggung salah satu subdisiplin filsafat moral yang dalam lima puluh tahun terakhir ini juga berkembang pesat, yakni etika terapan (applied ethics). Pendekatan yang bersifat terapan dalam membahas tema-tema etika dalam buku ini juga terlihat pada uraian tentang utilitarianisme. Pada bagian ini, Haryatmoko mengangkat contoh dilema dan masalah moral dalam kasus konflik antara nelayan dan perusahaan minyak yang juga melibatkan otoritas pemerintah (hlm. 100-104). Pada contoh ini, Haryatmoko menguraikan cara utilitarianisme membuat perhitungan yang cenderung kuantitatif untuk sampai pada kesimpulan dan keputusan tindakan tertentu yang dianggap paling bermoral.
Selain tema-tema klasik dalam filsafat moral seperti pemikiran Kohlberg dan utilitarianisme tersebut, Haryatmoko juga membahas tema kekinian di bab terakhir, yakni tentang komunikasi digital. Aspek teoretis-konseptual pada bagian ini memang tidak sekental bagian-bagian sebelumnya. Namun tampak jelas bahwa Haryatmoko berusaha mengupas masalah-masalah moral dalam konteks dunia digital saat ini dengan cara yang cermat dan pendekatan yang cukup filosofis.
Sejak awal membaca buku ini, mulai dari bagian pengantar, ada kesan bahwa buku ini disusun sebagai bahan ajar untuk perkuliahan tertentu. Namun sayangnya, jika dibaca dengan lebih teliti, ada beberapa hal dalam buku ini yang sebenarnya masih bisa diperbaiki. Dalam kata pengantar, saya menemukan penulisan huruf kapital yang rasanya keliru, ketika kata “Penulis” di tengah kalimat beberapa kali diawali dengan huruf kapital. Salah ketik saya temukan di halaman 78, paragraf kedua. Sementara itu, gaya bertutur buku ini terkesan seperti gaya berbicara.
Selain itu, ada hal yang cukup substansial yang mengganggu saat saya membaca uraian tentang pemikiran Kohlberg. Meski Haryatmoko menunjukkan keberaniannya untuk mengangkat contoh yang mungkin cukup kontroversial, seperti LGBT (hlm. 38), namun saya cukup kecewa karena pada bagian ini dia tidak menyinggung kritik terhadap pemikiran Kohlberg yang juga sudah cukup terkenal, yakni yang dilontarkan oleh Carol Gilligan dalam buku In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (1982) yang versi bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf (1997). Suara kritis dalam menilai teori Kohlberg tersebut menurut saya mestinya penting dijelaskan, agar pembaca bisa melihat lebih detail dinamika pemikiran diskursus etika secara lebih kaya.
Terlepas dari beberapa kekurangan di atas, buku yang ditulis oleh Romo Moko—panggilan akrab Haryatmoko—ini sangatlah berharga untuk memperluas diskursus moralitas dengan pendekatan filosofis tetapi bernuansa terapan dan praktis. Pendekatan yang cukup praktis ini membuat buku ini relatif lebih mudah diakses pembaca yang lebih luas, tak hanya peminat filsafat. Lebih jauh, harapannya nanti akan terbit buku-buku lain bertema filsafat moral yang bersifat populer dan praktis yang mungkin akan berguna untuk dijadikan sandaran menjalani kehidupan yang lebih baik.
Jumat, 31 Januari 2025
Bersandar pada Refleksi Moral
Kamis, 30 Januari 2025
Nasib Koran dan Nostalgia Lampu Merah Adisucipto
Kalau Anda berada di sekitar Indomaret Papringan, Yogyakarta, dekat kampus Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (dulu bernama Instiper), yang juga dekat dengan kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekitar pukul 9 pagi, mungkin saja Anda akan melihat seorang perempuan paruh baya berjalan dari arah Jalan Laksda Adisucipto. Pakaiannya sederhana. Jalannya, maaf, pincang, dengan topi capil di kepalanya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi.
Anda dapat memastikan bahwa perempuan itu adalah yang saya maksud bila ia membawa koran-koran sambil berjalan pelan ke arah Jalan Ori atau kadang terus lurus di Jalan Petung. Meski dalam sekitar setahun setengah ini saya jarang berpapasan dengannya, tapi seingat saya, dia selalu membawa (sisa-sisa) koran dalam perjalanannya ke arah Papringan.
Ya, dia adalah penjual koran di pertigaan Laksda Adisucipto dekat kampus UIN Yogyakarta. Saya masih mengenalinya, seperti sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu saat saya sering melihatnya di lampu merah pagi-pagi. Dulu, dia berjualan koran bersama seorang perempuan yang lebih tua—mungkin ibunya. Seingat saya, dulu ada juga penjaja koran laki-laki di lampu merah itu.
Saya membayangkan, betapa setianya dia menjadi penjaja koran hingga lebih dari 20 tahun di situ. Dulu, saat masih menjadi mahasiswa jenjang sarjana dan masih aktif menulis di media massa, pagi-pagi saya dan juga beberapa rekan penulis dari kampus UIN Yogyakarta biasa mendatangi penjaja koran entah itu di lampu merah tersebut, atau di kios koran Batas Kota dekat Hotel Saphir, atau di kios dekat pertigaan Jalan Bimokurdo. Kami menumpang ngintip, mencari tahu, tulisan siapa yang dimuat di koran hari itu.
Itu sekitar akhir tahun 1999 hingga 2002, saat saya cukup aktif mengirimkan tulisan ke media massa. Dari UIN Yogyakarta, banyak sekali penulis-penulis yang aktif menulis di media massa. Rubrik yang paling banyak dituju adalah resensi buku. Selain bisa mendapatkan honor, tulisan resensi buku yang dimuat di media dapat diajukan ke penerbit untuk mendapatkan reward buku—bahkan juga reward lainnya.
Saat beberapa bulan yang lalu saya berpapasan dengan perempuan penjaja koran itu di perempatan Jalan Ori, saya membeli koran Kompas—meski saya sudah berlangganan epaper Kompas. Saya mencium baru kertasnya yang khas, dan saya kemudian terpikir tentang nasib koran di era digital.
Setidaknya dalam satu tahun terakhir, sejak awal 2024 hingga sekarang, saya nyaris tak pernah bertemu dengan Harian Kompas yang terbit lebih dari 16 halaman. Rubrik-rubriknya jadi minimalis. Tak ada lagi rubrik tinjauan buku di versi cetak. Bahkan, di versi online/digital pun, rubrik tinjauan buku jarang muncul.
Ya, nasib koran cetak sungguh telah banyak berubah. Tak seperti 20 tahun yang lalu. Saya ingat, di antara tahun 2000 hingga setidaknya 2002, Kompas sering terbit hingga 48 halaman, dengan alokasi rubrik yang beragam. Rubrik opini pun diberi ruang yang lebih banyak daripada biasanya yang hanya 2 halaman. Demikian pula rubrik tinjauan buku, yang untuk Kompas waktu itu berada dalam satu manajemen dengan rubrik opini. Ruang untuk resensi buku pun waktu itu tidak hanya muncul setiap hari ahad. Bahkan, dalam satu pekan, kadang sampai empat hari ada resensi buku yang dimuat di Kompas. Tentu saja ini juga menjadi berkah bagi penulis-penulis dari kalangan mahasiswa seperti saya waktu itu yang memang cukup mengandalkan pendapatan dari honor menulis untuk hidup di Yogyakarta.
Semakin susutnya halaman koran cetak, saya yakin itu juga menunjukkan banyak hal lainnya. Saya amati, iklan di koran Kompas pun juga semakin sedikit. Bahkan cukup sering saya lihat iklannya adalah iklan internal, iklan sendiri, entah dari Harian Kompas sendiri, atau Gerai Kompas (yang menjual produk buku, dan semacamnya), atau divisi Kompas yang menggelar kegiatan pelatihan dan semacamnya.
Saya pikir itu berarti geliat usaha media cetak semakin surut. Kita tahu, beberapa tahun terakhir telah banyak media massa yang undur diri dari versi cetak, dan hanya terbit dalam versi digital/website.
Tentu saja, pendapatan penjaja koran di tengah susutnya media cetak juga terancam. Variasi media cetak turun drastis. Pembelinya juga sangat mungkin semakin berkurang—entah karena adanya alternatif versi digital, menurunnya minat membaca media cetak, berkurangnya mahasiswa yang dulu juga menjadi “pelanggan” meski tidak setiap hari, dan semacamnya.
Suatu hari, beberapa bulan yang lalu, saat kalender menunjukkan hari libur nasional, saya duduk-duduk di angkringan depan kos Astra Seroja di Papringan. Waktu itu sekitar pukul 9 pagi. Bersama saya, ada seorang bapak, pensiunan karyawan di Universitas Negeri Yogyakarta. Sekitar 10 menit berbincang, perempuan penjaja koran itu tampak muncul dari arah barat, di pintu masuk Jalan Ori I, berjalan ke arah timur, mendekat ke angkringan tempat saya nongkrong.
Saat mendekat, si bapak memanggil perempuan itu, menanyakan koran yang terbit di hari itu, dan membelinya. Si bapak tak menerima uang kembalian, malah memberinya bonus nasi bungkus angkringan dan dua tempe. Si perempuan tersenyum gembira.
Saya pikir, si bapak juga tahu, bahwa penjaja koran di era sekarang menghadapi tantangan hidup yang tidak mudah. Mungkin si perempuan penjaja koran itu tak punya pilihan pekerjaan lain selain menjual koran. Ya, dia tak punya banyak kebebasan. Dia menapaki jalan takdirnya—dengan kesunyiannya, dengan ketabahannya.
Label: Daily Life
Rabu, 29 Januari 2025
Moralitas dan Strategi Berpikir Jernih
Judul buku: The Art of Clear Thinking: Siasat Menghadapi Sesat Pikir
Penulis: Patrick King
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: vi + 156 halaman
Apakah berpikir masih menjadi isu yang penting di tengah makin berkembangnya berbagai bentuk perkakas kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang semakin mudah diakses belakangan ini? Apakah keterampilan berpikir masih perlu terus diupayakan dan dikembangkan serta perlu diperkuat dalam agenda kependidikan dan kebudayaan kita?
Jika berpikir dianggap penting, lalu pertanyaan berikutnya: berpikir yang bagaimana yang bernilai penting bagi kita khususnya di era AI saat ini? Patrick King, penulis buku The Art of Clear Thinking ini, mengemukakan bahwa ada banyak bentuk kegiatan berpikir. Ada berpikir cepat, berpikir reaksioner, berpikir sederhana, berpikir rumit, dan sebagainya. Apakah semuanya penting untuk mendapatkan perhatian?
Menurut King, di tengah banjir informasi yang kian tak terbendung, yang kita perlukan saat ini adalah berpikir jernih (clear thinking). Otak kita secara naluriah cenderung untuk berpikir cepat, mengabaikan akurasi yang sebenarnya bernilai lebih penting daripada kecepatan, sehingga akhirnya kita terjatuh pada sesat pikir. Berpikir jernih kurang lebih serupa dengan apa yang selama ini sering juga disebut dengan berpikir kritis (critical thinking). Dalam pengertian yang paling sederhana, berpikir jernih adalah berpikir untuk menemukan kebenaran objektif.
Dengan pengertian ini, berpikir jernih berarti upaya untuk keluar dari jebakan subjektivitas dan menempatkan bukti, fakta, data, dan argumen sebagai pedoman dalam mencapai kesimpulan. Dalam buku ini, King membahasakan subjektivitas dengan istilah “ego”, sebuah istilah yang juga sudah cukup populer.
Dalam empat bab, King memaparkan seni berpikir jernih dengan gaya bertutur yang lincah dan mudah dicerna. Pada bab pertama, King memulai dengan pentingnya kejujuran intelektual untuk meraih pikiran yang jernih. Untuk melawan godaan ego (subjektivitas), sangatlah penting untuk berkomitmen pada kejujuran. King menggambarkan ego sebagai wujud alamiah dari sistem pertahanan pada diri subjektif sehingga wajar bila ia sering tidak disadari. Cara berpikir ego-subjektif dapat berupa penyangkalan atau rasionalisasi (akal-akalan atau cari-cari alasan dan pembenaran).
Komitmen pada kejujuran diharapkan dapat merobohkan pertahanan ego-subjektif dalam berbagai bentuknya. Kejujuran intelektual, tulis King, adalah “komitmen untuk menemukan kebenaran, secara utuh, tanpa syarat, apa pun risikonya” (hlm. 13). Kejujuran intelektual menjaga proses berpikir dari bias, prasangka, dan juga emosi. King menguraikan bentuk-bentuk ketidakjujuran intelektual secara cukup teperinci agar komitmen pada kejujuran dapat menemukan jalan strateginya saat beraksi dalam kegiatan berpikir (hlm. 18-24). Misalnya, King menerangkan tiga penghalang umum untuk berpikir jujur, yakni kemalasan intelektual, ketidaktahuan yang disengaja, dan ketidakmampuan bersikap kritis dalam menghadapi otoritas kebenaran tertentu.
Pada bab yang kedua King berfokus pada bentuk-bentuk penghalang subjektif. Bab kedua diberi judul “(Jangan) Percayai Insting Anda”. Serupa dengan insting yang dibiarkan apa adanya serta tidak disikapi secara kritis, ada empat hal yang dapat meneguhkan subjektivitas kita dalam berpikir, yaitu perasaan, perspektif, persepsi, dan ingatan. Dalam proses berpikir, keempat hal ini menurut King haruslah ditempatkan secara proporsional.
Perasaan atau emosi bukanlah fakta. Realitas itu netral, tapi emosi akan “membuat Anda memandangnya dalam cara tertentu” (hlm. 41). Bila dikuasai emosi, itulah saat yang tepat untuk segera mengambil jarak dalam melihat kenyataan dan mencoba berpikir dengan jernih. Sedangkan persepsi sering menjebak kita pada bias tertentu, entah itu bias ketersediaan, bias rasionalisasi agar tidak merasa menyesal, dan sebagainya (hlm. 52-55).
King menawarkan beberapa strategi untuk menghindar dari bias-bias semacam ini, yakni strategi mencari penjelasan alternatif, mengubah pernyataan menjadi pertanyaan, dan menantang asumsi-asumsi yang tersembunyi. Secara umum, King menekankan bahwa tameng berpikir jernih agar tidak tercebur pada subjektivitas di antaranya adalah memahami hukum-hukum dasar logika. Sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang cara kerja pikiran, logika diperlukan agar pikiran tidak terseret godaan subjektivitas. Dalam buku ini, King membahas beberapa hukum dasar logika sebagai contoh cara logika menghalangi kuasa subjektivitas (hlm. 65-72).
Pada bab ketiga, King membahas tentang pikiran terbuka. Untuk dapat berpikir dengan jernih, kita memerlukan pikiran yang terbuka. Berpikiran terbuka berarti kesediaan kita untuk mendengarkan bukti dan argumen dan tidak terburu-buru membuat penilaian instan. King juga mengingatkan bahwa pikiran kita kadang dipengaruhi oleh dimensi sosial atau hal-hal di sekitar kita. Pada bagian ini, King membahas bias konformitas yang merupakan temuan riset Solomon Asch dan psikologi kepatuhan dari Stanley Migram (hlm. 100-106). Dua teori ini kurang lebih menjelaskan bahwa kita terkadang tidak berpikir jernih karena ikut-ikutan, takut dipandang berbeda, dan lari dari tanggung jawab. Semua itu kemudian menyeret kita menjauh dari fakta dan kebenaran.
Di bab terakhir, King mengajak pembaca untuk belajar berpikir jernih dari para pemikir besar dalam sejarah. Pada bagian ini, King menghadirkan lima tokoh lintas-masa, yakni Elon Musk, Charles Darwin, Rene Descartes, Albert Einstein, dan Sokrates. Kelima tokoh ini mewakili keragaman kontribusi mereka dalam mengembangkan model berpikir yang selaras dengan cita-cita berpikir jernih.
Keterampilan berpikir jernih dibutuhkan oleh siapa saja. Profesi apapun, semua membutuhkan landasan pikiran yang jernih. Bahkan, menjalani keseharian pun membutuhkan pikiran jernih. Pikiran yang jernih dapat menuntun pada informasi yang benar dan keputusan tindakan yang tepat. Banjir informasi cenderung membawa sampah yang dapat ikut menggenangi pikiran. Itu harus disingkirkan—di antaranya dengan keterampilan berpikir jernih.
Dalam buku ini King tidak saja membagikan kiat-kiat atau strategi berpikir jernih. Teknik dan strategi dijelaskan dengan contoh-contoh yang membuatnya semakin terang. Lebih jauh, King juga memberi fondasi berpikir jernih pada aras moralitas. Moralitas di sini dalam arti sikap batin, yakni sikap batin yang dibutuhkan dalam mencari kebenaran. Secara eksplisit, King meletakkan moralitas berpikir yang paling mendasar pada bab pertama, yakni kejujuran intelektual. Pada bagian-bagian berikutnya, eksplisit dan juga implisit, King juga menekankan pentingnya sikap rendah hati dalam membaca pandangan orang lain.
King juga berbicara tentang risiko dari pencarian atas kebenaran, yang itu berarti bahwa pencarian kebenaran membutuhkan keberanian. Kita tahu, kebenaran kadang mengantarkan kita pada risiko yang pahit yang terkadang disangkal oleh orang-orang yang masih terkurung dalam subjektivitas egoistis
Buku ini tergolong bacaan populer dalam mempertajam keterampilan berpikir. Kalau Anda membaca buku-buku teks logika formal, Anda mungkin saja akan merasa bosan dan perlu mengerutkan dahi. Buku ini tersaji untuk pembaca umum, tidak saja untuk mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah “Logika Dasar”. Buku-buku populer tentang keterampilan berpikir seperti ini sangat penting dan berharga terutama untuk konteks sekarang, saat informasi semakin berlimpah dan kecenderungan manusia yang terobsesi pada kecepatan dan mengabaikan akurasi yang merupakan dasar bagi kebenaran.
Meski saat membaca buku ini saya tidak menggunakan “mode editor”, saya dapat simpulkan bahwa penyuntingan buku ini cukup bagus. Salah ketik hanya saya temukan di halaman 111 paragraf kedua, baris kedua. Sedangkan terkait soal substansi, saya agak terganggu pada bab keempat saat King memasukkan Elon Musk dalam daftar tokoh yang dianggap “pemikir terhebat dalam sejarah” dalam hal “metode berpikir” (hlm. 109).
Empat tokoh lainnya tak ada masalah. Sokrates jelas dalam sejarah filsafat Barat diakui sebagai filsuf yang memelopori metode berfilsafat. Descartes dipandang sebagai pelopor filsafat modern yang kontribusinya tak diragukan dan jelas jejak pemikiran dan gagasannya. Einstein dan Darwin juga mempunyai jejak rekam gagasan yang jelas dan pengaruh yang signifikan khususnya dalam bidang sains. Tapi Musk? Metode berpikir? Rasanya lebih ke hal teknis-strategis dalam hal inovasi dan pengembangan bisnisnya. Sesuatu yang relatif cukup sempit. Dan lagi, kejelasan, kedalaman, dan pengaruh strateginya belum cukup teruji. Belum lagi jika Musk dilihat dari sisi kontroversialnya dalam konteks politik di Amerika saat ini untuk mencermati seberapa jernih dia berpikir untuk masalah-masalah yang diamati, dikomentari, dan disikapinya.
Selain itu, hal yang juga cukup mengganggu saya adalah saat King membahas tentang penyimpulan langsung dengan cara konversi (hlm. 69-70). Dalam disiplin logika, konversi adalah menarik kesimpulan dengan membalikkan atau menukar term subjek dan predikat. Namun, dalam logika, prosesnya tidak berhenti di situ. Ada norma bahwa jika proposisi universal afirmatif dikonversi, maka kesimpulannya harus berbentuk partikular afirmatif. King mengabaikan hal itu, dan menyatakan bahwa penyimpulan konversi ini membuahkan argumen yang cacat.
Namun demikian, saya percaya bahwa pembaca yang sejak awal berusaha membaca buku ini dengan jernih tak akan dengan mudah menerima poin-poin gagasan dalam buku ini begitu saja. Pembaca yang menerapkan mode membaca dengan seni berpikir jernih mungkin akan cukup mampu untuk menyaring serpihan-serpihan gagasan dalam buku ini yang bisa saja sebenarnya masih perlu dibersihkan dari bentuk-bentuk bias atau bahkan mungkin sesat pikir.
Wallahu a’lam.