Selasa, 27 November 2001

Adonan Identitas Di Antara Mi dan Jilbab


Judul Buku: Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global
Penulis: Monika Eviandaru, dkk
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2001
Tebal: 148 halaman


Globalisasi ekonomi memang tidak semata-mata gejala sosial dan ekonomi. Berbagai produk globalisasi yang bersifat material maupun yang bersifat struktural telah memberikan sejumlah efek domino yang menyentuh berbagai sisi kehidupan umat manusia, baik pada level komunitas sosial maupun pada tingkat individu. Pola-pola relasi sosial antar-manusia dan atau dengan produk-produk iptek juga mengantarkan manusia (individu) pada suatu definisi baru tentang identitas mereka.
Salah satu perubahan penting yang mengiringi proses globalisasi adalah hadirnya media massa yang juga secara efektif menjadi media promosi. Kehadiran iklan telah mampu mengubah definisi “kebutuhan” dan lebih jauh lagi definisi “identitas”. Sesuatu produk dapat menjadi sebuah “kebutuhan” hanya karena gencarnya efek iklan, dan sebuah produk dapat mencitrakan “identitas” tertentu bagi pemakainya.
Buku bagus ini adalah sebuah penelitian tentang politik ekonomi dan kebudayaan mi instan serta jilbab di kalangan masyarakat Indonesia. Buku ini berusaha menjawab soal pengaruh dua produk komoditi pop itu terhadap pembentukan identitas dan pemaknaan masyarakat Indonesia terhadap situasi perubahan tersebut.
Kehadiran mi instan menjadi menarik ketika 67,5% dari 494 responden yang diambil di Bogor, Semarang, Solo, dan Yogyakarta, mengaku mempunyai persediaan beberapa bungkus mi instan di rumah mereka, dan 87% telah mengkonsumsi mi instan lebih dari 6 tahun. Indonesia sendiri saat ini adalah produsen mi instan kedua terbesar di dunia setelah Cina daratan, dan pada tahun 2000 jumlah mi instan (dari bahan gandum) yang terjual di Indonesia diperkirakan mencapai 8,6 miliar bungkus.
Sejarah memasyarakatnya mi instan yang notabene dibuat dari bahan dasar gandum ini adalah ketika di awal Orde Baru pemerintah mengalami kesulitan bahan pangan (beras) yang cukup berat, sehingga pemerintah memperkenalkan suatu produk pangan baru yang ketika itu menjadi “cita rasa dunia pertama” (Amerika).
Selanjutnya, pencitraan yang dilakukan secara massif melalui iklan—terutama di media televisi—telah betul-betul cukup efektif mensosialisasikan mi instan. Ada beragam cara iklan membujuk konsumen Indonesia untuk mengkonsumsi produknya, mulai dari pencitraan mi instan sebagai makanan keluarga, makanan yang “lintas batas kelas sosial” (kalangan ABG, kelas atas/eksekutif, atau kelas bawah), penggunaan simbol-simbol agama, hingga penggunaan lagu nasional yang dimodifikasi.
Sebagai sebuah corak makanan global, mi instan hadir dengan penuh dilekati gagasan-gagasan “modern”. Sisi praktis mi instan sehingga ia dapat dengan mudah disajikan oleh siapa saja—termasuk oleh laki-laki—seperti tidak mengharuskan perempuan menghabiskan waktunya untuk berada di dapur, sebagaimana selama ini dikonstruksikan.
Selain itu, muncul pula pergeseran persepsi tentang definisi “makan”, yang selama ini hampir selalu harus melibatkan unsur nasi. Nasi atau bukan nasi lalu tak lagi begitu penting, seperti bergizi atau tidak bergizi tak lagi begitu dipikirkan (24,9% responden mengakui bahwa kandungan gizi mi instan masih kurang, sehingga 49,5% masih perlu menambahkan telur/daging dalam penyajiannya). Kepentingan utama untuk mengkonsumsi makanan modern ini adalah sejauh praktis, efisien, dan kenyang. Ini adalah bagian dari strategi kerja normalisasi tubuh manusia, yakni ketika tubuh dilihat sebagai bagian dari sumber daya manusia yang harus disiplin dan produktif sesuai dengan kaidah-kaidah modernitas.
Sementara jilbab, dalam buku ini dilihat sebagai bagian dari produk komoditi pop. Bagian yang awalnya merupakan penelitian Karen E Washburn ini berusaha menelusuri cara profil (tiga) perempuan (Jawa) memaknai jilbab dalam kehidupannya. Jilbab pertama-tama memang merupakan suatu bentuk lambang identifikasi orang Islam, tapi dari penelitian ini terungkap beragam cara pemaknaan yang unik.
Ada yang memandang jilbab sebagai simbol tidak mempunyai arti dalam dan personal dalam dirinya, dan kadang malah membawa diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ada yang sebaliknya, memandang jilbab sebagai tanda bahwa pemakainya adalah muslim yang baik serta dapat menjadi alat kontrol diri. Ada pula yang melihat jilbab (dan berikutnya cadar) sebagai suatu transformasi personal dan total.
Beragam pemaknaan, baik terhadap mi instan maupun jilbab, yang tampak dari penelitian ini menunjukkan bahwa para konsumen makanan dan pakaian itu telah mengalami, memahami, dan menilai komoditi modern tersebut sebagai bagian dari pengalaman otonomi (identitas) baru yang memberdayakan. Dari sinilah, diharapkan otonomi ini dapat menentukan cara mereka menentukan keputusan-keputusan penting di bidang ekonomi, sosial, politik, atau budaya.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gamma, 31 Desember 2001.


Read More..

Senin, 19 November 2001

Bimbingan Praktis Berfilsafat

Judul buku : Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal
Penulis : Mark B. Woodhouse
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2000
Tebal : 240 halaman (tanpa indeks)


Orang yang mendengar kata ‘filsafat’ akan menanggapi dengan sikap yang bermacam-macam. Seringkali filsafat diasosiasikan dengan sesuatu yang berbau pemberontakan, sehingga kemudian terdengar agak ‘menyeramkan’. Secara keliru, filsafat dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang berbau mistik. Sayangnya, berbagai pandangan itu tidak didasarkan pada suatu pengetahuan yang memadai, sehingga ia sebenarnya hanyalah prasangka-prasangka tak berdasar.

Yang lebih mengherankan adalah pandangan yang menganggap aktivitas berfilsafat sebagai sesuatu yang tidak berguna. Filsafat dianggap berbicara tentang sesuatu dengan terlalu abstrak, sehingga seperti mengajak orang melayang tanpa menjejakkan kakinya di bumi. Kesan seperti ini semakin parah karena ungkapan-ungkapan filsafat dianggap terlalu rumit dan absurd.

Buku ini adalah sebuah upaya cerdas penulisnya untuk menepis segala atribut miring yang dilekatkan kepada filsafat itu, terutama anggapan bahwa filsafat tidak bersifat praktis dan terlalu teoritis. Melalui buku ini pembaca yang masih awam filsafat diajak berkenalan dengan filsafat dengan titik tekan pada pembentukan kemampuan praktis berfilsafat—meski mungkin hanya amatiran—tanpa harus banyak meneliti persoalan-persoalan spesifik dalam cabang filsafat tertentu atau pemikiran-pemikiran dalam aliran filsafat yang begitu beragam.

Buku ini terdiri dari tujuh bab dan apindeks tentang sejarah dan pemikiran para filsuf plus glosarium istilah-istilah penting. Dua bab pertama membahas tentang objek pembahasan dan kegunaan filsafat.

Dalam dua bab awal yang menjadi semacam pengantar teoritik terhadap masalah-masalah filsafat ini, Mark B. Woodhouse menjelaskan bahwa permasalahan filsafat mencakup pertanyaan-pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan logis di antara ide-ide dasar yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu-ilmu empiris (hlm. 15). Filsafat tidak berhubungan secara langsung dengan dunia empiris. Filsafat lebih berkaitan dengan ide-ide mendasar (seperti ide tentang keadilan, kebahagiaan, cinta, dan sebagainya) dengan menekankan kepada makna dan hubungan logis di antara premis-premis yang dibangun, sehingga filsafat selalu berusaha menembus partikularitas fakta empiris (hlm. 25).

Termasuk pula dalam hal ini adalah masalah asumsi-asumsi tersembunyi yang diandaikan dalam setiap pernyataan. Filsafat tidak menghentikan penyelidikannya pada dataran fakta empiris yang dangkal. Pemikiran filsafat selalu berusaha untuk menyeberangi dan melampaui fakta, masuk ke palung samudera hakikat realitas yang tak terjamah ilmu-ilmu khusus. Dengan cara ini, pemahaman terhadap realitas dapat bersifat lebih umum, mendasar, dan mencapai hakikat yang terdalam.

Selain kehendak untuk menemukan kebenaran tertinggi (the ultimate truth) filsafat juga memiliki kegunaan praktis yang lebih jelas. Woodhouse menegaskan bahwa kegiatan berfilsafat dapat membiasakan seseorang untuk bersikap mandiri secara intelektual, lebih toleran terhadap perbedaan sudut pandang, dan semakin membebaskan diri dari dogmatisme (hlm. 47). Memang, hal-hal yang tersebut tidak semata-mata ditemukan hanya dalam aktivitas berfilsafat. Akan tetapi, cara kerja filsafat yang merayakan kebebasan intelektual serta menuntut kesetiaan kepada kekuatan dan keruntutan argumen menjadikan filsafat sebagai alternatif terbaik untuk mencapai maksud tersebut.

Implikasi yang lebih jauh dari kegiatan berfilsafat adalah terbitnya rasa kepekaan terhadap hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya (hlm. 50). Filsafat mengajarkan sikap hati-hati terhadap hal-hal yang dianggap remeh-temeh. Asumsi-asumsi apriori yang dibiarkan menggelantung dalam pikiran dibongkar. Dengan cara pandang ini, tak berlebihan bila beberapa orang memandang filsafat terkesan hendak membongkar tatanan realitas yang telah mapan.

Dalam bab ketiga hingga kelima, Woodhouse sudah mulai mengajak pembaca untuk langsung berfilsafat. Sebelumnya, Woodhouse mengemukakan bahwa dalam berfilsafat ada beberapa langkah persiapan yang harus diperhatikan (hlm. 57). Misalnya, filsafat membutuhkan sikap batin yang khas: keberanian menguji sesuatu secara kritis, kesediaan mengajukan hipotesis sebagai tanggapan awal, tekad untuk menempatkan nilai kebenaran sebagai ukuran, dan kemampuan untuk memisahkan kepribadian seseorang dari materi yang dibicarakan. Berfilsafat juga mesti dikembangkan melalui praktik. Karena itu, ketika seseorang sedang belajar filsafat sebenarnya ia telah memulai berfilsafat. Dua sisi peran filsafat juga harus diingat dengan baik, bahwa ia mengemban fungsi kritis sekaligus konstruktif.

Pada tiga bab ini Woodhouse memberikan jurus-jurus ampuh dan sistematis untuk secara praktis membedah suatu persoalan dengan pendekatan filsafat. Pada bagian inilah sebenarnya cara kerja filsafat dikemukakan secara lebih rinci. Beberapa garis besar pertanyaan filsafat yang dapat diterapkan kepada suatu fakta empiris diuraikan secara baik, seperti pertanyaan apakah premis-premis yang dikandung sudah benar?, apakah konsekuensi logisnya dapat diterima?, apakah istilah-istilah kunci sudah terpahami secara benar?, dan sebagainya.

Dua bagian terakhir adalah imbuhan kemampuan praktis lainnya yang juga dibutuhkan dalam kegiatan berfilsafat, yakni tentang bagaimana cara membaca karya filsafat dan cara menulis karangan filsafat.

Sebagai buku pengantar tentang filsafat, buku ini memiliki beberapa kelebihan dibanding buku yang lain. Pertama, dengan menekankan aspek praktis Woodhouse menepis anggapan bahwa filsafat hanya bergelut dengan masalah-masalah teoritik yang abstrak. Kedua, karena mengedepankan pendekatan praktis, maka proses internalisasi kepada pembaca berlangsung secara lebih efektif. Apalagi Woodhouse melengkapi uraian-uraiannya dengan contoh dan pertanyaan-pertanyaan yang diikuti dengan jawabannya. Ketiga, secara tidak langsung Woodhouse mengajak pembaca—terutama orang yang telah bergelut dengan dunia filsafat—untuk menegaskan sisi praktis dari filsafat.

Namun, penting dicatat bahwa setiap usaha menjelaskan filsafat nyaris selalu terjebak ke dalam pemihakan epistemologis tertentu. Meski sejak awal Woodhouse sudah berusaha menghindar dari pemihakan ideologis, akan tetapi, dalam mendefinisikan filsafat, secara epistemologis Woodhouse tampak lebih berpihak kepada aliran rasionalisme yang mementingkan koherensi antar-ide tinimbang kesesuaian faktual.

Selain itu, pada bagian lain, terdapat suatu kejanggalan teoritik dalam pemikiran Woodhouse, ketika di awal ia menghendaki uraiannya lebih menekankan sisi praktis, sementara pada bagian lain Woodhouse mengatakan bahwa aktivitas berfilsafat terutama berhubungan dengan aktivitas berpikir. Padahal, kalau mau mendengarkan ujaran Karl Marx, sisi praktis mestinya lebih ditekankan, yakni ketika Marx menulis: “Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah bagaimana mengubahnya”.

Tentu, perbedaan dan pemihakan adalah sesuatu yang wajar dalam filsafat, dan itu tidak kemudian mengurangi nilai lebih buku ini. Dalam kerangka kontekstual yang lebih luas, yakni dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, buku ini dapat menjadi modal dasar untuk menjadi titik tolak bagi usaha-usaha menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Tradisi berpikir kritis yang tersemai dari kegiatan berfilsafat sepertinya penting untuk dimasyarakatkan.


Read More..

Selasa, 13 November 2001

Demitologisasi Melalui Seni

Judul Buku : Mantra Pejinak Ular
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Penerbit Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2000
Tebal : xii + 243 halaman



Mengagumkan! Itulah kesan pertama yang akan ditangkap pembaca ketika membaca novel ini. Betapa tidak. Dalam kondisi kesehatan yang belum sepenuhnya pulih setelah terserang penyakit meningo encephalitis (infeksi otak) sejak 1992, Kuntowijoyo masih bisa menulis sebuah novel, sebuah karya utuh yang dapat dikatakan cukup langka dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Apalagi bila pembaca berusaha membaca novel ini secara lebih cermat dan seksama, dalam kerangka pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo di bidang kebudayaan dan agama (Islam) yang lebih luas, maka akan terlihat posisi khusus novel yang merupakan karya Kunto paling mutakhir ini.
Novel ini kurang lebih dapat dilihat sebagai sebuah novel sejarah yang juga membawa kredo kesenimanan Kunto. Disebut novel sejarah karena dalam karya ini Kunto berusaha mencatat proses jatuhnya rezim Orde Baru dengan latar sebuah desa pedalaman di sebuah kecamatan di Jawa Tengah. Sementara kredo kesenimanan yang dimaksudkan di sini bahwa dalam novel ini Kunto menampilkan seorang sosok seniman lokal, Abu Kasan Sapari, yang selain bergulat dengan tekanan-tekanan rezim Orde Baru di akhir kekuasaannya, juga aktif dalam kegiatan kesenian. Pergulatan Abu Kasan Sapari berhadapan dengan kuasa politik Orde Baru yang menyusup ke segenap lini kehidupan—termasuk seni—serta dinamika kehidupan pribadinya pada bagian ini menyiratkan sebaris pesan yang cukup jelas: bahwa seni harus mampu menjadi media demitologisasi.
Kisah dalam novel ini dimulai dengan kehidupan awal tokoh Abu Kasan Sapari yang lahir dari keluarga yang kurang begitu akrab dengan ritual keagamaan. Selanjutnya, Abu dibesarkan di lingkungan keluarga kakeknya, yang hidup cukup sejahtera serta taat beragama. Sejak kecil, Abu Kasan Sapari menampakkan bakat seni yang cukup bagus. Dengan bimbingan seorang dalang lokal, Notocarito, Abu beberapa kali berhasil menjuarai festival dalang cilik di Kabupaten Klaten.
Selulus SMA, Abu masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta jurusan pedalangan. Sambil kuliah di STSI, Abu terus mendalami ilmu pedalangan dari Ki Lebdocarito, sampai akhirnya Abu memutuskan untuk tidak menyelesaikan kuliah dengan melamar pekerjaan sebagai pegawai negeri. Secara kebetulan Abu diterima sebagai pegawai lokal di bagian pembangunan desa (Bangdes) yang ditempatkan di Kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu.
Mulailah pergulatan kehidupan Abu semakin mengental dan berliku, seiring dengan aktivitas barunya di kaki Gunung Lawu. Tak terlalu lama setelah Abu tinggal di Kemuning, Abu mengalami sebuah kejadian unik. Kejadian itu terjadi ketika Abu bersama beberapa warga desa sedang menonton cembeng di pabrik gula Tasikmadu. Di situ Abu bertemu dengan seorang tua misterius yang memberinya sebuah mantra: mantra pejinak ular.
Selama menjadi pegawai di Kemuning, Abu berusaha berperan sebaik-baiknya dalam rangka pembangunan desa. Pertama sekali Abu berusaha mencukupi kebutuhan air di Kemuning dengan membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai ke desa. Abu yang memiliki kesadaran lingkungan cukup tinggi kemudian mengajak warga desa membuat pagar hidup di pekarangan masing-masing.
Sementara itu, mantra pejinak ular yang ia terima kemudian dihubungkan dengan masalah pelestarian lingkungan agar mampu menjaga konservasi habitat binatang-binantang. Kecintaan Abu pada ular yang didorong oleh mantra yang diterimanya itu lalu dilanjutkan dengan kampanye kesadaran untuk mencintai lingkungan.
Dinamika kehidupan di Kemuning yang dialami Abu ternyata tidak bisa lepas dari masalah politik. Profesinya sebagai pedalang membuat Abu harus berurusan dengan Mesin Politik (Orde Baru) di Kemuning. Kemampuan Abu dalam mendalang memang cukup bagus, dan kadang-kadang tema yang diangkat Abu dalam lakon wayang yang dibawakannya amat erat dengan dunia politik. Pernah sekali Abu mementaskan lakon berjudul “Bambang Indra Gentolet Takon Bapa” atau “Bambang Indra Gentolet Menanyakan Sang Ayah” yang mengisahkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan.Bagi Abu, itulah esensi kehidupan demokrasi.
Keterlibatan Abu dalam proses pemilihan kepala desa di Kecamatan Kemuning berupa tampilnya Abu dengan tema-tema politik membuat Mesin Politik di Kemuning mengawasi Abu dengan ketat. Akhirnya, karena aktivitas Abu yang dinilai sudah berlebihan, jadilah Abu dipindahtugaskan ke kecamatan lain, yakni Kecamatan Tegalpandan yang jauh lebih dekat ke kota Kabupaten Karangmojo, tempat ibu dan bapaknya tinggal.
Di tempat tugasnya yang baru Abu tetap diawasi oleh Mesin Politik yang ternyata memiliki sayap di mana-mana. Di tempat barunya ini, Abu sempat ditawari sebagai caleg menjelang pemilu yang akan segera digelar. Tapi Abu menolak. Bagi Abu, seorang seniman tidak boleh menggunakan seni untuk keperluan politik, dalam rangka kampanye suatu parpol. Meski begitu, seorang seniman dapat menjadi sosok yang memberikan pencerahan dan pendidikan politik bagi warga negara.
Menurut Abu, seni itu ibarat air. Kalau ada benjol-benjol dalam masyarakat, seni akan menutupinya dan menjadikannya datar. Mengutip ajaran Sunan Drajat, Abu mengatakan bahwa seni itu memberi air kepada mereka yang kehausan, memberi payung bagi mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan.
Pandangan Abu ini kemudian menghasilkan suatu pergulatan sosial yang cukup intens dengan pihak Mesin Politik, sampai akhirnya muncul suatu isyarat akan ambruknya rezim kekuasaan yang tengah berkuasa. Pada suatu malam di musim kemarau, hujan lebat—yang oleh orang-orang disebut hujan salah musim—datang disertai angin ribut yang menumbangkan sebuah pohon beringin di dekat terminal Tegalpandan.
Lalu, bagaimana dengan mantra pejinak ular yang dimiliki Abu? Di akhir cerita, Abu dibuat cukup kebingungan dengan mantra ini, karena menurut si pemberi mantra, mantra ini harus diwariskan kepada orang lain. Setelah berkonsultasi dengan seorang haji di Tegalpandan, Abu akhirnya memutuskan untuk memutus mantra itu. Keputusan ini diambil Abu juga karena desakan seorang gadis, Lastri, yang menjadi kekasihnya.
Setelah memutus mantra pejinak ular itu, kisah Abu Kasan Sapari ditutup dengan kepastian Abu untuk segera menikah dengan Lastri.
* * *
Novel ini nampaknya menjadi media kristalisasi beberapa pemikiran Kunto sebelumnya. Dalam sebuah artikel di Harian Kompas (24/08/2000) berjudul "Selamat Tinggal Mitos" Kunto memotret kehidupan sosial-politik bangsa Indonesia yang belum bisa keluar dari cara berpikir yang berlandaskan kepada mitos. Aras kehidupan politik penuh dijejali dengan nalar mitologis yang menggerakkan move-move politik para elit.
Menurut Kunto, mitos mengajak orang untuk menghindari kehidupan konkret dan masuk dunia abstrak yang penuh dengan simbol. Bagi Kunto, sudah saatnya bangsa Indonesia keluar dari kungkungan cara berpikir mitologis menuju cara berpikir yang berlandaskan realitas konkret.
Menurut Kunto, ada beberapa media yang dapat menjalankan fungsi demitologisasi, yaitu ilmu dan teknologi, gerakan puritanisme agama, serta sejarah dan seni. Cara kerja seni adalah konkretisasi yang abstrak. Seni mengemban nilai-nilai abstrak yang kemudian dituangkan dalam bentuk ekspresi seni tertentu.
Pentingnya makna nilai dalam sebuah karya sastra juga pernah diungkap Kunto dalam tulisannya di Harian Kompas (28/11/1999) berjudul "Strukturalisasi Pengalaman, Imajinasi, dan Nilai". Sebuah karya sastra menurut Kunto memiliki unsur strukturalisasi pengalaman, imajinasi, dan nilai. Seorang sastrawan memungut pengalaman-pengalaman hidupnya dan menggabungkan serta merangkainya dalam suatu olah imajinasi-kreatif. Dan, yang kalah penting, sebuah karya sastra juga mengandung nilai, baik berasal dari agama, filsafat, ilmu, atau kebudayaan.
Karena itu, bisa jadi sebuah karya sastra tidak memiliki nilai kontekstual dengan realitas aktual. Pada titik tertentu sebuah karya sastra merupakan endapan pengalaman penulisnya yang lahir dari lubuk jiwa yang terdalam.
Mantra Pejinak Ular seperti merupakan upaya penegasan Kunto terhadap kredo kesenian yang diyakininya ini. Salah satu elemen yang membentuk novel ini kemungkinan besar adalah perjalanan dan pergulatan Kunto dalam dunia seni dan kebudayaan yang cukup panjang. Pembaca yang pernah membaca biografi Kunto, misalnya di rubrik Pakar di Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 4/Vol. V/1994 akan menemukan kecurigaan jangan-jangan Abu Kasan Sapari, tokoh utama dalam novel ini, tidak lain adalah sosok yang diidealkan Kunto sendiri. Tidak kebetulan kiranya bila dalam novel ini Kunto memposisikan Abu Kasan Sapari sebagai seorang pedalang, karena di antara keluarga Kunto ada yang menjadi pedalang. Setting budaya Jawa yang kental antara tipe priyayi, abangan, dan santri—meski Kunto menolak trikotomi semacam ini, dan hanya menggunakannya dalam kerangka pembacaan metodologis—juga tampak digambarkan dalam novel ini.
Bila dibandingkan dengan karya-karya Kunto sebelumnya, yang kebanyakan berbentuk cerita pendek (cerpen), pembaca akan dapat menemukan kesinambungan atau kemiripan pesan novel ini dengan salah satu cerpen Kunto yang dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1997, berjudul Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan. Cerpen ini berkisah tentang seorang “dia” yang sedang menjalankan laku untuk menjadi kaya dengan bertapa 7 hari 7 malam dan mengakhiri dengan pergi ke kuburan dan menggigit telinga perempuan yang baru meninggal pada suatu Selasa Kliwon, kemudian membawanya dengan mulut kepada gurunya. Si “dia” berhasil membuat para penjaga kuburan tertidur dengan mantra saktinya. Sialnya, ketika si “dia” sedang beraksi menggigiti telinga mayat perempuan, datang segerombolan anjing liar yang berebut menggigit mayat itu. Si “dia” terluka, hingga akhirnya ditemukan oleh para penjaga yang kaget terbangun. Di akhir cerita Kunto menggambarkan bagaimana para penjaga berbeda pendapat menilai si “dia” yang tergeletak pingsan karena terluka oleh gigitan anjing itu: “pencuri” atau “penyelamat”?
Dalam analisis Ignas Kleden yang mengantarkan 18 cerpen terbaik Kompas 1997, dikatakan bahwa selain menggambarkan dilema etis para penjaga kuburan, cerpen ini juga menunjukkan bagaimana mantra yang digunakan si “dia” untuk memperkaya diri ternyata kalah dengan anjing kelaparan yang tak mempan mantra serta juga sedang mencari “nafkah”.
Dibandingkan dengan Mantra Pejinak Ular, cerpen ini menggambarkan lebih banyak aspek dilematis dari suatu pengalaman kemanusiaan yang diperankan tokoh-tokohnya. Ada ruang yang cukup luas bagi pembaca untuk menafsir ulang dialektika tokoh dalam cerpen tersebut. Yang jelas, antara cerpen dan novel Kunto ini, kurang lebih ada pesan yang kiranya bersifat sinambung: bahwa mantra itu ternyata memiliki keterbatasan dan mestinya harus dienyahkan!
Upaya untuk membuang mitos menurut Kunto adalah bagian dari Islamisasi dari unsur-unsur Jawaisme yang menghambat proses modernisasi. Dalam sebuah artikel di Harian Republika (18/4/1998) berjudul "Islamisasi Jawaisme" Kunto menulis bahwa mantra dan mitos adalah termasuk dari bagian yang perlu “diislamkan”.
Sebagai alternatif, di bagian akhir novel ini Kunto secara implisit mengajukan “doa”—sesuatu yang khas agama—sebagai pengganti mantra. Ini bisa dilihat dengan judul bagian terakhir dari novel ini: “Tuhan, Beri Kami Ilmu yang Bermanfaat; Tuhan, Hindarkan Kami dari Malapetaka”. Dengan judul ini seolah Kunto ingin mengatakan bahwa ilmu dapat menggantikan cara berpikir mitologis, dan semestinya kita hanya berpasrah diri kepada Tuhan, Yang Maha Segalanya.
Gagasan-gagasan Kunto yang bisa ditafsir dari novel yang semula dimuat bersambung di Harian Kompas ini menarik untuk didiskusikan bersama. Dalam kerangka lebih luas, nilai lebih novel ini terlihat dari keterkaitannya dengan berbagai sisi pemikiran Kunto lainnya yang sudah digagas jauh bertahun-tahun sebelumnya, sehingga terkesan memiliki latar belakang pemikiran yang cukup matang.
Akan tetapi, terhadap karya sastra dengan model seperti ini, beberapa kalangan pernah mengajukan “keberatan”: tidakkah perilaku seperti ini adalah “perilaku buruk terhadap bahasa”—seperti kata Nirwan Dewanto di Harian Kompas (29/6/97). Ahmad Sahal misalnya ketika mengantarkan Cerpen Terbaik Kompas 1999 menilai bahwa meski menampakkan suatu komitmen sosial yang tinggi, model cerita (karya sastra) semacam ini menjadi terlalu “lurus”, bahasanya terlalu diskursif dan memilah serta memperlakukan cerita sebagai kendaraan dan instrumen untuk menyampaikan gagasan penulisnya. Bagi Ayu Utami (Jurnal Kalam, edisi 12/1998, hal. 124) sebuah kisah tidak berpretensi untuk menyampaikan sebuah ajaran jika bisa disampaikan dengan dalil atau pedoman. Sebuah kisah adalah pengalaman, yang tak mempunyai jalan keluar lain.
Pandangan ini memang berbeda dengan Kunto yang juga pernah menempatkan karya sastra dalam kerangka profetis—seperti yang pernah ia lakukan terhadap ilmu-ilmu sosial (lihat tulisan Kunto di Republika [22-23/11/2000] berjudul "Islam dan Seni"). Dengan nilai profetis seni Kunto menegaskan bahwa seni dapat menjadi media humanisasi, transendensi, dan liberasi.
Meski dalam novel ini tidak sepenuhnya demikian, memang ada kecenderungan ke arah semacam itu—ini cukup berbeda dengan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan yang cukup mampu mempertontonkan ambiguitas hidup dalam masyarakat. Unsur alur dan penokohan dalam novel ini cukup hidup dalam lingkungan budaya Jawa dan atmosfer politik Orde Baru yang khas.
Novel ini patut diapresiasi bersama terutama sebagai sebuah karya sastra yang cukup sulit dihasilkan oleh sastrawan lain serta karena posisinya yang khas dalam sosok Kuntowijoyo, seorang cendekiawan, sastrawan, sejarawan, dan budayawan. Kritik sosial yang disampaikan dalam novel ini juga dapat menjadi sebuah tema diskusi yang menarik karena berkaitan dengan posisi kesenian dalam masyarakat—sebuah tema yang tak pernah habis dibicarakan.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 12 November 2001.


Read More..

Minggu, 04 November 2001

Atmosfer Kebebasan dan Paradoks Pers Reformasi

Judul Buku : Politik Media dan Pertarungan Wacana
Penulis : Agus Sudibyo
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2001
Tebal : xviii + 332 halaman


Setelah proses reformasi berlangsung selama lebih dari tiga tahun, ada sebuah pertanyaan besar menyangkut dunia pers di Indonesia: sudahkah atmosfer kebebasan yang dihirupnya telah mampu mengantarkan pers Indonesia ke sebuah peran konstruktif untuk mendukung proses demokratisasi dan reformasi? Sudahkah pers Indonesia selama ini mengawal proses reformasi pada jalur yang positif?

Pertanyaan ini menarik dan penting dijawab karena carut-marut wajah dunia politik di Indonesia yang tak kunjung usai ini di satu sisi sebenarnya juga membutuhkan dukungan dari salah satu unsur pembentuk dan penyokong demokrasi: dunia pers. Pers idealnya dapat mendorong terciptanya sebuah public sphere (menurut istilah seorang filsuf Jerman, Jurgen Habermas), yakni sebuah medan luas di antara negara dan masyarakat tempat semua warga negara dapat terlibat dalam isu-isu penting tentang permasalahan bersama secara wajar, adil, dan proporsional.

Memang tidak mudah untuk menilai kinerja pers Indonesia selama proses reformasi ini berlangsung. Dan kehadiran buku ini setidaknya dapat menjadi salah satu penimbang untuk menyodorkan jawaban atas persoalan tersebut. Buku yang ditulis oleh analis media pada program media watch Institut Studi Arus Informasi (ISAI) ini adalah sekumpulan hasil penelitian lapangan terhadap pelbagai perilaku pers Indonesia pasca-Orde Baru.

Dalam spektrum yang lebih luas, pers reformasi memang hadir dalam sebuah ruang luas tempat kebebasan dirayakan besar-besaran. Arus kebebasan berekspresi ini tidak hanya dimiliki oleh kalangan elit-elit politik atau dunia pers saja, tetapi juga masyarakat kalangan bawah yang sebelumnya relatif awam terhadap dunia politik. Karena itu, amat wajar bila pentas politik diwarnai dengan sejumlah pertunjukan yang beragam, mulai dari pernyataan-pernyataan atau isu kontroversial seorang tokoh, gejala disintegrasi, konflik antarkelompok masyarakat, atau aksi-aksi protes masyarakat bawah terhadap institusi pemerintah. Dalam struktur lingkungan sosial-politik yang sedemikian rupa itulah para kuli disket itu bekerja.

Dari beberapa topik penelitian yang tersaji dalam buku ini, terungkap adanya kecenderungan pekerja pers untuk abai terhadap persoalan yang mungkin dianggap sepele tapi sebenarnya cukup berpengaruh dalam pemberitaan. Pemilihan sumber berita misalnya menjadi suatu persoalan yang patut disorot secara kritis, karena menurut penulis buku ini sumber berita hadir membawa definisi realitas yang diam-diam bersifat hegemonik.

Dalam kasus pemberitaan mengenai konflik antara petani dengan pemilik perkebunan dan pemerintah yang terjadi awal 1999 di Malang misalnya pers masih lebih sering mengutip sumber dari satu pihak: pemilik perkebunan dan aparat keamanan. Para petani pun diberi label sebagai “penjarah”—padahal, siapa sebenarnya yang telah “menjarah” hak-hak kaum petani.

Demikian pula dalam pemberitaan kasus Aceh Merdeka. Pengamatan terhadap Harian Kompas, Republika, Terbit dan Pos Kota selama bulan November hingga Desember 1999 menunjukkan bahwa sumber berita dari pemerintah menempati porsi 51%, sedang sumber dari masyarakat Aceh sendiri hanya 13%. Yang lebih mengenaskan, perbincangan tentang penyelesaian masalah Aceh ternyata lebih bersifat retoris, terbukti dengan sering munculnya rekomendasi penyelesaian yang tidak jelas opsi-opsinya.

Ketidakcermatan awak media dalam memburu berita yang bersifat faktual ini juga tampak dalam pemberitaan kasus kontroversial semacam Buloggate dan Bruneigate. Penelitian terhadap Harian Kompas, Media Indonesia, Pos Kota, dan Rakyat Merdeka selama bulan Juni 2000 mengungkapkan bahwa pemberitaan pers tentang kedua kasus yang melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid itu justru banyak bertumpu pada fakta psikologis daripada fakta sosiologis. Penggunaan term-term yang secara psikologis berbau KKN, seperti “orang-orang dekat presiden”, “kroni-kroni”, “penyalahgunaan wewenang”, dan sebagainya, lebih bersifat propaganda ketimbang usaha investigasi yang lebih dalam. Laporan yang disusun pun dibuat tidak berdasarkan sumber langsung yang berkompeten terhadap kasus tersebut, tapi lebih banyak dari kalangan legislatif—itupun kebanyakan yang kontra-Gus Dur.

Buku bagus ini telah cukup mampu membuka mata kita lebar-lebar bahwa ruang publik yang bebas dari intervensi pasar maupun negara masih belum sepenuhnya terbentuk di alam reformasi ini. Transaksi wacana secara fair masih merupakan pekerjaan rumah yang menunggu penyelesaian segera, sebelum justru melahirkan persoalan baru yang menambah akut proses reformasi ini.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 4 November 2001.


Read More..