Dalam konteks fikih, istilah kafâ’ah berarti keserasian atau kecocokan (mumâtsalah, suitability) antara pasangan suami-istri demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam hubungan pernikahan. Faktor menciptakan persamaan sosial (musâwah fî umûr ijtimâ‘iyyah), merawat keberlangsungan dan kekukuhan ikatan pernikahan dan terciptanya kebahagiaan di antara sepasang suami-istri merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh sistem hukum Islam dari konsep kafâ’ah ini.
Berbagai mazhab memasukkan unsur-unsur yang berbeda yang patut dipikirkan dalam mempertimbangkan soal kafâ’ah ini. Mayoritas ulama (jumhûr) menyebut unsur agama, nasab, status kemerdekaan, dan mata pencaharian sebagai hal yang harus diperhitungkan. Kelompok mazhab Maliki hanya menyebut dua hal: agama dan kondisi fisik (yang dimaksud kondisi fisik di sini bukannya soal kecantikan, tetapi cukup untuk memastikan apakah calon pasangannya tidak memiliki cacat tubuh tertentu yang dapat mengurungkan niatnya untuk mengawini orang tersebut). Mazhab Syafi’i menyebut lima hal: agama, status kemerdekaan, nasab, cacat fisik, dan mata pencaharian. Sementara ulama Hanbali dan Hanafi memasukkan unsur harta sebagai hal yang patut dipertimbangkan dalam soal kafâ’ah.
Para ulama berbeda pendapat dalam memosisikan kafâ’ah sebagai syarat dalam pernikahan, yang secara umum dibagi ke dalam dua pendapat. Yang pertama menyatakan bahwa kafâ’ah sama sekali bukan syarat pernikahan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat wajib. Termasuk dalam kelompok ini adalah Sufyân al-Tsawrî, Hasan al-Bashrî, dan al-Karakhî. Dalil mereka antara lain adalah hadis Nabi yang menyatakan bahwa “…manusia itu seperti gigi sisir; seseorang tidak memiliki kelebihan atas orang yang lain, kecuali dalam hal ketakwaannya” (Subulussalâm, 3: 129). Hadis ini dipandang menyuarakan egalitarianisme Islam secara mutlak sehingga kafâ’ah tidak diperlukan dalam kasus pernikahan. Kelompok ini juga berargumen dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah dari sisi ketakwaannya (Q.S. al-Hujurât [49]: 13).
Terhadap dalil ini, kelompok kedua, yang mensyaratkan kafâ’ah dalam pernikahan, menyatakan bahwa teks-teks tersebut pada dasarnya menyatakan persamaan hak dan kewajiban manusia. Tetapi dalam konteks pergaulan kemasyarakatan sehari-hari, teks juga mengakui adanya kelebihan sesosok pribadi seseorang dibandingkan dengan yang lainnya, baik dalam hal kekayaan maupun kualitas keilmuan (lihat, Q.S. al-Nahl [16]: 71, dan Q.S. al-Mujâdalah [58]: 11). Ini berarti bahwa teks juga mengakui realitas sosial yang memperlihatkan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat sebagai suatu hal yang manusiawi.
Kelompok yang pertama ini menambahkan dengan argumen hadis Nabi yang mengisahkan sahabat Bilâl yang hendak melamar seorang perempuan dari kaum Anshâr dan didukung oleh Nabi, padahal kaum Anshâr sendiri menolak. Ada juga hadis lain yang menggambarkan kasus semacam ini. Namun demikian, hadis-hadis ini selanjutnya secara substansial banyak bertentangan dengan hadis-hadis lain yang dijadikan dalil kelompok yang kedua.
Kelompok yang kedua terdiri dari empat mazhab yang terkemuka dalam fikih, yaitu Hanafi, Syafi’i, Hanbali, dan Maliki, yang merupakan pendapat kelompok mayoritas. Mereka menyodorkan beberapa hadis Nabi, yang di antaranya menyatakan bahwa perempuan itu harus dinikahkan dengan orang yang kufu’. Selain hadis yang begitu banyak dikutip sebagai landasannya, kelompok kedua ini berargumen dengan pendekatan rasional. Menurut mereka, kemaslahatan suami-istri tidak akan dicapai bila tidak ada keserasian (kafâ’ah). Perspektif kafâ’ah ini terutama dilihat dari sisi si perempuan. Artinya, jika di suami tidak kufu’ dengan si istri, maka ikatan pernikahan dapat bermasalah. Demikian juga, orang tua si perempuan (istri) akan menjadi rendah derajatnya secara sosial jika menantunya tidak kufu’, sehingga tujuan sosial pernikahan untuk mengukuhkan integritas sosial menjadi gagal.
Setelah mengulas argumentasi dua kelompok ini, secara menarik Wahbah al-Zuhaylî (al-Fiqh al-Islâmî, 7: 243) menyatakan bahwa ia pribadi cenderung sepakat dengan pendapat mazhab Maliki yang hanya memasukkan dua unsur dalam menimbang kafâ’ah, yaitu dalam hal agama dan kondisi fisik. Menurut Wahbah, hadis-hadis yang menjadi landasan mayoritas ulama (kelompok kedua) pada dasarnya lemah (dha‘îf) dan dalil yang menguatkan kelompok kedua ini hanyalah dari pendekatan rasionalnya saja, yang dalam membacanya—dan ini harus diberi garis bawah—berlandaskan pada ‘urf (kebiasaan). Karena itu, ketika pada era sekarang egalitarianisme (musâwah) menjadi landasan pergaulan sosial, dan ketika stratifikasi-sosial-yang-sepadan yang dipandang sebagai syarat terciptanya harmoni keluarga tidak lagi dinilai signifikan, maka dalil yang menjadi alasan kafâ’ah tidak perlu diperhitungkan lagi.
Mayoritas ulama dari keempat mazhab fikih sepakat bahwa kafâ’ah merupakan syarat wajib dan bukan syarat sah, sehingga jika seorang perempuan menikah dengan tidak kufu’, maka akad nikahnya itu sah, tetapi walinya memiliki hak untuk menentang dan menuntut pembatalan akad tersebut (faskh).
Kafâ’ah itu sendiri menurut mayoritas ulama merupakan suatu tuntutan dari sisi laki-laki untuk si perempuan, suatu hak yang bertujuan demi menjaga kebaikan si perempuan, sehingga disyaratkan si calon suami serasi (kufu’) dengan si calon istri. Sebaliknya, si perempuan tidak disyaratkan kufu’ terhadap si laki-laki, sehingga ketentuan fikih mengizinkan jika si perempuan secara kualitatif berada jauh di bawah si laki-laki, dengan alasan bahwa si laki-laki tidak akan menjadi tercoreng namanya dengan menikahi perempuan yang tidak kufu’ itu. Memang dalam beberapa kasus kafâ’ah juga harus dipertimbangkan untuk kepentingan si laki-laki, seperti dalam kasus pernikahan yang oleh pihak laki-laki diwakilkan kepada orang lain.
Kemudian, siapa yang memiliki hak dalam soal kafâ’ah ini? Para ulama sepakat bahwa baik si perempuan maupun walinya sama-sama memegang hak kafâ’ah ini. Karena itu, jika seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak kufu’, maka walinya berhak menuntut pembatalan (faskh) akad nikah tersebut. Demikian juga, jika seorang wali menikahkan anak perempuannya dengan tidak kufu’, maka si perempuan berhak untuk menuntut pembatalan (faskh).
Ada sebuah hadis menarik yang berhubungan dengan kasus ini, yang mengisahkan bahwa suatu hari seorang gadis datang mengadu kepada Nabi perihal ayahnya yang memaksa kawin dengan seseorang lelaki yang tidak ia sukai. Rasulullah memutuskan mengembalikan urusan pernikahan itu kepada anak gadis tadi. Memang, ia akhirnya menerima pilihan orangtuanya, dengan berkata: “…yang penting (dari pengaduan saya ini) orang tahu bahwa dalam masalah pernikahan, seorang ayah tidak berhak memaksakan kehendaknya” (HR Ibn Mâjah, Nasâ’î, dan Ahmad, Nayl al-Awthâr, 6: 127).
Terakhir, ada satu pendapat menarik dari kelompok mazhab Hanbali yang menyatakan bahwa bila ternyata si suami diketahui tidak kufu’ setelah akad nikah dilangsungkan, maka si istri memiliki hak untuk menuntut pembatalan akad tersebut (faskh), tetapi wali perempuan itu tidak. Ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama dari mazhab yang lain.
* * *
Setelah beberapa perspektif fikih klasik dipaparkan secara ringkas, menarik untuk mempertemukannya dengan praktik sosiologis pernikahan dalam masyarakat kita. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, konsep kafâ’ah sebagai elemen normatif yang menjadi salah satu pertimbangan dalam mengikat suatu tali pernikahan tidak jarang dijadikan rujukan pembenaran bagi pilihan tindakan sosial tertentu.
Dalam kasus semacam ini, ada beberapa hal yang bisa terbaca. Pertama, masih dominannya peranan wali (si perempuan) dalam memutuskan dengan siapa si perempuan itu akan menikah. Tidak jarang seorang wali akan menggunakan hak ijbâr atas anak perempuannya ketika ruang dialog tentang status kafâ’ah pasangan tersebut berakhir buntu. Bersamaan dengan itu pula, kafâ’ah kemudian menjadi suatu konsep yang relatif cukup subjektif sehingga menjadi semacam “pasal karet” yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu (dalam banyak kasus kepentingan wali/orangtua). Inilah salah satu problem dari konsep ini, karena dalam praktiknya ternyata rentan mengantarkan ketentuan fikih menjadi “otoriter”.
Dalam hal ini, mungkin menarik dibicarakan lebih jauh, di mana batas-batas ketentuan kafâ’ah ini bisa menjadi “otoriter” dan tidak. Menurut penulis, sejauh kedua belah pihak (wali dan si anak perempuan) bersedia tulus untuk membicarakan berbagai detail sisi-sisi kafâ’ah tersebut secara jujur dan terbuka, maka otoritarianisme dapat dihindari.
Kedua, konsep kafâ’ah memperlihatkan kepada kita betapa perempuan dalam konteks fikih betul-betul mendapat suatu sistem “perlindungan” yang ekstra ketat. Perempuan tidak dibiarkan mendapatkan jodoh yang bisa menghinakan dirinya dan keluarganya. Akan tetapi, pendekatan fikih yang bertujuan ingin melindungi kaum perempuan ini kemudian menjadi cukup problematis ketika dalam praktik sosial yang patriarkal kaum perempuan tidak cukup memiliki hak yang kuat untuk menyuarakan pendapatnya. Misalnya begini. Seorang perempuan dijodohkan dengan seorang laki-laki oleh walinya, dan telah melewati suatu proses pertimbangan dari sisi kafâ’ah oleh walinya secara matang.
Sampai pada titik ini terlihat perspektif perlindungan dari ketentuan fikih tersebut. Persoalannya, bagaimana jika perhitungan kafâ’ah si wali tidak sama dengan anak perempuannya. Artinya, si anak menemukan sisi-sisi yang membuat si calon suaminya tidak kufu’ dalam pandangan si anak. Sementara ketentuan fikih memberikan hak ijbâr untuk si ayah sehingga si anak berada dalam posisi yang relatif lemah, maka dengan demikian tujuan demi melindungi kemaslahatan si anak tadi berada di ujung tanduk hak ijbâr wali.
Perspektif kedua ini sebenarnya mengandung kemungkinan lain. Jangan-jangan fikih tidak terlalu memberikan penekanan pada sisi “perlindungan” terhadap perempuan, tetapi jangan-jangan ketentuan fikih ini secara keseluruhan memperlihatkan posisi perempuan yang lemah, dan, mungkin, kurang dihargai. Artinya, ada perspektif bias ketimpangan jender dalam kasus ini. Ketentuan hak ijbâr misalnya menurut penulis masih memperlihatkan bagaimana perempuan dianggap tidak cukup mampu untuk memilih calon suami yang tepat, sehingga ia dapat diveto.
Dalam soal ini, menarik untuk diteliti sejauh mana kaitan antara konsep hak ijbâr dalam fikih, kaitannya dengan tujuan “perlindungan” terhadap kaum perempuan, atau hubungannya dengan pandangan minor yang cukup populer—dan ini mendapatkan landasannya melalui hadis-hadis Nabi—bahwa perempuan itu sumber fitnah (lihat, Shahîh Bukhârî, Bab Nikah).
Ketiga, dalam suatu perbincangan pribadi dengan beberapa rekan, muncul pertanyaan nakal, mengapa para fukaha tidak memasukkan unsur kecocokan perasaan (perasaan saling mencintai) sebagai salah satu unsur kafâ’ah. Bukankah hubungan pernikahan yang harmonis akan lebih mudah tercapai bila ada unsur kasih sayang lebih dahulu. Analisis atas masalah ini tentu juga harus melibatkan disiplin psikologi yang kurang dieksplorasi secara mendalam oleh para fukaha. Secara normatif, masalah ini mungkin akan mengantarkan perbincangan pada tema tentang bagaimana semestinya pola pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Keempat, dalam praktik sosial yang mungkin cenderung feodal, ada segi-segi tertentu yang lebih dipertimbangkan di antara berbagai unsur kafâ’ah. Misalnya, ada seorang laki-laki yang kualifikasi keilmuan dan integritas pribadinya, misalnya, tidak cukup baik, tetapi karena status sosial keluarganya yang cukup terpandang, seperti dari segi kekayaan atau “keningratan”, dia dengan penuh percaya diri dia melamar seorang perempuan dengan kualitas keilmuan dan kedirian yang lebih baik, tetapi berasal dari kelas sosial menengah ke bawah. Unsur kafâ’ah yang lebih dilihat dalam kasus semacam ini kemudian adalah soal status sosial: bahwa si lelaki berasal dari keluarga kelas atas.
Dari kasus-kasus terakhir semacam ini terlihat betapa ternyata faktor normatif tidak selalu menjadi pertimbangan utama. Nalar masyarakat, bahkan nalar orang-orang yang akrab dengan ilmu-ilmu keagamaan pun, rentan dirasuki oleh perspektif budaya yang bisa saja berperspektif “feodal”, dan kemudian menguasai cara berpikirnya.
Dalam hubungannya dengan feodalisme dan eksklusivisme kiai, penting untuk dicatat jangan-jangan feodalisme dan eksklusivisme di kalangan kiai ini sebenarnya tidak terlalu berkaitan dengan dimensi normatif kafâ’ah, tetapi dengan formasi sosial-budaya yang tidak terlalu merelakan seorang anggota keluarga (terutama perempuan) dinikahi oleh “orang lain” (dalam arti, orang yang tidak memiliki hubungan famili). Realitas pernikahan antarsepupu kenyataannya tidak hanya terjadi di kalangan kiai, tapi juga masyarakat umum. Jangan-jangan ada sebuah konstruksi sosial tertentu yang meneguhkan perspektif semacam ini, yang kemudian seperti mendapatkan pembenarannya dalam konsep kafâ’ah tersebut. Bila memang demikian, perlu dipikirkan, dari mana kita harus memulai membongkarnya?
Wallâhu a‘lam bishshawâb.
Tulisan ini disampaikan dalam acara diskusi mingguan warga Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Yogyakarta, 21 April 2004.
Sabtu, 24 April 2004
Membincang Kafâ’ah
Label: Gender Issues, Religious Issues
Kamis, 01 April 2004
Pemilu 2004 dan Kembalinya Apatisme Politik
Ketika pemilu yang dalam orde reformasi ini untuk kedua kalinya akan segera diselenggarakan tidak lama lagi, muncul pertanyaan sederhana yang cukup menggelitik: Apa bedanya Pemilu 1999 dengan Pemilu 2004?
Sekilas pertanyaan ini tidak bermakna apa-apa dalam situasi sosial-politik sekarang ini. Akan tetapi, dalam pertanyaan singkat tersebut, juga tersimpan jawaban mendalam tentang langkah maju macam apa yang telah diraih setelah panji reformasi dikibarkan di mana-mana dengan gairah politik demokrasi yang begitu menggebu.
Pemilu diyakini dapat menjadi sebuah media politik yang paling tepat untuk menjadi jembatan emas bagi pemulihan negeri ini. Pemilu adalah jalan yang konstitusional, sehingga hasilnya nanti diharapkan akan lebih mudah diterima oleh semua kalangan. Akan tetapi, bila mengamati bagaimana Pemilu 2004 dipersiapkan, terbersit keraguan apakah harapan besar itu dapat tercapai. Di samping kekurangsigapan dalam langkah penyiapannya, menjelang pemilu yang sudah tidak lama lagi ini muncul sejumlah kecenderungan yang mengarah kepada dugaan kuat bahwa pola budaya politik reformasi saat ini menjadi cukup sulit dibedakan dengan pola budaya politik orde baru yang mengantarkan keterpurukan negeri ini.
Perilaku partai dan berbagai elemen di dalamnya (elit partai, calon legislatif, ataupun massa partai) seperti menjadi kabar buruk di tengah harapan yang meluap dari masyarakat. Berita di mana-mana tentang rebutan nomor jadi antarcaleg dan digunakannya ijazah palsu semakin menyingkap borok akut di tubuh partai yang selama ini sudah terendus. Dalam kasus semacam ini, yang terbaca dengan cukup mudah oleh masyarakat adalah raibnya ketulusan para elit partai dalam berpolitik. Menjadi calon legislatif saat ini cukup sulit dibedakan dengan zaman orde baru, ketika badan legislatif bukan lagi menjadi sebuah tempat untuk memperjuangkan nilai-nilai luhur, kebijaksanaan, idealisme, dan kepentingan rakyat, ketika legislatif hanya menjadi ajang permainan kekuasaan belaka dan dengan mudah mencampakkan nilai-nilai moral.
Di daerah, aksi saling sikut antarcaleg menjadi pemandangan yang begitu mudah disaksikan oleh masyarakat awam. Ironisnya, beberapa elit partai bahkan tidak punya cukup rasa malu ketika mempertontonkan hal semacam itu di depan tatapan polos masyarakat.
Pertunjukan politik menjelang Pemilu 2004 yang semestinya memercikkan harapan fajar perubahan yang benar-benar mencerahkan ini malah memunculkan kekhawatiran akan kembalinya apatisme politik masyarakat. Ketika politik tampak begitu sulit menjanjikan perbaikan, bisa saja masyarakat akan lari dan memilih tidak peduli apakah negeri ini akan diperintah dengan gaya diktator berkedok demokrasi atau apa, asalkan kehidupan sehari-hari mereka dapat cukup terjamin. Atau, dengan kata lain, jangan-jangan masyarakat akan merindukan kembalinya otoritarianisme orde baru yang memiliki harmoni semu itu.
Apatisme di sini memiliki substansi yang tidak jauh berbeda dengan politik massa mengambang ala orde baru, dengan memotong jalur-jalur partisipasi politik. Bedanya, politik massa mengambang orde baru diterapkan dengan dukungan politik intimidasi dan hegemoni penguasa, sedang saat ini politik massa mengambang didorong oleh berbagai kekuatan politik yang haus kekuasaan dengan membiarkan rakyat dalam cengkeraman ketidakdewasaan.
Menghadapi situasi semacam ini, ada dua hal yang bisa kita harapkan dapat membantu merawat semangat perubahan dan harapan masyarakat dalam konteks reformasi. Pertama, dengan semakin mendekatnya waktu pelaksanaan pemilu, termasuk juga kampanye, berbagai elemen partai politik pada khususnya diharapkan dapat bersikap lebih arif dalam memperlakukan masyarakat (pemilih). Parpol tidak boleh semata-mata melihat masyarakat sebagai objek yang bisa diperalat untuk memenuhi ambisi kekuasaan belaka. Parpol harus ikut mendukung setiap upaya untuk menjadikan Pemilu 2004 lebih berkualitas. Misalnya, dengan ikut menyosialisasikan mekanisme pemilihan yang lebih menekankan pada sosok person ketimbang pada nomor urut yang sudah ditetapkan parpol.
Dalam ajang kampanye, parpol juga diharapkan memperlihatkan perilaku yang lebih dewasa dengan tidak hanya mengumbar pesona massa, tetapi juga diimbangi dengan pendekatan rasional dan mendidik. Simpati rakyat harus didapat dengan cara-cara yang jujur dan dewasa, bukan dengan pembodohan. Intinya, rentang waktu yang tersisa ini harus bisa digunakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai kekuatan politik untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat atas peran yang dimainkan berbagai kekuatan politik itu, untuk terus mengawal proses perubahan dengan baik.
Kedua, berbagai elemen masyarakat, terutama kelompok-kelompok kritis dan strategis, harus terus dengan gencar mengawal proses pemilu ini agar dapat memberi hasil yang sesuai dengan harapan. Gerakan Anti-Politisi Busuk sebagai sebuah gerakan yang ingin menghindari hadirnya kembali sosok-sosok politisi yang miskin nurani sangat perlu didukung secara luas.
Lebih umum lagi, poin yang kedua ini sebenarnya ingin menitiktekankan bahwa agenda reformasi terpenting saat ini adalah bagaimana menjaga agar kultur politik orde baru tidak kembali berkuasa dan menyebar epidemi yang sulit diobati. Turunnya Soeharto dari kekuasaan orde baru dan bergantinya sosok penguasa tidak menjamin bahwa sistem dan pola orde baru yang terkutuk juga lenyap. Berbagai gerakan prodemokrasi saat ini masih harus berjuang keras melawan praktik korupsi yang semakin canggih dan menyusup ke mana-mana, menyingkap kebusukan nurani politik yang terbungkus dalam retorika menawan, dan terus menanamkan budaya kritis dan rasional kepada masyarakat.
Partisipasi politik yang semakin meluas dari berbagai elemen masyarakat dan iklim yang cukup memberi ruang bagi kebebasan berekspresi setelah tergulingnya rezim orde baru merupakan modal besar bagi upaya reformasi. Ini tidak boleh disia-siakan dan mesti dihargai. Kita harus memberinya makna dengan selayaknya, dengan mengerahkan segala usaha yang berlandaskan pada niat tulus demi masa depan bangsa yang lebih baik.
Tulisan ini dimuat di Harian Surya, 31 Maret 2004.