Bulan ini bulan bahasa. Di bulan ini, orang-orang memperingati kekuatan serangkaian bunyi dan aksara, yang dulunya sanggup menyatukan bangsa, mengantarkan warga menuju gerbang kemerdekaan negeri tercinta, Indonesia. Tapi itulah sejarah, yang kini mungkin sudah tak lagi bertuah, bahkan bagi orang-orang yang mengaku sebagai pewaris sah darah juang para pahlawan. Sekarang adalah tahun 2002, suatu anak tangga yang retak-retak di awal milenum ketiga; bukan lagi Oktober 1928, yang udaranya dipenuhi bara gelora yang sanggup menggerakkan dan menghimpun kekuatan bangsa.
Saat ini, masihkah kita bisa berharap pada kekuatan bahasa, untuk kembali mengantarkan bangsa ini ke sebuah ruang masa depan yang lebih bermakna? Adakah bahasa masih dapat menyisakan kekuatannya ketika sekian lama ia dipecundangi dan dilumuri dengan ambisi dan ketidakjujuran yang seringkali malah dibangga-banggakan? Otoritarianisme Orde Baru sepanjang lebih dari 30 tahun telah memerkosa bahasa sedemikian rupa, sehingga setiap kata diabsahkan tafsirnya dalam suatu kamus tunggal penguasa. Rakyat tak lagi berdaya menentukan makna, menjiwai bahasa.
Tapi reformasi terbukti tidak sekonyong-konyong menyediakan ruang yang melegakan bagi unit-unit bahasa untuk mementaskan kejernihannya. Reformasi masih juga tak kunjung bersih dari asap sisa pembakaran, halimun, atau juga endusan nafas angkuh yang selalu mencari celah untuk berselingkuh. Bahasa yang hanya menjadi sebentuk jargon malah tak dapat dibendung kehadirannya. Spanduk-spanduk, pamflet, salebaran, dari yang bernada membujuk hingga yang provokatif (dari level biasa hingga yang berbau ancaman) terpampang di tempat-tempat umum, disebar untuk menggalang kekuatan politik massa.
Dengan kata lain, belum ada ruang publik yang sanggup menampung pengungkapan bahasa yang dapat memaparkan lempeng ketajaman logika yang tertata dan disepuh permata ketulusan. Pertanyaannya, di manakah dimensi itu kini berada, di antara sejumlah harapan dan keinginan yang selalu terintangi oleh sekian bencana? Ke arah mana sebenarnya para elit bangsa sedang berpikir, sadar atau tidak, tentang bahasa dalam kerangka masa depan bangsa?
Hal yang cukup mendesak saat ini adalah bagaimana memosisikan kembali bahasa dalam kesadaran kolektif bangsa sebagai sebuah media penghantar menuju kemenyatuan aras rasional yang jernih dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Sudah cukup lama bangsa ini menjadikan bahasa tidak sebagai jendela, tapi sebagai sekat yang semakin mengentalkan komunalisme, fanatisme, dan jargonisme. Masyarakat dirintangi untuk dapat menikmati kejernihan tatanan bahasa yang sanggup membuka mata dunia, membelah akal majal yang selama ini hanya menerpurukkan bangsa dalam perasaan saling dendam.
Bahasa yang menjelma jendela adalah bahasa yang membebaskan, ungkapan polos rakyat bawah yang memiliki kejujuran dan ketulusan, tuturan kaum ilmuwan yang berpegang pada prinsip dasar epistemologis pengembangan pengetahuan, bahwa titik akhir suatu ilmu adalah prinsip etis yang indah dan bermoral. Bahasa yang menjelma jendela adalah bahasa yang sanggup merobohkan dinding pembatas kelompok, mempertemukan dalam satu ruang perjamuan kemanusiaan, meleburkan hasrat jahat dan mengangkat niat bulat demi mengecap nikmat yang hakikat.
Di bulan bahasa ini, kita diajak bersama-sama mengail kembali kearifan sejarah dari peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Bersama ini pula, seluruh komponen bangsa diseru untuk melepas atribut partikular kediriannya untuk menyatu dalam satu rombongan besar kebangsaan. Lalu, bahasa, yang menjadi latar peristiwa sejarah ini, kita kembalikan dalam kefitriannya yang paling dasar: sebagai bentuk cara berpikir yang relatif steril dari sesat pikir, kontradiksi, dan ketidakmasukakalan. Bersama inilah, kita semua berharap agar cara berkomunikasi kita semakin dipulihkan, dengan mengandalkan kejernihan nalar dan kejujuran suatu niatan. Bukan cuma dalam level komunikasi sosial sehari-hari, tapi juga dalam soal pengembangan ilmu, pemilihan opsi keputusan publik, juga media massa.
Masa depan bangsa ini, di antaranya, mungkin saja terselip di antara baris-baris aksara, baik yang meluncur di antara lisan orang-orang, atau yang terpahat di pagina-pagina terbitan buku, harian atau mingguan. Memulai berbenah dari titik paling rendah, di antara jejak langkah sejarah dan masa depan yang cerah, adalah sebentuk pertanggungjawaban kita sebagai anak bangsa.
Senin, 18 November 2002
Bahasa, Yang Menjelma Jendela
Selasa, 05 November 2002
Antara Representasi dan Simulasi
Judul buku : Jalan Tengah Memahami Iklan: Antara Realitas, Representasi dan Simulasi
Penulis : Ratna Noviani
Penerbit : Pustaka Pelajar bekerjasama dengan CCSS Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2002
Tebal : 157 halaman
Kritik Marx tentang eksploitasi kelas pekerja dan kaum proletar yang berada dalam asuhan sistem ekonomi kapitalisme akhir-akhir ini sudah tidak lagi mencukupi untuk mewadahi arus perubahan sosial di masyarakat. Seiring dengan pergeseran model kapitalisme yang kini tidak lagi berpusat pada aras produksi, melainkan pada level konsumsi, sejumlah teoritisi sosial menggenapi kritik Marx dengan memberi sejumlah peringatan perihal terkekangnya konsumen dalam menentukan aktivitas konsumsi sehari-hari. “Ketertindasan” konsumen ini memang nyaris tak terlihat oleh pandangan biasa, sebab argumen yang dibangun berlindung di balik dalih kebebasan individual.
Pada titik inilah, perbincangan mengenai iklan menjadi signifikan, karena dalam konteks ini, di satu sisi iklan adalah motor penggerak roda sistem ekonomi yang menjaga keseimbangan antara produksi massal berbasis industri dengan konsumsi masyarakat, dan di sisi lain iklan menjadi motif pendorong aktivitas konsumsi yang mampu mendefinisikan suatu barang dalam kerangka kebutuhan pribadi seseorang.
Dari sisi teori-teori komunikasi, dijelaskan bahwa ada dua perspektif teoritis dalam mendedahkan fenomena iklan, yang merujuk pada tiga kata kunci: realitas, representasi, dan simulasi. Perspektif pertama menerangkan bahwa iklan muncul dengan menghadirkan kembali (representasi) realitas sosial. Dalam prosesnya, iklan tidak semata-mata merepresentasikan realitas, tapi juga memberi perspektif baru, memilah, dan menonjolkan segi-segi tertentu dari realitas yang diangkat. Sementara menurut perspektif kedua, yang dalam hal ini merujuk pada sosok filsuf Perancis bernama Jean Baudrillard, justru iklan menjadi salah satu mesin pencipta dunia hiper-realitas yang terdiri dari citra-citra yang saling mengkait, sehingga menjebak masyarakat hidup dalam realitas semu. Inilah Era Simulasi, ketika teknologi informasi, media massa, dan komputerisasi melahirkan efek citra, simulakra, dan rimba tanda yang mengantar masyarakat dalam sebuah taman impian.
Buku ini adalah sebuah kajian kritis terhadap dua perspektif teoritis tersebut, yang berkeyakinan bahwa sebenarnya memahami fenomena iklan tidak harus terjebak ke dalam titik ekstrem salah satu cara pandang tersebut di atas. Dengan mengambil contoh lima buah iklan yang pernah cukup populer (yakni iklan Sampoerna A Mild versi Waktunya Unjuk Gigi, Clear Menthol versi Siapa Takut?, wanita-wanita Lux, Sari Ayu versi Mentari Pagi Bromo, dan iklan Majalah Tempo versi Bangunlah!), buku ini berkesimpulan bahwa iklan tidak hanya bersifat pasif menyerap citra, tetapi juga aktif berinteraksi dengan realitas sosial, sehingga konteks sosial dari kehadiran suatu iklan juga dapat mengemuka. Di sinilah lalu terjadi dialektika antara citra dan realitas dalam panggung realitas yang dihadirkan iklan itu sendiri.
Ambil saja contoh iklan Sampoerna A Mild versi Waktunya Unjuk Gigi. Iklan yang diluncurkan pada tahun 1998 ini menjadi semacam seruan kepada masyarakat untuk ikut menunjukkan partisipasi nyata dalam proses reformasi sosial-politik yang tengah berlangsung (inilah aspek representasinya). Semboyan Bukan Basa Basi yang melekat pada A Mild, yang semula merujuk pada kadar tar dan nikotin A Mild yang rendah, lalu dapat ditafsirkan sebagai pernyataan serta ajakan untuk berbuat yang lebih nyata. Ada semacam usaha penciptaan citra bahwa Sampoerna A Mild juga memiliki sense of crisis dan peduli dengan proses perubahan sosial. Kalimat "Waktunya Unjuk Gigi" di satu sisi menggambarkan terbukanya pintu kebebasan yang sebelumnya tak diperoleh—tapi nyatanya sebelum reformasi juga ada beberapa suara kritis yang menentang rezim (inilah aspek simulasinya). Pun di sini tampak nuansa ideologis yang berusaha ditampilkan A Mild, bahwa mereka memiliki semacam emosi nasionalisme.
Tapi juga tak jarang proyeksi visi ideologis yang muncul dari suatu iklan justru berpihak pada status quo yang kurang menguntungkan bagi proses transformasi sosial yang bernuansa egaliter. Ini terlihat dalam iklan sabun Lux maupun tata rias Sari Ayu yang meneguhkan konstruksi sosial atas peran domestik kaum perempuan. Dalam kedua iklan tersebut, sosok perempuan ditonjolkan sisi domestiknya, serta kurang diberi ruang untuk mengekspresikan peran sosialnya.
Studi yang dilakukan buku ini pada akhirnya menerbitkan beberapa hal penting. Berkait dengan perkembangan teoritik, buku ini berusaha mensintesakan dua arus teori yang mencermati fenomena iklan, yang dicontohkan dengan baik dalam kasus lima iklan tersebut di atas. Berkait dengan arah perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat yang bertumpu pada perkembangan kapitalisme, buku ini menjadi semacam seruan kepada khalayak agar secara kritis dapat mencermati dan memosisikan iklan dalam proporsi yang tepat, sehingga masyarakat tidak masuk dalam jejaring budaya konsumsi yang hedonistik. Meski kelima iklan yang dikaji di buku ini terbilang "basi", tapi relevansi buku ini tetap kuat karena memang buku kajian tentang iklan di Indonesia yang bersifat empiris masih amat minim.
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 4 November 2002.
Senin, 04 November 2002
Letters from Palmerah
Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong 1996-1999 (Letters from Palmerah: Indonesia under the Mehong Politics 1996 - 1999); By Seno Gumira Ajidarma; Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, April 2002; xxii + 287 pp
Although the reform drive in Indonesia has been going on for four years, everyone is curious if Indonesia has really changed for the better.
Is Indonesia still trapped by the mehong politics so that the ongoing reform is nothing but reformehong? The political show by the political elite has only disappointed the public and to a certain extent has lent apathy, or even pessimism, to part of the community.
This book is a collection of editorial-like letters that Seno wrote in Jakarta Jakarta magazine between 1996 and 1999. These letters have some interesting aspects.
First, his choice to write an editorial in the form of a letter seems to suggest a more liquid form of communication generating a greater personal and humanitarian touch on the part of the readers. Perhaps, Seno saw something wrong in the communications involving all national elements. He may have seen the result is only a fawning attitude or a mentality fraught with revenge and animosity.
Second, given the fact that the readers of Jakarta Jakarta were mostly young executives who the New Order regime had alienated from the political realm, these letters in a certain sense could serve as an interesting medium of political education as they were intended for the middle-class people.
Sometimes, the letters very explicitly show this direction, especially when the writer uses words like yuppies and the like.
The next interesting aspect of these letters is they are conveyed in a good and interesting narrative flow, interspersed with sarcasm, worries, reflection, wisdom, comedy or a ridicule of our political life.
When Seno put under his spotlight the never-ending violent communal conflicts, he took the viewpoint of how the community got themselves trapped in the prison or labyrinth of animosity.
He described how people were no longer masters of themselves and willingly allowed themselves to be the slaves of unconsciousness called animosity, ambition or revenge. At this point, Seno made a conclusion that the reform was yet to produce a significant change, particularly in the political culture of everyday life.
Indeed, political ideology has found its freedom of expression. Unfortunately, it still came from a hypocritical and arrogant cultural tradition. Comically, Seno poses a question: While someone's mental crisis can be addressed by a psychologist or a witch doctor, what about a mentally ailing nation?
The acute ailment that this nation is afflicted with seems to be slowly leading it towards destruction. In the other part of the book, he also gives his warning that if you have an excessive desire to put down conflicts and anarchy for the sake of orderliness, the result will often be another form of anarchy.
Seno has touched the nation's political culture, an aspect of life which is yet to undergo substantial changes. It is true that it is now rare to find physical or militaristic repression of the New Order regime, but a conspiracy of oppression, which the illegal product of power that colludes with ignorance and deception, is not rare to find.
While the political elite are busy vying for power, the little people have been duped. While in fact these little people are the reform and development heroes, they have been turned into mere commodities.
In one of the letters, Seno rhetorically asks: "Do you know who has built Indonesia? They have no seats. They are the people that have been sacrificed."
In this context, the perspective of a political education intended to improve the political intelligence of the people and encourage their political participation has assumed great importance for a discussion. Seno criticizes the elite on the political stage because they provide little education to the people. Their speeches are rarely based on the clarity of their mind and a well-arranged thinking system. Their words sometimes resemble curses smacking of trash, provocations or an outburst of their personal emotion or the emotion of their own group.
His letters are good to read and observe. They will encourage us to reflect together upon the process of changes now under way in this country and ensure that in this way the victims of changes and reform, already quite big in number, will not just vanish.
The Jakarta Post, November 3, 2002.