Setiap manusia normal pasti memiliki sisi perasaan yang bisa membuatnya gembira, marah, sedih, haru, dan sebagainya. Mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, kita bisa gembira. Menyaksikan kesewenangan, kita bisa marah. Tertimpa musibah, kita bisa sedih. Menemukan ketulusan, kita bisa terharu.
Tak ada yang salah jika seorang manusia memiliki perasaan-perasaan itu. Yang penting takarannya tepat dan situasinya memang wajar, tidak dibuat-buat. Jika berlebihan atau tidak ditempatkan secara pas, perasaan-perasaan itu bisa saja menggiring kita untuk berbuat sesuatu yang tercela dan nista.
Kemarahan mungkin bisa membuat kita bertindak di luar batas hak dan wewenang kita. Kesedihan berlebihan mungkin bisa membuat kita putus harapan. Kegembiraan atau rasa haru mungkin juga bisa membuat kita lupa diri sehingga berbuat seenaknya, seperti mengambil hak orang lain, dan semacamnya.
Setan mungkin memang begitu cerdik menguntit kita di antara berbagai perasaan yang mungkin mendatangi kita secara wajar. Pada saat itu, setan mungkin mendorong kita dan membumbui perasaan kita dengan seribu satu resep yang kemudian bisa membuat kita tidak tepat dalam menyikapi perasaan manusiawi tersebut.
Terkait hal ini, saya punya pengalaman pribadi saat saya merasa begitu haru dan iba. Bukan pada siapa-siapa, tapi pada ibu saya.
Saat itu baru saja lebaran Iduladha tahun 2010. Ibu saya ingin mengunjungi salah satu adik saya yang mondok di Pondok Pesantren Darul Falah, Bangsri, Jepara. Mumpung liburan, ibu dan saya tidak punya tugas mengajar atau kesibukan khusus lainnya. Maka tepat pada malam hari di hari lebaran, dengan menggunakan angkutan umum, saya bersama ibu saya berangkat menuju Bangsri, Jepara.
Singkat cerita, setelah dari siang hingga sore berjumpa dengan adik saya, sowan ke kiai, melihat-lihat pondok, dan sebagainya, pada sore sekitar pukul 16.15 WIB kami berdua hendak pulang ke Madura.
Ibu dan adik saya di PP Darul Falah, Bangsri, Jepara |
Kami menunggu angkutan umum menuju kota Jepara dari Bangsri. Cukup lama kami menunggu, angkutan umum rata-rata penuh sesak. Rupanya ini memang jam-jam terakhir angkutan umum menuju kota Jepara dan memang angkutannya terbatas. Akhirnya kami pun menemukan angkutan yang sebenarnya sudah cukup sesak. Saya bersama ibu naik ke angkutan dengan agak berdesakan. Untung kami bisa menemukan tempat duduk. Ternyata keadaan angkutan umum pedesaan di Jepara tak jauh berbeda dengan angkutan umum di kampung saya.
Tak sampai setengah jam, kami tiba di kota Jepara. Sekali lagi, kami cukup kesulitan menemukan angkutan ke Kudus. Para penumpang tampak memenuhi bus tanggung menuju Kudus sampai terlihat sebagian berdiri berdesakan. Cukup lama menunggu bersama beberapa orang yang tampaknya juga hendak ke Kudus, saya coba bertanya. Ternyata memang demikian angkutan ke Kudus jelang petang, selalu ramai dan sesak.
Daripada tak menemukan angkutan, akhirnya kami putuskan untuk ikut salah satu bus yang sudah penuh. Naik ke atas bus, saya dan ibu saya sudah tak menemukan tempat duduk lagi. Kami harus rela untuk berdiri berdesakan.
Saat itulah, di tengah perjalanan ke Kudus, saya sesekali menatap ibu saya yang berdiri sambil berpegangan di antara para penumpang. Saya merasa begitu haru dan iba. Ibu saya, yang usianya saat itu sudah hampir 60 tahun, tak memperlihatkan ekspresi yang kusut. Ibu tampak biasa saja. Sementara saya merasa gelisah menyaksikan ibu harus berdiri berdesakan di angkutan umum sore itu.
Jarak sekitar 30 km ke kota Kudus terasa lama. Pikiran saya melayang-layang memikirkan ibu yang masih tak kunjung menemukan tempat duduk. Orang-orang mungkin sama-sama kecapekan sehingga tak siap untuk berbagi tempat duduk. Saya berusaha untuk mengerti. Tapi ini ibu saya, ibu yang saya saksikan tiap hari ketulusannya dalam membesarkan anak-anaknya, ibu yang saya tahu juga begitu penuh perhatian kepada murid-muridnya di kelas dan di pondok, ibu yang saya tahu sangat peduli dengan para tetangga dan tamu-tamu yang berkunjung ke rumah.
Saya teringat ibu saya saat dia dulu menyiapkan daging abon untuk putrinya yang sedang belajar di Jombang. Dia menyiapkan sendiri di dapur, lalu tiba-tiba saat itu tangannya kecipratan minyak goreng yang sedang panas di atas penggorengan. Saya teringat ibu saya saat malam-malam mencucikan pakaian putra-putrinya di rumah dan rela menunda waktu istirahatnya setelah seharian penuh—ya, seharian penuh—ke sana kemari dengan berbagai hal. Saya teringat ibu saya yang kadang memanggil seorang tetangga yang kebetulan melintas di sebelah timur rumah saat ibu punya sesuatu yang bisa dibagi untuknya.
Pikiran saya terhenti berkelana saat sadar bahwa jalanan sudah cukup gelap. Cahaya lampu mulai menerangi jalanan dan bangunan-bangunan di kiri kanan.
Pada akhirnya, sekitar maghrib, kami tiba di Terminal Jetak yang merupakan terminal kedua di kota Kudus dan menjadi penghubung utama ke Jepara. Terminal tipe C itu sudah terlihat gelap. Bus yang kami tumpangi menurunkan penumpang di luar terminal.
Sadar dengan suasana terminal yang kelihatan lengang, pikiran saya jadi gelisah. Masih adakah angkutan kota ke Terminal Kudus untuk melanjutkan perjalanan ke Surabaya? Kami bertanya kepada orang di situ, dan katanya kadang masih ada. Kami pun menunggu. Cukup lama, yang ditunggu tak datang jua. Akhirnya kami pun putuskan untuk menunggu sambil berjalan ke arah kota.
Kami berjalan dengan pelan sambil sesekali melihat siapa tahu ada angkutan melintas. Kadang kami melihat ada angkutan kota yang mendekat, tapi ternyata ia sudah tak hendak ke Terminal Kudus. Sopirnya sudah mau pulang ke rumah.
Cukup lama juga kami berjalan. Saya mulai merasa agak gerah. Saya lihat ibu saya. Ibu tampak biasa saja. Saya berpikir untuk mencari sekadar tempat duduk di pinggir jalan untuk beristirahat sejenak. Tapi kebetulan di sekitar saya tak melihat tempat yang bisa menjadi tempat istirahat.
Akhirnya, setelah cukup lama, kami menemukan angkutan kota yang bisa mengantar kami. Bukan ke Terminal Kudus, tapi kata si sopir, kami bisa menunggu bus ke Surabaya di situ. Alhamdulillah.
Selama di angkutan itu, pikiran saya kembali pada bayangan ibu tadi sore yang berdiri di angkutan dan juga ibu yang berjalan cukup jauh sampai menemukan angkutan ini. Saya seperti menyesal, mengapa saya tidak mengusahakan untuk menyewa mobil untuk perjalanan ke Jepara ini. Ya, keluarga kami memang tidak punya kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor. Tapi saya pikir kami bisa menyewa mobil untuk perjalanan ini. Namun saya sadar bahwa menyewa mobil dari Sumenep ke Jepara tidaklah murah, paling tidak untuk ukuran kantong keluarga kami.
Andai kami membawa mobil sewaan ke Jepara, tentu ibu tidak harus berdiri berdesakan dari Jepara ke Kudus dan tidak harus berjalan kaki cukup lama saat petang ketika mencari angkutan yang dapat mengantar kami ke Terminal Kudus.
Saya membayangkan, pengalaman seperti tadi, perasaan iba menyaksikan ibu yang tampak “menderita”, saya jadi terpikir: mungkin pengalaman-pengalaman seperti ini bisa mengubah seseorang berpikir untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Andai saya kemudian, di waktu-waktu berikutnya, punya kekuasaan, atau punya pintu menuju kekuasaan, bisa jadi rasa iba saya pada ibu saya itu dapat menggiring saya untuk menyalahgunakan kekuasaan saya guna mengobati kekecewaan dan mungkin rasa bersalah saya karena telah membiarkan ibu saya punya pengalaman kurang nyaman seperti itu. Saya bisa saja berbuat sesuatu yang nista.
Saat itu saya jadi terpikir mungkin beberapa orang yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan tindakan korupsi ada yang di antaranya berangkat dari motif kompensasi atas derita atau rasa iba yang ia temui, termasuk iba atas diri sendiri atau orang-orang terdekat yang dicintainya. Untuk situasi seperti inilah maka mungkin muncul istilah nepotisme.
Perasaan iba itu lalu mungkin mengubah diri seseorang untuk melupakan nilai-nilai moral atau bentuk-bentuk ukuran kepatutan sosial lainnya. Tepat pada titik inilah mungkin terletak situasi yang membahayakan kita saat tenggelam dalam perasaan di luar takaran yang wajar. Rasa iba, sebagaimana perasaan lainnya, dapat melelapkan akal sehat sehingga mungkin saja kita berbuat sesuatu yang “tidak masuk akal” dengan melanggar norma-norma sosial.
Kembali pada rasa haru dan iba saya atas pengalaman bersama ibu tersebut, saya percaya bahwa bagaimanapun, ketulusan ibu saya juga menjadi salah satu kunci penting untuk tetap menjaga saya dari perasaan yang berlebihan. Ketulusan ibu saya untuk mengunjungi salah seorang adik saya di pondok di Jepara dan kerelaannya untuk dengan cara apa pun bisa memenuhi keinginannya itu menurut saya insya Allah turut menularkan semangat dan energi positif untuk saya sehingga—alhamdulillah—saya masih bisa terjaga dari sisi buruk perasaan yang melebihi takaran.
Sampai di sini, saya berdoa semoga Allah senantiasa menjaga ibu saya dan keluarga saya pada khususnya untuk senantiasa terhindar dari perasaan yang berlebihan sehingga dapat membuat kami lepas dari nilai-nilai dan norma yang kami yakini. Lebih khusus lagi, semoga Allah senantiasa menjaga ibu saya dan memberi rahmat dan keselamatan di dunia dan akhirat. Karena dari ibu saya, kami senantiasa belajar banyak hal tentang hidup yang mulia. Amien.
Baca juga:
>> Dunia Ayah Kian Menyempit