Hidup adalah jejaring. Kita adalah titik yang terhubung dengan titik-titik yang lain. Takdir kita adalah bahwa kita tak bisa sepenuhnya mengucilkan kehadiran kita di luar jangkauan titik-titik yang lain. Kita didefinisikan dan mendefinsikan hal-hal dalam kaitannya dengan hal-hal yang lain.
Hari ini saya berpikir tentang takdir sebuah titik yang terlempar ke bumi yang takdirnya terperangkap di antara jejaring takdir yang lain. Sebagaimana yang lain, ia terlahir dengan faktisitas yang tak bisa ia tolak. Ia pun lalu mengembara, kemudian terus berkembang dan menjadi matang sehingga akhirnya tampak cukup kemilau. Mungkin di luar ia terlihat tak amat istimewa, tapi di dalam ia seperti menyimpan cahaya.
Namun kini ia rupanya tengah berada dalam situasi yang tak terlalu menguntungkan. Ya, karena hidup adalah jejaring. Takdir satu titik bertemu dengan takdir titik yang lain, juga yang lain, terus yang lain lagi, ditambah yang lainnya lagi, sampai akhirnya mengikat membentuk tali yang menjerat tanpa ia kehendaki. Memang, di antara simpul tali itu ada yang tak begitu kuat karena hanya dibangun di atas praduga dan rekaan belaka—bukan fakta. Namun begitu, ini cukup mampu untuk membuat rangkaian titik-titik itu bertambah kusut.
Pertanyaan yang kemudian datang mengganggu pikiran saya adalah: takdir titik manakah yang kira-kira akan dapat mengeluarkannya dari jejaring takdir himpunan titik-titik itu?
Seseorang dari kegelapan masa depan mencoba menakar perannya bahwa ia akan menjadi elemen baru dari himpunan titik yang rumit itu. Namun ia pun ragu bahwa ia akan mampu masuk ke situ sebagai pengurai bagi belitan titik yang melilit pelik itu. Ia sadar bahwa ia pun tak lebih dari sebuah titik yang juga tak bisa lepas dari jejaringnya sendiri. Ia, seseorang dari kegelapan masa depan di balik kaca yang buram, tahu bahwa jika ia memilih terlibat ke situ, mungkin itu akan menjadi semacam “bunuh diri” yang tak hanya akan melibatkan dirinya, tapi juga titik lain dalam jejaringnya—atau bahkan titik lain yang tak pernah ia duga sebelumnya.
“Seseorang dari kegelapan masa depan itu mungkin pengecut. Atau peragu. Atau entah,” pikir saya yang gagal untuk membuat kesimpulan yang tegas.
Saya tahu, bagaimanapun, seseorang dari kegelapan masa depan mungkin akan datang untuknya. Namun saya tak pernah tahu siapa dia sesungguhnya—kecuali waktu telah menyingkapkan tirai gaibnya. Seperti juga halnya saya tak pernah tahu takdir apa pula yang akan membawanya—ke arah mana, dan bagaimana.
Sampai di sini saya masih tetap saja penasaran, dan pertanyaan itu masih menempel di benak saya: takdir titik manakah yang kira-kira akan dapat mengeluarkannya dari jejaring takdir himpunan titik-titik itu?
Saya berpikir, saat takdirnya—dan juga masa depannya—nyata-nyata tak bisa ia definisikan berdasarkan pencapaiannya yang cukup kemilau , dan juga akan sangat ditentukan oleh takdir titik yang lain dalam jejaringnya, apakah saya boleh mengatakan bahwa hidup ini terlalu absurd dan tidak adil—paling tidak untuknya? Ia telah melewati perjalanan panjang dan hari-hari melelahkan yang telah menempanya sedemikian rupa. Tapi di persimpangan yang cukup menentukan, ia terjebak dalam jerat takdir titik yang lain, dalam jejak-jejak titik yang lain yang mengarah pada alur hidup yang dirangkainya.
Mengamati situasi semacam ini, saya kadang suka memaknainya sebagai bentuk nyata dari hidup yang absurd. Hidup yang tak mudah dijelaskan dan tampak tak menyediakan makna apa-apa. Tapi saya tahu bahwa jauh dari itu semua, situasi semacam ini buat saya sebenarnya justru semakin menegaskan bahwa hidup memang adalah jejaring. Kita tak bisa hanya berpikir untuk memuluskan jalan takdir titik tertentu saja—mungkin milik kita sendiri—karena ada banyak titik yang lain yang juga akan terkait dengannya. Membatasi untuk hanya berpikir tentang atau pada satu titik saja adalah sebentuk kealpaan akan takdir semesta.
Lebih dari itu, saya pun berpikir bahwa itu juga menjadi isyarat yang kuat betapa kita tak bisa menguasai masa depan—atau lainnya—secara penuh. Sebab lukisan masa depan tak hanya ditentukan oleh garis yang kita guratkan, tapi juga digoreskan oleh pelukis yang lain dengan karakter dan gradasi warna sesuai dengan seleranya masing-masing.
Menjelang tengah malam, saya masih tak bisa lepas dari pertanyaan saya ini yang terlontar di sebuah perbincangan siang tadi setelah mungkin sebelumnya menunggu momentum cukup lama untuk dirumuskan. Namun, saat perlahan saya mencoba menuliskan butir-butir pikiran saya dalam catatan ini, terlintaslah dalam benak saya bahwa jangan-jangan ini semua hanya semacam kerusuhan dalam pikiran saya saja—pantulan dari keruwetan pikiran saya sendiri. Artinya, titik yang saya bicarakan dari tadi, yang digambarkan tengah berada dalam kerumitan, sebenarnya tak pernah seperti itu—atau mungkin tak merasa seperti itu. Ia baik-baik saja, atau merasa baik-baik saja, menjemput hari-hari mendatang dengan senyum di bibirnya.
Akhirnya, sepanjang terkait titik yang saya pikirkan itu, saya mengembalikan semuanya pada Rencana Semesta. Karena saya sebenarnya tak tahu apa-apa tentangnya—juga yang lainnya. Selebihnya, saya kembali pada kesimpulan saya, bahwa hidup ini adalah jejaring, dan saya tak bisa mengendalikan semua jejaring itu menurut kehendak dan keinginan saya. Namun saya yakin, dalam segala keterbatasan, ada hal-hal berguna yang bisa kita lakukan untuk membuat semuanya menjadi lebih baik—sekecil apa pun itu bentuknya.
Tulisan terkait:
>> Membincang Takdir
Minggu, 25 April 2010
Tentang Takdir Sebuah Titik dan Seseorang dari Kegelapan Masa Depan
Label: Diary
Senin, 12 April 2010
Tarian Aurora di Langit Utara
Sungguh saya tak menduga sebelumnya bahwa di negeri Viking ini saya akan punya kesempatan untuk menyaksikan salah satu keindahan alam yang hanya dapat disaksikan di belahan bumi tertentu saja. Setelah sempat gagal sebelumnya, akhirnya tadi malam saya berhasil menikmati keindahan langit utara yang menampilkan aurora.
Aurora adalah cahaya di langit dekat wilayah kutub yang hadir di malam hari. Cahaya ini muncul sebagai akibat dari interaksi antara medan magnetik bumi dengan partikel bermuatan yang dipancarkan matahari. Aurora di langit utara disebut Aurora Borealis. Saya cukup kesulitan dan tak paham membaca penjelasan ilmiahnya yang cukup terperinci di Wikipedia. Mungkin saya harus membacanya berulang-ulang dengan lebih cermat untuk bisa menangkap penjelasannya.
Yang pasti, tadi malam saya tak perlu benar-benar harus mengerti penjelasan ilmiah tentang apa itu aurora untuk bisa mengagumi dan menikmati keindahannya. Cahaya kehijau-hijauan itu berpendar di langit. Kadang ia membentang panjang dari timur ke barat, berkelebat, lalu mengental, meremang, menebal, dan menipis. Di saat yang lain, ia tampak menumpuk di langit utara dalam area yang cukup melebar, lalu sesekali mementaskan tarian lembut sebelum akhirnya menghilang ditelan langit cerah bertabur bintang. Dari sudut yang berbeda, kadang cahaya kehijauan itu membentuk seperti tanduk Viking yang menggantung di langit.
Saya menyaksikan aurora tadi malam dari puncak bukit kecil di komplek asrama mahasiswa Moholt, Trondheim. Jaraknya hanya sekitar 150 meter dari apartemen saya. Selasa jelang tengah malam hingga Rabu dini hari yang lalu, hampir dua jam saya di sana menunggu aurora, namun mendung tebal telah menyembunyikannya. Untungnya, tadi malam aurora berhasil hadir dengan sempurna, sejak mendekati tengah malam hingga menyongsong fajar.
Di antara puluhan mahasiswa dari berbagai negara yang ramai-ramai berkumpul di bukit kecil untuk menyaksikan keindahan aurora itu, saya mencoba merekam gambar aurora dengan kamera saku saya dari berbagai sudut. Sayangnya, di puncak bukit kecil yang juga menjadi tempat parkir mobil itu ada satu lampu di tengah yang agak mengganggu untuk dapat menyaksikan pemandangan langit malam dengan lebih sempurna. Namun demikian, dengan mengambil sudut pandang yang tepat, sedikit teknik, dan tentu saja kesabaran, saya dapat mengabadikan beberapa gambar aurora dengan cukup memuaskan.
Dari atas bukit itu, aurora kadang tampak melintang seumpama selendang yang dikibarkan di atas bangunan komplek mahasiswa Moholt Studentby. Jauh di belakang, tampak bukit yang bercahaya oleh lampu-lampu kota. Saya juga sempat mengambil gambar aurora dari balik pohon yang masih belum berdaun. Warna kehijauan bertaburan di langit di balik pohon yang tampak meranggas itu. Titik-titik bintang kecil bersinar keputihan.
Tarian cahaya indah di langit utara—apakah saya masih akan punya kesempatan untuk kembali menyaksikannya? Mengingat kembali pemandangan langit tadi malam itu, saya masih merasa takjub dan bertanya-tanya: seberapa dalam sebenarnya rahasia semesta telah berhasil kita singkapkan? Aurora, bagaimanapun, hanyalah bagian kecil dari mukjizat bumi, planet kecil di antara bintang-bintang terserak dan benda langit di angkasa yang tak terhingga hitungannya.
Wahai aurora, pesan apakah yang hendak kau bawa untuk kami di sini?
Jumat, 02 April 2010
Ayah, Apa Kau Masih Bisa Memimpin Pembacaan Shalawat di Perayaan Maulid Tahun ini?
Andai kau sedang berada di rantau, momen apakah yang akan membuatmu paling mudah untuk teringat pada ayah atau ibumu? Saya menduga kuat bahwa salah satu jawaban favorit adalah saat sakit. Bila kebetulan terbaring sakit di rantau, kita akan tersadar bahwa kita sedang benar-benar sendiri dan jauh dari keluarga.
Tujuh bulan di Eropa, alhamdulillah bisa dibilang saya belum pernah benar-benar sakit. Pernah juga sih, dua kali kurang enak badan agak serius. Yang pertama gara-gara kelelahan sepulang dari Jerman, dan yang kedua pas awal-awal baru tiba di Belanda—mungkin karena masih penyesuaian dengan cuaca dan sibuk mengurus ini itu. Masing-masing, sekitar dua hingga tiga hari saya tak banyak beraktivitas dan hanya beristirahat di kamar saja.
Namun demikian, bukan sakit yang mengingatkan saya pada orang rumah. Selama di Eropa, bulan Maulid-lah yang telah benar-benar mengingatkan saya pada ayah. Dalam rindu, saya bertanya-tanya: apakah ayah masih bisa memimpin pembacaan shalawat di perayaan Maulid tahun ini?
Di sepanjang bulan Maulid, bahkan kadang juga sebelum dan sesudahnya, di Madura pada khususnya biasanya ramai dengan perayaan Maulid. Orang-orang maupun lembaga banyak yang ikut memperingati kelahiran Baginda Nabi Muhammad saw. Bisa dikatakan hampir tiap hari. Dalam perayaan Maulid, shalawat, diba’ dan barzanji dilantunkan bersama-sama dengan dipandu oleh salah seorang yang hadir. Sering kali juga diiringi dengan tabuhan rebana.
Ayah saya bisa dibilang biasa memandu atau memimpin pembacaan shalawat di acara-acara perayaan Maulid di daerah saya. (Sebenarnya, shalawat juga biasa dibacakan dalam acara pernikahan dan ritus lainnya.) Memang, ayah memiliki suara yang merdu. Beberapa orang mengatakan bahwa jika membaca al-Qur’an, suara ayah mirip dengan Syeikh Ali bin Abdurrahman al-Hudzaifi, imam Masjid Nabawi, Madinah, yang terkenal itu.
Dalam perayaan Maulid, ayah biasanya membacakan diba’ dan barzanji atau bacaan shalawat dengan irama lagu yang konvensional. Saya tidak tahu apakah penggambaran saya ini benar. Yang jelas, pilihan irama lagunya bisa dibilang relatif sudah lazim didengar dan mudah diikuti oleh jama’ah yang hadir.
Saya sendiri memang lebih suka seperti itu. Dengan pilihan shalawat yang kurang akrab didengar, saya kadang merasa kurang bisa menyatu dengan suasana religius yang berusaha dibangun dalam sebuah perayaan Maulid.
Meski pilihan irama lagunya biasa, saya harus katakan bahwa saat ayah membacakan diba’, barzanji, atau shalawat, saya dapat merasakan keindahan dan ketulusannya dalam memberikan pujian dan penghormatan kepada Baginda Rasul.
Saat ini, tujuh bulan berpisah dengan keluarga di rumah, dipisahkan jarak sebelas ribu kilometer, saya bertanya-tanya: apakah ayah masih bisa melantunkan diba’, barzanji, dan shalawat di perayaan Maulid tahun ini?
Sejak akhir 2007, yakni sejak stroke (ringan) menyerangnya, saraf motorik ayah terganggu. Ini menyebabkan ayah menjadi agak kesulitan mengolah suaranya. Ayah juga mengatakan bahwa nafasnya menjadi tidak cukup panjang lagi. Sejak saat itu, terkadang ayah menolak memimpin pembacaan diba’ atau barzanji di acara perayaan Maulid.
Kalaupun ayah bersedia, saya dapat merasakan betapa ayah sudah tak bisa fasih membaca diba’ atau barzanji seperti dulu, sebelum stroke menyerangnya. Saya masih ingat, di suatu siang di awal 2007 saya sempat mengikuti sebuah acara Maulid di rumah salah satu famili, dan ayah memimpin pembacaan diba’ di acara itu. Saya masih bisa merasakan kekuatan lantunan suaranya. Bacaan diba’, barzanji, dan shalawat ayah buat saya terasa cukup mampu untuk menghadirkan Baginda Rasul di antara kekhidmatan jama’ah yang hadir di sana.
Setelah itu, saya dapat merasakan betapa kadang ayah tampak kesulitan untuk melafalkan bait-bait syair yang berisi pujian kepada Nabi Muhammad itu. Bahkan kadang ketika membaca ayat al-Qur’an saat shalat berjama’ah, ayah juga kesulitan dan tak sefasih sebelumnya. Kadang ayah tampak cukup emosional dan tak sabar saat ia mengalami kesulitan semacam itu.
Kini, bulan Maulid telah lewat. Tapi mungkin saja masih ada orang yang merayakan Maulid Nabi di sekitar rumah saya. Dan, sampai sekarang pun, pikiran itu masih terus membayangi saya: apakah ayah masih bisa memimpin pembacaan shalawat dalam perayaan Maulid tahun ini—juga tahun-tahun mendatang?
Ayah, saya rindu bacaan shalawatmu. Ayah, saya berdoa untukmu, dan semoga syafa’at Nabi selalu tercurah untukmu. Ayah, maafkan saya, anakmu yang tak tahu berbakti ini.
Label: Diary, European Adventures