Kalau Anda berada di sekitar Masjidil Haram, Mekah, dan merasa agak lapar, jangan khawatir. Biasanya ada banyak orang yang menyediakan makanan dan minuman gratis di sekitar sana. Begitu kata teman saya yang sedang umrah awal bulan Maulid yang lalu. Ada orang-orang yang membagikan kurma gratis di sekitar area Masjidil Haram. Juga minuman, baik itu air mineral, kadang juga teh.
Saya hanya bisa membayangkan dan mereka-reka dalam pikiran, karena memang waktu itu saya belum punya pengalaman langsung. Namun saya lalu teringat tentang kisah Hasyim, buyut Nabi Muhammad saw.
Nama Hasyim, tutur M. Quraish Shihab dalam salah satu bukunya, sebenarnya adalah gelar. Nama asli Hasyim adalah ‘Amr. Hasyim secara harfiah berarti “menghancurkan roti dan mencampurnya dengan kuah (daging) sehingga siap untuk dimakan”. Gelar itu disematkan kepadanya karena kedermawanan Hasyim dalam memberi pelayanan kepada tamu-tamu peziarah yang berkunjung ke Kakbah.
Setelah ayah Hasyim, Abd Manaf, meninggal, Hasyim kebagian tugas untuk mengurus pelayanan konsumsi di Mekah. Namun gelar itu diberikan bukan semata karena Hasyim bertanggung jawab atas tugas tersebut. Gelar itu diberikan karena Hasyim menunjukkan keramahan dan kedermawanan terutama kepada para peziarah di kota Mekah.
Keramahan dan kedermawanan Hasyim terbukti saat salah satu ponakannya yang bernama Umayyah (putra Abd Syams) merasa iri atas popularitas Hasyim dan kemudian menantang untuk menanyakan kepada sekelompok orang tentang siapa yang paling unggul di antara keduanya. Siapa yang kalah maka harus menyerahkan lima puluh ekor unta dan harus diasingkan selama sepuluh tahun. Ternyata Hasyim menang. Umayyah mengasingkan diri ke Syam. Kemudian lima puluh ekor unta itu disembelih oleh Hasyim dan dibagi-bagikan kepada khalayak umum.
Keramahan seperti ini oleh Ismail Fajrie Alatas juga digambarkan menjadi cara untuk membangun jamaah dan otoritas keagamaan. Konsep karam (kedermawanan) dijunjung tinggi oleh suku Arab. Jamuan dan pelayanan kepada tamu-tamu adalah salah satu bentuk konkretnya. Keramahan dan kedermawanan dapat mengatasi sekat kabilah dan kesukuan, dan itu berarti memperluas jangkauan otoritas seseorang atau kelompok tertentu. Bib Ajie juga menuturkan bahwa ulama Ba Alawi di Hadramaut juga mempraktikkan tradisi keramahan dan kedermawanan ini dalam membangun otoritas religius mereka di sana.
Kiranya, keramahan seperti itulah yang mungkin terus dilanjutkan dalam tradisi orang Arab khususnya di kota suci Mekah saat ini. Jika Anda perhatikan, di titik-titik tertentu sekitar Masjidil Haram ada orang atau sekelompok orang yang secara rutin membagikan kurma dan minuman. Di sekitar hotel di kawasan Tower Zamzam, saya menemukan beberapa rombong yang menjadi pos pembagian kurma dan minuman. Ada juga orang yang membagikan minuman di sepanjang jalan akses ke arah Ajyad. Mereka berdiri di tengah atau di pinggir jalan, biasanya saat terik matahari.
Kalau di dalam kawasan masjid, beberapa kali saya melihat sejumlah petugas membagikan paket makanan yang berisi roti, jeruk, kurma, dan air zamzam, kepada jamaah menjelang shalat maghrib. Di kemasannya, tertulis bahwa itu adalah untuk buka puasa. Tapi petugas tak bertanya apa orang yang diberi paket tersebut sedang berpuasa atau tidak. Petugas langsung membagikannya dari shaf terdepan di area tertentu.
Saat menyaksikan salah satu rombong yang seperti tak putus-putus membagikan kurma kepada orang yang lalu-lalang di salah satu titik dekat WC 3 ke arah Ajyad, terlintas dalam ingatan saya bayangan orang-orang yang berjualan di sepanjang jalan sekitar Masjidil Haram. Para penjual itu menggelar lapak mereka ala kadarnya. Mereka menjajakan pakaian, aneka makanan, dan juga minuman. Sesekali, mereka akan bubar berlarian saat ada petugas keamanan yang berpatroli. Pasar tumpah itu begitu meriah selepas shalat subuh. Jalanan penuh dengan para pelapak ini. Pemandangan serupa akan kita temukan di sekitar kawasan Masjid Nabawi, Madinah, meski tidak seramai di Mekah.
Orang-orang ini mencoba mengais rezeki dari para peziarah. Saya membayangkan situasinya mungkin sama dengan zaman Nabi dulu. Bedanya, peziarah sekarang datang dari berbagai penjuru dunia dengan jumlah yang berlimpah ruah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ramainya jika musim haji. Atau waktu-waktu padat seperti di bulan Ramadan atau di sekitar masa liburan akhir tahun.
Selain para pelapak dadakan di pinggir-pinggir jalan itu, di jalanan kerap juga saya jumpai para peminta-minta baik itu anak-anak maupun dewasa. Sebagian dari mereka itu difabel. Saya menduga sebagian besar dari pelapak dan peminta-minta itu adalah pendatang. Entah apa mereka mempunyai dokumen keimigrasian yang resmi atau tidak.
Mengingat itu semua, saya tak habis pikir membayangkan bagaimana keramahan dan kedermawanan bersanding dengan kepapaan dan kesengsaraan di situ. Saya teringat para pelapak yang lari tunggang langgang saat para petugas patroli datang. Itu juga terjadi di Madinah di jalan-jalan kawasan hotel sekitar Masjid. Saat patroli datang, tak jarang para pelapak itu meninggalkan barang-barang dagangannya dan berlari untuk menghindari petugas. Ada salah seorang teman saya yang bercerita bahwa ia sedang membeli pakaian di salah satu pelapak itu saat petugas tiba-tiba datang. Uang kembaliannya belum diserahkan penjual, tapi ia bilang telah merelakannya.
Saya lalu teringat peristiwa hilful fudhul (Pakta Kehormatan), kejadian saat Nabi masih remaja dan belum diangkat sebagai utusan. Saat itu, seorang pedagang yang adalah pendatang di Mekah dizalimi oleh seorang pembeli yang enggan untuk membayar barang yang diambilnya. Si pedagang mengeluh dengan untaian syair. Pemuka Mekah tergugah, lalu akhirnya membuat kesepakatan yang dikenal dengan nama hilful fudhul. Kesepakatan itu menegaskan bahwa para pemuka suku di Mekah harus bertanggung jawab untuk mengambil langkah intervensi jika ada orang yang ditindas atau dizalimi—siapapun mereka yang menindas dan yang ditindas itu. Nabi Muhammad terlibat dalam pertemuan yang menyepakati pakta tersebut.
Pikiran saya bertanya-tanya, apakah ironi yang saya saksikan itu, tentang pelapak yang berlarian dari kejaran petugas dan semacamnya, dapat menuntut ditegaskannya poin-poin kesepakatan seperti yang tertuang dalam hilful fudhul tersebut? Bukankah ketika sudah diangkat sebagai rasul dulu Nabi bersabda: “Kalau aku diajak lagi untuk terlibat dalam penyusunan pakta semacam itu (hilful fudhul) setelah datangnya Islam, niscaya akan kusambut dengan senang hati”?
Keramahan dan kedermawanan sebagai sebuah tradisi di Arab mungkin adalah semacam etika personal yang pada tingkat selanjutnya mungkin perlu dinaikkan pada tingkat struktural sehingga persoalan-persoalan yang lebih bersifat kompleks dapat juga dipecahkan dengan semangat keramahan dan kedermawanan tersebut.
Mungkin situasi ini adalah bagian dari ironi era kini. Ironi agama era kini, ketika ia berhadapan dengan masalah sosial yang semakin kompleks. Dari pusat berkembangnya Islam, dari Baitullah, saya terpikir bahwa misi kerasulan penting untuk terus ditegaskan dan didialogkan dengan kondisi kekinian.
Wallahu a’lam.
Baca juga:
>> Masjid Quba, Ruang Suci, dan Penghayatan Keimanan
Rabu, 05 Februari 2025
Jejak Hasyim, Keramahan Mekah, dan Ironi Era Kini
Label: Religious Issues
Jumat, 31 Januari 2025
Bersandar pada Refleksi Moral
Judul buku: Prinsip-Prinsip Etika: Landasan Teori untuk Memecahkan Kasus-Kasus Dilema Moral
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: xvi + 182
Dalam menghadapi arus kehidupan yang membuat orang terombang-ambing, pada akhirnya manusia membutuhkan pegangan untuk memandunya mengambil keputusan. Bagi sebagian besar kalangan, moralitas diyakini dapat berperan membantu memberikan panduan.
Moralitas itu sendiri dapat digali dari beragam sumber. Agama, misalnya, mengajarkan norma-norma moral. Namun berbagai sumber moral yang melahirkan norma-norma moral itu tidak serta merta bisa langsung dijadikan panduan praktis saat situasinya masuk pada hal yang bersifat dilematis. Dilema moral membutuhkan pendekatan yang berbeda yang tak cukup dari hal yang semata bersifat normatif.
Pada titik inilah dibutuhkan refleksi filosofis tentang moral yang dalam ranah filsafat akrab dikenal dengan istilah “etika”. Dalam pengertian ini, etika bersifat lebih terbuka dan reflektif, tak seperti moral yang cenderung normatif atau imperatif.
Buku ini membahas beberapa tema yang termasuk prinsip-prinsip etika. Dalam lima bab, Haryatmoko, penulis buku ini, menjelaskan aspek praktis dari beberapa teori etika untuk menjadi kerangka pandang dalam menjawab persoalan nyata sehari-hari. Dari sini, sudah jelas terlihat kelebihan buku ini: bahwa buku ini tidak ingin menjadi buku yang membahas filsafat moral (etika) pada tataran yang abstrak saja, tapi juga mengangkat masalah-masalah nyata, khususnya juga dalam konteks Indonesia.
Selain bab pertama yang memberi pengantar umum tentang apa itu etika dan ruang lingkup dasarnya, empat bab berikutnya dari buku ini membahas beberapa tema pokok etika, yakni perkembangan kesadaran moral menurut Lawrence Kohlberg, aliran deontologi Immanuel Kant, etika keutamaan Aristoteles dan MacIntyre, utilitarianisme Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, etika proporsionalisme Richard MacCormick, etika altruis Emmanuel Levinas, dan etika komunikasi digital.
Saat menguraikan pemikiran Kohlberg yang sudah menjadi klasik, uraian dalam buku ini saya lihat mengungguli buku-buku lain dalam bahasa Indonesia yang membahas tema serupa. Buku-buku lainnya misalnya lebih banyak mencukupkan pada uraian pemikiran Kohlberg dengan beberapa kasus yang ditelitinya.
Buku Fahruddin Faiz yang berjudul Filsafat Moral (Mizan, 2024) misalnya secara cukup jernih menguraikan pemikiran Kohlberg tersebut dalam sekitar 30 halaman, seperti juga Haryatmoko menghabiskan jumlah halaman yang sama dalam memaparkan Kohlberg. Bedanya, Haryatmoko dalam buku ini memberi contoh yang cukup detail pada setiap tahapan dalam konteks kehidupan sehari-hari di Indonesia, termasuk juga bentuk-bentuk latihan untuk mencapai tahapan moral tertentu.
Buku Franz Magnis-Suseno berjudul 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Kanisius, 2000) juga menyediakan satu bab untuk menguraikan pemikiran Kohlberg tapi tidak melampaui keluasan uraian yang disajikan oleh Haryatmoko dalam buku ini.
Dengan demikian, aspek terapan dalam buku Haryatmoko ini menjadi sangat terlihat jelas, meski Haryatmoko sama sekali tidak menyinggung salah satu subdisiplin filsafat moral yang dalam lima puluh tahun terakhir ini juga berkembang pesat, yakni etika terapan (applied ethics). Pendekatan yang bersifat terapan dalam membahas tema-tema etika dalam buku ini juga terlihat pada uraian tentang utilitarianisme. Pada bagian ini, Haryatmoko mengangkat contoh dilema dan masalah moral dalam kasus konflik antara nelayan dan perusahaan minyak yang juga melibatkan otoritas pemerintah (hlm. 100-104). Pada contoh ini, Haryatmoko menguraikan cara utilitarianisme membuat perhitungan yang cenderung kuantitatif untuk sampai pada kesimpulan dan keputusan tindakan tertentu yang dianggap paling bermoral.
Selain tema-tema klasik dalam filsafat moral seperti pemikiran Kohlberg dan utilitarianisme tersebut, Haryatmoko juga membahas tema kekinian di bab terakhir, yakni tentang komunikasi digital. Aspek teoretis-konseptual pada bagian ini memang tidak sekental bagian-bagian sebelumnya. Namun tampak jelas bahwa Haryatmoko berusaha mengupas masalah-masalah moral dalam konteks dunia digital saat ini dengan cara yang cermat dan pendekatan yang cukup filosofis.
Sejak awal membaca buku ini, mulai dari bagian pengantar, ada kesan bahwa buku ini disusun sebagai bahan ajar untuk perkuliahan tertentu. Namun sayangnya, jika dibaca dengan lebih teliti, ada beberapa hal dalam buku ini yang sebenarnya masih bisa diperbaiki. Dalam kata pengantar, saya menemukan penulisan huruf kapital yang rasanya keliru, ketika kata “Penulis” di tengah kalimat beberapa kali diawali dengan huruf kapital. Salah ketik saya temukan di halaman 78, paragraf kedua. Sementara itu, gaya bertutur buku ini terkesan seperti gaya berbicara.
Selain itu, ada hal yang cukup substansial yang mengganggu saat saya membaca uraian tentang pemikiran Kohlberg. Meski Haryatmoko menunjukkan keberaniannya untuk mengangkat contoh yang mungkin cukup kontroversial, seperti LGBT (hlm. 38), namun saya cukup kecewa karena pada bagian ini dia tidak menyinggung kritik terhadap pemikiran Kohlberg yang juga sudah cukup terkenal, yakni yang dilontarkan oleh Carol Gilligan dalam buku In a Different Voice: Psychological Theory and Women’s Development (1982) yang versi bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf (1997). Suara kritis dalam menilai teori Kohlberg tersebut menurut saya mestinya penting dijelaskan, agar pembaca bisa melihat lebih detail dinamika pemikiran diskursus etika secara lebih kaya.
Terlepas dari beberapa kekurangan di atas, buku yang ditulis oleh Romo Moko—panggilan akrab Haryatmoko—ini sangatlah berharga untuk memperluas diskursus moralitas dengan pendekatan filosofis tetapi bernuansa terapan dan praktis. Pendekatan yang cukup praktis ini membuat buku ini relatif lebih mudah diakses pembaca yang lebih luas, tak hanya peminat filsafat. Lebih jauh, harapannya nanti akan terbit buku-buku lain bertema filsafat moral yang bersifat populer dan praktis yang mungkin akan berguna untuk dijadikan sandaran menjalani kehidupan yang lebih baik.
Kamis, 30 Januari 2025
Nasib Koran dan Nostalgia Lampu Merah Adisucipto
Kalau Anda berada di sekitar Indomaret Papringan, Yogyakarta, dekat kampus Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (dulu bernama Instiper), yang juga dekat dengan kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekitar pukul 9 pagi, mungkin saja Anda akan melihat seorang perempuan paruh baya berjalan dari arah Jalan Laksda Adisucipto. Pakaiannya sederhana. Jalannya, maaf, pincang, dengan topi capil di kepalanya. Tubuhnya tidak terlalu tinggi.
Anda dapat memastikan bahwa perempuan itu adalah yang saya maksud bila ia membawa koran-koran sambil berjalan pelan ke arah Jalan Ori atau kadang terus lurus di Jalan Petung. Meski dalam sekitar setahun setengah ini saya jarang berpapasan dengannya, tapi seingat saya, dia selalu membawa (sisa-sisa) koran dalam perjalanannya ke arah Papringan.
Ya, dia adalah penjual koran di pertigaan Laksda Adisucipto dekat kampus UIN Yogyakarta. Saya masih mengenalinya, seperti sekitar lebih dari 20 tahun yang lalu saat saya sering melihatnya di lampu merah pagi-pagi. Dulu, dia berjualan koran bersama seorang perempuan yang lebih tua—mungkin ibunya. Seingat saya, dulu ada juga penjaja koran laki-laki di lampu merah itu.
Saya membayangkan, betapa setianya dia menjadi penjaja koran hingga lebih dari 20 tahun di situ. Dulu, saat masih menjadi mahasiswa jenjang sarjana dan masih aktif menulis di media massa, pagi-pagi saya dan juga beberapa rekan penulis dari kampus UIN Yogyakarta biasa mendatangi penjaja koran entah itu di lampu merah tersebut, atau di kios koran Batas Kota dekat Hotel Saphir, atau di kios dekat pertigaan Jalan Bimokurdo. Kami menumpang ngintip, mencari tahu, tulisan siapa yang dimuat di koran hari itu.
Itu sekitar akhir tahun 1999 hingga 2002, saat saya cukup aktif mengirimkan tulisan ke media massa. Dari UIN Yogyakarta, banyak sekali penulis-penulis yang aktif menulis di media massa. Rubrik yang paling banyak dituju adalah resensi buku. Selain bisa mendapatkan honor, tulisan resensi buku yang dimuat di media dapat diajukan ke penerbit untuk mendapatkan reward buku—bahkan juga reward lainnya.
Saat beberapa bulan yang lalu saya berpapasan dengan perempuan penjaja koran itu di perempatan Jalan Ori, saya membeli koran Kompas—meski saya sudah berlangganan epaper Kompas. Saya mencium baru kertasnya yang khas, dan saya kemudian terpikir tentang nasib koran di era digital.
Setidaknya dalam satu tahun terakhir, sejak awal 2024 hingga sekarang, saya nyaris tak pernah bertemu dengan Harian Kompas yang terbit lebih dari 16 halaman. Rubrik-rubriknya jadi minimalis. Tak ada lagi rubrik tinjauan buku di versi cetak. Bahkan, di versi online/digital pun, rubrik tinjauan buku jarang muncul.
Ya, nasib koran cetak sungguh telah banyak berubah. Tak seperti 20 tahun yang lalu. Saya ingat, di antara tahun 2000 hingga setidaknya 2002, Kompas sering terbit hingga 48 halaman, dengan alokasi rubrik yang beragam. Rubrik opini pun diberi ruang yang lebih banyak daripada biasanya yang hanya 2 halaman. Demikian pula rubrik tinjauan buku, yang untuk Kompas waktu itu berada dalam satu manajemen dengan rubrik opini. Ruang untuk resensi buku pun waktu itu tidak hanya muncul setiap hari ahad. Bahkan, dalam satu pekan, kadang sampai empat hari ada resensi buku yang dimuat di Kompas. Tentu saja ini juga menjadi berkah bagi penulis-penulis dari kalangan mahasiswa seperti saya waktu itu yang memang cukup mengandalkan pendapatan dari honor menulis untuk hidup di Yogyakarta.
Semakin susutnya halaman koran cetak, saya yakin itu juga menunjukkan banyak hal lainnya. Saya amati, iklan di koran Kompas pun juga semakin sedikit. Bahkan cukup sering saya lihat iklannya adalah iklan internal, iklan sendiri, entah dari Harian Kompas sendiri, atau Gerai Kompas (yang menjual produk buku, dan semacamnya), atau divisi Kompas yang menggelar kegiatan pelatihan dan semacamnya.
Saya pikir itu berarti geliat usaha media cetak semakin surut. Kita tahu, beberapa tahun terakhir telah banyak media massa yang undur diri dari versi cetak, dan hanya terbit dalam versi digital/website.
Tentu saja, pendapatan penjaja koran di tengah susutnya media cetak juga terancam. Variasi media cetak turun drastis. Pembelinya juga sangat mungkin semakin berkurang—entah karena adanya alternatif versi digital, menurunnya minat membaca media cetak, berkurangnya mahasiswa yang dulu juga menjadi “pelanggan” meski tidak setiap hari, dan semacamnya.
Suatu hari, beberapa bulan yang lalu, saat kalender menunjukkan hari libur nasional, saya duduk-duduk di angkringan depan kos Astra Seroja di Papringan. Waktu itu sekitar pukul 9 pagi. Bersama saya, ada seorang bapak, pensiunan karyawan di Universitas Negeri Yogyakarta. Sekitar 10 menit berbincang, perempuan penjaja koran itu tampak muncul dari arah barat, di pintu masuk Jalan Ori I, berjalan ke arah timur, mendekat ke angkringan tempat saya nongkrong.
Saat mendekat, si bapak memanggil perempuan itu, menanyakan koran yang terbit di hari itu, dan membelinya. Si bapak tak menerima uang kembalian, malah memberinya bonus nasi bungkus angkringan dan dua tempe. Si perempuan tersenyum gembira.
Saya pikir, si bapak juga tahu, bahwa penjaja koran di era sekarang menghadapi tantangan hidup yang tidak mudah. Mungkin si perempuan penjaja koran itu tak punya pilihan pekerjaan lain selain menjual koran. Ya, dia tak punya banyak kebebasan. Dia menapaki jalan takdirnya—dengan kesunyiannya, dengan ketabahannya.
Label: Daily Life
Rabu, 29 Januari 2025
Moralitas dan Strategi Berpikir Jernih
Judul buku: The Art of Clear Thinking: Siasat Menghadapi Sesat Pikir
Penulis: Patrick King
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: vi + 156 halaman
Apakah berpikir masih menjadi isu yang penting di tengah makin berkembangnya berbagai bentuk perkakas kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang semakin mudah diakses belakangan ini? Apakah keterampilan berpikir masih perlu terus diupayakan dan dikembangkan serta perlu diperkuat dalam agenda kependidikan dan kebudayaan kita?
Jika berpikir dianggap penting, lalu pertanyaan berikutnya: berpikir yang bagaimana yang bernilai penting bagi kita khususnya di era AI saat ini? Patrick King, penulis buku The Art of Clear Thinking ini, mengemukakan bahwa ada banyak bentuk kegiatan berpikir. Ada berpikir cepat, berpikir reaksioner, berpikir sederhana, berpikir rumit, dan sebagainya. Apakah semuanya penting untuk mendapatkan perhatian?
Menurut King, di tengah banjir informasi yang kian tak terbendung, yang kita perlukan saat ini adalah berpikir jernih (clear thinking). Otak kita secara naluriah cenderung untuk berpikir cepat, mengabaikan akurasi yang sebenarnya bernilai lebih penting daripada kecepatan, sehingga akhirnya kita terjatuh pada sesat pikir. Berpikir jernih kurang lebih serupa dengan apa yang selama ini sering juga disebut dengan berpikir kritis (critical thinking). Dalam pengertian yang paling sederhana, berpikir jernih adalah berpikir untuk menemukan kebenaran objektif.
Dengan pengertian ini, berpikir jernih berarti upaya untuk keluar dari jebakan subjektivitas dan menempatkan bukti, fakta, data, dan argumen sebagai pedoman dalam mencapai kesimpulan. Dalam buku ini, King membahasakan subjektivitas dengan istilah “ego”, sebuah istilah yang juga sudah cukup populer.
Dalam empat bab, King memaparkan seni berpikir jernih dengan gaya bertutur yang lincah dan mudah dicerna. Pada bab pertama, King memulai dengan pentingnya kejujuran intelektual untuk meraih pikiran yang jernih. Untuk melawan godaan ego (subjektivitas), sangatlah penting untuk berkomitmen pada kejujuran. King menggambarkan ego sebagai wujud alamiah dari sistem pertahanan pada diri subjektif sehingga wajar bila ia sering tidak disadari. Cara berpikir ego-subjektif dapat berupa penyangkalan atau rasionalisasi (akal-akalan atau cari-cari alasan dan pembenaran).
Komitmen pada kejujuran diharapkan dapat merobohkan pertahanan ego-subjektif dalam berbagai bentuknya. Kejujuran intelektual, tulis King, adalah “komitmen untuk menemukan kebenaran, secara utuh, tanpa syarat, apa pun risikonya” (hlm. 13). Kejujuran intelektual menjaga proses berpikir dari bias, prasangka, dan juga emosi. King menguraikan bentuk-bentuk ketidakjujuran intelektual secara cukup teperinci agar komitmen pada kejujuran dapat menemukan jalan strateginya saat beraksi dalam kegiatan berpikir (hlm. 18-24). Misalnya, King menerangkan tiga penghalang umum untuk berpikir jujur, yakni kemalasan intelektual, ketidaktahuan yang disengaja, dan ketidakmampuan bersikap kritis dalam menghadapi otoritas kebenaran tertentu.
Pada bab yang kedua King berfokus pada bentuk-bentuk penghalang subjektif. Bab kedua diberi judul “(Jangan) Percayai Insting Anda”. Serupa dengan insting yang dibiarkan apa adanya serta tidak disikapi secara kritis, ada empat hal yang dapat meneguhkan subjektivitas kita dalam berpikir, yaitu perasaan, perspektif, persepsi, dan ingatan. Dalam proses berpikir, keempat hal ini menurut King haruslah ditempatkan secara proporsional.
Perasaan atau emosi bukanlah fakta. Realitas itu netral, tapi emosi akan “membuat Anda memandangnya dalam cara tertentu” (hlm. 41). Bila dikuasai emosi, itulah saat yang tepat untuk segera mengambil jarak dalam melihat kenyataan dan mencoba berpikir dengan jernih. Sedangkan persepsi sering menjebak kita pada bias tertentu, entah itu bias ketersediaan, bias rasionalisasi agar tidak merasa menyesal, dan sebagainya (hlm. 52-55).
King menawarkan beberapa strategi untuk menghindar dari bias-bias semacam ini, yakni strategi mencari penjelasan alternatif, mengubah pernyataan menjadi pertanyaan, dan menantang asumsi-asumsi yang tersembunyi. Secara umum, King menekankan bahwa tameng berpikir jernih agar tidak tercebur pada subjektivitas di antaranya adalah memahami hukum-hukum dasar logika. Sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang cara kerja pikiran, logika diperlukan agar pikiran tidak terseret godaan subjektivitas. Dalam buku ini, King membahas beberapa hukum dasar logika sebagai contoh cara logika menghalangi kuasa subjektivitas (hlm. 65-72).
Pada bab ketiga, King membahas tentang pikiran terbuka. Untuk dapat berpikir dengan jernih, kita memerlukan pikiran yang terbuka. Berpikiran terbuka berarti kesediaan kita untuk mendengarkan bukti dan argumen dan tidak terburu-buru membuat penilaian instan. King juga mengingatkan bahwa pikiran kita kadang dipengaruhi oleh dimensi sosial atau hal-hal di sekitar kita. Pada bagian ini, King membahas bias konformitas yang merupakan temuan riset Solomon Asch dan psikologi kepatuhan dari Stanley Migram (hlm. 100-106). Dua teori ini kurang lebih menjelaskan bahwa kita terkadang tidak berpikir jernih karena ikut-ikutan, takut dipandang berbeda, dan lari dari tanggung jawab. Semua itu kemudian menyeret kita menjauh dari fakta dan kebenaran.
Di bab terakhir, King mengajak pembaca untuk belajar berpikir jernih dari para pemikir besar dalam sejarah. Pada bagian ini, King menghadirkan lima tokoh lintas-masa, yakni Elon Musk, Charles Darwin, Rene Descartes, Albert Einstein, dan Sokrates. Kelima tokoh ini mewakili keragaman kontribusi mereka dalam mengembangkan model berpikir yang selaras dengan cita-cita berpikir jernih.
Keterampilan berpikir jernih dibutuhkan oleh siapa saja. Profesi apapun, semua membutuhkan landasan pikiran yang jernih. Bahkan, menjalani keseharian pun membutuhkan pikiran jernih. Pikiran yang jernih dapat menuntun pada informasi yang benar dan keputusan tindakan yang tepat. Banjir informasi cenderung membawa sampah yang dapat ikut menggenangi pikiran. Itu harus disingkirkan—di antaranya dengan keterampilan berpikir jernih.
Dalam buku ini King tidak saja membagikan kiat-kiat atau strategi berpikir jernih. Teknik dan strategi dijelaskan dengan contoh-contoh yang membuatnya semakin terang. Lebih jauh, King juga memberi fondasi berpikir jernih pada aras moralitas. Moralitas di sini dalam arti sikap batin, yakni sikap batin yang dibutuhkan dalam mencari kebenaran. Secara eksplisit, King meletakkan moralitas berpikir yang paling mendasar pada bab pertama, yakni kejujuran intelektual. Pada bagian-bagian berikutnya, eksplisit dan juga implisit, King juga menekankan pentingnya sikap rendah hati dalam membaca pandangan orang lain.
King juga berbicara tentang risiko dari pencarian atas kebenaran, yang itu berarti bahwa pencarian kebenaran membutuhkan keberanian. Kita tahu, kebenaran kadang mengantarkan kita pada risiko yang pahit yang terkadang disangkal oleh orang-orang yang masih terkurung dalam subjektivitas egoistis
Buku ini tergolong bacaan populer dalam mempertajam keterampilan berpikir. Kalau Anda membaca buku-buku teks logika formal, Anda mungkin saja akan merasa bosan dan perlu mengerutkan dahi. Buku ini tersaji untuk pembaca umum, tidak saja untuk mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah “Logika Dasar”. Buku-buku populer tentang keterampilan berpikir seperti ini sangat penting dan berharga terutama untuk konteks sekarang, saat informasi semakin berlimpah dan kecenderungan manusia yang terobsesi pada kecepatan dan mengabaikan akurasi yang merupakan dasar bagi kebenaran.
Meski saat membaca buku ini saya tidak menggunakan “mode editor”, saya dapat simpulkan bahwa penyuntingan buku ini cukup bagus. Salah ketik hanya saya temukan di halaman 111 paragraf kedua, baris kedua. Sedangkan terkait soal substansi, saya agak terganggu pada bab keempat saat King memasukkan Elon Musk dalam daftar tokoh yang dianggap “pemikir terhebat dalam sejarah” dalam hal “metode berpikir” (hlm. 109).
Empat tokoh lainnya tak ada masalah. Sokrates jelas dalam sejarah filsafat Barat diakui sebagai filsuf yang memelopori metode berfilsafat. Descartes dipandang sebagai pelopor filsafat modern yang kontribusinya tak diragukan dan jelas jejak pemikiran dan gagasannya. Einstein dan Darwin juga mempunyai jejak rekam gagasan yang jelas dan pengaruh yang signifikan khususnya dalam bidang sains. Tapi Musk? Metode berpikir? Rasanya lebih ke hal teknis-strategis dalam hal inovasi dan pengembangan bisnisnya. Sesuatu yang relatif cukup sempit. Dan lagi, kejelasan, kedalaman, dan pengaruh strateginya belum cukup teruji. Belum lagi jika Musk dilihat dari sisi kontroversialnya dalam konteks politik di Amerika saat ini untuk mencermati seberapa jernih dia berpikir untuk masalah-masalah yang diamati, dikomentari, dan disikapinya.
Selain itu, hal yang juga cukup mengganggu saya adalah saat King membahas tentang penyimpulan langsung dengan cara konversi (hlm. 69-70). Dalam disiplin logika, konversi adalah menarik kesimpulan dengan membalikkan atau menukar term subjek dan predikat. Namun, dalam logika, prosesnya tidak berhenti di situ. Ada norma bahwa jika proposisi universal afirmatif dikonversi, maka kesimpulannya harus berbentuk partikular afirmatif. King mengabaikan hal itu, dan menyatakan bahwa penyimpulan konversi ini membuahkan argumen yang cacat.
Namun demikian, saya percaya bahwa pembaca yang sejak awal berusaha membaca buku ini dengan jernih tak akan dengan mudah menerima poin-poin gagasan dalam buku ini begitu saja. Pembaca yang menerapkan mode membaca dengan seni berpikir jernih mungkin akan cukup mampu untuk menyaring serpihan-serpihan gagasan dalam buku ini yang bisa saja sebenarnya masih perlu dibersihkan dari bentuk-bentuk bias atau bahkan mungkin sesat pikir.
Wallahu a’lam.
Selasa, 26 November 2024
Pilkada dan Ujian Keimanan
Bagi seorang yang beriman, pemilihan kepala daerah (pilkada) mungkin adalah sebuah ujian keimanan. Apa saja sisi keimanan yang diujikan dalam momen pilkada ini?
Secara umum, seorang yang beriman harus memiliki kesadaran bahwa semua tindakan yang dia lakukan di dunia kelak akan dipertanggungjawabkan secara pribadi di hadapan Allah. Kesadaran tentang pertanggungjawaban di akhirat ini adalah salah satu poin mendasar ajaran yang pertama disampaikan Nabi Muhammad saat memulai misi kerasulannya.
Masyarakat Arab waktu itu secara umum berpikir bahwa setelah mati, semua urusan selesai. Tak ada akhirat. Tak ada sesi urusan tanggung jawab. Namun Nabi Muhammad mengajarkan hal yang sebaliknya. Seorang yang beriman harus mengorientasikan hidupnya pada kesadaran tentang adanya Hari Pengadilan di akhirat. Kebahagiaan yang dicari di dunia hanyalah fana, sedang kebahagiaan yang sebenarnya hanyalah di akhirat adanya.
Pilihan sikap kita dalam pilkada tentu juga termasuk salah satu yang harus dipertanggungjawabkan. Pilkada berkaitan dengan kepemimpinan dalam masyarakat. Dalam Islam, ada norma-norma yang diajarkan oleh agama tentang kepemimpinan dan tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam al-Qur’an, ada term “ulil amr” yang merepresentasikan pengurus publik atau pemerintah yang mengatur dan mengurus tatanan kehidupan bersama. Dalam surah Annisa’ ayat 59, term ulil amr disejajarkan dengan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul. Seruan kepada kaum beriman dalam ayat ini tampak menunjukkan bahwa ulil amr disejajarkan dengan pemegang otoritas yang lain, yakni Allah dan Rasulullah. Penyejajaran ini menunjukkan nilai penting posisi ulil amr yang dapat kita pahami sebagai nilai penting momentum memilih pemimpin seperti dalam pilkada.
Otoritas ulil amr ini harus dibangun di atas kriteria yang tepat. Karena itu, pemimpin atau ulil amr harus memiliki visi kemaslahatan umum (bukan hanya melayani tuan dan kelompoknya), integritas, keadilan, kompetensi, mau mendengar suara masyarakat, dan memiliki kasih sayang kepada umat. Pedoman semacam inilah yang kiranya penting menjadi pegangan saat ikut serta memilih calon pemimpin.
Namun terkadang godaan muncul ketika calon-calon yang ada di antaranya memiliki kedekatan subjektif dengan kita. Dalam situasi seperti ini, kriteria objektif dan panduan normatif kadang menjadi terabaikan. Padahal al-Qur’an sudah mengingatkan dalam surat al-Maidah ayat kedelapan agar kita tidak dikuasai oleh subjektivitas kita, agar jangan sampai “kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil”.
Saya jadi teringat ulasan beberapa sumber ketika menceritakan dakwah Rasulullah di Mekah. Asghar Ali Engineer misalnya dalam salah satu bukunya yang berjudul The Origin and Development of Islam mengutip beberapa sumber dan menyatakan bahwa kaum kafir Mekah bukannya tidak percaya dengan apa yang disampaikan Nabi Muhammad. Reputasi Nabi Muhammad sebagai orang yang tepercaya dan tidak punya rekam jejak yang buruk (malah punya catatan kepedulian pada masalah kemasyarakatan) membuat kaum kafir Mekah tak punya bahan argumen untuk menolak apa yang disampaikan Nabi Muhammad. Akhirnya orang Mekah mencari-cari alasan dengan kemudian memfitnah Nabi Muhammad sebagai orang gila, tukang sihir, dan sebagainya.
Kutipan dari HAR Gibbs dalam bukunya, Muhammedanism (1962: 26), di bawah ini menyatakan hal tersebut secara lebih jelas:
The resistance of the Meccans appears to have been due not so much to their conservatism or even to religious disbelief (though they ridiculed Mohammed's doctrine of resurrection) as to political and economic causes. They were afraid of the effects that his preaching might have on their economic prosperity, and especially that his pure monotheism might injure the economic assets of their sanctuaries. In addition, they realized more quickly than Mohammed himself did that their acceptance of his teaching would introduce a new and formidable kind ofpolitical authority into their oligarchic community.
Perlawanan orang-orang Mekkah tampaknya bukan disebabkan oleh konservatisme mereka atau bahkan ketidakpercayaan mereka pada agama yang dibawanya (meskipun mereka mengejek doktrin Muhammad tentang kebangkitan manusia kelak di akhirat) melainkan karena alasan politik dan ekonomi. Mereka takut pada dampak yang mungkin ditimbulkan oleh ajarannya terhadap kemakmuran ekonomi mereka, dan khususnya bahwa monoteismenya yang murni dapat menghancurkan aset ekonomi tempat-tempat suci yang mereka kuasai. Selain itu, mereka menyadari lebih cepat daripada Muhammad sendiri bahwa penerimaan mereka terhadap ajarannya akan memunculkan jenis otoritas politik yang baru dan tangguh ke dalam komunitas oligarki mereka.
Membaca sumber tersebut, saya jadi terpikir, betapa celakanya jika ada seseorang yang karena dikuasai situasi subjektifnya menolak visi kebenaran yang terang benderang. Betapa celakanya orang yang menutupi kebenaran hanya karena jika ia mengikuti kebenaran itu maka posisi sosialnya, kekuasaannya, sumber ekonominya, gaya hidupnya, atau perutnya, terancam.
Dalam situasi ini, saya berpikir bahwa pilkada memang adalah ujian keimanan. Ia menguji komitmen kita pada kebenaran. Ia menguji integritas kita saat berhadapan dengan dilema-dilema dan godaan-godaan yang mungkin bersifat duniawi. Ia menguji kita tentang apa yang semestinya didahulukan: orientasi duniawi atau ukhrawi? Apakah pilihan kita mengikuti standar normatif atau tunduk pada hawa subjektif?
Dalam bentuk yang lain, ujian pilkada juga berwujud praktik politik uang. Dalam intensitas politik uang yang menurut banyak data semakin menguat pada ajang-ajang coblosan beberapa tahun terakhir, iman seseorang diuji apakah standar normatif memilih pemimpin akan diruntuhkan oleh uang atau materi yang sifatnya sementara belaka. Orientasi materi ini juga berpengaruh terhadap cara berpikir (mindset) masyarakat. Masyarakat mulai semakin banyak yang berpikir bahwa rezeki itu adalah dan hanyalah materi dan atau uang. Rezeki dalam bentuk yang lain yang sifatnya abstrak mulai tersisih dalam pikiran. Misalnya, rezeki pemimpin yang peduli dan benar-benar menjadi pelayan masyarakat. Atau kesehatan dan waktu yang dapat terisi dengan hal-hal positif dan penuh keberkahan.
Ya, pilkada ini memang adalah ujian. Dan mungkin, dalam ruang sunyi yang tenang, ruang tempat nurani berdiam, kita sendiri bisa memberi nilai untuk pilihan yang kita tentukan.
Wallahu a'lam.
Label: Social-Politics
Kamis, 21 November 2024
Pegasus
Kau-tahu-siapa ingin terus menguasai wilayah itu. Pegasus ingin terus ada dalam kendalinya. Jaringan oligarkinya digerakkan. Bos-bos di pusat didekati. Oligarki menginginkan jalan mulus. Oligarki menginginkan satu pasangan calon. Ya, Paman Gober ingin Donal maju sebagai calon tunggal. Persekongkolan dikuatkan. Isu calon tunggal diembuskan di berbagai ruang.
Tapi rencana gagal. Di detik akhir, ternyata ada jalan untuk calon lain maju. Mimpi calon tunggal terkubur. Calon lain maju. Calon yang cukup ditakuti oleh kau-tahu-siapa. Siapa lagi kalau bukan McGonagall.
Ini situasinya. Ini alur dan konteksnya. McGonagall maju untuk melawan kehendak oligarki. Oligarki yang melukai demokrasi. Oligarki yang kabarnya tengah berusaha untuk juga menguasai wilayah tetangga. Oligarki yang panglimanya kau-tahu-siapa. Di salah satu wilayah tetangga, dia mengutus seorang alumnus Azkaban untuk mendampingi Quirrel.
Mereka yang mengenal karakter McGonagall dapat memahami ketulusan dan niat baiknya. Rekam jejaknya tak ada masalah. Integritasnya tak diragukan. Orang tahu bahwa dia tidak sedang ingin membangun imperium. Rasanya tak mungkin dia masuk ke gelanggang untuk memperkaya diri. Dia prihatin. Dia ingin memperbaiki keadaan.
Ya, McGonagall maju bukan semata untuk bertanding. Ini adalah bentuk perlawanan. Ini laku kepahlawanan. Perlawanan mengadang oligarki. Keberanian, tekad, integritas, dan kepercayaan publik adalah di antara modalnya. Meski dia tidak punya Paman Gober.
Orang-orang dari Gryffindor dan asrama lain banyak mendukung. Dukungan yang penuh tulus, bukan demi fulus. Ada yang bilang, mereka itu fanatik. Mungkin memang iya, Tapi mereka bukan semuanya massa fanatik yang memarkir akal sehat. Mereka punya argumen. Kalaupun mau disebut fanatik, mereka fanatik bukan dalam semacam ajang Quidditch. Mereka fanatik, yakni “meyakini dengan teramat kuat” (demikian menurut KBBI), bahwa kau-tahu-siapa ingin melanggengkan oligarki yang dibangunnya. Rasanya, sulit menemukan alasan untuk membiarkan itu dan berkata: “saya mau bersikap netral”. Sebab apakah namanya jika seseorang diam di hadapan kezaliman yang nyata di depan mata?
Kau-tahu-siapa. Apa kabarmu?
Kursi telah malam. Piring telah malam.
Keterangan: Gambar diambil dari Wikipedia.
Label: Social-Politics
Rabu, 20 November 2024
Puisi Kiai Faizi
Karena terpukau dengan penampilan Mas Kiai dalam acara Konser Budaya Final pada Rabu malam, 30 Oktober 2024 lalu, tak banyak yang membicarakan Kiai Faizi dan puisi yang dibacakannya. Padahal menurut saya ini menarik.
Pertama, Kiai Faizi selama ini tak pernah ikut-ikutan urusan politik praktis. Tapi sekarang beliau tampil di panggung-panggung Final. Lebih jauh, Kiai Faizi rasanya nyaris tak pernah melontarkan kritik tajam ke siapapun di ruang publik dalam konteks yang dapat mengarah pada subjek tertentu yang cukup spesifik.
Nah, saat tampil di panggung membacakan puisi di acara Konser Budaya Final tersebut, pilihan puisi yang dibacakan Kiai Faizi cukup mengejutkan saya. Puisinya memuat kritik tajam. Kalau puisi itu saya bahas saat mengajar di kelas Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA 3 Annuqayah 15 tahun lalu, mungkin akan biasa saja. Tapi tiga puisi itu dibacakan pada acara Konser Budaya Final. Konteksnya jelas.
Puisi pertama yang berjudul “Kamu Mirip Kue Tar” membahas kerapuhan masyarakat berhadapan dengan kuasa uang. Kiai Faizi mengkontraskan tubuh yang kekar dan jiwa yang kerempeng yang mudah disuap dengan uang. Kiai Faizi menyinggung kebutuhan pada nasi dan lauk. Ya, itu kebutuhan konkret. Kemiskinan merapuhkan keimanan. Kalau Anda membaca buku Kuasa Uang karya Burhanuddin Muhtadi yang dikembangkan dari disertasinya di Australia, kita akan memahami betapa mengerikannya kuasa politik uang dalam pemilu pasca-Orde Baru di Indonesia.
“Sumenep”. Itu judul puisi kedua. Puisi ini bernostalgia tentang Sumenep di masa lalu. Ada kontras antara sejarah yang menorehkan nama agung dan pengkhianat yang mengotori sejarah. Saya jadi teringat pidato-pidato Ra Mamak, termasuk di panggung Final, yang menyebut Sumenep sebagai ibu Nusantara dan pentingnya kita memilih pemimpin yang tepat untuk mengembalikan kehormatan dan kejayaannya.
Pada puisi ketiga, Kiai Faizi tiba di titik klimaks. Judul puisinya “Nasionalisme di Mata Anak Kecil”. Pada puisi ini, beliau seperti hendak menjelaskan tentang siapa pengkhianat itu. Menjelaskan kata “pengkhianat” yang ada di ujung puisi kedua. Pengkhianat: mereka yang mengangkat nasionalisme sebagai narasi, tapi nyatanya mereka memperkaya diri. Hehehe.. kira-kira tafsiran saya begini: bilangnya melayani, tapi nyatanya melayani kau-tahu-siapa. Tentang melayani, saya teringat pada surat berkop yang beredar di media sosial beberapa tahun lalu. Surat yang meminta untuk menyediakan 100 sopir itu. Entah bagaimana cerita sebenarnya.
Klimaks pada puisi itu ditutup dengan larik yang sangat tegas dan lugas:
bahwa yang bisu harus berkoar
dan para penipu harus dihajar
Wah, rasanya ini mirip dengan akhir puisi Wiji Thukul yang terkenal itu, yang berjudul “Peringatan”, yang petikannya sangat terkenal: “Maka hanya ada satu kata: lawan!”
Saya terkesiap dengan larik-larik terakhir puisi Kiai Faizi di malam itu. Saat “harus dihajar”, pada siaran langsung yang saya saksikan, Kiai Faizi tak melihat ke arah penonton sambil bergerak turun dari panggung dengan langkah yang terlihat tenang.
Saya yang penasaran, berusaha mencari tiga puisi Kiai Faizi yang dibacakannya di komputer saya. Tapi saya ternyata hanya menyimpan berkas-berkas Kiai Faizi paling akhir tertanggal tahun 2003. Tak ada arsip puisi atau tulisan lainnya setelah itu. Harus minta kepada Langley via Mas Anta.
Setelah pertunjukan Konser Budaya itu selesai, pikiran saya masih terus tertuju pada penampilan Kiai Faizi. Di benak saya terpikir, baru kali ini saya menyaksikan Kiai Faizi “seberani” ini. Luar biasa!
Label: Social-Politics
Jumat, 01 November 2024
Masjid Quba, Ruang Suci, dan Penghayatan Keimanan
Dari kejauhan, bangunan itu tampak berdiri megah. Bangunan yang bagian separuh ke atas itu berwarna putih menjadi pusat perhatian. Tak ada hal menonjol lain di sekitarnya. Pohon-pohon kurma yang ada di salah satu sisi bangunan terlihat biasa saja.
Memasuki pintu salah satu masjid itu, bagian utama masjid ternyata tidak begitu luas. Ruangnya melebar ke samping. Dua lampu berbentuk lingkaran dan bersusun yang lurus dengan tempat imam tampak menarik perhatian. Lampu serupa ada di bagian lain masjid itu. Sebagian besar orang-orang di ruangan itu melaksanakan shalat.
Di seberang ruang utama itu, ada ruang terbuka yang seperti menjadi halaman dalam masjid. Halaman dalam itu dikelilingi semacam ruang teras yang menjadi bagian terluar bangunan masjid. Cahaya matahari masuk melalui halaman tengah di dalam masjid itu, memberikan penerangan alami ke bagian dalam masjid bersejarah yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah itu.
Ya, itu adalah masjid pertama yang dibangun Rasulullah dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada tahun 622 M. Masjid Quba, berjarak sekitar 4 km dari Masjid Nabawi di kota Madinah. Dengan hanya tinggal selama tiga sampai empat hari di Quba, yang dimaksud Rasulullah “membangun masjid” tentunya tak bisa kita bayangkan seperti pembangunan masjid saat ini. Saya berpikir mungkin Rasulullah hanya menetapkan tempat itu sebagai masjid atau tempat shalat bersama untuk umat Islam. Mungkin Rasulullah memancangkan batas-batas area masjid di situ dan membuat pondasi.
Lebih dari sekadar detail yang bersifat teknis, masjid pertama itu merefleksikan banyak hal dalam perkembangan sejarah Islam baik secara personal bagi seorang muslim maupun secara sosial dalam konteks masyarakat Islam. Itu hal yang ada dalam pikiran saya saat akan memasuki masjid itu.
Saya teringat refleksi yang ditulis oleh Tariq Ramadan dalam buku In the Footsteps of the Prophet ketika menuturkan pendirian masjid pertama dalam peristiwa hijrah Rasulullah. Menurut Tariq Ramadan, pembangunan masjid itu “menunjukkan signifikansi dan sentralitas masjid dalam hubungannya dengan Tuhan, ruang, dan masyarakat”. Ruang semesta yang dalam pandangan spiritual Islam bersifat sakral mendapatkan label khusus sebagai ruang suci setelah ditetapkan sebagai “tempat bersujud” (masjid). Sebagai “tempat bersujud”, ia adalah tempat hamba merendahkan dan menundukkan ego di hadapan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Kesucian ruang itu menegaskan bahwa ada hubungan antara ruang tertentu dan penghayatan spiritualitas. Secara objektif, ruang mungkin hanya dibedakan oleh detail spesifikasi teknis. Tapi secara subjektif, ruang menjangkau nilai sejarah dan nilai lainnya sehingga dapat membawa pada makna penghayatan spiritualitas tertentu. Mungkin itu juga akan terkait dengan “wadah” dan kesiapan subjek untuk menampung makna ruang tersebut. Jejak dan pengalaman hidup, wawasan dan pengetahuan, serta rekam penghayatan interaksinya dengan semesta membentuk wadah subjektif tersebut.
Masjid menurut Tariq Ramadan juga adalah gambaran realitas kehidupan menetap, tempat kesadaran keimanan menemukan rumah tinggalnya. Rasanya bukanlah suatu kebetulan bahwa masjid ini dibangun dalam momentum hijrah. Dalam kehidupan umat Islam di Mekah, keimanan mereka mungkin bisa dibilang masih berada dalam status “kehidupan nomad”. Kesadaran keimanan masih terombang-ambing dalam pengasingan karena tak menemukan rumah tempat berpulang. Tak ada masjid di era Mekah. Umat Islam masih terlunta-lunta, berjuang mengokohkan keimanan dalam deraan dan tekanan kaum kafir. Masyarakat muslim belum cukup kuat untuk membangun rumah keimanan mereka dalam skala komunal.
Dengan mendirikan masjid, Rasulullah menegaskan satu titik penting poros kehidupan bermasyarakat. Masjid adalah rumah—rumah bersama. Dalam keterombang-ambingan, baik dalam sebuah perjalanan atau pengasingan, masjid adalah tempat berpulang agar seorang muslim tidak kehilangan arah dan makna.
Namun begitu, pemaknaan masjid yang sedemikian itu akan berhadapan dengan kenyataan objektif dan subjektif seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga penghayatan keagamaannya. Norma ideal akan berhadapan dengan fakta dan kenyataan. Apakah seorang muslim sudah menempatkan masjid sebagai ruang suci dan poros keimanannya? Seberapa intens dia menjadikan masjid dalam pemaknaan dan penghayatan tersebut, baik secara kuantitatif maupun kualitatif? Bagaimana upaya sebuah komunitas untuk menjadikan masjid sebagai ruang bersama tempat berbagi penghayatan keagamaan dalam pengertian yang luas? Bagaimana masjid dikelola untuk menampung keragaman latar dan karakter individu dalam sebuah komunitas?
Kunjungan saya ke Masjid Quba di akhir September lalu memantik refleksi dan pertanyaan-pertanyaan itu. Pertanyaan yang tentu kembali ke diri saya juga. Pertanyaan yang juga mengundang semacam kegelisahan. Pertanyaan yang mengingatkan saya pada pengalaman 15 tahun yang lalu, saat saya mencari dan menemukan masjid di sebuah kota kecil di Zeist, Utrecht, dalam episode “pengasingan” saya.
Saat saya berpisah dengan sebuah ruang suci dengan nilai sejarah yang kental itu, saya khawatir pertanyaan-pertanyaan penting ini kemudian tenggelam dalam rutinitas sehari-hari. Pertanyaan pengingat ini bisa saja kemudian berhenti berdering dan tak berdaya. Tapi mungkin dengan menuliskannya, setidaknya saya berharap dapat merawat pertanyaan dan kegelisahan ini agar tidak hilang begitu saja ditelan waktu.
Saya juga percaya bahwa suatu saat mungkin pertanyaan-pertanyaan itu akan menjelma kerinduan—pada ruang suci dengan sosok agung dan sejarah yang melingkupinya.
Label: Religious Issues, Spirituality
Kamis, 15 Agustus 2024
Decolonizing Javanese-Islamic Identity in the Discourses of Contemporary Indonesian Islamic Studies
Abstrak
Artikel ini membahas fenomena dekolonisasi studi Islam sebagai kelanjutan dari proyek kritik postkolonial yang marak di berbagai wilayah kajian. Secara khusus, tulisan ini ingin menjawab dua persoalan pokok, yakni tentang latar dan landasan dekolonisasi studi Islam serta pergulatannya dalam diskursus Islam Indonesia dengan mengambil fokus pada isu identitas Islam-Jawa. Dengan menganalisis data-data yang relevan, tulisan ini menyimpulkan bahwa dekolonisasi dilatarbelakangi oleh keresahan para ilmuwan atas dampak kolonialisme di wilayah akademik-ilmiah yang membentuk konstruksi budaya yang menindas. Dekolonisasi berusaha melampaui proyek postkolonial yang pada titik tertentu masih dibayang-bayangi oleh gagasan-gagasan tokoh Barat. Landasan epistemologis dekolonisasi berupa pendekatan kritis dalam studi agama pada umumnya yang juga melibatkan faktor politik pengetahuan pada salah satu dimensinya. Dalam konteks identitas Islam-Jawa, dekolonisasi berusaha menegaskan jalinan erat antara kejawaan dan keislaman yang cenderung dipisahkan oleh jejak kajian kolonial.
Tulisan selengkapnya bisa dibaca di sini.
Rabu, 10 Juli 2024
Dari Sudut Ruang di Kursi Tunggu
Dari sudut ruang di kursi tunggu ini, saya menatap pintu itu lekat-lekat. Saya membaca nama-nama itu. Dua nama itu. Satu menangani ayah saya, sepuluh tahun lalu, dalam waktu tidak lebih dari 2x24 jam, sebelum kemudian ayah saya meninggal dunia di rumah sakit ini. Nama lainnya menangani ayah-mertua saya selama sekitar 2 bulan hingga beliau meninggal di awal Ramadan lalu.
Dan saya terduduk di sini, menunggu panggilan untuk bertemu dengan dokter itu.
Pikiran saya masih dipenuhi dengan baris-baris kalimat dalam berkas tugas kuliah yang belum selesai. Hari ini adalah hari terakhir penyetoran tugas. Tapi saya harus menemui dokter itu untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan laboratorium dua hari yang lalu. Harus hari ini, karena berkaitan dengan obat yang harus saya minum dan beberapa keluhan yang saya alami sekitar 2 bulan terakhir. Saya tidak bisa menunda.
Tiba-tiba bayangan pikiran saya dilempar ke momen tahun lalu. Ya, tahun lalu saya juga duduk di sini. Hampir persis tahun lalu. Waktu itu pertengahan Juni. Saya duduk di sini tahun lalu untuk mengurus berkas pendaftaran beasiswa studi saya yang mensyaratkan surat keterangan sehat dari rumah sakit. Dan di akhir semester perkuliahan ini saya harus bertemu dengan dokter yang sama untuk masalah kesehatan saya sendiri.
Saya telah menjalani satu tahun yang penuh warna. Jogja, Astra Seroja, kereta, bus Eka, suka duka. Oiya, ada juga yang masih satu wazan: Mas Anta. Satu tahun yang ternyata di antaranya dimulai dari sini, dan juga titik akhirnya di ujung semester kedua ini juga saya masih harus ke sini. Seperti cerita David Webb yang berburu identitasnya di sekuel Bourne edisi kedua ke Johnston Medical Clinic yang merupakan tempat Special Research Development proyek Treadstone.
Lembar demi lembar perjalanan satu tahun melintas dalam pikiran saya. Rasanya begitu cepat waktu berlalu. Saya bersyukur bahwa saya telah berdiri di sini, di lintasan terakhir sebelum mencapai garis finish etape pertama.
Ada momen-momen yang rasanya sayang jika tak dituliskan. Momen yang mungkin memang tidak akan terulang dan rekamannya ingin saya bagikan. Saya membayangkan saya berharap bahwa nanti anak saya akan membacanya, seperti beberapa bulan lalu saat anak saya membaca petikan cerita saya yang ketinggalan kereta terakhir di Frankfurt dan harus kedinginan dan menjadi “gelandangan” semalam di penghujung 2009 dahulu.
Satu tahun perjalanan ikhtiar untuk merawat passion dan semangat keilmuan dalam diri saya yang saya rasakan sempat redup sebelumnya di antara rutinitas kegiatan saya. Ya, rasanya saya memang telah diserang virus itu: rutinitas, yang sering saya sampaikan di kelas bahwa itu adalah musuh terbesar filsafat yang dapat menenggelamkan kita dan membutakan kita dari sikap kritis dan reflektif.
Satu tahun ini, saya sudah diajak melihat-lihat kios gagasan. Menekuri lembar-lembar kertas, menelusuri jurnal-jurnal. Diskusi-diskusi di kelas. Waktu yang terasa berlari cepat dan menyempit saat menuntaskan tugas ulasan bacaan. Daftar bacaan yang seperti tak habis-habis, seperti Sisifus yang mendorong batu-batu. Lebih dari itu, ada orang-orang yang saya jumpai. Persona, bukan sekadar nama-nama. Para guru, rekan-rekan di kelas. Mitra diskusi lainnya yang sudi meluangkan waktu mereka. Aktor dan aktris pendukung yang tak bisa saya abaikan dan mesti juga nanti dipersilakan naik panggung untuk diberi penghargaan. Mereka semua yang nanti akan tampak semakin luar biasa.
Saya teringat anak saya saat pertama diajak ke pasar malam di kota. Lampu-lampu gemerlap. Meski semula seperti takut, akhirnya anak saya mau naik komidi putar dan tak lagi takut dengan ketinggian. Dari atas, dia bisa melihat pemandangan kota. Seperti John Keating saat mengajak murid-muridnya untuk naik berdiri di atas meja di kelasnya dalam Dead Poets Society. Melihat dari ketinggian. Memberi perspektif baru.
Kelebat bayang-bayang itu buyar. Nama saya dipanggil dari pengeras suara yang kadang terdengar sayup tapi kadang begitu memekakkan telinga. Saya harus masuk dan menemui dokter itu. Mendengarnya memberi penjelasan yang rasanya terlalu singkat untuk saya yang berharap detail dan pernah membaca Beauchamp dan Childress tentang etika profesi kedokteran. Dan nanti antre di apotek. Lalu pulang untuk menyelesaikan tugas paling akhir di semester ini agar saya dapat bebas dari sekolah dan bebas dari makalah—setidaknya di akhir etape ini.
Pamekasan, 6 Juli 2024
Label: Diari BIB