Setelah tiga minggu keliling Amerika mengikuti kegiatan dan bertemu dengan tokoh agama dan tokoh pendidikan dengan berbagai latar, kami disodorkan sebuah pertanyaan yang cukup menggugah: apakah ada persepsi dan pandangan Anda yang berubah tentang Amerika?
Apakah ini pertanyaan untuk mencuci otak kami? Apakah ini pertanyaan untuk menarik kami ke perahu mereka? Tapi bukankah saya menemukan bahwa ternyata “mereka” sangatlah beragam?
Pertanyaan itu muncul pada sesi evaluasi di hari terakhir dari rangkaian tiga pekan kegiatan IVLP bertajuk Faith Based Education. Sesi evaluasi ini dihadiri oleh pejabat dari Department of State Amerika sebagai penanggung jawab. Namanya Karl Asmus. Asmus, yang berdarah Jerman dan sebelumnya pernah bekerja untuk Angkatan Darat Amerika, waktu itu bertugas di Biro Pendidikan dan Kebudayaan, bagian yang mengelola kegiatan IVLP. Dia terbang dari Washington DC khusus untuk sesi evaluasi ini sekaligus untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kami. Dari Washington, dengan penerbangan langsung, dia butuh waktu hampir tujuh jam untuk tiba di Portland, Oregon, kota terakhir kegiatan kami.
Itu pertanyaan paling penting yang diajukan di sesi evaluasi tersebut. Lainnya lebih bersifat teknis atau turunan dari pertanyaan pokok itu. Bagi saya, ini pertanyaan reflektif yang membuat saya harus memeras semua pengalaman tiga minggu ini dalam satu kesan yang mungkin memang bernilai paling penting. Saya bersama delapan rekan peserta kegiatan lainnya tak punya waktu yang banyak untuk berpikir menyusun jawaban. Jawabannya memang lebih bersifat spontan.
Bagi saya, tiga pekan kegiatan yang cukup padat itu memang cukup berhasil mengubah pandangan saya tentang Amerika. Sebelumnya, saya tidak punya perhatian atau minat khusus untuk mempelajari Amerika secara mendalam. Orang-orang Amerika yang saya kenal pertama adalah para relawan dari Volunteer in Asia (VIA) yang bertugas di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk mulai tahun 1983 hingga 1997. Itu pun saya tidak kenal dekat. Rentang waktu itu adalah masa kanak-kanak dan remaja saya. Kebetulan saya tidak mengikuti kegiatan kursus Bahasa Inggris yang dikelola oleh mereka. Setelah itu, saat menempuh jenjang magister di Utrecht, Belanda, pada tahun 2009, ada teman kelas saya dari Amerika. Namun saya tidak cukup akrab.
Pandangan saya tentang Amerika adalah kesan yang saya tangkap di media dan pandangan umum lainnya yang berkembang. Amerika adalah negara adikuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya juga menonton film-film Hollywood, termasuk American Beauty (1999)—yang dinobatkan sebagai film terbaik Academy Award tahun 2000 dan menyabet empat piala Oscar lainnya—yang menggambarkan kesuraman keluarga suburban Amerika. Juga film-film Oliver Stone yang banyak mengangkat realitas politik Amerika—di antaranya Born on the Fourth of July (1989), Platoon (1986), JFK (1991), Nixon (1995). Saya juga membaca buku-buku Noam Chomsky—juga film-film dokumenternya—yang bersikap sangat kritis terhadap kondisi masyarakat dan pemerintah Amerika. Salah satu terjemahan buku Chomsky pernah saya ulas cukup panjang di Harian Kompas, dulu, saat saya masih mahasiswa di Yogyakarta. Buku terjemahan karya Chomsky lainnya pernah saya ulas di Harian Jawa Pos.
Kisah-kisah fiksi yang saya baca ada juga yang berlatar Amerika, seperti In Cold Blood karya Truman Capote, To Kill a Mockingbird karya Harper Lee, Impian Amerika karya Kuntowijoyo, Orang-Orang Bloomington karya Budi Darma, atau beberapa cerita pendek berlatar Amerika karya Umar Kayam.
Pengalaman tiga minggu di bulan September 2017 itu benar-benar membuat saya mengalami langsung pertemuan sosial-budaya dengan Amerika. Minat dan perhatian saya untuk membaca atau mempelajari hal yang terkait Amerika pun bertambah—persis seperti yang dahulu terjadi setelah saya menempuh studi magister di Eropa. Pulang dari Amerika, beberapa buku atau tulisan tentang Amerika yang sebelumnya diabaikan menjadi menarik perhatian. Dengan situasi ini, persepsi populer sebelumnya yang mungkin bisa dibilang cukup awam tentang Amerika akhirnya disusun ulang berdasarkan narasi pengalaman tiga minggu tersebut.
Saya jadi teringat istilah simulakra yang dilontarkan oleh filsuf posmodern Jean Baudrillard. Saya berpikir bahwa persepsi saya—mungkin juga orang lain—tentang Amerika lebih banyak dibentuk oleh citra media. Dunia simulasi media meleburkan yang nyata dan yang fantasi, yang asli dan yang palsu, juga nilai, fakta, tanda, citra, dan kode.
Simulakra Amerika dalam benak saya akhirnya dihadapkan dengan pengalaman tiga pekan yang di antaranya mengantarkan pada pokok kesimpulan yang mungkin cukup sederhana: bahwa realitas Amerika terlalu beragam untuk diringkus dalam penyederhanaan titik kesimpulan yang cenderung tunggal. Pengalaman langsung meneguhkan pentingnya kesadaran akan keragaman dan perlunya keterbukaan dan kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih berimbang—bukan hanya berdasar citra media. Perjumpaan yang saya alami selama tiga minggu mempertemukan saya dengan fakta keragaman yang kuat—tak jauh berbeda dengan keragaman umat Islam di berbagai belahan dunia. Ini terjadi tidak hanya pada tataran masyarakat akar rumput Amerika, tapi juga pada tingkat elite masyarakat. Bahkan juga pada lapis pengurus publik atau pemerintahan. Keragaman itu misalnya tampak dalam penyikapan terhadap hal-hal yang terkait umat Islam dan isu-isu Islam pada umumnya.
Pentingnya kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih terbuka dan berimbang ini mengingatkan saya pada salah satu tulisan Imam Jamal Rahman saat ia bertutur tentang penolakan warga Amerika atas usulan pembangunan masjid dan pusat antariman di Ground Zero di kota New York. Rahman mengemukakan data yang mengungkapkan bahwa 61 persen warga Amerika yang menolak itu ternyata secara pribadi tak punya kenalan seorang muslim satu orang pun. Perjumpaan dan interaksi langsung nyatanya menjadi faktor yang cukup penting dalam peluang untuk mengubah stigma dan mengunci atau membuka jendela empati dan solidaritas.
Memang kita hidup di zaman dominasi media. Media gencar menyuplai persepsi dan pengetahuan dengan berbagai bentuknya. Benarlah bahwa pengetahuan kita pada tingkat yang paling sederhana paling banyak bukanlah pengetahuan langsung, melainkan pengetahuan dari sumber otoritas seperti media atau juga dari penyimpulan yang kita buat. Namun saya jadi mengerti bahwa pengetahuan langsung bisa menggugah dan mengusik pengetahuan lapis kedua yang kita peroleh dari media. Perjumpaan bisa mendorong pada tumbuhnya minat dan perhatian, yang kemudian dapat menjadi titik awal bagi pemahaman baru.
Saya sadar bahwa dalam situasi apapun, kita mesti bersikap kritis pada sumber-sumber informasi yang kita dapatkan. Chomsky sudah lama mengingatkan kita tentang kesadaran yang dibentuk menurut kepentingan politik tertentu—manufacturing consent. Perspektif kritis ini penting ditekankan untuk menghindari distorsi informasi yang bisa muncul dari media maupun pengalaman langsung.
Pengalaman kunjungan tiga pekan di Amerika ini pada satu sisi memberi saya peneguhan tentang beragam sumber persepsi dan pengetahuan kita. Antara simulakra, citra media, sumber otoritas, pengalaman dan perjumpaan langsung, penyimpulan berdasar pengalaman dan informasi, dan sebagainya.
Jadi, apakah setelah kunjungan tiga pekan itu pandangan saya tentang Amerika mengalami perubahan? Saya pikir iya. Pandangan saya tentang Amerika telah berubah. Bahkan mungkin juga yang berubah adalah pandangan saya tentang dunia. Namun saya berharap bahwa perubahan itu adalah perubahan yang mengarah pada sesuatu yang lebih baik, perubahan yang memperluas cakrawala saya, yang mungkin dapat menyelamatkan saya dari cara berpikir yang sempit dan tunggal.
Pamekasan, Desember 2020
Tulisan ini diambil dari buku kumpulan esai pengalaman Amerika yang saya terbitkan dengan judul Potret Pendidikan dan Agama di Amerika: Catatan Kegiatan IVLP 2017 Faith Based Education (Instika Press, 2020). Buku ini dapat dibeli di sini, dan isinya dapat diintip di sini.
Monday, 4 September 2023
Simulakra Amerika
Label: IVLP 2017, Social-Politics
Sunday, 27 November 2022
Sekelumit tentang Internasionalisasi Santri
Mengapa pembicaraan tentang internasionalisasi santri ini muncul dan mengemuka?
Secara kebahasaan, internasionalisasi santri menunjukkan adanya kesadaran kaum santri untuk menempatkan diri dalam kancah dunia internasional atau tatanan peradaban dunia. Kesadaran tentang internasionalisasi santri dalam pengertian yang sedemikian ini mengemuka dalam setidaknya dua dekade terakhir ini terkait dengan dua fenomena yang semakin tampak ke permukaan.
Pertama, fenomena globalisasi yang semakin kuat dan masuk ke wilayah-wilayah yang semakin luas. Penetrasi internet yang kian kuat dan luas pada satu sisi berhasil menghubungkan simpul-simpul komunitas dari berbagai kelompok hingga ke wilayah maupun bermacam sektor sehingga membuka peluang untuk bekerja sama dan berjejaring secara lebih intens dan luas. Kedua, kalangan santri itu sendiri semakin banyak yang merambah dunia internasional baik secara wilayah geografis maupun juga dalam bidang minat kajian keilmuan. Hal ini juga ditandai dan diikuti dengan semakin kuatnya komunitas-komunitas berbasis santri di berbagai wilayah geografis di dunia dan juga yang berbasis minat atau bidang tertentu.
Selain dua hal tersebut, dalam konteks keindonesiaan, kaum santri dalam beberapa waktu terakhir ini mendapatkan tempat yang semakin baik dalam pergaulan kehidupan kebangsaan. Misalnya, dengan ditetapkannya Hari Santri Nasional oleh pemerintah pada tahun 2015, ini berarti bahwa peran santri mendapatkan pengakuan resmi yang lebih kuat dari pemerintah dalam kaitannya dengan peran kebangsaan yang tidak terbatas hanya dalam kerangka concern keagamaan yang sempit.
Hal-hal tersebut membuka dan memperkuat peluang bagi kaum santri untuk memberikan kiprah dan peran yang lebih baik lagi dalam kehidupan masa kini yang akan mendatang di tingkat yang lebih luas, termasuk dunia.
Selain hal-hal yang telah dijelaskan di atas, kira-kira adakah landasan historis bagi upaya untuk memperluas peran santri di kancah dunia?
Iya, kita bisa melihatnya pada beberapa titik. Misalnya, pada abad ke-17, saat wacana dan pemikiran Islam mulai berkembang di Nusantara, ulama nusantara juga membangun jaringan yang cukup intens antara Melayu-Indonesia dan Timur Tengah. Abdurrauf Assinkili (1615-1693) misalnya membawa kasus fatwa Nuruddin Arraniri tentang kelompok Wujudiyyah, pengikut Hamzah Fanshuri, ke diskursus ulama Timur Tengah sehingga kemudian ditulis oleh Ibrahim al-Kurani (1615-1690) dalam sebuah manuskrip yang ditulis sekitar tahun 1675. Al-Kurani secara khusus juga menulis sebuah kitab berjudul Al-Jawabah al-Gharawiyyah ‘an al-Masa’il al-Jawiyyah al-Jahriyyah yang membahas masalah-masalah keagamaan “orang Jawa” (sebutan muslim Nusantara waktu itu).
Selain itu, kita juga memiliki tokoh seperti Syekh Yusuf Makassar (1626-1699), tokoh muslim dari Sulawesi, yang setelah pengembaraan ilmiahnya ke berbagai wilayah di Timur Tengah, kemudian gencar melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda hingga diasingkan di Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf aktif berdakwah sehingga atas jasa-jasanya, pada tahun 2009, Syekh Yusuf dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan oleh Presiden Afrika Selatan.
Bentuk internasionalisasi santri itu dalam situasi masa kini kira-kira bisa seperti apa?
Pengalaman ulama dan santri Indonesia dalam merawat Islam di Nusantara merupakan khazanah budaya yang kaya dan bernilai penting, yang dapat diperkenalkan secara lebih luas kepada warga dunia. Pengalaman yang cukup panjang tersebut telah membentuk sebuah karakter Islam yang khas yang mampu hidup secara damai di tengah masyarakat yang beragam.
Akumulasi pengalaman muslim Indonesia tersebut dapat membentuk sebuah perspektif ala santri yang khas. Misalnya, Gus Dur sebagai tokoh dan pemimpin muslim Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam mengorganisasi masyarakat muslim dan kegiatan sosial lainnya. Saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur juga melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi konflik bernuansa separatis di Indonesia. Ahmad Suaedy secara khusus meneliti dan mendokumentasikan strategi Gus Dur dalam melakukan resolusi konflik separatis tersebut, dan menemukan bahwa strategi yang diambil berlandaskan pada metodologi Islam post-tradisional yang merupakan salah satu khazanah Islam Nusantara.
Selain memperkenalkan perspektif santri kepada dunia, internasionalisasi bisa juga berupa kerja-kerja kolaborasi dalam berbagai bidang oleh simpul-simpul komunitas yang memungkinkan.
Apa yang harus dipersiapkan untuk menyongsong peran kaum santri yang lebih mendunia tersebut?
Yang utama adalah bahwa santri masa kini perlu memiliki visi dunia. Artinya, sejak dini santri harus mempunyai pandangan bahwa dia mempunyai ruang di masa depan untuk berkiprah di kancah global. Ruang-ruang yang mungkin dapat dia masuki kelak perlu juga diberi gambaran.
Dalam situasi ketika akses internet untuk mendunia relatif semakin mudah, yang penting digarisbawahi adalah bekal orientasi dan pemahaman tentang peta jalan yang mungkin dilakukan. Benar, bahwa secara teknis, saat ini tidaklah sulit bagi santri untuk, misalnya merambah dan menyiarkan karya dan aktivitasnya pada khalayak yang lebih luas. Namun demikian, penting kiranya untuk memberikan arahan atau orientasi yang mencukupi demi mengantisipasi salah jalan atau meningkatkan efektivitas upaya santriuntuk mendunia.
Orientasi ini juga bisa dilakukan dengan memberikan wawasan sejarah yang mencukupi, baik itu sejarah singkat dunia hingga pada titik peradaban global saat ini. Dalam pemahaman historis ini, santri diberikan penekanan pada titik-titik penting yang juga memperlihatkan sumbangan Islam dan pesantren pada khususnya pada peradaban dunia saat ini.
Lebih dari itu, kesiapan mental penting juga untuk dilakukan. Peradaban global saat ini bergerak pada tingkat kecepatan yang luar biasa. Dengan keragaman dan dinamikanya, mental santri perlu dibekali utamanya dengan memperkuat internalisasi nilai-nilai kosmologi santri. Ini sangat penting terutama jika santri mengambil peran dalam bidang-bidang yang baru, di luar bidang keagamaan atau bidang yang selama ini mendominasi minat aktivitas santri. Internalisasi nilai dan kosmologi santri ini penting agar aktivitas yang dilakukan di tingkat yang lebih luas tetaplah terhubung dengan tradisi dan komunitas tradisional santri.
Naskah ini adalah penggalan pengantar untuk seminar bertajuk Internasionalisasi Santri di IAIN Madura pada tanggal 14 November 2022. Foto kegiatan oleh Fadllan Hanif (IAIN Madura).
Read More..
Label: Pesantren
Thursday, 16 June 2022
Urgensi Sekolah Melek Ekologi
Kerusakan alam dan lingkungan beberapa tahun terakhir menjadi fakta yang tersiar secara luas melalui berbagai media. Masyarakat sering disuguhi berita bencana alam atau fenomena iklim yang berdampak buruk bagi kehidupan. Apakah berita dan informasi tersebut mendorong adanya langkah perubahan mendasar yang diambil individu dan kelompok untuk meningkatkan mutu kehidupan melalui terobosan strategis dalam pengelolaan alam dan lingkungan?
Fritjof Capra dalam salah satu karyanya memperkenalkan istilah ecoliteracy yang merupakan singkatan dari ecological literacy, berarti melek ekologi. Istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan manusia yang sudah memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya merawat lingkungan hidup untuk kelangsungan hidupnya sehingga bersikap arif demi kelestarian alam.
Bagaimana kesadaran ekologis itu dapat tercipta? Menurut Capra, kita perlu merevitalisasi komunitas-komunitas di masyarakat agar prinsip-prinsip ekologi bisa diwujudkan secara nyata. Di antara komunitas yang disebut Capra adalah komunitas pendidikan.
Iwan Pranoto pada tulisan berjudul ”Arah Baru Pendidikan” di harian Kompas (23/4/2022) mengutip laporan komisi masa depan pendidikan UNESCO yang menegaskan perlunya arah dan tujuan baru dalam praksis pendidikan, yang di antaranya dikaitkan dengan kerapuhan Planet Bumi. Dengan demikian, melek ekologi seharusnya menjadi menjadi bagian yang menyatu dengan visi kegiatan pendidikan di sekolah.
Isu lingkungan merupakan isu yang sangat penting untuk diintegrasikan dengan proses pendidikan di sekolah. Salah satu alasannya, di satu sisi sekolah merupakan tempat untuk menyiapkan generasi yang mampu dan siap menjawab tantangan masa depan yang di antaranya tantangan kelestarian alam. Sementara, di sisi yang lain, masalah lingkungan hidup termasuk masalah mendasar karena berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan manusia dan juga keberlanjutan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Buta krisis
Namun, mengupayakan melek ekologi melalui sekolah tidaklah mudah. Secara umum, dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah mendasar, seperti yang terkait dengan mutu guru, visi untuk menyambungkan kegiatan pembelajaran dengan isu-isu konkret dan aktual di masyarakat, fasilitas pendukung, serta kebijakan pemerintah yang dapat mendukung dan kondusif bagi pengembangan pendidikan.
Secara khusus, di kalangan pendidik dan pengelola lembaga pendidikan belum ada pemahaman yang kuat akan situasi krisis yang dihadapi manusia dalam kaitannya dengan kerusakan lingkungan hidup. Hendro Sangkoyo, peneliti pada School of Democratic Economics, menyatakan bahwa masyarakat kita masih buta krisis. Lembaga pemerintah dan masyarakat sipil belum terlihat mengambil langkah strategis dan kolaboratif yang baik untuk menanggulangi dan mengantisipasi krisis sosial-ekologis yang lebih buruk lagi (Kompas, 24/1/2010).
Dari sudut visi dan arah pengembangan, ada kecenderungan sekolah lebih banyak mendorong kegiatan yang memperkuat dimensi produktivitas sehingga aspek konservasi yang merupakan nilai penting dalam konteks solusi menghadapi krisis lingkungan menjadi kurang mengemuka. Sekolah, misalnya, kadang lebih getol mendorong siswa untuk memburu piala pada aneka lomba bergengsi daripada merawat khazanah lokal tertentu, seperti makanan dan permainan tradisional.
Roh peningkatan produksi dan produktivitas dalam kebijakan pengembangan sekolah ini tampak cukup sejalan dengan semangat ideologi kapitalisme yang saat ini dapat dikatakan menguasai dan menyusupi berbagai lini arus kehidupan. Inilah mungkin yang berada dalam kerangka pikir Herbert Marcuse (1964) saat dia mengemukakan bahwa sekolah kadang juga cenderung berada dalam bingkai mekanisme ekonomi kapitalis sehingga pada satu sisi diarahkan pada kepentingan sektor industri yang bisa jadi eksploitatif dan di sisi lain secara tersembunyi mendorong iklim konsumsi berlebihan.
Peningkatan produksi yang eksploitatif yang diiringi dengan dorongan konsumsi besar-besaran semakin meminggirkan perhatian dan kepekaan masyarakat, termasuk insan pendidikan, terhadap nilai-nilai konservasi. Pada titik yang paling jauh, kecenderungan ini ikut mempercepat proses pemutusan kesadaran akan hubungan yang erat antara manusia dan alam sehingga manusia tak lagi memperlakukan alam sebagai bagian integral dari diri dan kehidupannya.
Situasi buta krisis dan kerumitan tatanan ideologi kapitalisme menjadi tantangan terbesar komunitas sekolah untuk menanamkan dan menguatkan visi melek ekologi di sekolah. Selain itu, visi kritis guru dan pengelola lembaga pendidikan untuk membawa orientasi pendidikan pada aspek yang bersifat kekinian dan antisipatif, khususnya yang terkait isu lingkungan hidup, tampak masih sulit tumbuh di tengah tantangan lainnya berupa kecenderungan besarnya beban administratif yang cukup memberatkan guru dan pengelola sekolah.
Berbasis proyek
Dalam konteks pendidikan, pendidikan lingkungan hidup di sekolah memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat menjadi salah satu bentuk praksis pendidikan kontekstual. Melalui isu lingkungan hidup, proses pendidikan di sekolah dapat membawa siswa dan guru untuk tidak terpaku kepada teks belaka (text book oriented).
Siswa dan guru didorong untuk memahami gugus pengetahuan dan ilmu teoretis tentang kealaman dari sudut pandang yang luas mulai dari sains, sosial, ekonomi, bahkan politik untuk didialogkan dengan kenyataan sehari-hari di sekitar mereka. Tujuan pokoknya agar melek ekologi dapat terbentuk dan berlanjut pada aksi nyata meski sifatnya sederhana. Siswa dan guru diajak untuk mencapai tingkat melek ekologi untuk kemudian berbuat sesuatu untuk perubahan demi kelestarian lingkungan.
Upaya membentuk melek ekologi melalui sekolah merupakan peluang strategis untuk mengatasi suasana pembelajaran yang membosankan dan terkesan terputus dengan realitas kekinian. Karena itu, upaya untuk mengintegrasikan pencapaian melek ekologi dalam proses pendidikan di sekolah sangatlah penting untuk terus diupayakan.
Selain fasilitas yang bersifat material dan juga guru pendamping dalam proses pembelajaran, melek ekologi di sekolah harus didukung dengan fondasi filosofis dan aspek kurikuler secara integratif. Pertama, harus ada landasan normatif yang menjadi nilai dan roh dari upaya penumbuhan kesadaran lingkungan.
Landasan normatif ini dapat mengacu pada norma dan nilai keagamaan, kearifan lokal, atau pendekatan dan teori yang lebih bersifat ilmiah. Landasan normatif ini dibutuhkan untuk menjadi visi dan kerangka etis yang menjadi rujukan nilai pembelajaran sehingga terpatri dalam kesadaran guru dan murid.
Kedua, melek ekologi membutuhkan butir-butir informasi yang dijalin dengan baik untuk mengilhamkan perubahan mulai dari tingkat perorangan hingga kelompok. Kesadaran individu untuk bisa bersikap peduli kepada upaya pelestarian alam perlu ditopang dengan data dan fakta-fakta menggugah yang bisa membuat individu atau kelompok mengambil jeda sejenak dan merenungkan gaya hidup yang selama ini dipraktikkan. Pada titik ini pula, guru dan murid dilatih untuk mengasah kepekaan mereka atas kenyataan sehari-hari di lingkungan terdekat terkait dengan isu-isu lingkungan.
Ketiga, melek ekologi harus ditumbuhkan melalui kegiatan nyata dengan pengorganisasian yang baik. Siswa dan guru perlu mendapatkan pengalaman belajar alternatif yang bersifat nyata atas problem-problem lingkungan melalui serangkaian kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan bersama dalam jangka waktu tertentu dan dengan target tertentu.
Unsur yang ketiga ini sebenarnya dapat menyatukan dua unsur sebelumnya, yakni apabila upaya menanamkan melek ekologi kemudian diwujudkan dalam bentuk proyek. Maksudnya, siswa dan guru dalam jangka waktu tertentu secara bersama-sama membuat sebuah proyek untuk mengatasi masalah lingkungan tertentu yang ada di sekitar sekolah. Dengan berbasis proyek, siswa dan guru didorong untuk peka menemukan masalah dan menetapkan target yang akan dicapai dalam bentuk upaya nyata mengatasi masalah tersebut.
Untuk mengembangkan melek ekologi di sekolah, ketiga hal tersebut di atas membutuhkan dukungan dari para pemegang kebijakan di dunia pendidikan, termasuk juga guru yang dalam hal ini dapat diposisikan sebagai pendamping, fasilitator, dan pengilham perubahan. Pada pokoknya, para pelaku utama di dunia pendidikan, juga termasuk pengambil kebijakan, haruslah memiliki visi yang kuat untuk mengintegrasikan isu lingkungan dalam proses pendidikan. Guru dan kepala sekolah menjadi kunci penting. Di tangan para insan pendidikan ini jugalah dunia mendatang yang lestari akan ditentukan.
Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kompas.id, 16 Juni 2022.
Berkas tulisan ini dapat diunduh di sini.
Saturday, 18 December 2021
Tawaran Konkret Solusi Bencana Iklim
HOW TO AVOID A CLIMATE DISASTER
Solusi yang Kita Miliki dan Terobosan yang Kita Perlukan
Penulis: Bill Gates
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2021
Tebal: 252 halaman
ISBN: 978-602-06-5284-9
Bencana iklim sudah di depan mata dan terjadi di mana-mana. Badai, kebakaran hutan, kenaikan permukaan laut, krisis pangan, dan juga pengungsi iklim, adalah sebagian contoh bencana iklim yang bisa saja semakin parah. Kenaikan suhu global setidaknya 1 derajat Celcius sejak era praindustri sudah memicu dampak yang cukup terasa. Perkiraan kenaikan suhu hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius pada pertengahan abad ini menuntut langkah konkret bagi kita untuk mengantisipasi dampak yang lebih berat.
Bill Gates, pendiri Microsoft, melalui buku ini turut urun rembug untuk menyetop pemanasan global dan menangkal bencana iklim yang mungkin terjadi. Ide yang diusulkan adalah dengan menghentikan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Bill Gates mengajak kita untuk bergerak menuju nol emisi.
Mengapa harus nol? Memang, Gates mengakui bahwa nol yang dimaksud adalah “dekat nol netto”, karena untuk nol emisi, kita semua harus benar-benar lepas dari bahan bakar fosil—sesuatu yang belum terbayang untuk saat ini atau dalam waktu dekat. Visi menuju nol harus ditanamkan dengan kuat karena kita berkejaran dengan waktu. Apalagi jejak karbon yang dihasilkan sekarang sekitar seperlimanya masih akan terjebak di atmosfer dalam 10 ribu tahun ke depan.
Gates menegaskan bahwa harus ada langkah untuk menuju nol emisi. Kita memiliki beberapa modal berharga: ambisi dan cita-cita, dan banyak orang muda dan pemimpin yang peduli pada isu lingkungan. Namun langkah konkret harus dirumuskan yang juga melibatkan terobosan-terobosan baru demi memperkuat daya untuk menangkal bencana iklim yang mungkin datang.
Dalam menyusun langkah konkret itu, Gates bekerja sebagai teknokrat sekaligus inovator. Gates menganalisis secara jernih dan runtut peta jalan menuju nol emisi. Dasarnya adalah data—data yang jelas dan relevan.
Di antara pokok gagasan Gates adalah bahwa kunci peta jalan menuju nol emisi ada pada energi atau listrik. Meski menurut data Breakthrough Energy listrik menyumbangkan 27 persen emisi gas rumah kaca dari total 51 miliar ton per tahun, namun aktivitas utama manusia lainnya, seperti pembuatan barang (yang menyumbangkan emisi 31 persen), juga tak lepas dari listrik.
Gates membahas panjang lebar kemungkinan pengembangan energi ramah lingkungan dan beberapa tantangan yang dihadapi. Termasuk di dalamnya kemungkinan pengembangan energi nuklir.
Salah satu tantangan pengembangan energi hijau adalah bahwa riset di bidang energi bersih saat ini masih sangat minim, baik yang dilakukan oleh negara maupun korporasi. Dari sudut bisnis, industri energi membutuhkan biaya modal yang besar sehingga perubahan atau transisi teknologinya tidak bisa cepat. Dari sudut politik, hukum dan kebijakan di bidang energi yang ada saat ini dibuat bukan untuk mengatasi masalah bencana iklim dalam konteks menyeluruh.
Beberapa sumber energi alternatif ramah lingkungan, seperti tenaga surya dan angin, menurut Gates, tidak memberi jaminan kepastian ketersediaan yang baik. Padahal, pasokan listrik, terutama dalam konteks bisnis, membutuhkan jaminan ketersediaan yang pasti. Tenaga surya dan angin juga bermasalah dengan soal teknologi penyimpanan (batere) dan juga distribusinya ke wilayah yang lebih luas.
Visi transisi energi menuju sumber yang ramah lingkungan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antaranya terkait fakta bahwa saat ini sebagian penduduk dunia keluar dari jurang kemiskinan dengan ditopang oleh akses dan penggunaan energi fosil murah, seperti yang terjadi di Tiongkok. Tiongkok dan mungkin beberapa negara berkembang akan sulit untuk segera beralih ke sumber energi hijau dalam waktu dekat. Namun Gates menegaskan bahwa negara yang lebih awal membangun perusahaan dan industri nol karbon kemungkinan akan memimpin ekonomi dunia di masa mendatang.
Tawaran konkret yang diajukan Gates terangkum dalam tiga unsur pokok: kebijakan, teknologi, dan pasar. Harus ada intervensi kebijakan dari pemerintah, seperti dukungan dalam anggaran riset energi, juga usaha memperluas pasokan inovasi teknologi, dan upaya agar inovasi tersebut dapat diserap oleh masyarakat dan dunia usaha secara luas.
Tiga tawaran ini menuntut keterlibatan banyak pihak dan juga banyak disiplin ilmu, baik sains dan teknologi bidang energi, politik, ekonomi, dan mungkin juga humaniora. Merajut kolaborasi dari banyak pihak dan lintas ilmu ini tentu juga menjadi tantangan tersendiri.
Untuk mendorong kerja sama ini, Gates mengemukakan bahwa tiap pihak mesti juga memandang dari sudut pandang kepentingan diri sendiri. Pandangan altruistik mungkin dianggap kurang cukup meyakinkan untuk mendorong kerja sama pada bidang yang cukup rumit ini.
Jika dicermati secara mendalam, tampak bahwa buku ini ditulis dengan perspektif pengusaha dan inovator teknologi. Kelebihannya, proposal solusi Gates penuh perhitungan detail dan menimbang faktor risiko dan sisi negatif. Namun, kekurangannya, Gates kurang memberi porsi pada dimensi politis tatanan energi yang ada saat ini, baik pada tingkat negara maupun dalam konteks global. Padahal, masalah konflik antara negara dan korporasi yang terkait dengan energi misalnya dapat juga menjadi penghambat signifikan dalam perumusan kebijakan energi bervisi hijau.
Buku ini dapat menjadi bahan berharga untuk mendorong pembicaraan yang lebih intens dan multi perspektif tentang upaya bersama mengantisipasi bencana iklim global. Setidaknya, semua pihak mau untuk menaruh perhatian dan mau membicarakannya bersama-sama. Tanpa upaya bersama, rasanya sulit untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan.
Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 18 Desember 2021.
Thursday, 16 December 2021
Sebuah Percakapan Singkat tentang Pengembangan Literasi Digital Mahasiswa
Mengapa mahasiswa perlu memiliki dan mengembangkan literasi digital?
Kita hidup di era digital. Era digital ini telah memberikan pengaruh yang sangat luas dan mendalam bagi kehidupan manusia, baik pada tataran kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan pada tataran eksistensial.
Apa yang dimaksud dengan era digital?
Era digital adalah suatu periode waktu Ketika informasi begitu mudah dan cepat diperoleh dan disebarluaskan. Penyebabnya adalah semakin masifnya teknologi digital yang digunakan oleh manusia, bahkan hingga ke wilayah pelosok. Teknologi digital itu pun juga berkembang dengan cepat, sehingga era digital memberikan dampak perubahan yang cepat dan luas. Secara kebahasaan, KBBI menjelaskan arti kata “digital” sebagai “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran”. Namun, secara asal Bahasa, kata ini berasal dari kata Latin “digitalis” yang berarti “jari”. Di era digital, manusia telah berubah menjadi “manusia jari” yang memusatkan aktivitasnya saat menggali informasi dengan menggerakkan jarinya pada sebuah perangkat digital.
Apa saja dampak atau pengaruh era digital dalam kaitannya dengan pembicaraan kita pagi ini?
Tema diskusi ini sudah memperlihatkan satu hal: bahwa era digital mendorong lahirnya industry 4.0, yakni sebuah model pengelolaan industri yang memanfaatkan sistem otomatisasi berbasis computer secara lebih menyeluruh sehingga keputusan-keputusan tertentu dibuat secara otomatis oleh mesin pintar. Secara lebih luas, dampak atau pengaruh era digital bisa dijelaskan secara lebih luas. Yang pertama, pada tataran yang paling mudah terbaca, kita mengalami banjir informasi yang belum pernah dialami sebelumnya. Sekitar 25 tahun yang lalu, kita, termasuk atau terutama pelajar/mahasiswa, akses untuk mendapatkan informasi relatif sulit. Saat ini, kita bahkan mengalami banjir informasi. Jutaan berita atau informasi disebarkan melalui perangkat digital. Kedua, pada tataran yang lebih jauh, banjir informasi dan teknologi digital yang semakin massif ini membentuk cara baru dalam berinteraksi, termasuk dalam kaitannya dengan cara menggali informasi. Dengan kemudahan akses tersebut, manusia cenderung menjadi bersikap instan dan dangkal dalam mendapatkan informasi. Nicholas Carr, penulis buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains (2011) menjelaskan bahwa internet telah menurunkan kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam serta menggerus kemampuan kita untuk berkonsentrasi dan merenung—hal-hal yang sangat mendukung kreativitas dan inovasi. Internet mendorong cara berpikir yang dangkal, serba instan, cepat, dan massal. Di satu bagian, Carr menggambarkan kecenderungan ini dengan metafor yang menarik: “yang sedang kita alami adalah pembalikan dari sejarah awal peradaban: kita berevolusi dari pengolah pengetahuan pribadi menjadi pemburu dan peramu di belantara data elektronis”. Ketiga, menurunnya kemampuan membaca secara intensif ini pada gilirannya berpotensi untuk menyesatkan manusia dengan penyebaran informasi yang disalahgunakan. Berita palsu atau pembingkaian untuk kepentingan tertentu belakangan menjadi hal yang cukup sering kita temukan.
Kalau dirangkum secara singkat, bagaimana gambaran dampak era digital ini?
Ada tiga poin. Pertama, ketakterbendungan arus informasi. Kedua, kedangkalan muatan informasi. Ketiga, kecenderungan untuk mengacaukan pola hubungan masyarakat.
Kalau demikian, lalu apa yang perlu kita lakukan, utamanya terkait dengan pelajar/mahasiswa sebagai insan Pendidikan?
Apa yang tergambar dalam tema ini sudah tepat, yakni bahwa kita perlu membekali pelajar/mahasiswa dengan literasi digital.
Apa itu literasi digital?
Merangkum dari berbagai sumber, sebuah buku yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam kaitannya dengan Gerakan LIterasi Nasional menjelaskan bahwa literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Dari definisi ini, literasi digital berarti memiliki lapisan atau tingkatan, mulai dari level sederhana, yakni pemanfaatan secara dasar seperti menyerap informasi, hingga level kreatif yakni mencipta informasi.
Jadi, jika ingin mengembangkan literasi digital, apa yang harus kita lakukan?
Kita sedang berhadapan dengan suasana budaya yang menyeluruh dan membentuk keseharian kita. Jadi, upaya untuk mengembangkan literasi digital harus juga dilakukan secara utuh. Yang pertama, dari sudut beberapa lapis makna literasi digital itu, kita harus menanganinya satu per satu. Secara sederhana, ada tiga lapis, yakni menyerap informasi, mencipta informasi, dan menyebarkan informasi. Keterampilan terkait tiga hal ini perlu diberikan kepada mahasiswa kita dengan satu rencana yang rapi dan tertata. Di era digital seperti sekarang ini, literasi digital harus diperlakukan atau dipandang sebagai keterampilan dasar, sama seperti keterampilan membaca pada Pendidikan dasar. Karena jika pelajar/mahasiswa kita tidak memiliki keterampilan dasar ini, maka dampak buruk era digital akan sulit untuk dihindari.
Selain itu, apa hal lain yang harus dikerjakan?
Secara umum, masalah atau tantangan yang muncul terkait dampak era digital ini juga berakar pada kemampuan berpikir sebagai salah satu keterampilan dasar. Literasi digital pada akhirnya adalah soal kemampuan berpikir. Katakanlah, kemampuan berpikir kritis. Beberapa tahun yang lalu, sebuah data mengemukakan tentang krisis kemampuan matematika dasar pada siswa/pelajar kita, yang pada satu sisi bisa menunjukkan kemampuan berpikir pelajar kita yang masih bermasalah.
Apakah dua hal ini cukup untuk mengembangkan literasi digital?
Dua hal ini terkait secara langsung dengan literasi digital. Selain itu, di era digital dan terus berkembangnya model industri berbasis komputasi, mahasiswa kita juga perlu dibekali dengan wawasan global. Artinya, mahasiswa didorong untuk berpikir bukan hanya pada tingkat wilayah/regional sekitarnya semata, tapi harus selalu diajak berpikir dalam konteks konstelasi dunia. Kita tahu, globalisasi adalah bagian dari dampak era informasi yang dipercepat dengan era digital saat ini.
Apa ada strategi yang bersifat lebih konkret?
Sementara, yang tergambar dalam pikiran saya, pada tingkat yang paling sederhana adalah berupa pendampingan peningkatan keterampilan membaca. Mahasiswa didampingi untuk meningkatkan keterampilan membaca atau menyerap informasi. Kalau bisa sesuai dengan bidang atau minat keilmuannya, itu tentu lebih baik.
Wah, kok strateginya terkesan sederhana ya?
Ya, mungkin tampak klasik, dan sederhana. Tapi ini hal mendasar. Dan kita sejauh ini belum selesai dengan hal-hal yang mendasar seperti ini. Jadi tetap harus dikerjakan, tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kalau dipaksa dilewatkan, jalan yang ditempuh berikutnya bisa kurang sempurna atau bahkan bermasalah. Kita mungkin akan melihat produk pemikiran mahasiswa yang dangkal, atau mereka di era industri ini tidak mampu menjadi knowledge worker yang keahliannya ditentukan oleh penguasaan atas pengetahuan mendasar. Untuk lebih detailnya, nanti kita diskusikan lebih lanjut ya. Terima kasih.
Pengantar diskusi di STIT Aqidah Usymuni Sumenep pada tanggal 30 September 2021.
Read More..
Label: Literacy
Sunday, 20 June 2021
Membangun Dunia dengan Asumsi Baik Sangka
Judul buku: Humankind: Sejarah Penuh Harapan
Penulis: Rutger Bregman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2021
Tebal: xxiv + 444 halaman
ISBN: 978-602-06-4919-1
Saat ini dunia dikelola di atas pandangan dasar yang suram. Dunia bisnis, pendidikan, juga negara, ditata dengan asumsi bahwa manusia itu bersifat dasar egois dan digerakkan oleh kepentingan pribadi.
Adam Smith, ahli ekonomi pencerahan, dalam karya klasiknya, The Wealth of Nations (1776), menjelaskan bahwa roda ekonomi berputar bukan karena dorongan kemanusiaan, tapi karena rasa cinta individu pada diri sendiri. Karena itu, egoisme jangan diredam.
Buku ini mengajukan argumen yang berbeda, yakni bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Manusia itu memiliki naluri untuk bekerja sama, bukan bersaing. Manusia itu cenderung menaruh kepercayaan pada sesama, bukannya saling curiga.
Rutger Bregman, sejarawan muda dari Belanda yang menulis buku ini, menggambarkan betapa pandangan suram bahwa hakikat manusia itu bersifat durjana begitu dominan. Persepsi keliru ini utamanya terbentuk karena kita setiap hari mengonsumsi berita di berbagai media. Berita, menurut Bregman, cenderung mengangkat hal-hal yang negatif sehingga akhirnya membentuk persepsi bahwa manusia itu bersifat dasar buruk.
Bukan hanya berita, dari sisi ilmiah, banyak teori atau penemuan ilmiah yang menegaskan sisi muram manusia. Penelitian Philip Zimbardo pada 1971 menemukan bahwa manusia biasa berubah menjadi monster jika berada dalam situasi tertekan. Penelitian Milgram pada 1961 menunjukkan bahwa manusia patuh berbuat jahat saat berada dalam tekanan otoritas.
Untuk membongkar pandangan yang sudah mendarah daging ini, Bregman merangkum dan menelaah kembali beberapa penelitian mutakhir di bidang sejarah, humaniora, dan sains secara kritis. Pertama, Bregman membahas kemunculan homo Sapiens dan bagaimana ia bisa bertahan hingga kini.
Berdasar beberapa penelitian dari perspektif evolusioner, Bregman menyimpulkan bahwa manusia tidak dibentuk oleh gen egois seperti digagas Richard Dawkins. Jenis homo yang bertahan adalah yang ramah. Keramahan dan kerja sama melahirkan kecerdasan yang jauh lebih dahsyat ketimbang genius individual yang egois seperti Neanderthal.
Bregman membahas penyebab sifat baik manusia yang berubah menjadi jahat. Menurut Bregman, paling tidak ada dua pokok penyebab manusia menjadi jahat, yakni empati dan kekuasaan. Empat itu tak sepenuhnya baik. Empati bisa membutakan, membuat sifat baik manusia digusur oleh sifat buruk. Sebuah penelitian psikologis atas tentara Nazi mengungkapkan bahwa mereka bisa berperang dengan luar biasa bukan karena daya tarik ideologi Nazi, tapi karena persahabatan (Kameradschaft).
Sementara itu, kekuasaan cenderung membuat orang kehilangan sifat baik dan kebersahajaannya –sesuatu yang mungkin membuat dia terpilih sebagai pemimpin. Dari beberapa riset, Bregman menulis bahwa kekuasaan itu seperti obat bius yang mematikan kepekaan seseorang pada orang lain.
Bregman menjajaki kemungkinan membangun dunia dan lembaga-lembaga masyarakat dengan pandangan berbaik sangka. Prasangka baik atas sifat dasar manusia ini adalah sebuah harapan atau optimisme atas masa depan sejarah dunia.
Ada beberapa contoh konkret praktik lembaga yang menurut Bregman dikelola dengan asumsi sifat baik manusia. Di antaranya adalah pengelolaan dua penjara di Norwegia (Halden dan Bastøy) yang tak biasa karena dibangun dengan pendekatan yang lebih manusiawi –tak ada sel dan jeruji di sana.
Bregman menunjukkan bahwa dua penjara yang dibangun dengan asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik itu justru lebih berhasil dan efektif dalam mengembalikan para narapidana pada kehidupan normal di masyarakat. Setelah dua tahun keluar dari Bastøy, misalnya, hanya 16 persen yang kembali dipenjara sesudah dua tahun –sedangkan di Amerika, angkanya mencapai 60 persen.
Gagasan reformasi yang diajukan Bregman diakuinya tidak mudah untuk diterima. Selalu ada alasan yang dikemukakan untuk berpegang bahwa manusia itu jahat. Selain itu, membela sifat baik manusia bisa menantang kekuasaan. Asumsi bahwa sifat manusia itu dasarnya adalah baik menuntut jenis kepemimpinan yang berbeda dengan yang lazim dipraktikkan saat ini.
Ide besar yang digagas buku ini menarik untuk dicermati lebih lanjut dan dikontekstualisasikan dengan situasi masyarakat kita. Reformasi kelembagaan di masyarakat kita sangat pantas untuk mempertimbangkan perspektif baru yang diajukan buku ini.
Selain gagasan dasar yang ditawarkan, kelebihan buku ini terletak pada kekayaan data dan argumentasinya yang dibangun secara kritis di atas banyak penelitian ilmiah mutakhir. Ketajaman analisisnya berpadu dengan gaya bertutur yang renyah dan nyaman dicerna. Namun sayang, edisi terjemahan buku ini tidak dilengkapi dengan indeks yang dapat memudahkan pembaca untuk mencari subjek penting tertentu secara lebih cepat.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 20 Juni 2021.
Tuesday, 5 May 2020
Agama dan Urgensi Literasi Sains
Judul buku: Memahami Sains Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim
Penulis: Nidhal Guessoum
Penerbit: Qaf, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2020
Tebal: 204 halaman
ISBN: 978-602-5547-68-3
Saat wabah corona merajalela ke seluruh pelosok dunia, sering kali kita berjumpa dengan mitos-mitos yang bertebaran di berbagai media. Contohnya, bahwa infeksi virus corona dapat disembuhkan dengan mengonsumsi bawang putih, atau bahwa jika kita bisa menahan napas selama 10 detik tanpa batuk maka berarti kita tidak terpapar virus tersebut.
Mitos-mitos tersebut menyebar terutama melalui media sosial sehingga ketika dicerna oleh orang awam, hasilnya bisa beraneka rupa: ketakutan yang berlebihan, gelisah, dan semacamnya. Mitos semacam ini relatif mudah menyebar karena terkait dengan rendahnya literasi sains masyarakat.
Literasi sains yang rendah, menurut penulis buku ini, Nidhal Guessoum, dapat mengganggu kebijakan publik yang terkait dengan masalah kesehatan, lingkungan hidup, pangan, energi, dan sebagainya. Pengendalian wabah corona saat ini misalnya tentu akan lebih mudah andaikan kita memiliki tingkat melek sains yang cukup baik. Faktanya, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat menurut data penelitian tahun 2008 tingkat melek sains di kalangan orang dewasa hanya mencapai sekitar 28%.
Menurut Guessoum, tingkat literasi sains terkait dengan pelajaran sains di tingkat sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi dan juga sumber informasi sains informal seperti di koran, buku populer, internet, atau museum. Bagaimana dengan faktor agama, seperti Islam?
Guessoum menjelaskan bahwa kaum muslim beranggapan Islam itu tidak punya masalah dengan sains. Namun faktanya dalam beberapa tahun terakhir perspektif antisains berbasis agama mulai muncul. Beberapa pemuka Islam menolak pengetahuan sains dengan dasar tafsir literal atas al-Qur’an. Mereka juga lalu menempatkan sains dalam skema konspiratif: bahwa sains digunakan Barat untuk menyuburkan pandangan dunia materialistis.
Buku ini disusun oleh Guessoum sebagai bimbingan untuk kaum muda muslim agar bisa memahami sains modern secara proporsional. Setelah menguraikan pentingnya literasi sains, Guessoum memberikan gambaran singkat sejarah sains mulai era kuno hingga modern. Secara khusus, Guessoum juga menjelaskan ciri sains modern yang berbasis pada observasi dan eksperimen, berbasis pada matematika, serta profesionalisasi dan institusionalisasi kegiatan sains.
Dalam menempatkan sains modern dan agama, Guessoum menegaskan bahwa segala sesuatu yang ditemukan dan dirumuskan oleh saintis yang kemudian disebut dengan fakta alam atau hukum sains itu hanyalah pendekatan bertahap dan progresif menuju hukum alam sejati (yakni hukum Tuhan). Dengan argumen ini, Guessoum menempatkan sains sebagai usaha objektif yang bersifat ilmiah yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama—bahkan bisa mendukung.
Dalam kaitannya dengan Islam, Guessoum juga bersikap kritis terhadap berkembangnya literatur i’jaz ‘ilmi (mukjizat sains dalam al-Qur’an dan sunnah) belakangan ini dan juga konsep sains sakral yang digagas oleh Seyyed Hossein Nasr. Yang pertama menurut Guessoum muncul lebih karena kaum muslim kalah mental di bidang sains dan mencari kepercayaan dirinya pada kitab suci, dan yang kedua muncul karena Nasr memandang naturalisme metodologis dalam sains secara negatif. Memang betul bahwa sains modern perlu dikritik. Tapi usulan sains tradisional ala Nasr justru mengorbankan karakter objektif sains yang sudah mapan.
Guessoum mendukung sains modern yang berkembang berdamping bersama agama—demikian juga sebaliknya. Dari sains, kaum beragama bisa menemukan jalan lain mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Selain itu, sains dapat mengangkat martabat manusia melalui ilmu dan juga membantu kebutuhan hidup sehari-hari. Di sisi yang lain, agama dapat ikut meneguhkan kaidah-kaidah etis dalam praktik sains sehingga dapat membantu menekan ekses negatif sains modern dan mengarahkannya ke jalan yang lebih baik.
Buku yang ditulis oleh guru besar Fisika dan Astronomi ini sangat penting dan bisa mengilhamkan untuk masyarakat Indonesia. Kemampuan sains pelajar Indonesia berdasarkan laporan PISA 2018 menempatkan Indonesia di peringkat ke-70 dari 78 negara yang diteliti—persis di bawah Kazakhstan dan Azerbaijan. Buku ini bisa menginspirasi upaya peningkatan melek sains dan juga bisa menjadi titik tolak diskursus agama dan sains yang lebih kontekstual, agar sains maupun agama dapat lebih mudah berkontribusi dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan seperti wabah corona saat ini.
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos Minggu, 3 Mei 2020.
Friday, 31 January 2020
Menanam Gus Dur di Hati Kita
"Menanam Gus Dur di hati kita." Itu adalah frasa yang disebutkan Mas Inung (Zainul Hamdi) di acara Gusdurian Pamekasan 28 Januari lalu. Menurut beliau, membahas gagasan dan pemikiran Gus Dur itu jauh lebih mudah daripada menanam Gus Dur di hati kita. Kalau berhasil, itu bisa menjadi jalan keluar untuk penyelesaian masalah-masalah bangsa.
Dr Abdul Wahid Hasan membahas Gus Dur dari sisi spiritualitasnya—tema yang menjadi penelitian disertasinya. Spiritualitas adalah akar kekuatan kepribadian Gus Dur yang kemudian mewujud dalam sosok humanis dan perjuangan-perjuangannya.
Saya yang sejak awal hadir ke forum ini dengan niat untuk ngalap berkah dari Gusdurian senior seperti Mas Inung dan Pak Wahid, serta Gusdurian lain yang berasal dari berbagai unsur, berbicara sekadarnya tentang bagaimana Gus Dur merawat kebhinnekaan terutama dalam jalur politik selama menjadi presiden RI. Saya menyampaikan ulang beberapa gagasan pokok Mas Ahmad Suaedy dalam disertasinya yang telah diterbitkan oleh Gramedia. Menurut Mas Suaedy, Gus Dur mempraktikkan model kewarganegaraan bhineka yang bisa dikatakan dipadukan dari konsep kewarganegaraan multikultural yang berpendekatan sosiologis dan kewarganegaraan yang berperspektif budaya. Dalam perspektif ini, semua kelompok warga dipandang setara. Tidak seperti pada waktu sebelumnya. Pemerintah mendefinisikan beberapa kelompok masyarakat sebagai musuh yg kemudian direpresi, seperti kelompok separatis, komunis, atau fundamentalis.
Untuk menerjemahkan kesetaraan, keadilan haruslah diperjuangkan . Karena kesetiaan pada negara mestinya akan terbit jika keadilan sudah diwujudkan.
Dalam kesempatan ini, saya mengajak Gusdurian Pamekasan untuk bisa menerjemahkan gagasan Gus Dur dalam memperjuangkan kebhinnekaan ini dalam konteks lokal, yakni Pamekasan pada khususnya. Salah satu yang sedang dikerjakan Gusdurian Pamekasan saat ini adalah upaya untuk mengkaji ulang konsep Gerbang Salam di Pamekasan yang ditengarai kadang digunakan sebagai alat politik yang tidak mencerminkan makna kesetaraan sebagaimana di atas. Katanya ide proyek kajian ini diinisiasi oleh Kiai Habibullah Bahwi dari Sumberanyar. Saya pikir, kalau perspektif kewarganegaraan bhineka digunakan sebagai perspektif untuk membedah, mungkin menarik.
Acara keren ini dihadiri oleh banyak elemen pegiat kantong kantong budaya di Pamekasan, menunjukkan bahwa sosok Gus Dur bisa menjadi magnet bagi unsur masyarakat yang beragam.
Sukses terus Gusdurian Pamekasan.
Sumber foto : Taufiq, ketua Gusdurian Pamekasan.
Friday, 6 December 2019
Annuqayah and the Environmental Concern
This video is an example of environmental program in Annuqayah islamic boarding school (Pesantren Annuqayah) Guluk-Guluk, Madura, East Java. Indonesia.
Mrs. Hasbiyah, as you’ve seen in the video, has been involving with this program since 2002 when she was a student (santri) in Annuqayah. Now she is a leader of local community (Sumber Makmur) that actively conserve, develop, produce, and promote the use of herbal medicine particularly in her nighbourhood. Basically, she has a weekly informal meeting with the community member (the member is about fourty women), and initially they pray together, recite the Qur’an, and learn about religious teaching. Beside that, the community produce herbal medicine and local food.
Through this traditionally typical local community in Madura, she has made an important effort and contribution to change the way of people think about health, medicinal plant that recently tend to be abandoned by the young generation in Madura, and also about the importance of caring and preserving the biodiversity in the environment to improve the quality of life.
This kind of program has been initiated and assisted by Annuqayah Community Service Bureau (Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah) since its foundation in 1979. The foundation of this bureau affirm the religious orientation of the religious leader (kiai) in Annuqayah. They believe that religion is not only deal with ritual and eschatological things but also must have a contribution to concrete situation of the people. To do so, in the pesantren, it is not enough for students to learn only religious knowledge. Not all the students in the pesantren are expected to become a kiai (religious leader). The most important goal of religious based education in pesantren is that after they are graduated, the students could make a contribution, or give assistance and service to the people based on religious values.
In the first years after it was founded, the bureau has several program, such as reforestation and encouraging people to plant trees in their yard (Guluk-Guluk, Madura is a barren area, the soil is dominantly lime store rock), helping people to have access to clean water, and other program to improve the economy of the people. The idea and the implementation of these programs mainly take advantage of the local community that routinely carried out a meeting. The kiai, the religious leader of the typical local community, facilitate a discussion and propose the idea of the environmental project.
Thanks to hard work and participation of the community, in 1981 Pesantren Annuqayah received the prestigious Kalpataru environmental award from the Ministry of Environment Republic of Indonesia for reforestation program.
The program of the Bureau since its foundation has been developed based on the values of participation and cooperation. Through the program, the bureau tries to encourage people autonomy to improve the quality of life. But the most important message of the program is that religion should play a role to a better world and environment.
In the recent time, the program to promote and nurture environmental awareness in Pesantren Annuqayah not only carried out by the bureau. Environmental awareness now is also become one of the main focus in the boarding and formal education in Pesantren Annuqayah. Madrasah/schools in the pesantren now have a strong attention to environmental program and try to respond to contemporary challenge of environmental problem. One of the example is the attention to reduce the plastic waste in the school neighbourhood and also in the boarding. The school and the boarding make a strict rule to control the plastic waste.
The other important thing to be underlined is that the effort to raise environmental awareness in Pesantren Annuqayah also depends on the availability of exemplary figure that consistently practice the ecogreen life style in the daily life. Some figures of kiai in Pesantren Annuqayah actively promote the environmental awareness through their practice.
Short speech at Eco-Islam Conference, Karachi, 23 November 2019.
Read More..
Saturday, 15 June 2019
Tahlilan, Strategi Dakwah ala Islam Nusantara
Di desa tempat saya tinggal saat ini, di pedalaman Madura, ada tradisi tahlilan bersama di pemakaman umum desa di sore hari di hari lebaran Idulfitri. Sekitar pukul empat sore, sebagian warga desa—tua, muda, laki-laki, perempuan, remaja, anak kecil—berbondong-bondong datang ke pemakaman umum Desa Taro’an, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan. Beberapa warga yang mudik dari tempat mereka merantau pun turut hadir.
Tradisi tahlil bersama di hari lebaran sebenarnya sesuatu yang lazim khususnya di Madura. Di tanah kelahiran saya di Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, tahlilan dilakukan tepat setelah salat Idulfitri di masjid.
Berbeda dengan tahlilan yang dilaksanakan setelah salat Idulfitri yang juga digelar di tempat saya salat Id, tahlilan di pemakaman umum Desa Taro’an di sore hari di hari lebaran ternyata punya sedikit latar cerita yang cukup menarik.
Menurut para tetua di desa kami, dulunya di hari lebaran pemakaman umum desa kami sering ditempati orang-orang bermain taruhan atau judi. Waktunya biasanya antara setelah asar hingga jelang maghrib. Orang-orang bergerombol di sudut-sudut lokasi pemakaman. Warga resah. Tak ada yang berinisiatif mengambil tindakan.
Kemudian salah satu tokoh masyarakat desa mengajukan usulan. Namanya Kiai Zainuddin Abdul Mu’thi. Dengan beberapa tokoh masyarakat, dia mengajak warga untuk tahlil bersama di pemakaman umum di sore hari di hari lebaran. Tujuan utamanya agar orang-orang yang biasa main taruhan di pemakaman umum jadi sungkan dan berhenti main taruhan di sana.
Walhasil, usulan ini disambut baik oleh warga. Di sore hari di hari lebaran, warga berduyun-duyun ke pemakaman umum Desa Taro’an. Beberapa orang membawa alas. Ada juga yang menyiapkan pengeras suara. Tahlil pun digelar secara rutin tiap lebaran Idulfitri—juga Iduladha.
Sejak saat itu, orang-orang yang bermain taruhan di pemakaman tak ada lagi. Tak terdengar kabar apakah orang-orang itu masih melanjutkan kebiasaannya di tempat yang lain.
Dalam tahlilan yang rutin dilaksanakan, Kiai Zainuddin yang memimpin tahlilan juga mengingatkan warga pada leluhur desa yang makamnya ada di pemakaman umum tersebut. Memang, orang-orang di Desa Taro’an tidak tahu tentang riwayat dan silsilah tetua desa yang makamnya ada di pemakaman umum desa. Makamnya pun cukup unik. Dua makam yang dari batu nisannya teridentifikasi jenis kelamin laki-laki dan perempuan terletak di tengah pemakaman umum desa. Dua makam ini dikelilingi oleh batu karang setinggi sekitar setengah meter. Cukup aneh, karena lokasi Desa Taro’an berjarak sekitar 6,5 km dari pantai.
Jadi, selain memberantas maksiat, kegiatan tahlilan ini juga menjadi sarana untuk menyambungkan silsilah keimanan dan dakwah warga dengan leluhur desa yang dipercaya merintis dakwah Islam di desa kami. Hal ini terus diingatkan setiap acara tahlil digelar, sambil juga ditambahi dengan pesan-pesan keagamaan yang bersifat kontekstual.
Tahun demi tahun, perhatian masyarakat Desa Taro’an pada pemakaman umum di desanya semakin membaik. Dua tahun yang lalu, secara bergotong royong masyarakat desa membangun congkop atau pendopo kecil tepat di tengah lokasi pemakaman umum, di sekitar dua makam leluhur desa. Ukurannya sekitar 10 x 8 meter.
Setelah bangunan ini selesai, masyarakat juga membuat kegiatan rutin bulanan. Setiap hari Jum’at legi, masyarakat Desa Taro’an menggelar acara khataman Alquran, dimulai dari pagi-pagi benar setelah subuh hingga siang. Selain mendoakan para leluhur, khataman juga diniatkan untuk keselamatan desa dan masyarakatnya.
Bagi saya, kisah ini memberikan sedikit gambaran tentang pola dan strategi dakwah ala Islam Nusantara yang teduh dan tidak menggunakan cara kekerasan. Saya yakin, model dan strategi dakwah Islam yang seperti ini cukup banyak untuk ditemukan di tingkat akar rumput, meski minim publikasi.
Label: Cultural Issues, Madura, Religious Issues