
Judul buku: The Art of Clear Thinking: Siasat Menghadapi Sesat Pikir
Penulis: Patrick King
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2024
Tebal: vi + 156 halaman
Apakah berpikir masih menjadi isu yang penting di tengah makin berkembangnya berbagai bentuk perkakas kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang semakin mudah diakses belakangan ini? Apakah keterampilan berpikir masih perlu terus diupayakan dan dikembangkan serta perlu diperkuat dalam agenda kependidikan dan kebudayaan kita?
Jika berpikir dianggap penting, lalu pertanyaan berikutnya: berpikir yang bagaimana yang bernilai penting bagi kita khususnya di era AI saat ini? Patrick King, penulis buku The Art of Clear Thinking ini, mengemukakan bahwa ada banyak bentuk kegiatan berpikir. Ada berpikir cepat, berpikir reaksioner, berpikir sederhana, berpikir rumit, dan sebagainya. Apakah semuanya penting untuk mendapatkan perhatian?
Menurut King, di tengah banjir informasi yang kian tak terbendung, yang kita perlukan saat ini adalah berpikir jernih (clear thinking). Otak kita secara naluriah cenderung untuk berpikir cepat, mengabaikan akurasi yang sebenarnya bernilai lebih penting daripada kecepatan, sehingga akhirnya kita terjatuh pada sesat pikir. Berpikir jernih kurang lebih serupa dengan apa yang selama ini sering juga disebut dengan berpikir kritis (critical thinking). Dalam pengertian yang paling sederhana, berpikir jernih adalah berpikir untuk menemukan kebenaran objektif.
Dengan pengertian ini, berpikir jernih berarti upaya untuk keluar dari jebakan subjektivitas dan menempatkan bukti, fakta, data, dan argumen sebagai pedoman dalam mencapai kesimpulan. Dalam buku ini, King membahasakan subjektivitas dengan istilah “ego”, sebuah istilah yang juga sudah cukup populer.
Dalam empat bab, King memaparkan seni berpikir jernih dengan gaya bertutur yang lincah dan mudah dicerna. Pada bab pertama, King memulai dengan pentingnya kejujuran intelektual untuk meraih pikiran yang jernih. Untuk melawan godaan ego (subjektivitas), sangatlah penting untuk berkomitmen pada kejujuran. King menggambarkan ego sebagai wujud alamiah dari sistem pertahanan pada diri subjektif sehingga wajar bila ia sering tidak disadari. Cara berpikir ego-subjektif dapat berupa penyangkalan atau rasionalisasi (akal-akalan atau cari-cari alasan dan pembenaran).
Komitmen pada kejujuran diharapkan dapat merobohkan pertahanan ego-subjektif dalam berbagai bentuknya. Kejujuran intelektual, tulis King, adalah “komitmen untuk menemukan kebenaran, secara utuh, tanpa syarat, apa pun risikonya” (hlm. 13). Kejujuran intelektual menjaga proses berpikir dari bias, prasangka, dan juga emosi. King menguraikan bentuk-bentuk ketidakjujuran intelektual secara cukup teperinci agar komitmen pada kejujuran dapat menemukan jalan strateginya saat beraksi dalam kegiatan berpikir (hlm. 18-24). Misalnya, King menerangkan tiga penghalang umum untuk berpikir jujur, yakni kemalasan intelektual, ketidaktahuan yang disengaja, dan ketidakmampuan bersikap kritis dalam menghadapi otoritas kebenaran tertentu.
Pada bab yang kedua King berfokus pada bentuk-bentuk penghalang subjektif. Bab kedua diberi judul “(Jangan) Percayai Insting Anda”. Serupa dengan insting yang dibiarkan apa adanya serta tidak disikapi secara kritis, ada empat hal yang dapat meneguhkan subjektivitas kita dalam berpikir, yaitu perasaan, perspektif, persepsi, dan ingatan. Dalam proses berpikir, keempat hal ini menurut King haruslah ditempatkan secara proporsional.
Perasaan atau emosi bukanlah fakta. Realitas itu netral, tapi emosi akan “membuat Anda memandangnya dalam cara tertentu” (hlm. 41). Bila dikuasai emosi, itulah saat yang tepat untuk segera mengambil jarak dalam melihat kenyataan dan mencoba berpikir dengan jernih. Sedangkan persepsi sering menjebak kita pada bias tertentu, entah itu bias ketersediaan, bias rasionalisasi agar tidak merasa menyesal, dan sebagainya (hlm. 52-55).
King menawarkan beberapa strategi untuk menghindar dari bias-bias semacam ini, yakni strategi mencari penjelasan alternatif, mengubah pernyataan menjadi pertanyaan, dan menantang asumsi-asumsi yang tersembunyi. Secara umum, King menekankan bahwa tameng berpikir jernih agar tidak tercebur pada subjektivitas di antaranya adalah memahami hukum-hukum dasar logika. Sebagai sebuah ilmu yang membahas tentang cara kerja pikiran, logika diperlukan agar pikiran tidak terseret godaan subjektivitas. Dalam buku ini, King membahas beberapa hukum dasar logika sebagai contoh cara logika menghalangi kuasa subjektivitas (hlm. 65-72).
Pada bab ketiga, King membahas tentang pikiran terbuka. Untuk dapat berpikir dengan jernih, kita memerlukan pikiran yang terbuka. Berpikiran terbuka berarti kesediaan kita untuk mendengarkan bukti dan argumen dan tidak terburu-buru membuat penilaian instan. King juga mengingatkan bahwa pikiran kita kadang dipengaruhi oleh dimensi sosial atau hal-hal di sekitar kita. Pada bagian ini, King membahas bias konformitas yang merupakan temuan riset Solomon Asch dan psikologi kepatuhan dari Stanley Migram (hlm. 100-106). Dua teori ini kurang lebih menjelaskan bahwa kita terkadang tidak berpikir jernih karena ikut-ikutan, takut dipandang berbeda, dan lari dari tanggung jawab. Semua itu kemudian menyeret kita menjauh dari fakta dan kebenaran.
Di bab terakhir, King mengajak pembaca untuk belajar berpikir jernih dari para pemikir besar dalam sejarah. Pada bagian ini, King menghadirkan lima tokoh lintas-masa, yakni Elon Musk, Charles Darwin, Rene Descartes, Albert Einstein, dan Sokrates. Kelima tokoh ini mewakili keragaman kontribusi mereka dalam mengembangkan model berpikir yang selaras dengan cita-cita berpikir jernih.
Keterampilan berpikir jernih dibutuhkan oleh siapa saja. Profesi apapun, semua membutuhkan landasan pikiran yang jernih. Bahkan, menjalani keseharian pun membutuhkan pikiran jernih. Pikiran yang jernih dapat menuntun pada informasi yang benar dan keputusan tindakan yang tepat. Banjir informasi cenderung membawa sampah yang dapat ikut menggenangi pikiran. Itu harus disingkirkan—di antaranya dengan keterampilan berpikir jernih.
Dalam buku ini King tidak saja membagikan kiat-kiat atau strategi berpikir jernih. Teknik dan strategi dijelaskan dengan contoh-contoh yang membuatnya semakin terang. Lebih jauh, King juga memberi fondasi berpikir jernih pada aras moralitas. Moralitas di sini dalam arti sikap batin, yakni sikap batin yang dibutuhkan dalam mencari kebenaran. Secara eksplisit, King meletakkan moralitas berpikir yang paling mendasar pada bab pertama, yakni kejujuran intelektual. Pada bagian-bagian berikutnya, eksplisit dan juga implisit, King juga menekankan pentingnya sikap rendah hati dalam membaca pandangan orang lain.
King juga berbicara tentang risiko dari pencarian atas kebenaran, yang itu berarti bahwa pencarian kebenaran membutuhkan keberanian. Kita tahu, kebenaran kadang mengantarkan kita pada risiko yang pahit yang terkadang disangkal oleh orang-orang yang masih terkurung dalam subjektivitas egoistis
Buku ini tergolong bacaan populer dalam mempertajam keterampilan berpikir. Kalau Anda membaca buku-buku teks logika formal, Anda mungkin saja akan merasa bosan dan perlu mengerutkan dahi. Buku ini tersaji untuk pembaca umum, tidak saja untuk mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah “Logika Dasar”. Buku-buku populer tentang keterampilan berpikir seperti ini sangat penting dan berharga terutama untuk konteks sekarang, saat informasi semakin berlimpah dan kecenderungan manusia yang terobsesi pada kecepatan dan mengabaikan akurasi yang merupakan dasar bagi kebenaran.
Meski saat membaca buku ini saya tidak menggunakan “mode editor”, saya dapat simpulkan bahwa penyuntingan buku ini cukup bagus. Salah ketik hanya saya temukan di halaman 111 paragraf kedua, baris kedua. Sedangkan terkait soal substansi, saya agak terganggu pada bab keempat saat King memasukkan Elon Musk dalam daftar tokoh yang dianggap “pemikir terhebat dalam sejarah” dalam hal “metode berpikir” (hlm. 109).
Empat tokoh lainnya tak ada masalah. Sokrates jelas dalam sejarah filsafat Barat diakui sebagai filsuf yang memelopori metode berfilsafat. Descartes dipandang sebagai pelopor filsafat modern yang kontribusinya tak diragukan dan jelas jejak pemikiran dan gagasannya. Einstein dan Darwin juga mempunyai jejak rekam gagasan yang jelas dan pengaruh yang signifikan khususnya dalam bidang sains. Tapi Musk? Metode berpikir? Rasanya lebih ke hal teknis-strategis dalam hal inovasi dan pengembangan bisnisnya. Sesuatu yang relatif cukup sempit. Dan lagi, kejelasan, kedalaman, dan pengaruh strateginya belum cukup teruji. Belum lagi jika Musk dilihat dari sisi kontroversialnya dalam konteks politik di Amerika saat ini untuk mencermati seberapa jernih dia berpikir untuk masalah-masalah yang diamati, dikomentari, dan disikapinya.
Selain itu, hal yang juga cukup mengganggu saya adalah saat King membahas tentang penyimpulan langsung dengan cara konversi (hlm. 69-70). Dalam disiplin logika, konversi adalah menarik kesimpulan dengan membalikkan atau menukar term subjek dan predikat. Namun, dalam logika, prosesnya tidak berhenti di situ. Ada norma bahwa jika proposisi universal afirmatif dikonversi, maka kesimpulannya harus berbentuk partikular afirmatif. King mengabaikan hal itu, dan menyatakan bahwa penyimpulan konversi ini membuahkan argumen yang cacat.
Namun demikian, saya percaya bahwa pembaca yang sejak awal berusaha membaca buku ini dengan jernih tak akan dengan mudah menerima poin-poin gagasan dalam buku ini begitu saja. Pembaca yang menerapkan mode membaca dengan seni berpikir jernih mungkin akan cukup mampu untuk menyaring serpihan-serpihan gagasan dalam buku ini yang bisa saja sebenarnya masih perlu dibersihkan dari bentuk-bentuk bias atau bahkan mungkin sesat pikir.
Wallahu a’lam.
Read More..