Sabtu, 10 Mei 2014

Dunia Ayah Kian Menyempit


Sekitar hampir setahun setengah ini, dunia ayah saya kian hari tampaknya semakin menyempit. Hari-harinya hampir sepenuhnya hanya dihabiskan dengan berbaring di kamar. Ayah tak bisa ke mana-mana. Untuk duduk saja ayah sudah mesti dibantu. Ia sudah tak kuasa berjalan tanpa dibantu kursi roda. Bahkan, untuk berdiri tegak pun, ia sudah sangat kesulitan meski dibopong.

Dunia ayah saya benar-benar telah semakin menyempit. Beberapa bulan terakhir, kata-katanya sudah sangat sulit dimengerti, bahkan oleh kami yang sehari-hari hidup bersama dengannya. Dengan wajah yang tampak begitu lelah dan kusut, terkadang ayah berteriak seperti memanggil-manggil orang. Namun kami tidak tahu pasti apa maksudnya.

Dengan pelafalan yang nyaris tak jelas, kami hanya bisa menerka makna yang ada di balik suara ayah yang lebih sering seperti gumaman itu. Kadang kami menangkap rasa pasrah, atau perasaan yang kosong, saat makna di balik lafal-lafalnya itu gagal ditangkap atau dijawab sekenanya. Kadang pula kami menangkap rasa serupa geram. Pada saat seperti itu, saya membayangkan mungkin ayah saya merasa tengah berada di perbatasan dunia. Ayah berusaha berpegang dan bertahan agar tetap berada di satu dunia bersama kami.

Bahasa memang bisa menyatukan dan memisahkan, seperti kisah Iskandar Dzulqarnain yang direkam al-Qur'an, saat ia tiba di antara dua gunung dan penduduknya menggunakan bahasa yang nyaris tak bisa dipahami. Itulah mungkin gambaran tentang batas dunia—dunia kita yang dibatasi bahasa.

Jika dikatakan bahwa makna kata-kata itu sifatnya manasuka, maka kini saya semakin paham betapa kata-kata atau bahasa tidak lebih hanya soal kesepakatan. Manusia belajar berbahasa dan merekam kata-kata dengan menyimpan makna yang sifatnya manasuka itu dalam ingatannya. Lalu bagaimanakah jika kata-kata yang dilontarkan pun dilafalkan dengan tidak jelas dan nyaris seperti manasuka?

Namun begitu, saya percaya bahwa di balik pelafalan yang terganggu, dunia ide ayah saya masih hidup meski mungkin tak semeriah saat ia masih sehat. Dunia ide ayah saya tampaknya masih mampu menangkap suasana bahagia, sedih, dan semacamnya, atau bahkan merekam nama-nama baru yang masuk ke dalam dunianya yang makin menyempit itu.

Saat saya membawa dan memperkenalkan istri saya untuk pertama kalinya ke hadapannya, ayah saya menunjukkan ketersambungannya dengan ungkapan haru dan sesenggukan tertahan. Pernah suatu hari saat saya hanya pulang sendiri ke rumah tanpa istri saya, saya mencoba menguji ingatan ayah saya tentang nama istri saya. Ternyata ayah saya bisa mengingat dan menyebutnya dengan baik.

Tapi bagaimanapun, dunia ayah saya memang kian menyempit. Mungkin kini ayah hanya menyimpan sejumlah gagasan dalam jumlah yang amat sedikit—yang mungkin tak lain hanya berkaitan dengan hal-hal mendasar terkait kebutuhan manusia untuk bertahan hidup ditambah dengan perbendaharaan yang berisi orang-orang terdekatnya.

Menyaksikan dunia ayah saya yang menyempit itu, kadang saya teringat pada saat ayah saya untuk pertama kalinya menyeberang Jembatan Suramadu di pertengahan Juni 2010 saat bersama kerabat yang lain menjemput kedatangan saya dari Eropa. Surabaya—itulah jarak terjauh yang ditempuhnya setelah pada akhir 2007 ayah diserang stroke ringan.

Apakah yang ayah rasakan saat itu, empat tahun yang lalu, saat kami bersama-sama berkumpul dengan lengkap untuk sebentuk rasa syukur atas tuntasnya studi dan kedatangan saya? Saya juga teringat Mei 2007, saat ayah menghadiri wisuda saya di Yogyakarta bersama kerabat-kerabat dekat. Saya melihat foto wisuda saya, menatap ekspresi bahagia ayah di antara istri dan anak-anaknya. Ya Allah, lama saya tak melihat raut wajah ayah yang seperti itu.

Kini, dalam dunianya yang semakin menyempit itu, ayah hampir pasti akan memanggil-manggil kami jika di kamarnya ayah hanya sendiri dan sedang terjaga. Ayah memang tak perlu apa-apa, hanya ingin ada salah satu dari kami di sana. Apakah dunia yang kian menyempit itu telah menghadirkan rasa cemas untuknya?

Ayah saya memang termasuk orang yang suka "kepikiran" saat anak-anaknya pergi ke tempat jauh. Saat untuk pertama kalinya saya berangkat kuliah ke Yogyakarta pada tahun 1997, kami dapat menangkap kecemasannya. Begitu juga saat adik-adik saya melanjutkan studi ke luar kota selang beberapa tahun kemudian.

Dunia ayah kian hari tampak kian menyempit. Beberapa pekan terakhir, saya menyaksikan betapa sulitnya ayah untuk bergerak atau ke kamar mandi meski sudah dibantu. Ya Allah, kadang saya merasa tidak tega saat menangkap ketakberdayaan dan rasa sakitnya saat ayah dibantu berjalan.

Kini, dalam dunianya yang semakin menyempit, saat saya berada di kamar mendampinginya, saya sering bertanya-tanya apakah ayah masih menyimpan gagasan tentang doa dan harapan. Saat pikiran dan dunianya semakin tergerus oleh penyakit dan usia, apakah ayah masih terpikir untuk mendoakan kami, putra-putrinya, seperti dahulu dilakukannya?

Beberapa bulan lalu pernah ada orang yang bertamu untuk meminta doa berkah dari ayah. Saya yang menemuinya di ruang tamu. Saat saya menyampaikan maksud kedatangan si tamu kepada ayah yang terbaring di kamar, ayah tampak masih tersambung. Saya memandu ayah untuk berdoa sesuai dengan maksud kedatangan si tamu, dan ayah terdengar membacakan doa.

Menyaksikan hal ini, saya merasakannya sebagai bagian dari setitik harapan. Menghadapi kehidupan baru dan merasakan beratnya tantangan hidup ke depan, saya tentu sangat berharap dari doa dan perkenan orangtua. Saya percaya bahwa doa mereka akan menjadi kekuatan berharga buat saya. Semoga Allah senantiasa memberkahi kedua orangtua saya. Amien.

Baca juga:
>> Ayah, Apa Kau Masih Bisa Memimpin Pembacaan Shalawat di Perayaan Maulid Tahun Ini?

12 komentar:

Fandrik Ahmad mengatakan...

Sebagai seorang yang sudah tidak memiliki ayah, saya merasakan 'kedalaman' tulisan ajunan ini, Ra. Saat alm. Ayah juga sudah tak bisa melakukan apa-apa, tetapi tatapan Ayah masih bisa menampakkan harapan kepada keluarganya, termasuk saya...

Anonim mengatakan...

Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamiin....

Terharu membacanya. Selagi masih ada kedua orang tua, kesempatan sangat berharga untuk berkhidmat kepadanya sekalipun hanya dengan duduk bersama.

Semoga putra-putrinya menjadi penyejuk beliau dzohiran wa bathiinan fiddunyaa wal aakhirah. aamiin..

M Mushthafa mengatakan...

Terima kasih, Fandrik.
Sebenarnya saya masih kurang puas dengan tulisan saya ini. Tapi meski sudah diendapkan beberapa hari, saya kesulitan untuk memperbaikinya. Rasanya masih agak hambar, kurang detail.

Kang Asep mengatakan...

ikut prihatin. saya juga pernah mengalami situasi yg mirip http://kangasep234.wordpress.com/2011/08/02/sebuah-pengantar/

Unknown mengatakan...

Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi Ayahanda tercinta. Aamiin. Alfatihah

Hamiddin mengatakan...

Amin..ya rabbal 'alamin. Allahumma Sholli 'ala Muhammad. Saya yakin gus bahwa K. H. Abdul Basith Bahar masih tetap mendoakan putra-putrinya...kecintaan beliau terhadap sholawat yang membuat beliau terus bertahan.... Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk Beliau.

M. Faizi mengatakan...

aku terharu dan menangis. kelak, kita akan berada dalam situasi seperti itu meskipun dalam suasana yang mungkin berbeda. bertahanlah

Muhammad-Affan mengatakan...

Satu hal yang membuat saya kepikiran sampai sekarang, tidak sempat merekam atau meminta beliau untuk membacakan shalawat,barzanji, atau apa saja lalu saya merekamnya dengan audio recorder.

Ahmad Madzkur mengatakan...

tak terasa air mataku menetes di sela sela tulisan yg memaknai selaksa rasa yg nyaris jg aku rasakan namun tak termaknai dalam kata kataku, kak tafa betapapun besar ujian saya yakin selalu ada hikmah semua PASTI akan mengalaminya walaupun dengan bentuk dan kondisi berbeda, semoga ammi basith selalu merasa terhibur di dalam ruasan ruasan alam fikirnya walopun kita dirundung gelisah dan menahan air mata, semoga juga kak tafa lek abdullah senantiasa ada rasa semangat dan besar hati di setiap bersama beliau aaaamiieeen.

manying koe mengatakan...

tak bnyk yg bs kuucap, smg beliau senantiasa dlm keadaan yg terbaek. oh guruku smg kta msh bs bertemu, walau entah kapan... amien.

Edi Akhiles mengatakan...

Kisah cinta yang tak pernah sanggup diwakili diksi dan narasi apa pun

M Mushthafa mengatakan...

Terima kasih semuanya: Edi Akhiles, manying koe, qecol, M. Faizi, Toni Pangcu, Hamiddin, Muhammad-Affan, Kang Asep.