Sebelumnya saya memohon maaf kepada para pembaca karena apa yang akan saya tulis ini bukanlah berangkat dari fakta dalam pengertian yang ketat. Saya tidak mengetahui atau menemukan sendiri sebagian besar fakta yang saya sebut dalam tulisan ini. Jadi, saya mungkin seperti bersandar pada dinding informasi yang tidak kuat, karena dinding itu hanya dibangun dari batu bata informasi yang bukan dari tangan pertama. Saya menulis ini di antaranya dengan harapan untuk mendapatkan ketegasan tentang dasar fakta yang saya asumsikan dari para pembaca sekalian.
Saya akan menulis tentang “keruwetan” yang terjadi setelah pemilihan calon anggota badan legislatif—selanjutnya saya singkat “pileg”—yang berlangsung bulan lalu, tepatnya hari Rabu, 9 April 2014. Saya kesulitan untuk menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan titik fokus hal yang akan saya tuturkan, sehingga saya akhirnya hanya bisa menggunakan kata “keruwetan”.
“Keruwetan” yang saya maksudkan adalah hal-hal buruk yang mungkin bisa disebut ekses dari pelaksanaan pileg tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ekses” berarti “hal (peristiwa) yang melampaui batas”. Mungkin ada beberapa atau bahkan banyak hal buruk yang merupakan sesuatu yang berada di seberang tujuan pelaksanaan pileg itu sendiri. Tapi saya hanya akan mencatat beberapa yang saya anggap cukup penting dan terlintas dalam pikiran saya.
Keruwetan pertama, pileg telah menghancurkan ikatan-ikatan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat kita. Banyak orang mengatakan bahwa pileg kali ini sama halnya dengan pemilihan kepala desa (pilkades). Sebagaimana dalam pilkades, seolah-olah sudah tak ada lagi partai—mungkin juga ideologi. Yang ada adalah orang-orang yang maju—katanya—sebagai calon wakil rakyat. Dalam situasi seperti ini, para calon anggota badan legislatif berupaya keras untuk mencapai tujuannya, yakni duduk sebagai wakil rakyat, tanpa harus memperhatikan calon yang lain yang juga berasal dari partai yang sama (yang idealnya mengusung satu napas perjuangan yang sama).
Karena itu, tak heran, setelah coblosan, perseteruan soal hasil penghitungan suara tidak hanya melibatkan partai politik yang berbeda. Tidak sedikit perselisihan terjadi di antara sesama calon yang berasal dari bendera partai yang sama. Perselisihan di sini dalam bentuk konkretnya secara ekstrem berupa pengambilan (atau pencurian) suara. Di sebuah media dalam jaringan, saya membaca perselisihan macam ini yang terjadi di antara beberapa calon dari satu partai untuk tingkat DPR RI dari wilayah Jawa Timur.
Sebenarnya perseteruan macam ini juga bisa terjadi sebelum hari pemilihan. Bentuknya bisa berupa kampanye hitam—dengan tingkat yang berbeda-beda—di antara sesama calon yang bahkan bisa jadi berasal dari satu partai. Saya membaca hal semacam ini di media-media sosial untuk calon-calon yang sifatnya lokal, regional, juga nasional. Perseteruan memang tidak mesti melibatkan calon itu sendiri, tapi terjadi pada tim-tim sukses si calon.
Dalam lingkup yang lebih kecil, di satu desa misalnya, nuansa perseteruan ala pilkades dapat saya rasakan. Dalam kehidupan masyarakat desa, hubungan kekerabatan, faktor tetangga, dan jalinan sosial yang lain bisa menjadi pertimbangan penting. Di desa saya, saya mendengar ada sebuah keluarga membagi suaranya untuk DPRD tingkat kabupaten untuk beberapa calon dengan mempertimbangkan jalinan dan irisan sosial yang ada dalam keluarga mereka dengan beberapa calon.
Dengan model pilkades, biasanya hubungan calon dan pendukung atau mereka yang tidak mendukung akan berlanjut setelah pemilihan. Mereka yang sebelumnya tidak mendukung calon yang terpilih biasanya akan mendapatkan tempat di pinggiran. Situasi ini bisa bertahan beberapa lama—bisa hingga beberapa tahun.
Bahkan, saat pileg kemarin, saya mendengar ada calon yang menyebar uang dan menandai dan menghitung secara teperinci perkiraan dan perolehan suaranya di tiap tempat pemungutan suara (TPS) berdasarkan amplop yang telah disebar sebelumnya. Cara ini katanya diiringi dengan semacam ancaman: bahwa jika ternyata ada selisih suara antara amplop dan hasil di TPS, maka si calon tidak akan bertanggung jawab atas situasi keamanan di wilayah itu.
Beberapa contoh yang saya kemukakan ini menurut saya menunjukkan adanya pertanda terlepasnya ikatan-ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat kita. Saya menangkap ada benih-benih penyekatan dalam ruang sosial di antara calon yang saling bersaing itu yang dampaknya bisa cukup mahal dan fatal. Dalam bentuk yang sederhana dan berskala kecil, mungkin sekali muncul kerenggangan antara dua orang atau lebih akibat perbedaan dukungan politik. Dalam bentuk yang lebih rumit, ini bisa meluas pada konflik di antara kelompok-kelompok di masyarakat.
Menurut saya, skala kerenggangan dan konfliknya di antaranya ditentukan oleh kedalaman (intensitas) keterlibatan seseorang dengan calon yang didukungnya, kematangan seseorang dalam melihat perbedaan, dan kerangka politik yang dimiliki si calon yang ditanamkan kepada tim atau pendukungnya. Jika berbagai faktor kunci ini berada dalam kutub negatif, maka mungkin tingkat kerenggangan yang akan dihasilkan bisa cukup ekstrem. Apalagi hal itu terjadi pada tokoh kunci dalam masyarakat yang bisa memengaruhi orang lain.
Hancurnya ikatan-ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat kita dari satu sisi berarti hilangnya modal sosial kita sebagai komunitas atau masyarakat. Kehidupan sosial kita tidak akan berjalan dengan baik jika salah satu tali yang mengikat berbagai orang dalam rumpun kehidupan masyarakat lucut. Program-program pembangunan atau semacamnya akan menghadapi kendala yang cukup berarti jika ikatan-ikatan itu telah tercerai berai. Apalagi jika disusul oleh lucutnya tali yang lain. Jika ikatan-ikatan sosial itu lepas, maka itu berarti ancaman bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa.
Selanjutnya, keruwetan kedua, dengan adanya politik uang yang luar biasa, pileg kali ini cenderung semakin mengarahkan putusnya ikatan suci dunia politik sebagai ranah pengabdian dan menggantinya dengan tujuan yang sifatnya duniawi. Dunia politik lalu cenderung ditampilkan sebagai panggung perebutan kekuasaan.
Para elite politik (partai) cenderung mempertontonkan perilaku, pernyataan, dan juga perseteruan yang menempatkan politik sebagai hal sangat material dan duniawi kepada masyarakat luas. Ini adalah bentuk “sekolah” atau pendidikan yang sangat manjur karena wujudnya langsung berupa contoh, bukan sekadar kata-kata. Bahkan kata-kata bisa berseberangan dengan teladan yang ditampilkan.
Jika ada slogan-slogan ideal yang mungkin kadang dikutip dari teks suci dalam panggung kehidupan politik kita, khususnya dalam kaitannya dengan suasana pileg yang lalu, masyarakat masih kesulitan untuk melihat keterkaitan ungkapan-ungkapan ideal itu dengan praktik politik yang tampak di depan mata. Masyarakat masih cukup sulit untuk menemukan teladan dalam kehidupan politik yang menunjukkan kemanjuran teks-teks suci itu sebagai pengarah laku politik mereka.
Lunturnya misi suci politik dalam kehidupan masyarakat tidak saja menjadi contoh pendidikan politik yang bersifat negatif. Ia juga menenggelamkan salah satu harapan kekuatan sosial yang dapat mengusung perubahan secara sistematis dalam kehidupan bermasyarakat. Politik sebagai proses tawar-menawar terkait tata kelola kehidupan bersama menjadi surut dalam tujuan jangka pendek yang dangkal dan duniawi.
Jika dicermati lebih jauh, dua sisi keruwetan yang saya gambarkan di sini ternyata berbiaya mahal. Banyak orang mengatakan bahwa pileg kali ini tampaknya memang telah semakin ramai dengan politik uang. Bisik-bisik di masyarakat di sekitar saya menunjukkan hal tersebut. Untuk calon anggota badan legislatif di tingkat kabupaten, saya mendengar beberapa calon mengeluarkan dana ratusan juta rupiah. Bahkan tidak sedikit yang di atas satu miliar!
Saya mencoba membayangkan, dari ratusan calon anggota badan legislatif di Sumenep, berapa miliar uang yang bertaburan dalam beberapa bulan di sekitar pileg tahun ini? Demikian juga, berapa dana yang masyarakat keluarkan untuk kepentingan pileg? Kemudian, apa yang mereka dan masyarakat akan dapatkan dari jumlah yang begitu besar itu, setidaknya dalam lima tahun ke depan?
Di media saya membaca berita tentang calon yang gagal yang kemudian berakhir dengan kondisi kejiwaan yang tertekan (stres). Ada pula yang tersiar berusaha menarik kembali uang atau sumbangan yang sebelumnya ia keluarkan. Pada tingkat perseorangan pun, ternyata keruwetan kadang ternyata harus bermodal mahal.
Membaca berbagai keruwetan setelah pileg di atas, masih layakkah kita menaruh harapan? Di kabupaten saya, melihat daftar anggota badan legislatif yang terpilih, saya bersyukur masih bisa melihat beberapa nama yang tampaknya masih bisa diberi harapan. Saya sadar bahwa memang tak ada orang yang sempurna. Tapi saya pikir ada beberapa orang yang insya Allah bisa berbuat sesuatu di sana.
Namun kadang pikiran saya masih terbentur lagi dengan gagasan tentang “dunia dewan” yang tampaknya memiliki aturan (“struktur”) tersendiri. Sebagai sebuah dunia yang secara relatif dapat berdiri sendiri, ia bisa memiliki kekuatan pengubah atau bahkan pengendali pada kehendak dan idealisme seseorang. Untuk mereka yang tadi saya sebut layak diberi harapan, saya bertanya-tanya apakah mereka dapat selamat dari ekses buruk struktur “dunia dewan” tersebut sehingga dengan segala keterbatasannya dunia ideal mereka dapat terus dibawa dan diperjuangkan di sana?
Dari jauh, saya mencoba merawat harapan yang rasanya cukup berat ini. Semoga Allah memberi kekuatan bagi mereka yang punya niat baik untuk berjuang demi kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Baca juga:
>> Money Politics Around Us
>> For Whom the People (don't) Hope
0 komentar:
Posting Komentar