Jumat, 27 Oktober 2000

Eksprimentasi Metodologi Postmodern

Judul Buku‭ :‭ ‬Civil Society versus Masyarakat Madani:‭
Arkeologi Pemikiran‭ “‬Civil Society‭” ‬dalam Islam Indonesia
Penulis‭ :‭ ‬Ahmad Baso
Pengantar‭ ‬:‭ Muhammad A.S.‭ ‬Hikam dan Nurcholish Madjid
Penerbit‭ ‬:‭ ‬Pustaka Hidayah,‭ ‬Bandung
Cetakan‭ ‬:‭ ‬Pertama,‭ ‬Oktober‭ ‬1999
Tebal‭ ‬:‭ ‬402‭ ‬halaman


Perdebatan tentang‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia merupakan salah satu elemen penting dalam wacana demokrasi dan reformasi.‭ ‬Seperti halnya wacana demokrasi dan reformasi,‭ ‬Civil Society‭ ‬diakses oleh berbagai lapisan kalangan intelektual Indonesia.‭ ‬Secara historis,‭ ‬debat masalah‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia sebenarnya telah dimulai cukup lama,‭ ‬yakni bermula sekitar awal‭ ‬1990-an,‭ ‬bersamaan dengan lahirnya ICMI.‭ ‬Frekuensi perbincangan‭ ‬Civil Society‭ ‬menjadi semakin meninggi ketika hampir semua ilmuwan sosial-politik dan—terutama—cendekiawan muslim yang‭ ‬concern‭ ‬terhadap masalah tersebut masuk dalam arena debat ini.

Buku ini adalah sebuah usaha pelacakan‭ ‬arkeologis terhadap hampir semua teks perdebatan‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia.‭ ‬Dengan mengandalkan pada metode penelitian sejarah yang disebut‭ ‬arkeologi,‭ ‬yang dipelopori oleh seorang filsuf postmodern asal Prancis,‭ ‬Michel Foucault‭ (‬1926-1984‭)‬,‭ ‬penulis buku ini mengkaji secara kritis teks-teks yang berhubungan dengan perdebatan‭ ‬Civil Society‭ ‬dalam konteks‭ (‬politik‭) ‬Islam Indonesia.‭ ‬Yang sangat menarik dari buku utuh ini adalah kesimpulan akhir yang diungkap:‭ ‬bahwa debat‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia sama sekali tidak produktif,‭ ‬karena orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya menggunakan ajang perdebatan itu sebagai sarana untuk memperkokoh identitas kelompok,‭ ‬bersifat ideologis,‭ ‬politisasi atas hal-hal yang transenden,‭ ‬pencarian legitimasi dari masa lalu,‭ ‬dan romantisisme kejayaan Islam periode klasik.‭ ‬Selain berbentuk romantisisme yang menyesatkan,‭ ‬debat‭ ‬Civil Society‭ ‬juga hanya sering berisi harapan-harapan dan keinginan tak berdasar,‭ ‬dengan diungkapkan melalui suatu‭ ‬glorifikasi bahasa yang cukup memukau.‭ ‬Corak seperti itulah yang oleh Ahmad Baso disebut sebagai‭ ‬Nalar Melayu,‭ ‬yang tetap tidak berubah sejak abad ke-16.

Bagaimana kesimpulan itu bisa ditarik hingga menjadi sedemikian rupa dan seperti cukup mengejutkan‭? ‬Di sinilah sebenarnya letak kekuatan buku ini,‭ ‬yakni ketika Ahmad Baso menggunakan sebuah metode mutakhir yang digagas oleh Michel Foucault,‭ ‬yakni metode‭ ‬arkeologi‭ (‬pemikiran‭; ‬Bhs.‭ ‬Inggris:‭ ‬Archaeology of Knowledge‭)‬.‭ ‬Metode arkeologi itu sendiri amat dekat dengan tradisi strukturalisme yang juga tumbuh di Prancis,‭ ‬yang berpijak pada asumsi otonomi teks.‭ ‬Teks ketika dilemparkan kepada publik dianggap memiliki otonominya sendiri dari tiga hal:‭ ‬dari sang pengarang,‭ ‬dari konteks budaya awal,‭ ‬dan dari konteks pembaca awal dari teks itu.

Dengan lacakan arkeologis terhadap teks-teks yang‭ ‬begitu banyak itu—yang ditulis oleh Nurcholish Madjid,‭ ‬Muhammad A.S.‭ ‬Hikam,‭ ‬M.‭ ‬Dawam Rahardjo,‭ ‬Fachry Ali,‭ ‬Kuntowijoyo,‭ ‬M.‭ ‬Amien Rais,‭ ‬Abdurrahman Wahid,‭ ‬Bahtiar Effendy,‭ ‬Azyumardi Azra,‭ ‬Muhammad Fajrul Falakh,‭ ‬dan sebagainya—Baso mulai bekerja untuk melihat sejauh mana hubungan dan‭ ‬batas-batas wacana‭ (‬the limits of discourse‭) ‬dari debat‭ ‬Civil Society dalam konteks politik Islam di Indonesia.‭ ‬Selain itu,‭ ‬dari berbagai teks‭ ‬Civil Society‭ ‬yang berserakan itu,‭ ‬Baso mencari dan kemudian menemukan gambaran pola‭ ‬pemikiran macam apa yang akan terbentuk,‭ ‬yang nantinya akan menunjukkan sebuah kecenderungan intelektual di Indonesia.‭ ‬Walhasil,‭ ‬aroma ideologis dan eksklusivitas kelompok dalam debat‭ ‬Civil Society‭ ‬di Indonesia yang begitu kental‭ ‬itu ternyata dicium Baso‭ ‬sudah sejak awal,‭ ‬yakni mulai dari ihwal penerjemahan‭ ‬Civil Society‭ ‬menjadi‭ ‬Masyarakat Madani‭ ‬atau‭ ‬Masyarakat Sipil.‭

Kelompok yang menerjemahkan‭ ‬Civil Society menjadi‭ ‬Masyarakat Madani‭ ‬terutama adalah kalangan cendekiawan yang tergabung dalam ICMI.‭ ‬Bahtiar Effendy misalnya menulis bahwa penerjemahan‭ ‬Civil Society menjadi Masyarakat Sipil adalah salah kaprah,‭ ‬karena di situ terkesan mempertentangkan sipil dan militer.‭ ‬Dengan istilah Masyarakat Madani,‭ ‬menurut Bahtiar dan kawan-kawannya,‭ ‬Civil Society merupakan konsep yang merujuk pada corak kehidupan Nabi Muhammad di Madinah pada awal perkembangan Islam.‭ ‬Dengan bantuan para sosiolog Barat yang mengkaji Islam,‭ ‬semisal Ernest Gellner,‭ ‬Marshall G.S.‭ ‬Hodgson,‭ ‬dan Robert N.‭ ‬Bellah,‭ ‬Nurcholish Madjid—sebagai salah satu eksponen dari kelompok ini—menjelaskan bagaimana‭ ‬Civil Society lalu dimaknai sebagai masyarakat yang beradab,‭ ‬masyarakat yang sopan.

Nurcholish menjelaskan bahwa semangat dan pengertian‭ ‬Civil Society terkandung dalam makna perkataan‭ ‘‬madinah‭’ ‬yang berarti‭ “‘‬masyarakat sopan,‭ ‬beradab,‭ ‬dan teratur‭’ ‬dalam bentuk negara yang baik‭”‬.‭ ‬Tetapi,‭ ‬apa yang terbayang ketika secara agak mengejutkan,‭ ‬Ahmad Baso lalu mengantarkan pembaca kepada suatu pemahaman bahwa konsep‭ ‬Civil Society-nya Nurcholish malah cenderung memiliki simpul pemikiran bahwa‭ “‬Civil Society dapat,‭ ‬dan sering,‭ ‬punya sisi-sisi buruk‭” ‬dan bahwa‭ “‬kiprah‭ ‬Civil Society yang bebas tak terkekang bukanlah suatu gagasan yang harus disambut hangat,‭ ‬melainkan pikiran yang sungguh mengerikan‭”‬,‭ ‬sehingga akhirnya‭ “‬dalam‭ ‬Civil Society‭ [‬pribadi‭] ‬diakui hak-hak asasinya oleh negara,‭ ‬tapi,‭ ‬sebagai imbalannya,‭ ‬dituntut penunaian kewajiban kepada negara,‭” ‬dan‭ “‬tidak punya makna apa-apa membicarakan‭ ‬Civil Society tanpa negara yang cukup tangguh,‭” ‬dan‭ “‬karena negara kita adalah negara yang sedemikian besar tetapi‭ ‬fragile‭ ‬atau mudah pecah‭” ‬maka‭ “‬hanya militer yang dapat menanggulanginya‭”‬.

Sementara itu,‭ ‬kelompok‭ ‬Masyarakat Sipil‭ ‬yang dipelopori Muhammad A.S.‭ ‬Hikam‭ (‬mewakili kelompok NU‭) ‬lebih memaknai konsep‭ ‬Civil Society dari perspektif Barat.‭ ‬Bagi Hikam,‭ ‬Civil Society mewujud dalam bentuk organisasi atau asosiasi yang dibuat masyarakat di luar pengaruh negara.‭ ‬Kelembagaan‭ ‬Civil Society ini hendak mandiri dari negara karena pada dasarnya‭ ‬Civil Society hendak berusaha mengimbangi hegemoni negara dan memperkokoh posisi dan kemandirian masyarakat.‭ ‬Satu persatu Hikam mengutip pandangan tokoh-tokoh Barat,‭ ‬seperti Jurgen Habermas,‭ ‬Hannah Arendt,‭ ‬Alexis de Tocquevelle,‭ ‬J.S.‭ ‬Mills,‭ ‬Daniel Bell,‭ ‬dan Vaclav Havel,‭ ‬tentang‭ ‬Civil Society,‭ ‬khususnya yang bertolak dari kasus di negara-negara Eropa Timur.

Kritik yang dilancarkan Baso dalam hal ini adalah sikap Hikam—seperti juga orang-orang lain yang terlibat dalam wacana‭ ‬Civil Society ini—yang dengan seenaknya saja mengutip pandangan tokoh-tokoh itu dengan melepaskan‭ ‬historisitas pemikiran yang ikut lahir bersama.‭ ‬Inilah yang oleh Muhammad Arkoun disebut dengan kecenderungan‭ ‬Logosentrisme,‭ ‬ketika pengalaman-pengalaman sejarah yang spesifik disederhanakan begitu saja dengan dikembalikan kepada suatu periode sejarah tertentu—masa kehidupan Nabi Muhammad,‭ ‬misalnya—atau malahan menyikapinya secara ahistoris.‭ ‬Jadinya,‭ ‬kutip-mengutip yang dilakukan hanya digunakan sebagai legitimasi dan tempelan yang kering,‭ ‬tanpa suatu akar epistemologis atau‭ ‬sosiologis yang memadai.‭ ‬Dalam konteks ini,‭ ‬konsep Hikam tentang‭ ‬Civil Society‭ ‬yang dipinjamnya dari para pemikir Barat kemudian mengabaikan perangkat kondisi sosial yang memungkinkan terciptanya‭ ‬Civil Society‭ ‬tersebut,‭ ‬seperti syarat adanya liberalisme ekonomi.

Tidak hanya itu.‭ ‬Aroma ideologis masih tetap saja menggenangi teks-teks Hikam.‭ ‬Misalnya,‭ ‬ketika pada salah satu tulisannya Hikam menyimpulkan bahwa NU pasca-Khittah sangat relevan dengan upaya penguatan‭ ‬Civil Society di Indonesia.‭ ‬Sementara,‭ ‬ketika‭ ‬pada pertengahan‭ ‬1998‭ ‬NU mensponsori pendirian Partai Kebangkitan Bangsa‭ (‬PKB‭) ‬Hikam menulis:‭ “‬Menurut saya,‭ ‬dalam rangka pembentukan format baru di masa depan,‭ ‬perlu dipertimbangkan pendekatan kedua ini‭ [‬yakni‭ “‬yang lebih menekankan kepada masyarakat‭”] ‬agar semakin mendapat tempat di dalam gerakan-gerakan Islam di negeri ini.‭” ‬Nampaknya Hikam mulai bingung ketika kalangan NU sendiri akhirnya harus‭ “‬menyerah‭” ‬dengan hanya menitikberatkan perjuangannya pada level masyarakat dan harus ikut bermain dalam arena kekuasaan‭ (‬negara‭)‬,‭ ‬dengan menulis bahwa‭ ‬Civil Society perlu dipertimbangkan.

Carut-marut dan kebingungan yang dialami cendekiawan Indonesia ini amat jelas menunjukkan betapa dalam wilayah wacana keilmuan‭ (‬epistemologis‭)‬,‭ ‬cendekiawan Indonesia masih belum bisa memiliki status otonom.‭ ‬Status epistemologis sebuah wacana dalam konteks Indonesia masih banyak ditentukan dan diarahkan oleh konstruksi identitas diri yang telah terbentuk sebelumnya,‭ ‬sehingga arah berkembangnya wacana tersebut hanyalah permainan peneguhan politik identitas itu sendiri.‭ ‬Akhirnya,‭ ‬wacana tersebut sama sekali tidak dapat teruji secara ilmiah-filosofis,‭ ‬apalagi secara kontekstual,‭ ‬karena wacana yang dibangun berpijak pada eksklusivisme-ideologis yang secara epistemologis amat rapuh.

Kritik terhadap konstruksi‭ (‬perkembangan‭) ‬keilmuan di tanah air memang sesuatu hal yang cukup penting.‭ ‬Apa yang sebenarnya terjadi di sini dalam waktu beberapa dekade terakhir tentu bukan sekedar krisis ekonomi dan sosial-politik.‭ ‬Tetapi,‭ ‬krisis dalam dunia‭ ‬keilmuan juga menjadi suatu bagian penting yang patut dipikirkan.‭ ‬Dalam salah satu tulisannya,‭ ‬Ignas Kleden mengkritik tidak adanya tradisi diskusi dalam sistem kebudayaan Indonesia.‭ ‬Menurut Ignas,‭ ‬tradisi‭ ‬ngobrol lebih akrab dalam dunia keilmuan kita.‭ ‬Artinya,‭ ‬setiap gagasan yang muncul dalam arena publik tidak pernah selesai dibicarakan secara mendalam.‭ ‬Kesetiaan pada suatu persoalan serta kejernihan dalam menangkap persoalan diabaikan begitu saja,‭ ‬sehingga kerja keilmuan yang dihasilkan hanya semacam cerai-berai pikiran yang ternyata masih cukup membingungkan—dan seringkali ideologis‭ (‬Kleden,‭ ‬1988:‭ ‬xlv‭)‬.

Sejalan dengan hal tersebut,‭ ‬Ahmad Baso sendiri di dalam buku ini juga mengkritik terhadap belum adanya kecenderungan analisis pemikiran Islam yang mengarah kepada sebuah sistem pemikiran yang utuh.‭ ‬Artinya,‭ ‬proyek intelektual yang dikerjakan oleh kelompok cendekiawan cenderung semata-mata merupakan respon sesaat terhadap situasi kontekstual,‭ ‬tanpa mau melanjutkannya dengan kerja-kerja intelektual‭ (‬penelitian‭) ‬yang lebih serius.‭ ‬Apalagi,‭ ‬kecenderungan ini diperparah dengan sikap konsumtivisme-intelektual yang berlebihan‭ (‬tidak pada tempatnya‭) ‬sehingga pemikiran yang lahir kehilangan daya kritisnya serta nyaris tidak menyajikan sesuatu yang baru dalam kancah‭ ‬pemikiran di Indonesia.

‭* * *
Selain kritik terhadap kecenderungan kajian keilmuan‭ (‬keislaman‭) ‬di Indonesia,‭ ‬khususnya tentang perdebatan‭ ‬Civil Society,‭ ‬buku ini juga bisa dilihat sebagai sebuah eksprimentasi metodologis dari sebuah perangkat metodologis yang relatif baru dalam kancah metodologi analisis sosial,‭ ‬yakni metode arkeologi‭ (‬pengetahuan‭)‬.‭ ‬Kiranya,‭ ‬cukup menarik untuk melihat bagaimana sebenarnya metode arkeologi ala Michel Foucault ini lahir,‭ ‬dengan diawali perkembangan aliran strukturalisme di‭ ‬Prancis.

Demam pemikiran Strukturalisme di Prancis yang mewabah pada sekitar akhir‭ ‬1960-an merupakan suatu bentuk ekspresi kekecewaan kaum intelektual Prancis dengan paradigma berpikir kaum Marxis dalam menganalisis kehidupan sosial-politik masyarakat.‭ ‬Huru-hara bulan Mei‭ ‬1968‭ ‬di Prancis yang diikuti respon Partai Komunis Prancis‭ (‬PCF‭) ‬yang kurang berpihak pada‭ ‬“people power‭”‬ untuk menentang berbagai keputusan pemerintah Prancis telah membuat kaum intelektual Prancis yang sebelumnya berada di belakang PCF itu menjadi harus berpikir ulang dengan posisi mereka,‭ ‬terutama berkaitan dengan paradigma perjuangan ala Marxis.‭ ‬Apalagi,‭ ‬ada kabar tidak menyenangkan dari Soviet yang membuka mata mereka akan kekejaman pemerintahan Stalin di Soviet.‭ ‬Pada akhirnya,‭ ‬rangkaian kejadian itu mengantarkan mereka kepada rasa kecewa terhadap cara berpikir kaum Marxis.‭ ‬Menurut mereka,‭ ‬pemikiran Marx harus ditafsirkan ulang‭ (‬Seno Joko Suyono:‭ ‬1997:‭ ‬5-10‭)‬.

Pada bagian yang lain,‭ ‬situasi yang menunjukkan kebangkrutan Marxisme baik secara teoritis maupun praktis ini telah mengubah haluan beberapa intelektual Prancis untuk menekuni pemikiran Strukturalisme yang dikembangkan bertolak dari studi linguistik Ferdinand de Saussure.‭ ‬Fenomena ini didukung oleh proses depolitisasi kampus yang dilakukan pemerintah Prancis.‭ ‬Strukturalisme Saussurian itu sendiri bertujuan untuk menemukan struktur permanen yang aktif yang dipandang mendasari realitas.‭ ‬Kaum strukturalis berpijak pada sistem bahasa,‭ ‬karena mereka percaya bahwa bahasa dapat dipandang sebagai sebuah sistem sosial.‭ ‬Karena menekankan pada struktur,‭ ‬maka cara kerja metode ini menfokuskan pada koherensi internal sebuah realitas sosial‭ (‬teks,‭ ‬bahasa‭)‬.

Teks diasumsikan otonom,‭ ‬sehingga yang diutamakan adalah makna obyektif teks,‭ ‬bukan intensi obyektif dari pengarang.‭ ‬Untuk itu,‭ ‬yang diutamakan dalam pelacakan yang dilakukan kaum strukturalis adalah struktur internal dari teks itu sendiri‭ (‬Ricouer,‭ ‬1977:‭ ‬319‭)‬.‭ ‬Apalagi penulis teks diyakini tidak bisa sepenuhnya bisa mengontrol makna keseluruhan dari teks-teks yang dibuatnya,‭ ‬sehingga penjelasan‭ (‬subyektif‭) ‬dari penulis teks hanya akan mengesankan upaya menyelamatkan diri dari label-label yang tidak menguntungkan bagi dirinya,‭ ‬sementara,‭ ‬teks yang dibuatnya sendiri mengarahkan kesan pembaca kepada‭ ‬sesuatu yang lain.

Dengan bertolak pada asumsi-asumsi pemikiran strukturalisme itu,‭ ‬metode arkeologi Michel Foucault sebenarnya lalu identik dengan sebuah pelacakan sejarah yang berusaha meneliti proses penataan teks-teks sehingga mengarah kepada suatu irama kebenaran tertentu.‭ ‬Inilah yang oleh kaum strukturalis disebut sebagai‭ “‬Kode Tersembunyi‭” ‬dari interaksi sosial.‭ ‬Arkeologi dengan demikian berusaha meneliti gagasan-gagasan yang dilemparkan kepada publik dengan asumsi bahwa ada‭ ‬episteme tertentu di balik semuanya itu.‭ ‬Yang dimaksudkan dengan‭ ‬episteme‭ ‬adalah pengandaian-pengandaian tertentu,‭ ‬prinsip-prinsip tertentu,‭ ‬syarat-syarat kemungkinan tertentu,‭ ‬yang dimiliki setiap zaman yang mendasari konstruksi epistemologis suatu zaman.‭ ‬Jadi,‭ ‬episteme adalah semacam apriori historis tertentu yang menentukan jalannya pemikiran tiap bidang ilmu‭ (‬Bertens,‭ ‬1996:‭ ‬215-216‭)‬.‭ ‬Dengan cara ini,‭ ‬diharapkan bahwa dasar-dasar pembentukan suatu pemikiran dapat ditemukan.‭ ‬Dari suatu perspektif,‭ ‬metode ini seperti hendak membongkar kesucian setiap pemikiran,‭ ‬karena pada dasarnya setiap pemikiran‭ (‬di)tegak(kan‭) ‬di atas suatu‭ ‬episteme tertentu.‭ ‬Dalam konteks ini,‭ ‬metode arkeologi Foucault yang berbasis penelitian‭ (‬kritik‭) ‬sejarah oleh Habermas disejajarkan dengan metode dekonstruksi Jacques Derrida yang‭ ‬mengkritik rasio modernisme dengan bertolak dari kritiknya terhadap Metafisika Kehadiran‭ ‬dalam pemikiran Filsafat Barat‭ ‬(Habermas,‭ ‬1998:‭ ‬254‭)‬.

Fokus penelitian kaum strukturalis pada struktur internal teks seringkali menghadirkan kesalahpahaman ilmuwan sosial lainnya.‭ ‬Dengan hanya meneliti struktur internal teks,‭ ‬kaum strukturalis dianggap menjauh dari realitas sosial-empiris yang bersifat aktual dan lebih konkret.‭ ‬Ahmad Baso juga kurang lebih mengalami hal ini.‭ ‬Akan tetapi haruslah‭ ‬dipahami bahwa dengan mengalihkan fokus perhatiannya dari kenyataan konkret menuju struktur internal teks,‭ ‬kaum strukturalis bukan hendak meninggalkan realitas sosial-empiris sepenuhnya,‭ ‬melainkan langkah ini dilakukan demi menemukan suatu pemahaman yang lebih bersifat asasi terhadap realitas empiris yang terjadi.‭ ‬Bahkan,‭ ‬dalam bagian tertentu,‭ ‬analisis struktural nampak lebih berhasil untuk memperlihatkan aroma ideologis sebuah sistem tertentu,‭ ‬seperti yang pernah dilakukan Roland Barthes ketika meneliti‭ ‬trend gaya hidup sehari-hari di Prancis dalam bukunya,‭ ‬Mythologies.

Ahmad Baso melalui buku ini setidaknya juga telah ikut membuktikan keampuhan metode arkeologi ala‭ (‬pasca)strukturalisme Foucault,‭ ‬terutama dalam membongkar eksklusivisme-ideologis kaum intelektual Indonesia yang terlibat dalam debat‭ ‬Civil Society.‭ ‬Inilah gaya atau‭ ‬prototype sebuah metodologi postmodernisme,‭ ‬sehingga dalam pengertian tertentu buku ini juga menjadi semacam klarifikasi bagi kebingungan debat postmodernisme di Indonesia.‭ ‬Ciri kental pemikiran postmodernisme ternyata juga tak bisa ditinggalkan:‭ ‬ia bersifat dekonstruktif dan nyaris berakhir dengan nihilisme.‭ ‬Mungkin,‭ ‬ini memang adalah sisi lain dari pemikiran postmodernisme itu.‭ ‬Akan tetapi,‭ ‬sejauh mengenai resiko atau bahaya yang‭ ‬juga diusung pemikiran postmodernisme yang cenderung berujung pada nihilisme ini,‭ ‬cukup penting untuk dikutip sepenggal ujaran Foucault pada salah satu karyanya:‭ ‬“...Yang saya persoalkan bukanlah bahwa segalanya buruk,‭ ‬melainkan bahwa segala sesuatu itu berbahaya,‭ ‬yang tidak persis sama dengan buruk.‭ ‬Jika segalanya ternyata berbahaya,‭ ‬setidaknya kita selalu memiliki sesuatu untuk dikerjakan.‭” ‬***



Daftar Pustaka

Bertens,‭ ‬K.,‭ ‬1996,‭ ‬Filsafat Barat Abad XX Jilid II:‭ ‬Prancis,‭ ‬Gramedia,‭ ‬Jakarta.

Habermas,‭ ‬Jurgen,‭ ‬1998,‭ ‬The Philosophical Discourse of Modernity,‭ ‬Cet.‭ ‬X,‭ ‬Penerjemah:‭ ‬Frederick Lawrence,‭ ‬MIT Press,‭ ‬Massachusetts.

Kleden,‭ ‬Ignas,‭ ‬1988,‭ ‬Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,‭ ‬Cet.‭ ‬II,‭ ‬LP3ES,‭ ‬Jakarta.

Ricoeur,‭ ‬Paul,‭ ‬1977,‭ ‬The Rule of Metaphor:‭ ‬Multi-Disciplinary Studies of the Creation of Meaning in Language,‭ ‬Toronto University Press,‭ ‬Toronto.

Seno Joko Suyono,‭ ‬1997,‭ “‬Tubuh yang Rasis:‭ ‬Telaah Klinis Michel Foucault atas Dasar-Dasar Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa‭”‬,‭ ‬Skripsi di Fakultas Filsafat UGM,‭ ‬Yogyakarta.


0 komentar: