Dalam pengertian yang cukup mendasar, menulis adalah upaya untuk menuturkan pengalaman-acak yang kita lewati sehari-hari melalui bahasa tulisan. Pengalaman ditata sedemikian rupa sehingga menjadi runtut, terfokus, dan dapat dipahami oleh orang lain. Yang dimaksud pengalaman di sini tak hanya menyangkut “aktivitas harian yang bergerak”, tetapi termasuk juga “pengalaman berpikir”, seperti membaca, merenung, dan semacamnya.
Tulisan ini kurang lebih sebenarnya juga adalah upaya untuk menuturkan pengalaman saya, yakni pengalamana kepenulisan saya. Secara khusus, tulisan ini akan terfokus pada pengalaman menulis artikel.
Sebagai titik berangkat, saya akan memulai dari kesimpulan yang saya dapatkan bahwa dalam pengertian tertentu, menulis dapat dilihat sebagai suatu langkah percobaan untuk melihat sejauh mana penguasaan seseorang terhadap tema yang hendak ditulisnya itu. Hasil pembacaan yang bersifat tekstual maupun non-tekstual terhadap suatu permasalahan akan terbukti bila seseorang telah mampu menuliskannya secara baik. Persoalannya adalah, bagaimana menulis, dalam hal ini menulis artikel, yang baik itu?
Pertanyaan menggoda ini memang (akan) selalu hinggap dalam benak setiap orang yang ingin menulis. Mohamad Sobary, seorang penulis esai yang cukup tangguh, pernah menyatakan bahwa menulis itu ibarat berenang. Artinya, kalau ingin bisa berenang, seseorang harus langsung nyemplung ke dalam air. Menulis juga demikian. Akan sangat abstrak dan absurd kiranya jika kita hanya membicarakan tentang teknik penulisan artikel tanpa pernah mengalami rumitnya liku penulisan artikel itu sendiri.
Dengan bertolak dari pengalaman sendiri itulah, pada tahapan selanjutnya mesti dilakukan evaluasi dan pembandingan dengan pengalaman orang lain. Jadi, teknik penulisan (artikel) bukanlah semacam “adi-teori” yang sudah mapan, tetapi lebih merupakan suatu ajang bersama untuk saling berbagi pengalaman dalam menulis. Dari beberapa bahan bacaan dan pembicaraan yang pernah saya alami, memang pada akhirnya ditemukan beberapa kunci pokok dalam penyusunan suatu tulisan (artikel). Satu persatu, beberapa pokok soal yang bisa disebutkan adalah sebagaimana berikut ini.
Pertama, yang paling penting dalam hal menulis adalah menemukan ide. Ide, adalah suatu barang yang paling berharga bagi seorang penulis. Sayangnya, tak ada seorang penulis pun yang memiliki kiat khusus untuk memperoleh ide untuk suatu tulisan. Mungkin, ide memang mirip dengan ilham yang dibisikkan Tuhan entah melalui siapa. Akan tetapi, yang pasti adalah, bahwa ide atau ilham haruslah diusahakan untuk ditangkap melalui pelbagai cara: jalan-jalan, nonton film atau pertunjukan, surfing atau chatting di internet, pembicaraan di telepon entah dengan siapa, atau obrolan di angkringan dengan teman. Unsur terpenting dalam soal pencarian ide adalah adanya kepekaan intuitif seseorang terhadap realitas yang dihadapi. Pada titik ini, seorang penulis (artikel) harus cukup cerdas untuk dapat melampaui realitas faktual yang dihadapi, untuk kemudian menyeberanginya hingga tiba ke dataran yang lebih dalam.
Ini berarti, seorang penulis artikel tidak sekedar berusaha menyajikan suatu factual knowledge saja, melainkan juga berusaha menyajikan suatu conceptual knowledge. Bekal penguasaan teoritik untuk dijadikan sebagai pisau pembedah realitas-faktual (factual knowledge) merupakan syarat yang cukup penting untuk dapat menemukan gagasan-gagasan segar sekaligus cara pandang (angle) yang menarik dan khas terhadap realitas-faktual itu. Berpadulah kemampuan menemukan ide itu dengan kemampuan untuk menemukan sudut pandang sekaligus titik fokus dari tulisan yang hendak disajikan itu. Sekali lagi, penguasaan teoritik dan kekayaan perspektif keilmuan akan cukup menentukan ruang kreatif yang berada dalam diri si penulis.1
Menulis memang seperti sebuah pergulatan untuk menyajikan kelebat pikiran yang melintas dalam benak seseorang dengan suatu penyajian yang berisi, padat, tapi tidak kehilangan daya komunikatif. Untuk menjaga keruntutan tulisan, penulis akan sangat dibantu dengan pembuatan outline (kerangka). Outline ini berisi pokok-pokok dan sisi-sisi pemikiran yang hendak disampaikan kepada pembaca dengan tetap mengacu kepada fokus pembahasan tertentu. Jadi, butir-butir gagasan yang akan diangkat itu disistematisasikan terlebih dahulu dalam sebuah kerangka.
Setelah seseorang menemukan ide sekaligus angle dan fokus dari tulisan yang akan digarapnya, langkah selanjutnya adalah memulai menulis. Persoalan pertama dalam memulai menulis adalah mengawali tulisan. Dalam teknik penulisan dikenal istilah lead atau kalimat pembuka sebuah tulisan. Ada banyak jenis lead yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya, antara lain dengan gaya menyentak, menggelitik rasa ingin tahu, meringkas isi tulisan, dengan kutipan, dengan pertanyaan, dan sebagainya.2 Rumusan teoritik bagi teknik penyusunan lead ini adalah: buat si pembaca ingin terus melanjutkan tulisan Anda!
Teknik memulai tulisan ini sebenarnya juga terkait erat dengan teknik penyajian tulisan itu sendiri. Menulis pada dasarnya juga merupakan sebuah bentuk komunikasi (dengan pembaca). Karena itu, pertimbangan terciptanya suatu komunikasi yang baik juga harus dipikirkan baik-baik. Segmen pembaca yang mana yang menjadi sasaran harus ditentukan lebih dulu. Yang jelas, umumnya tulisan yang baik akan selalu enak dibaca setiap orang meski dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Di sinilah kemampuan seorang penulis ditantang untuk dapat menyajikan tulisan yang enak dibaca (alias komunikatif) tanpa harus mengurangi muatan tulisan yang hendak disampaikan. Tentu saja, pemilihan pola kalimat dan pemilihan kata (diksi) juga turut menentukan. Penulis-penulis tertentu akan sangat kelihatan memiliki diksi yang khas.
Berkait pula dengan masalah teknik penyajian tulisan, masalah tata bahasa juga perlu menjadi perhatian. Tata bahasa terkadang juga terkait dengan logika bahasa, selain juga menyangkut hal yang agak teknis. Aspek logika bahasa inilah yang perlu dijaga, agar kalimat-kalimat yang ditulis mudah dipahami pembaca. Terkadang, karena menyalahi tata bahasa, kalimat yang kita buat menjadi ambigu dan disalahpahami.
Pada titik inilah kita menyadari bahwa dalam sebuah tulisan, apalagi artikel, pasti memuat hukum-hukum logika yang berusaha dibangun untuk membantu memperkuat argumen yang diajukan—eksplisit ataupun implisit.
Juga, patut diingat bahwa dalam hal penyajian tulisan, penajaman atau pendalaman fokus tulisan atau sudut pandang tulisan harus tetap dijaga keajegannya. Jangan sampai tulisan terkesan bersifat dangkal tanpa suatu pendalaman atau penajaman yang berarti. Lebih parah lagi bila sebuah tulisan terkesan kehilangan atau terlepas dari fokus atau sudut pandang yang diancangkannya. Keruntutan argumen dan keruntutan penyajian fakta dan data cukup memainkan peran yang berarti dalam hubungannya dengan keterfokusan tulisan.
Selain penajaman titik fokus tulisan, jangan pula dilupakan sisi-sisi penunjang tulisan yang lain. Usahakan tulisan (apalagi artikel) tidak kering dibaca sehingga membuat pembaca kegerahan. Tulisan harus diselingi dengan gaya bahasa yang lancar mengalir seperti arus sungai yang tenang, atau kalau perlu diselingi dengan anekdot.
Bila tulisan sudah selesai disusun, akan lebih baik bila dilakukan pengecekan berdasarkan prinsip keruntutan, proporsionalitas, diksi dan tatabahasa, serta gaya bahasa penyajian. Jangan sampai menggunakan satu kata tertentu yang berulang begitu banyak tanpa keperluan yang mendesak. Proses pengecekan akan menjadi cukup sempurna bila dilakukan oleh orang lain—syukur-syukur oleh orang yang dipandang lebih tahu. Orang lain biasanya cenderung lebih peka melihat kesalahan daripada diri kita sendiri.
Wallahualam.
Catatan:
1. Ignas Kleden pernah menggambarkan bagaimana Goenawan Mohamad melalui esai-esai dalam rubrik Catatan Pinggir-nya di Tempo mampu mengolah secara baik unsur factual knowledge yang identik dengan kewartawanan Goenawan dengan unsur conceptual knowledge yang identik dengan kepenyairannya. Lihat, Ignas Kleden, “Eksprimen Seorang Penyair,” kata pengantar untuk buku karya Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 2, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Cet. III, 1996, h. vii-xxi.
2. Tentang lead, bisa dilacak lebih lanjut dalam Bambang Bujono dan Toriq Hadad (Ed.), Seandainya Saya Wartawan Tempo, Penerbit ISAI dan Yayasan Alumni Tempo, Jakarta, Cet. II, 1997, h. 34-49. Buku ini sebenarnya cukup bagus untuk menjadi kawan berbagi pengalaman, karena buku ini awalnya menjadi semacam resep bagi wartawan majalah Tempo dalam mengelola penerbitannya, hingga akhirnya dibredel oleh pemerintah Orde Baru pada 21 Juni 1994.
0 komentar:
Posting Komentar