Selasa, 05 Desember 2000

Anatomi Massa Partai Terlarang

Judul Buku: Badai Revolusi: Sketsa Kekuatan Politik PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Penulis: Arbi Sanit
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, November 2000
Tebal: xiv + 252 halaman


Meski memiliki catatan kelam berkenaan dengan pembantaian massal di pertengahan dekade 1960-an, Partai Komunis Indonesia (PKI) banyak meninggalkan sesuatu yang menarik untuk dikaji. Dari catatan sejarah terungkap bahwa partai yang menurut Tap MPRS No XXV/MPRS/1966 ini resmi dilarang keberadaannya di Indonesia merupakan partai yang cukup akrab dengan kalangan masyarakat desa. Kemampuannya membujuk dan mengorganisasi massa merupakan suatu kelebihan yang diakui banyak pihak, sehingga pada Pemilu 1955 PKI masuk dalam empat partai besar selain PNI, NU, dan Masyumi.

Buku yang semula merupakan skripsi karya Arbi Sanit ini mencoba menelusuri kondisi sosiologis yang berlangsung di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang memungkinkan PKI mampu bekerjasama dengan baik dengan kelompok petani dan kaum abangan. Kedua kelompok ini, petani dan abangan, adalah simpatisan utama yang memberikan suaranya untuk PKI pada Pemilu 1955. Dalam studi yang lebih merupakan studi literatur ini Arbi Sanit mencoba menjawab pertanyaan: mengapa petani dan abangan mendukung PKI? Bagaimana hubungan dan kerjasama antara kedua elemen sosial ini berlangsung?

Menurut Arbi Sanit, pilihan kelompok petani dan abangan untuk mendukung PKI muncul karena konstuksi obyektif yang menjadi background sosio-kultural masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesadaran kelas (sosial) sebagaimana diteorikan Karl Marx yang mestinya menjadi acuan teoritik PKI sama sekali belum terbentuk. Bagi petani, PKI lebih nampak memberi harapan yang besar bagi usaha perbaikan hidup mereka yang tertekan.

Watak PKI yang radikal dan revolusioner menambah ketertarikan para petani. Di dalam struktur masyarakat pedesaan yang cenderung ketat dan tertutup hal ini berarti memberi peluang besar bagi mereka untuk melangsungkan mobilitas sosial. Sejak awal abad ke-19 orientasi nilai masyarakat pedesaan telah banyak dipengaruhi oleh keterlibatan mereka dalam perusahaan dan pabrik milik pemerintah kolonial Belanda. Orientasi kuat terhadap kekayaan materi menjadi perangsang yang besar bagi ketertarikan masyarakat pedesaan terhadap PKI. PKI mengkampanyekan diri sebagai partai yang peduli dengan nasib petani, terutama menyangkut masalah pertanahan dan upah buruh serta upaya memerangi kelompok borjuis di pedesaan.

Kelompok borjuis pedesaan oleh PKI diasosiasikan kepada kelompok santri yang memang banyak menguasai tanah dan bidang perdagangan. Kelompok santri yang secara ideologis cenderung memihak kepada partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII, dan Perti) diperhadapkan dengan kelompok petani yang masih belum memiliki basis ideologis. Kehadiran PKI bagi masyarakat pedesaan seakan-akan datang untuk menjadi media penegasan identitas mereka di hadapan kelompok santri. Apalagi masyarakat pedesaan memang cukup lemah dalam berorganisasi, sehingga mereka butuh pihak ketiga untuk membantu mereka.

Konflik ideologis masyarakat pedesaan antara kaum santri dan abangan ini semakin menguat menjelang Pemilu 1955. Iklim kebebasan berorganisasi dimanfaatkan oleh partai-partai untuk memperkuat basis politik di pedesaan yang secara obyektif memiliki jumlah pemilih yang besar. Walhasil, penegasan identitas kelompok semakin mengental. Masing-masing kelompok semakin terikat secara ideologis kepada kelompoknya.

Sebenarnya PKI memanfaatkan petani hanya lebih dalam rangka menjadikannya sebagai medan penggalangan dan pengawetan massa. Masalah para petani dan masyarakat pedesaan yang sebenarnya tidak dicarikan penyelesaian yang baik dan tepat. Daya kritis masyarakat pedesaan yang rendah dimanfaatkan PKI untuk “mengelabuhi” mereka dengan simbol-simbol tertentu. Pembagian tanah melalui land reform yang diperjuangkan PKI misalnya sebenarnya bukan jalan pemecahan terbaik bagi petani. Kondisi petani yang belum mampu mengelola tanah yang lebih luas dari satu hektar sama sekali diabaikan—bahkan oleh petani sendiri.

Buku ini menarik dan penting untuk dikaji karena tema yang diangkat terkait dengan bagian sejarah gelap bangsa Indonesia. Diskusi tentang PKI selama Orde Baru diharamkan, sehingga yang berkembang hanyalah penilaian-penilaian sepihak terhadap PKI. Melalui buku ini, Arbi Sanit cukup berhasil memetakan anatomi kekuatan massa PKI secara proporsional dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang kental. Juga tentang bagaimana keduanya melakukan interaksi sehingga melahirkan kondisi sosial-politik tertentu pada kehidupan bangsa ini.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan, 4 Desember 2000.



0 komentar: