Senin, 22 Oktober 2018

Menyoal Pengembangan Literasi di Indonesia


Judul buku: Dongeng Panjang Literasi Indonesia: Sehimpun Esai
Penulis: Yona Primadesi
Penerbit: Kabarita, Padang
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: x + 110 halaman
ISBN: 9786026106278


Beberapa tahun terakhir, dunia literasi di Indonesia tampak mendapatkan tempat yang semakin baik. Kebijakan publik yang mendukung untuk pengembangan literasi bermunculan. Perhatian lembaga, masyarakat, dan perorangan pada pengembangan literasi juga tampak semakin meningkat.

Salah satu tanda meningkatnya perhatian pada dunia literasi tampak pada munculnya produk-produk edukasi untuk anak baik berupa buku dan media pembelajaran berbasis teknologi begitu populer. Linimasa media sosial dipenuhi dengan promosi produk-produk tersebut. Orangtua muda yang terobsesi agar anak-anaknya dapat gemar membaca, menjadi pintar, dan akhirnya sukses nyaris tak ragu untuk membeli produk-produk tersebut.

Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah langkah seperti itu bagus untuk menumbuhkan kegemaran membaca dan menjadikan anak literat? Demikian juga, apakah kebijakan publik yang dibuat juga telah berada pada jalur yang tepat untuk mendorong kemajuan dunia literasi sebagai salah satu pilar kemajuan peradaban?

Yona Primadesi, dosen Ilmu Perpustakaan dan juga aktivis literasi dari Padang, dalam buku ini memberikan banyak catatan kritis atas pengembangan literasi di Indonesia, termasuk tentang cara sebagian orang memperkenalkan dunia literasi kepada anak-anak.

Menurut Yona, literasi dini (emerging literacy) tidak bisa dilakukan hanya dengan cara menyediakan bahan bacaan untuk anak-anak. Yona justru mengajukan gagasan untuk menghidupkan kembali tradisi yang berbasis kearifan lokal. Dalam masyarakat Minangkabau, misalnya, ada tradisi manjujai, yakni bentuk komunikasi antara ibu dan anak yang intens dengan berdendang, mendongeng, dan semacamnya. Dalam tradisi manjujai, legenda, sejarah, dongeng, dan anekdot lokal diperkenalkan. Pada tahapan selanjutnya, menurut tradisi masyarakat Minangkabau, anak laki-laki usia balig akan belajar secara informal di surau bersama rekan-rekan seusianya.

Mendongeng di sini bagi Yona tidak sama pengertiannya dengan membacakan buku dongeng. Mendongeng secara lebih mendasar adalah mengenalkan wawasan dan menanamkan minat pada pengetahuan. Karena itu, literasi dini yang lebih mendasar bukanlah dengan “memperlihatkan” atau menyediakan buku pada anak. Minat anak bukan diarahkan pada media, tapi pada materi atau topik-topik tertentu.

Pandangan Yona ini didasarkan pada pemahaman yang lebih luas tentang literasi. Di beberapa bagian buku ini, Yona mengkritik pandangan umum yang memahami literasi dalam kaitannya dengan membaca dan menulis belaka. Yona mengutip penjelasan Deklarasi Praha yang digagas PBB pada tahun 2003 tentang literasi yang mengelompokkan literasi dalam beberapa tahapan, yakni literasi dasar, kemampuan untuk meneliti dengan menggunakan referensi, kemampuan menggunakan media informasi, literasi teknologi, dan kemampuan mengapresiasi grafis dan teks visual.

UNESCO bahkan mendefinisikan literasi sebagai proses pembelajaran seumur hidup. Atas dasar ini, gagasan-gagasan Yona tentang literasi dalam buku ini berusaha keluar dari pemahaman umum yang menyempitkan makna literasi dengan hanya mencukupkan pada semboyan “Ayo Membaca!”.

Bagi Yona, literasi diarahkan untuk membentuk minat belajar dan mempertajam kepekaan anak pada kenyataan hidup di sekitarnya. Betul, kemampuan membaca dan menulis adalah kompetensi mendasar. Akan tetapi, kemampuan itu harus dilanjutkan dengan keterampilan mengelola, menganalisis, mengemas, dan membagikan informasi dengan baik.

Yona sendiri mempraktikkan literasi dini ini kepada putrinya, Naya, dengan cara yang cukup mengilhamkan. Yona tidak cukup mendongengkan cerita Si Kancil atau Malin Kundang, tapi juga menceritakan figur-figur sastrawan. Misalnya, Yona bertutur tentang Pramoedya Ananta Toer dengan berbagai sisi heroik, melankoli, dan dramatisasinya.

Yona, yang juga terlibat aktif dalam pengelolaan rumah baca, secara khusus menggarisbawahi pentingnya memperkenalkan sastra kepada anak. Tak hanya memupuk kecintaan pada buku, mendekatkan sastra pada anak juga membantu anak bersikap kritis dan peka memahami diri dan lingkungannya. Pada bagian ini Yona menyayangkan masih minimnya upaya untuk mengadaptasi dan mengemas ulang karya-karya sastra Indonesia agar lebih ramah anak.

Tanggung jawab pemupukan budaya literasi juga menjadi bagian kritik dalam buku ini. Selama ini, banyak orangtua yang berpikir untuk menyerahkan urusan pengembangan literasi pada sekolah, pemerintah, atau rumah baca. Padahal, tanggung jawab pertama mestinya ada pada keluarga. Pada titik ini, Yona juga menekankan pentingnya teladan dalam keluarga.

Orangtua yang hanya membelikan buku pada anaknya tapi tidak dapat menjadi figur sosok yang cinta buku dan literat maka rasanya akan tampak kurang padu di mata anaknya. Anak-anak belajar mencintai buku pertama-tama terutama dengan melihat orang-orang terdekatnya—siapa lagi kalau bukan orangtua—yang memiliki kebiasaan membaca yang baik.

Buku ini memuat banyak gagasan yang mengilhamkan untuk pengembangan literasi di Indonesia. Sudut pandangnya yang kritis dan juga berbasis pengalaman membuat buku ini memiliki kekuatan argumentasi yang kuat baik untuk diangkat sebagai saran untuk perorangan maupun sebagai rekomendasi kebijakan publik bagi pengembangan literasi.


Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 21 Oktober 2018.

1 komentar:

Endah mengatakan...

Salam takdhim, yai...