Jumat, 30 November 2018

Bersyukur, Rahasia Hidup Bahagia


Judul buku: Chicken Soup for the Soul: Kekuatan Bersyukur (101 Kisah tentang Berterima Kasih yang Dapat Mengubah Hidup)
Editor: Amy Newmark dan Deborah Norville
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: xviii + 504 halaman
ISBN: 978-602-03-8103-9


Meraih hidup bahagia sebenarnya banyak tergantung pada sikap batin kita. Penderitaan atau bahkan kesengsaraan hidup sering kali terjadi karena sikap batin yang tidak tepat.

Buku ini menyajikan kisah-kisah inspiratif tentang kekuatan bersyukur sebagai salah satu sikap batin yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan. Bersyukur dalam 101 kisah yang tersaji dalam buku ini dimaknai melalui pengalaman yang beragam sehingga nuansa maknanya menjadi sangat kaya.

Dalam pengantar editor ditegaskan bahwa bersyukur itu tidak sama dengan mengucapkan terima kasih. Memang benar bahwa ucapan terima kasih sebagai salah satu wujud sikap sopan santun dapat membantu memperlancar hubungan sosial. Namun, berterima kasih memiliki makna yang jauh lebih mendalam (hlm. xii).

Elizabeth Atwater menceritakan perubahan cara pandangnya tentang kakeknya saat sang kakek meninggal dunia. Sejak kecil hingga remaja, dia memandang kakeknya sebagai laki-laki yang tak punya apa-apa. Kakeknya hidup pas-pasan dan bekerja sebagai tukang. Rumahnya sesak dan lusuh. Perabotnya tidak menarik. Dalam hati, Atwater kerap mencemooh saat kakeknya bercerita tentang keberuntungan hidupnya.

Namun pandangan Atwater berbalik ketika hadir pada pemakaman kakeknya. Atwater terkesiap saat melihat nyaris orang sekota hadir pada acara pemakaman itu. Bill Fletcher, hartawan di kota kecil itu memberi kesaksian yang luar biasa tentang kakeknya. “Dia tidak pernah punya banyak uang, tetapi betapa berharganya harta yang dimilikinya,” kata Fletcher.

Atwater tersadar bahwa kakek yang di matanya tak punya apa-apa itu ternyata dipandang dengan iri hati oleh orang yang memiliki segalanya yang dapat ditawarkan oleh dunia (hlm. 316-318).

Kakek Atwater adalah sosok yang hidup dengan penuh syukur atas anugerah hidup yang dimilikinya. Sang kakek melihat segala sesuatu dengan hatinya yang bening sehingga semua nikmat dapat benar-benar terasa dan merasuk dalam batinnya. Itulah yang membuatnya bahagia.

Bersyukur pada dasarnya juga adalah tentang perspektif. Orang yang sulit bersyukur lebih sering berpikir negatif sehingga tidak mampu melihat berkah hidup yang diterimanya.

Kisah Diane Stark dalam buku ini dapat mewakili orang-orang yang suka mengeluh saat menghadapi hal-hal sepele yang tidak disukainya dan menutupi limpahan kebaikan lainnya. Stark mengomel saat kehabisan krim kopi kesukaannya, mengeluh saat merasa tidak suka dengan warna mobilnya, dan sebagainya. Padahal, di Afrika ada anak-anak yang kesulitan mendapatkan sepatu dan berisiko terkena kutu jiggers sehingga kakinya kadang harus diamputasi.

Stark sadar bahwa kegembiraannya selama ini sering direnggut oleh cara pandangnya yang membuat dia sering mengeluh. Bersyukur adalah jalan keluarnya (hlm. 194-198).

Kesadaran untuk bersyukur kadang tidak mudah diraih. Ia membutuhkan latihan. Membuat perbandingan, seperti yang dilakukan Stark, adalah salah satu bentuknya. Ada juga cara yang lain, seperti dalam kisah Earlene yang mengeluhkan suaminya yang mulai memasuki masa pensiun dan sering membuatnya kesal. Temannya lalu menyarankan Earlene untuk menulis daftar kebaikan suaminya. Daftar inilah yang kemudian membuatnya berubah dan mulai bersyukur (hlm. 90-92).

Kisah-kisah dalam buku ini mengungkapkan bahwa bersyukur dapat menekan beban hidup dan mengikis stres. Ada emosi positif yang ditularkan dalam sikap syukur yang kita pilih. Karena itu, bersyukur dapat menyegarkan hidup kita yang suntuk dan dipenuhi dengan pikiran jelek tentang situasi yang sedang dihadapi.

Di tengah kehidupan kita saat ini yang terasa semakin penuh beban, buku ini memberikan pelajaran penting tentang cara membentuk sikap batin positif untuk meraih kebahagiaan. Kisah-kisahnya yang bertolak dari pengalaman hidup sehari-hari yang sederhana membuat buku ini tidak terkesan menggurui sehingga pelajarannya terasa sangat membumi.


Tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 30 November 2018.

0 komentar: