Senin, 27 Januari 2014

Peduli Keluarga, Peduli Masyarakat



Dan mereka (hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu) senantiasa berkata: “Tuhan Pemelihara kami, anugerahkanlah untuk kami, dari pasangan-pasangan kami serta keturunan kami, penyejuk mata (kami) dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertakwa." - Q., s. al-Furqan [25]: 74


Doa yang dibaca seseorang menggambarkan sosok kepribadiannya. Diceritakan bahwa saat dizalimi oleh kaum kafir, Nabi Muhammad saw. berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk pada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” Doa ini menggambarkan kelembutan akhlak Nabi bahkan terhadap orang yang menyakitinya sekaligus juga memperlihatkan kecintaan Nabi yang besar pada umatnya.

Ayat di atas, yakni surah al-Furqan ayat 74, memuat kutipan doa yang cukup populer di kalangan umat Islam. Doa yang cukup singkat ini berisi permohonan kepada Allah untuk mendapatkan pasangan hidup dan keturunan yang dapat menyejukkan hati dan pandangan kita serta agar seluruh anggota keluarga dapat menjadi teladan bagi orang yang bertakwa.

Al-Qurthubi menjelaskan ungkapan “penyejuk mata” (qurrota a‘yun) dalam ayat ini dengan mengatakan bahwa berdasar asal makna katanya, “qurrah” berarti “dingin” (al-bard). Orang Arab pada umumnya merasa tidak nyaman dengan hawa yang panas di daerah mereka dan merasa senang dengan hawa dingin. Menurut M. Quraish Shihab, beberapa ulama mengemukakan bahwa dalam masyarakat Arab, air mata yang dingin itu menunjukkan kegembiraan, sedang air mata yang hangat menunjukkan kesedihan. Konon, dahulu ini dijadikan patokan saat seorang lelaki melamar seorang perempuan: jika air mata si perempuan ternyata dingin, berarti dia gembira dengan lamaran si lelaki. Sedang jika hangat, berarti si perempuan bersedih atau tidak suka dengan lamaran si lelaki.

Ulama-ulama tafsir menjelaskan makna “penyejuk mata” (qurrota a‘yun) ini dengan menggambarkan pasangan dan keturunan yang berperilaku baik, taat menjalankan perintah agama, dan menjaga diri dari perilaku tidak baik. Anggota keluarga yang demikian ini tentu akan menyejukkan hati karena tidak merepotkan dan menjadi biang masalah dalam keluarga atau masyarakat.

Doa agar pasangan dan keturunan kita dapat menjadi orang yang saleh di satu sisi menunjukkan semangat untuk merawat ketersambungan ibadah atau amal kebaikan lainnya. Kebajikan diharapkan tidak hanya berhenti pada diri orang yang berdoa itu, tapi juga bisa tersambung pada keluarga dan keturunannya. Ini sangat cocok dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadis tersebut menuturkan penjelasan Nabi bahwa amal manusia itu semuanya terputus saat ia meninggal dunia. Namun ada tiga amal yang masih akan menambah catatan amal kebaikannya meski ia sudah meninggal: sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendoakan orangtuanya.

Doa dalam ayat ini juga memuat permohonan agar anggota keluarga kita dapat menjadi teladan (imâm) orang-orang yang bertakwa. Permohonan ini pada tingkat tertentu mengandung semangat dakwah. Doa ini menggambarkan keinginan si pemohon agar dia dan anggota keluarganya dapat menjadi contoh dan pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Quraish Shihab menerangkan kata “imâm” yang digunakan dalam ayat ini. Menurut Quraish, kata “imâm” diambil dari kata “amma-yaummu” yang berarti “menuju, menumpu, meneladani”. Kata “umm” yang berarti “ibu” masih satu akar kata dengan kata “imâm” yang secara umum diartikan “pemimpin” ini. Jadi, menurut Quraish, dari asal usul kata ini kita dapat memahami bahwa pemimpin itu seharusnya menjadi tumpuan dan teladan bagi orang lain. Mungkin atas dasar inilah Ibrahim al-Nakha’i memahami potongan doa kedua ini bahwa yang diminta bukanlah kepemimpinan (riyâsah), tapi keteladanan (qudwah).

Sebagian ulama menerangkan bahwa potongan doa yang kedua ini menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk tertarik dan berusaha berperan sebagai pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Doa yang tercantum dalam ayat ini sebenarnya merupakan rangkaian penjelasan Allah tentang ciri-ciri ‘ibâdurrahmân (hamba Allah Yang Maha Pemurah) yang untuk mereka dijanjikan tempat yang tinggi di surga. Rangkaian penjelasannya yang dimulai dari ayat 63 oleh Wahbah al-Zuhayli kemudian dirangkum dengan menguraikan 11 ciri ‘ibâdurrahmân ini. Ayat yang memuat doa di atas menurut Wahbah menunjukkan ciri ‘ibâdurrahmân yang terakhir.

Menutup ciri-ciri ‘ibâdurrahmân dalam rangkaian ayat tersebut, doa yang termuat dalam ayat di atas ini menunjukkan bahwa sosok ‘ibâdurrahmân tak hanya memiliki kualitas kesalehan yang bersifat pribadi berupa taat beribadah, konsisten menjauhi larangan agama, dan semacamnya. Ia juga dicirikan dengan sikap peduli pada keluarga dan masyarakat. Ia tidak hanya khusyuk sendiri dalam beribadah, tapi juga ingat, berusaha, dan menaruh harapan yang besar pada anggota keluarganya yang lain agar dapat juga taat kepada Allah, teguh pendirian dalam menyebar kebajikan, dan menjadi teladan.

Doa ini memberikan kerangka pandang yang sangat penting dalam meletakkan keluarga dan masyarakat dalam kehidupan beragama dan juga berkeluarga. Ia tampak ingin menegaskan bahwa pribadi yang baik harus juga memiliki sisi kepedulian sosial. Tuntunan ini sebenarnya akan menjadi lebih jelas dan nyata jika kita berkaca pada teladan kehidupan Nabi Muhammad saw.

Wallahua‘lam.



Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf Annawawi, Riyadlus Shalihin, Alharamayn, t.t., 2005.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.


Baca juga:
>> Tegas dalam Mendidik Keluarga
>> Pesan Moral al-Qur'an untuk Menghargai Perempuan
>> Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


0 komentar: