Minggu, 19 Januari 2014

Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan



Mahasuci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui - Q., s. Yasin [36]: 36


Dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menjelaskan keagungan Allah dengan cara merujuk pada fenomena alam. Demikian pula ayat ke-36 surah Yasin ini. Ayat ini memang tidak berkenaan langsung dengan fenomena alam yang bersifat konkret atau dapat langsung tertangkap oleh panca indra. Secara umum, ayat ini menunjukkan kemahasucian Allah dengan terciptanya (hukum) pasangan dalam kehidupan.

Al-Qur’an menggunakan kata “azwâj” (bentuk jamak dari kata “zawj”) untuk menggambarkan istilah “pasangan”. Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa kata ini digunakan untuk kesemua jantan dan betina pada binatang. Kata ini juga bermakna jenis tertentu dari semua yang ada yang menyerupai pasangan jantan dan betina tersebut. Quraish Shihab mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menjelaskan bahwa makna keberpasangan pada kata ini bisa karena adanya unsur kesamaan atau bisa juga karena ada sisi yang bertolak belakang.

Terciptanya pasangan dalam tiga hal yang disebut pada ayat ini, yakni “apa yang ditumbuhkan bumi, “diri mereka (manusia)”, dan “apa yang tidak mereka ketahui”, secara umum dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir dengan gambaran adanya pasangan dengan ciri keberpasangan yang bermacam-macam, mulai dari sisi besar-kecil, warna-warni, siang-malam, dan sebagainya.

Seorang sarjana ilmu pertanian (agronomi) IPB, Achmad Chodjim, memberi sudut pandang yang cukup menarik dalam memahami ayat ini. Dengan latar pengetahuannya di bidang pertanian, Chodjim mengatakan bahwa jika kata “pasangan” ini dipahami secara sederhana, maka akan ada banyak hal yang tidak tercakup di dalamnya. Berdasarkan pengetahuan ilmiah saat ini, lanjut Chodjim, kita akan kesulitan menemukan pasangan virus, bakteri, dan amuba.

Chodjim menjelaskan perincian perbedaan pasangan pada pohon kurma, jagung, dan padi. Pada kurma, pasangan bunga jantan dan bunga betina berada pada pohon yang terpisah, sedang pada jagung keduanya terpisah tapi berada pada satu pohon. Sedangkan padi hanya memiliki satu macam bunga yang di dalamnya terdiri dari bagian yang berfungsi sebagai organ jantan dan organ betina.

Atas dasar ini, Chodjim mengusulkan pemaknaan kata “azwâj” (pasangan) pada ayat ini dipahami sebagai bersistem. Dengan demikian, ayat ini menyatakan bahwa “segala sesuatu di alam semesta ini terdiri dari sistem-sistem dan membentuk sistem yang lebih besar.”

Dalam pengertian sederhana, sistem bisa kita pahami sebagai sehimpunan unsur-unsur yang saling berkaitan dan memiliki tata aturan atau susunan struktural tertentu. Selain sebagai satu wujud (entitas) tertentu, sistem dapat pula dilihat sebagai metode, rencana, atau tata cara untuk mencapai sesuatu.

Ada tiga hal dalam ayat ini yang dijelaskan berada dalam naungan hukum pasangan atau memiliki sistem. Pertama, apa saja yang tumbuh di bumi. Poin ini tampaknya lebih merujuk pada sistem biologis, baik tumbuhan maupun hewan, yakni bahwa semua tumbuhan dan hewan berada dalam satu kerangka sistem yang tertata sedemikian rupa. Dalam ilmu biologi, kita mengenal adanya ekosistem yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai (1) “keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya yang berfungsi sebagai suatu satuan ekologi di alam”; (2) “komunitas organik yang terdiri atas tumbuhan dan hewan, bersama habitatnya.”

Keterhubungan antarspesies biologis sebagai suatu sistem telah membentuk keteraturan alam semesta. Para ahli telah sepakat bahwa kelestarian alam dan spesies-spesias yang ada di dalamnya sudah teratur sedemikian rupa. Dalam sistem besar alam semesta, keberadaan setiap spesies memiliki tujuan sendiri yang tidak akan menjadi ancaman bagi spesies lainnya asalkan keseimbangannya tetap terjaga. Belakangan ini, saat roda kehidupan alam sehari-hari tampak tidak harmonis, diyakini bahwa campur tangan manusialah yang menjadi pangkal masalahnya (lihat, Q., s. Arrum [31]: 41).

Hal kedua yang disebutkan dalam ayat ini adalah diri manusia. Dalam tafsir-tafsir klasik, poin ini dihubungkan dengan keberpasangan manusia antara laki-laki dan perempuan yang kemudian dari merekalah lahir anak-anak dan seterusnya. Dari sudut pandang kerangka Chodjim, dalam diri manusia terdapat oposisi biner, seperti adanya ilham tentang kejahatan dan ketakwaan (al-Syams [91]: 8), unsur jasmani dan rohani, dan sebagainya. Bagi Chodjim, ayat ini juga sebenarnya mengajak kita untuk mengenal diri kita sendiri sebagai sebuah sistem, atau yang juga kadang disebut sebagai “mikrokosmos” (semesta kecil). Dari sini, tampaklah bahwa pengenalan diri menjadi hal yang penting diperhatikan termasuk dalam kerangka kodrat keberpasangan (sistem).

Hal ketiga yang disebutkan dalam ayat ini adalah hal-hal yang tidak diketahui manusia. Fakhruddin al-Razi menulis bahwa penyebutan hal-hal yang tidak diketahui manusia ini juga berada dalam konteks keagungan dan kemahasucian Allah dari segala sesuatu yang dapat mempersekutukanNya. Kemustahilan Allah untuk bersekutu tidak hanya dengan segala makhluk yang adanya diketahui oleh manusia, tetapi juga termasuk pada segala hal yang tidak diketahui oleh manusia.

Chodjim merefleksikan hal yang ketiga ini dengan menyatakan bahwa adanya sistem atau pasangan pada apa yang tidak diketahui manusia merupakan peringatan “agar kita tidak menganggap bahwa mekanisme kehidupan ini hanya terbatas pada yang kasatmata saja.”

Dalam menjelaskan hukum pasangan yang dijelaskan ayat ini, al-Qurthubi mengutip pendapat yang mengatakan bahwa ada makna ketakjuban yang tergambar dalam ayat ini. Ungkapan ketakjuban ini menjadi semakin jelas jika kita membaca ayat sebelumnya yang menggambarkan para pendurhaka Allah yang tidak mau bersyukur. Mereka yang kufur tentulah tidak mampu membaca pertanda keagungan Allah ini yang di antaranya tergambar dalam kecanggihan hukum pasangan dalam kehidupan.

Dasar ketakjuban inilah yang tampaknya mendorong manusia untuk mencermati berbagai sistem yang diciptakan Allah dalam kehidupan ini sehingga lahir dan berkembanglah berbagai macam ilmu. Sebagai sebuah sistem, ilmu bisa kita lihat sebagai sebuah sistem buatan yang berusaha meniru, mengembangkan, atau terilhami oleh sistem alamiah yang dibuat Allah. Ilmu biologi, misalnya, berusaha menangkap keutuhan ekosistem ciptaan Allah yang pada tahap lanjut kemudian dapat berkembang pada disiplin rekayasa genetika, misalnya, atau disiplin khusus lainnya yang belakangan mulai banyak muncul di berbagai cabang ilmu. Dalam dunia sains pada khususnya, selain dasar metode pengamatan (observasi) dan percobaan (eksprimen), pada gilirannya kemudian berkembang pendekatan model (sistem) yang berupaya mengabstraksikan realitas untuk mengembangkan kecanggihan sistem pada tahap lanjut.

Dengan sudut pandang ini, kita juga bisa melihat kehidupan berkeluarga dalam tingkatan yang paling kecil sebagai sebuah sistem sebagaimana kerangka yang dijelaskan ayat di atas. Dengan kerangka tiga poin yang disampaikan dalam ayat ini, kehidupan keluarga bisa merupakan tempat berkembang biaknya spesies manusia sebagai makhluk hidup biologis. Dengan sudut pandang kecanggihan sistem dan ketakjuban sebagaimana diungkap al-Qurthubi, pada sisi, poin ini dapat pula mengantarkan kita pada pemahaman keagungan Allah dalam proses kreasi atau perkembangan janin.

Lebih dari itu, kehidupan berkeluarga bisa juga menjadi tempat pencarian diri kedua unsur (pasangan) yang ada di dalamnya. Kehidupan berpasangan yang baik dalam keluarga akan sulit ditemukan jika kerangka pengenalan diri atau pencarian diri ini tidak dijadikan salah satu dasar atau titik tolak. Hubungan, interaksi, dan komunikasi, di antara pasangan mensyaratkan adanya tingkat pemahaman diri secara relatif untuk dapat terjalin dengan cukup baik.

Terakhir, kehidupan berkeluarga mungkin saja mengungkap keteraturan dan kesalinghubungan yang sebelumnya tak terpikirkan. Sebagai sebuah sistem, kehidupan berkeluarga dalam perjalanannya sangat mungkin mengungkap sisi-sisi lain yang lebih mendalam soal hakikat keberpasangan. Sudut pandang semacam ini mungkin penting juga untuk dimiliki oleh kedua pasangan agar keduanya dapat terbuka pada hal-hal baru yang terungkap di kemudian waktu untuk satu tingkat pengenalan diri atau kedewasaan yang lebih baik.

Dalam kerangka teori sistem, dijelaskan bahwa sebuah sistem itu pasti memiliki unsur-unsur penyusun, tujuan, dan proses. Maka jika kita mau melihat kehidupan berkeluarga secara lebih ilmiah melalui teori sistem ini, sangatlah penting, misalnya, untuk memastikan bahwa unsur-unsur penyusun yang ada di dalamnya itu berada dalam kerangka tujuan yang sama. Unsur sistem yang luput diperhatikan bisa akan mengurangi keutuhan sistem sehingga tujuan keberadaan sistem tak akan tercapai dengan baik.

Namun, penting untuk ditegaskan bahwa sudut pandang ilmiah dengan pendekatan sistem dalam melihat kehidupan berkeluarga akan menjadi kering jika tidak diberi muatan ilahiah atau keagamaan sebagaimana menjadi semangat dasar ayat ini, yakni bahwa semua sistem dan pasangan yang canggih, rumit, dan menakjubkan itu adalah pertanda keagungan Allah swt. Hanya dengan menyandarkan pada muatan ilahiah inilah kiranya hakikat dan hikmah hukum keberpasangan atau sistem yang terdapat pada berbagai unsur kehidupan ini akan dapat diraih dengan sempurna.

Wallahua‘lam.


Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

Achmad Chodjim, Misteri Surah Yasin, Serambi, Jakarta, 2013.

Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnun, Tunisia, 1997.

Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. VI, 1996.

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat, Gramedia, Jakarta, Cet. VII, 2013.


Baca juga:
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


0 komentar: