Judul buku : Rumah Cinta Penuh Warna: Catatan Kebahagiaan Mendidik Buah Hati
Penulis : Asma Nadia dan Isa
Penerbit : Qanita, Bandung
Cetakan : Pertama, September 2005
Tebal : 168 halaman
Selain berbagai tindak kekerasan, saat ini dunia anak-anak kita dikepung dengan berbagai bentuk serbuan dan tekanan sosial-budaya yang dapat membuatnya kehilangan masa depan yang cerah. Beberapa kasus anak-anak bunuh diri yang belakangan cukup sering diberitakan di media misalnya menunjukkan bagaimana anak-anak menghadapi tekanan sosial yang hebat di sekolah atau komunitasnya sehingga kemudian dapat memilih jalan keluar yang cukup tragis itu. Penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta mengungkapkan bahwa di Jakarta anak-anak saat ini sudah mulai tak asing dengan dunia narkoba. Anak-anak bahkan juga terlibat dalam proses produksi dan distribusi narkoba (Kompas, 13/07/2005).
Lalu di manakah keluarga, tempat anak-anak berbagi masalah dan ruang menempa kepribadiannya? Sulit dibantah bahwa institusi keluarga saat ini tengah menghadapi krisis yang membuatnya kehilangan fungsi sosial untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan kedewasaan kepada anak-anak. Apakah saat ini para orangtua telah terlalu sibuk bekerja dan beraktivitas, lalu nyaris sepenuhnya memercayakan pendidikan anak-anaknya pada baby sitter, sekolah, atau bahkan televisi? Apakah para orangtua saat ini juga sudah cukup yakin bahwa pola relasi dan pendekatan pendidikan yang mereka terapkan sudah cukup memberi ruang bagi anak-anak mereka untuk dapat merasakan nuansa cinta yang penuh warna dalam rumah mereka?
Salah satu simpul solusi dari persoalan dunia anak yang rentan dan rapuhnya fungsi institusi keluarga saat ini adalah dengan memberdayakan sekaligus menciptakan kehangatan di lingkungan keluarga itu sendiri. Atas hal ini, sebenarnya sudah cukup banyak buku yang mencoba memberikan kiat-kiat ataupun penjelasan yang lebih bersifat teoretis tentang mendidik anak dalam keluarga, menjadi orangtua yang baik, mencipta keluarga yang kompak, atau semacamnya.
Keunikan buku ini mengemuka karena ia menyajikan pengalaman sehari-hari dalam keluarga yang dituturkan dengan cukup sederhana. Pasangan muda Asma Nadia dan Isa dalam buku ini berbagi kisah tentang pengalaman mereka membesarkan kedua anaknya, Caca (8 tahun) dan Adam (4 tahun). Secara garis besar pembaca akan menemukan dua poin penting dalam catatan pengalaman Asma dan Isa ini: bagaimana kedua buah hati mereka itu kadang dapat memperlihatkan potensi-potensi kreatif yang menakjubkan, dan bagaimana mereka semua mengelola kebersamaan dalam bingkai cinta dan kasih sayang.
Asma dan Isa dapat dikatakan tipikal pasangan muda dengan aktivitas yang sibuk. Sebagai penulis fiksi remaja terkemuka, sehari-hari Asma sibuk mengelola Forum Lingkar Pena dan atau berbicara di workshop kepenulisan atau forum-forum ilmiah lainnya. Sementara Isa bekerja di TV NHK Jepang selain juga menekuni bidang pengembangan pendidikan anak. Tapi pasangan muda ini begitu sadar bahwa anak-anak mereka tak hanya butuh uang. Di tengah kesibukan, mereka tetap berupaya keras untuk memberikan kebahagiaan dalam cinta, perhatian, dan waktu untuk anak-anak mereka (hlm. 111). Isa, yang juga pernah mengembangkan konsep dongeng interaktif untuk anak, sering ditunggu-tunggu kepulangannya dari kantor oleh kedua anak mereka untuk diajak bermain bersama. Di antara rasa lelah, dengan sabar Isa memenuhi keinginan mereka. Alasannya sederhana: mumpung mereka masih membutuhkan, mumpung orangtua mereka masih menjadi teman favorit mereka, mumpung mereka belum menjadi dewasa dan dibekap dengan berbagai kesibukan (hlm. 18).
Menyediakan waktu untuk bermain dengan anak ternyata tidak hanya baik untuk menanamkan kedekatan emosional anak dengan orangtua, tapi juga bisa menjadi media membangun kekompakan antara dua anak kecil yang sama-sama baru mulai meninggi egonya. Begitulah pendekatan Isa untuk membentuk sense kerjasama di antara kedua anaknya. Saat bermain berantem-beranteman, Isa yang berperan sebagai monster yang berusaha dikalahkan Adam berbisik, “Kau tak mungkin menang, apalagi kalau kakakmu tidak membantu” (hlm. 65).
Anak-anak kerap membuat kesal para orangtua dengan sikap nakal dan usilnya. Menghadapi hal semacam ini para orangtua kebanyakan bereaksi dengan marah atau memberi hukuman. Tapi justru Asma menemukan bahwa ternyata teguran itu lebih mudah diterima jika diungkapkan dengan cara yang lebih lembut, dengan mengutarakan betapa sedihnya mereka saat melihat Caca dan Adam berbuat hal-hal yang nakal (hlm. 80).
Jika terpaksa harus menghukum, hukuman harus disosialisasikan sebelumnya, logis, mendidik, dan memberi efek jera. Pernah Asma begitu marah pada Caca sehingga ia memutuskan untuk memberinya hukuman: dikurung di kamar mandi. Tapi, demi menghindar dari hal-hal yang tak diinginkan, Asma menemukan cara menarik dalam mengeksekusi hukumannya. Asma menemani Caca dalam kamar mandi yang gelap, begitu lama, sampai akhirnya Caca sadar dan meminta maaf atas kesalahannya (hlm. 41).
Mendidik dengan cinta. Itulah benang merah dan kata kunci utama yang dapat dipetik dari kisah-kisah Asma dan Isa dalam mendidik anak-anak mereka. Mungkin kekuatan misterius cinta ini pulalah yang kemudian tak jarang melahirkan sikap-sikap yang menakjubkan dari anak-anak, seperti yang juga ditemukan dalam kisah-kisah Asma dan Isa. Tentang bagaimana suatu hari di sebuah rumah makan Caca memasukkan delapan koinnya ke kotak amal, atau Caca yang berinisiatif menyumbangkan tabungannya untuk ulang tahun Adam yang nyaris tak dirayakan karena keterbatasan dana keluarga, atau ungkapan-ungkapan cinta kedua anak mereka dalam kata-kata atau gambar yang indah.
Atas hal-hal yang menakjubkan semacam ini Asma dan Isa memang seperti membiarkannya tak terjelaskan, bagaimana semua ini bisa muncul dari sikap kedua anak mereka yang masih polos itu. Mungkin memang sulit memberikan penjelasan tentang bagaimana anak-anak dapat digiring untuk bersikap peka dan solider dengan sesama. Mungkin itu semua adalah bagian dari misteri menakjubkan anak-anak. Mungkin pula semua itu memang didapat tidak dengan tips-tips instan, tapi dengan cinta yang terus ditempa saban hari dengan kelembutan dan ketulusan.
Karena itulah, Asma dan Isa bertutur dengan sama sekali tak hendak menggurui. Teori-teori, tips-tips, atau kiat-kiat, tak terlalu banyak ditemukan di sepanjang buku ini. Yang banyak adalah kisah-kisah ringan, tempat pembaca akan banyak menemukan hikmah bertaburan, yang kadang cukup menggugah dan mengharukan. Tapi justru karena kisah-kisah yang diangkat dari pengalaman sehari-hari itulah, Asma dan Isa cukup berhasil untuk memberikan sebuah potret sederhana tentang bagaimana cinta dan kehangatan itu mestinya disemaikan kepada anak-anak kita dalam keluarga—sesuatu yang mungkin bisa menjadi perspektif alternatif dalam mendidik anak-anak.
Buku ini sangat cocok untuk pasangan muda yang baru mulai menapaki mahligai pernikahan, terutama sebagai bekal untuk melahirkan individu-individu baru yang berdaya, berkualitas, dan untuk mengantar mereka ke gerbang dunia dengan senyum bahagia.
0 komentar:
Posting Komentar