Jumat, 08 Juni 2001

Mewaspadai Bahaya Laten Media

Judul Buku : Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media
Penulis : Eriyanto
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2001
Tebal : xxii + 371 halaman



Era reformasi sering diidentikkan dengan era keterbukaan. Seiring dengan terbukanya katup kebebasan, panggung ekspresi kelompok-kelompok yang terpinggirkan selama Orde Baru dipancangkan di berbagai tempat. Media massa adalah salah satu instrumen penting yang menjadi media ekspresi kebebasan tersebut.

Akan tetapi, apakah kebebasan yang diperoleh media massa saat ini benar-benar berguna dan bermanfaat bagi proses reformasi? Apakah ketiadaan penghalang berupa sensor penguasa telah cukup mampu menjadikan pers sebagai tiang demokrasi keempat?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akhir-akhir ini mengemuka dan menjadi penting dijawab karena dalam dinamika reformasi ternyata pers sesekali menjadi sasaran tumpahan kemarahan sekelompok masyarakat yang merasa “dikerasi” akibat ulah para kuli tinta. Menanggapi fenomena tersebut, bermunculanlah lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemantauan media—bahkan terakhir pemerintah (baca: Presiden) membentuk Tim Pemantau Pers.

Ketika arus reformasi memusnahkan sensor negara maka sensor beralih tangan ke pihak masyarakat. Akan tetapi, sayangnya, masyarakat umum kebanyakan belum memiliki pisau analisis yang cukup untuk mengkritisi teks-teks media massa tersebut dan menyikapinya secara arif dan dewasa.

Buku ini mengisi kekosongan yang selama ini terbengkalai dalam bidang kajian teks media. Buku ini merupakan suatu pengantar metodologis dan teoritis yang cukup layak untuk membedah pemberitaan media massa. Secara spesifik buku ini mengajukan suatu perspektif kajian yang khas, menarik, dan bersifat alternatif.

Eriyanto, penulis buku ini, menyadari bahwa selama ini perangkat metodologis analisis media tercebur dalam kebuntuan karena hanya berkutat pada model analisis isi yang bersifat konvensional. Kritik paradigmatik yang diajukan adalah bahwa model analisis isi hanya bertujuan eksplanatif dan sekedar mengungkapkan sisi-sisi kuantitatif dari suatu peristiwa.

Buku ini memusatkan pada suatu kerangka metodologis yang disebut analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis). Model analisis yang bercorak kritis ini tidak percaya pada klaim bahwa nilai berita itu bersifat objektif dan lebih memandang masyarakat sebagai suatu sistem dominasi. Media massa pun dipandang sebagai salah satu sistem dominasi yang menyokong, merawat, dan memberi legitimasi sistem dominasi tersebut yang beradalam dalam kerangka konstruksi sosial yang lebih luas.

Pokok soal yang dipermasalahkan analisis wacana kritis adalah perihal bagaimana sebuah realitas atau fakta dihadirkan kembali dalam pesan atau teks media. Problem representasi ini tidak hanya menyangkut penyajian belaka, bahkan juga berkait erat dengan soal pemilihan jenis fakta yang akan diangkat, perspektif yang digunakan, narasumber yang dipilih, dan semacamnya.

Asumsi dasar analisis wacana kritis adalah bahwa realitas yang disajikan teks-teks media massa adalah realitas yang terdistorsi dalam arus proses sejarah dominasi antara kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Berita bukanlah cermin dan refleksi kenyataan, melainkan cerminan kepentingan kekuatan dominan yang lahir dari pertarungan-pertarungan berbagai kekuatan.

Karena itu, tujuan penelitian teks-teks media dalam perspektif kritis adalah ibarat tujuan seorang aktivis sosial yang melakukan kritik terhadap struktur masyarakat yang timpang dan tidak adil. Aspek struktural dari konstruksi sosial ini menjadi penting karena dalam perspektif kritis hal itu dianggap cukup menentukan penyajian berita. Struktur dalam taraf tertentu diyakini telah mengasuh manusia (baca: jurnalis) dan membuatnya tidak sadar akan keterkungkungannya dalam bingkai struktur yang memang sudah timpang itu.

Perspektif kritis berusaha mengundang sikap kritis masyarakat terhadap struktur sosial yang tidak adil dengan menelusuri, menguliti, dan mengurai satu-persatu jalinan realitas yang dihadirkan dalam media massa.

Ada dua bentuk pendekatan yang ditawarkan Eriyanto untuk membedah teks media. Pertama, dengan pendekatan “teori wacana” yang berusaha menangkap ideologi dan semangat kuasa yang diusung media melalui analisis yang lebih bersifat makro (sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya). Ada dua tokoh yang disebut dalam model pertama ini, yakni Michel Foucault dan Louis Althusser.

Michel Foucault, filsuf posmodernis dari Perancis ini dikenal luas dengan gagasannya mengenai relasi kuasa-pengetahuan (power-knowledge). Menurut Foucault pengetahuan selalu berkait dengan kuasa. Kuasa selalu terartikulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu memiliki efek-efek kuasa. Yang menarik, menurut Foucault, kuasa tidak hanya bekerja melalui represi atau penindasan, tapi juga terutama melalui normalisasi dan regulasi yang bertujuan mengontrol, mengatur, dan mendisiplinkan individu melalui suatu wacana. Kategori-kategori sosial misalnya terbukti amat berguna untuk mendefinisikan, mengklasifikasikan, dan akhirnya meminggirkan serta memvonis kelompok tertentu. Padahal, penting disadari, lanjut Foucault, bahwa dalam konteks ini yang sedang bermain adalah kontruksi relasi kuasa dalam rajutan tubuh masyarakat.

Lihatlah misalnya bagaimana wacana PKI atau orang komunis disisihkan dan ujung-ujungnya dikategorikan (oleh golongan tertentu) sebagai kelompok yang harus dihabisi (termasuk juga buku-bukunya). Dengan perspektif Foucault, terungkap bahwa profil identitas orang komunis sebenarnya lahir dari suatu proses panjang seiring dengan kekuasaan otoriter Orde Baru untuk mempertahankan kekuasannya, melalui berbagai cara seperti litsus, sosialisasi sejarah dan film G-30-S versi pemerintah, dan penyingkiran jasa-jasa PKI dari wacana sejarah selama masa perjuangan kemerdekaan.

Pendekatan kedua yang disodorkan Eriyanto dalam buku ini adalah pendekatan “model analisis” yang berusaha melihat bagaimana suatu tata bahasa tertentu serta pilihan kata tertentu membawa implikasi dan ideologi tertentu. Ada lima kelompok tokoh yang disajikan dalam buku ini, yakni Roger Fowler, Theo van Leeuwen, Sara Mills, Teun A. van Dijk, dan Norman Fairclough.

Pendekatan kedua ini mengamati secara detail bagaimana sebuah teks diproduksi dan dikonsumsi sehingga melahirkan efek-efek ideologis tertentu. Dalam pendekatan kedua ini ditunjukkan bagaimana misalnya penggunaan kosakata tertentu mampu membatasi pandangan pembaca dari asosiasi kesan dan pemikiran tertentu. Nampak jelas bahwa ternyata kosakata merupakan suatu medan pertarungan kekuasaan yang cukup efektif mengklasifikasikan, memarjinalisasikan, mengeksklusikan, dan mendelegitimasikan sesuatu sisi dari peristiwa.

Atau juga bahkan bagaimana sebuah struktur kalimat aktif atau pasif, penempatan anak kalimat, penggunaan kata ganti, penjelasan positif atau negatif, melahirkan kesan dan pandangan yang jauh berbeda.

Kehadiran buku ini menjadi amat penting dan bermakna relevan di tengah-tengah langkanya panduan metodologis yang berusaha mengkritisi euforia pers era reformasi. Hal ini cukup penting karena melalui buku ini pula secara implisit digagas pentingnya suatu bentuk kontrol sosial yang lebih cerdas terhadap teks-teks media, ketimbang dengan menggunakan cara-cara yang berbau kekerasan atau aksi massa.

Pada titik inilah buku ini sebenarnya dapat dilihat sebagai alat pendidikan politik yang cukup baik bagi usaha pendewasaan masyarakat menyikapi iklim kebebasan yang terentang luas ini, serta menjadi pendamping cerdas masyarakat mengawal agenda-agenda reformasi.

Terobosan metodologis yang disajikan dalam buku ini kiranya cukup mampu menjadi suatu alternatif dari cara baca dominan yang bersifat konvensional dan diyakini—setidaknya oleh buku ini—memiliki bias ideologis itu. Alternatif pembacaan ini penting ketika cara baca yang ada tidak mampu mengatasi teks media sehingga tidak mampu menangkap pesan tersembunyi yang bersifat laten. Cara baca yang ditawarkan buku ini pada titik terjauh melantunkan ajakan keras untuk bersama-sama membongkar dan membenahi struktur dominasi yang dipenuhi ketidakadilan yang diam-diam dibiarkan mendekam dalam tubuh bangsa ini.


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 8 Juni 2001.


0 komentar: