Sejujurnya, saya bukan termasuk orang yang “benar-benar terpaut hatinya dengan masjid”. Saya merasa masih jauh untuk disebut sebagai seorang muslim yang baik. Selama ini, mungkin saya agak kecewa dengan masjid yang belum dapat menjadi tempat berbagi masalah-masalah keagamaan dan sosial dalam arti yang luas—tidak hanya tempat ritual. Dan saya sendiri mungkin masih terlalu picik untuk memulai berbuat sesuatu demi mengatasi kekecewaan saya itu.
Namun begitu, setelah lebih dua pekan hidup di negeri asing, ada rasa rindu untuk menemukan masjid, tempat kaum muslim berkumpul, meski masih hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban (ritual) keagamaan. Saya merindukan deretan jamaah yang berbaris rapi, suara adzan, juga lantunan suara imam yang berwibawa dan menyentuh emosi. Lebih dari itu, saya merindukan bangunan yang berbentuk masjid—bukan masjid dalam pengertian sederhana, yakni tempat bersujud, yang itu bisa di mana saja.
Saat menjelang pelaksanaan shalat Idulfitri kemarin, saya sempat berharap bahwa itu akan berlebaran di tempat yang “benar-benar masjid”. Ternyata tidak. Shalat 'Ied kemarin dilaksanakan di sebuah sekolah muslim di tengah kota Utrecht.
Pada hari Kamis kemarin, saya pun berketetapan bahwa untuk shalat Jum'at pekan ini, saya harus menemukan masjid. Sudah dua kali shalat Jum'at saya lewatkan—di antaranya karena saya sedang kurang sehat hingga tak berpuasa. Saya pun berusaha memastikan tempat sebuah masjid yang alamatnya saya ketahui dari seorang gadis berjilbab asal Maroko yang saya tanya di bus pada hari Kamis sebelumnya. Pencarian saya sebelumnya tak berhasil, sampai akhirnya Kamis kemarin saya menemukan alamat website masjid tersebut. Dari situlah, dengan bantuan Wikimapia, akhirnya saya dapat memastikan lokasi masjid dan rute ke arah masjid itu dari apartemen saya.
Masjid itu bernama al-Muttaqien, berjarak 2,5 km dari apartemen saya. Tempatnya di daerah De Clomp, pinggiran barat kota Zeist. Masjid itu dibangun pada tahun 1993, dan, ini yang cukup menggembirakan saya, bangunannya memang benar-benar berbentuk masjid.
Saya tiba di masjid itu pada pukul 13.30, saat orang-orang mulai berdatangan untuk shalat Jum'at. Saya sama sekali tak kesulitan menemukan masjid itu. Menara kecilnya terlihat jelas di dekat rerimbunan pohon di salah satu sudut bangunan.
Begitu memasuki bangunan tersebut, saya langsung meletakkan tas dan berwudu. Saat saya masuk ke dalam ruang utama masjid, adzan sedang dikumandangkan. Suasana begitu hening dan khidmat. Saya pun mengambil posisi di tempat yang masih kosong. Memandang berkeliling, tampak beberapa tiang dan lengkungan seperti masjid pada umumnya. Ada rak al-Qur'an di dinding bagian depan. Jendela-jendelanya yang tertutup kaca juga bermotif arsitektur masjid. Lantainya dihampari karpet berwarna hijau dan merah. Orang-orang yang hadir kebanyakan berwajah Arab. Beberapa di antara mereka mengenakan pakaian panjang (gamis). Tak hanya orang tua, saya juga melihat beberapa anak belia di antara jamaah shalat Jum'at.
Saya melewatkan shalat Jum'at di masjid itu dengan perasaan puas. Kerinduan saya terobati: pada masjid, adzan, khotbah Jum'at, dan jamaah kaum muslim yang hadir di situ—meski tak satu pun saya kenal. Khotbah disampaikan dalam bahasa Arab yang dilantunkan dengan sangat fasih. Khotib berdiri di podium yang anggun. Jamaah menyimak pesan-pesan keagamaan yang dituturkan dengan baik, ringkas, padat, dan bermakna. Dengan pengeras suara yang sepertinya hanya terdengar di dalam ruangan, khotib mengingatkan jamaah untuk terus menjaga hikmah Ramadan, agar terus menjaga semangat untuk memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan. Dia mengatakan bahwa salah satu tanda puasa dan ibadah kita diterima adalah manakala kita dapat melanjutkannya dengan bentuk kebaikan yang lain.
Di akhir khotbah, sang khotib mengumumkan bahwa di akhir pekan, jamaah diminta untuk kerja bakti membersihkan masjid. Wah, sepertinya komunitas muslim di sini sudah cukup kompak merawat masjid ini.
Yang agak kurang mengenakkan buat saya adalah ketika usai shalat, sebagian jamaah langsung bubar keluar. Memang, mereka keluar masjid dengan tertib, melewati satu-satunya pintu keluar satu persatu. Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka tak berdzikir dan berdoa membuat saya bertanya-tanya keheranan.
Saya berdzikir sejenak dan berdoa. Di sekitar saya tampak beberapa orang masih berdzikir dan berdoa. Ada yang shalat sunnah. Ada pula yang mengobrol. Tak lama kemudian, saya pun keluar. Di luar masih mendung—sejak pagi nyaris tiada henti. Saat saya hendak membuka kunci sepeda saya di tempat parkir, seseorang berjarak dua meter dari tempat saya memanggil. Ouw, ternyata ada orang Indonesia juga di sini. Kami pun berkenalan. Namanya Wangsa Tirta Ismaya. Dia sudah tiga kali shalat Jum'at di sini, meski dia tinggal di pusat kota Utrecht. Kebetulan kampusnya di Uithof—sama seperti saya. Dia bilang, Jum'atan di sini enak, daripada di masjid orang Turki.
Kami berbincang cukup lama, dan terus berlanjut ke sebuah supermarket yang berada tak jauh dari masjid itu. Akhirnya, saya pun pulang ke apartemen, setelah berbelanja beberapa kebutuhan sehari-hari di situ.
Dalam perjalanan pulang, saya merasa lega dan puas. Saya sudah menemukan masjid. Saya sudah menemukan tempat saudara-saudara saya, kaum muslim, berkumpul setiap Jum'at. Saat mengayuh sepeda di jalanan sambil melawan angin yang terasa dingin, diam-diam terbersit harapan bahwa masjid ini dapat mengantarkan saya pada kualitas keagamaan yang lebih baik. Saya berdoa untuk itu.
Saya berjanji, Jum'at mendatang, saya akan datang lebih awal. Insya Allah.
>> Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.
Sabtu, 26 September 2009
Mencari Masjid
Label: Diary, European Adventures, Religious Issues
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
ya.... masjid di eropa itu ibarat salju di Indonesia... hehe,,, moga sehat2 di luar. kalo pas nonton Champion, si Ajax.. kabrin ya..
Salam empati, Kak...
Salam kenal Pak!
Menyesal sekali aku tidak dapat sholat di masjid ini.
Posting Komentar