Jumat, 27 Juli 2018

Refleksi Futuristik atas Sejarah Manusia


Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya (Yuval Noah Harari, diterjemahkan oleh Yanto Musthofa, Penerbit Pustaka Alvabet, Jakarta, Juli 2017, 530 halaman, ISBN: 978-602-6577-17-7)

Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia (Yuval Noah Harari, diterjemahkan oleh Damaring Tyas Wulandari Palar, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, September 2017, viii + 525 halaman, ISBN: 978-602-424-416-3)


Kita hidup di zaman yang terus berlari. Orang-orang menjalani hidup dengan bergegas sehingga banyak yang tak sempat untuk menyediakan waktu sela dan berefleksi.

Buku yang ditulis oleh Yuval Noah Harari, profesor sejarah dari Hebrew University of Jerusalem, ini mendedahkan sejarah umat manusia (homo sapiens) sejak kemunculannya pada sekitar 200 ribu tahun yang lalu di Afrika Timur hingga kini. Meski cukup ringkas jika dilihat dari periode yang dipaparkan dan tebal buku yang disajikan, buku ini mampu mengantarkan pembacanya ke ruang jeda yang reflektif dan futuristik untuk melihat jejak panjang dari titik pijak yang tengah didiaminya saat ini. Kerangka reflektif yang tersirat secara cukup kuat merupakan salah satu keunggulan buku yang tersaji dengan gaya tutur yang lincah ini.

Kita tahu bahwa saat ini manusia telah menjadi penguasa bumi. Nasib bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya nyaris tergantung pada manusia. Padahal, pada 70 ribu tahun yang lalu manusia adalah binatang remeh yang tak punya kuasa apa-apa atas nasib bumi. Keberadaannya tidaklah signifikan—seperti ubur-ubur, simpanse, atau harimau.

Ini adalah pokok masalah yang dijawab buku ini di bagian awal. Dengan kilasan sejarah yang singkat dan padat, buku ini memulai dengan penjelasan tentang proses supremasi manusia atas makhluk lain di planet bumi. Harari menjelaskannya saat ia mulai menguraikan tiga periode revolusi penting dalam sejarah manusia, yaitu revolusi kognitif, revolusi pertanian, dan revolusi sains.

Revolusi kognitif adalah awal kebangkitan manusia menuju puncak kekuasaannya. Menurut Harari, revolusi kognitif ini terjadi pada sekitar 70 ribu tahun yang lalu saat manusia menemukan cara baru dalam berpikir dan berkomunikasi. Mulai saat itu, manusia mampu menggunakan bahasa sebagai sarana berbagi informasi tentang dunia.

Dengan keluwesannya, bahasa dengan fungsi baru itu mampu memerdekakan manusia dari kerangka makhluk biologis yang terbatas sehingga kemudian manusia mencatatkan dirinya sebagai makhluk yang menyejarah dan berbudaya. Revolusi kognitif mengunggulkan manusia menjadi binatang dengan kemampuan kerja sama secara fleksibel dalam level yang bersifat masif. Inilah kunci awal dominasi manusia di atas planet bumi.

Kerja sama dalam level masif ini dapat terjadi karena manusia mampu memunculkan dan hidup di dalam realitas yang dikhayalkan (entitas fiktif), tak hanya dalam dunia material yang berupa realitas objektif. Entitas fiktif ini—yang dapat berupa mitos, agama, negara, korporasi, konsep hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain—terbukti mampu menyatukan manusia untuk bergerak dalam satu landasan cerita dan norma tertentu.

Penemuan pertanian sekitar 10 ribu tahun yang lalu tidak hanya mengubah pola hidup nomaden menjadi kehidupan menetap. Revolusi pertanian mendorong ledakan populasi. Tapi kemelimpahan hasil makanan dari pertanian bagi Harari adalah perangkap kemewahan yang pada gilirannya menuntut manusia untuk bekerja lebih keras.

Revolusi pertanian pelan-pelan mengantarkan manusia pada penyatuan yang kini membuat dunia menjadi desa global. Harari mencatat tiga hal yang mempersatukan manusia, yaitu uang, imperium, dan agama. Uang berhasil menjadi dasar bagi tatanan moneter dunia. Imperium menyatukan beragam kelompok masyarakat dalam satu entitas politik tertentu yang terus berkembang dinamis. Agama mempertemukan orang-orang yang melimpahkan otoritas absolut pada Tuhan dan wakil-wakilnya di bumi untuk menjamin stabilitas sosial dalam kehidupan bersama.

Namun revolusi pertanian tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kedahsyatan dampak revolusi sains. Revolusi sains dimulai dengan “penemuan ketidaktahuan” sekitar 500 tahun yang lalu. Kesediaan untuk mengakui ketidaktahuan ini membuat sains modern menjadi lebih dinamis dan aktif untuk menjangkau hal-hal baru dibandingkan dengan tradisi pengetahuan sebelumnya. Dari rahim sains modern lalu lahirlah teknologi berbasis energi-energi baru.

Menurut Harari, revolusi sains yang sebenarnya baru terjadi saat sains beraliansi dengan agama dan atau ideologi, termasuk juga imperium atau otoritas politik. Dari sini muncullah imperialisme. Dari sini pula lahir kapitalisme yang mendorong berputar cepatnya roda-roda industri—juga konsumerisme.

Keberhasilan buku ini dalam mengurai titik-titik penting yang paling menentukan dalam perubahan sejarah kebudayaan manusia di antaranya tampak saat Harari menjelaskan titik mula dan dampak industrialisasi. Secara cerdik, Harari memberi gambaran pokok pergeseran dunia industri dengan mengangkat perubahan cara pandang manusia terhadap waktu. Harari menarasikan asal usul penggunaan jam sistem GMT (Greenwich Mean Time) secara global yang disusul dengan cara pemaknaan baru manusia pada waktu, adopsi cara pengaturan jam ala dunia industri oleh berbagai institusi seperti sekolah, dan juga dampak-dampak lanjutannya yang cukup revolusioner.

Berbagai hal yang lahir dari revolusi sains akhirnya mengantarkan banyak revolusi penting dalam kehidupan manusia sekarang. Saat ini, revolusi terjadi tidak dalam hitungan ribuan tahun. Berbagai penemuan baru dalam dua abad terakhir telah mengantarkan pada situasi-situasi tak terduga. Internet, misalnya, dengan aneka inovasinya, saat ini telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan dengan berbagai dampaknya sehingga sekarang kita tak bisa membayangkan dunia tanpa internet.

Di bagian akhir, Harari menggambarkan kehidupan manusia yang semakin maju saat manusia mulai menembus batas-batas biologisnya dan menerobos hukum seleksi alam. Yang menarik, dengan nada retoris Harari menyampaikan betapa berbahayanya kemampuan hebat hewan yang kini “nyaris menjadi Tuhan” ini jika ia senantiasa “tidak puas, tidak bertanggung jawab, dan tidak mengetahui apa yang diinginkan”. Pada bagian ini, Harari tampak menunjukkan kepeduliannya pada dimensi etis sains dan teknologi dan kebutuhan akan nilai-nilai tertentu sebagai landasan orientasi masa depan.

Edisi terjemahan bahasa Indonesia dari buku yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa ini terbit dalam dua versi. Versi pertama diterbitkan oleh Pustaka Alvabet pada bulan Juli 2017 dengan penerjemah Yanto Musthofa dan editor Nunung Wiyati. Sedangkan versi kedua diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada bulan September 2017 dengan penerjemah Damaring Tyas Wulandari Palar dan penyunting Andya Primanda.

Secara umum, dua versi terjemahan ini bisa dibilang sama bagusnya. Saya sendiri membaca utuh versi terjemahan yang terbit lebih awal. Namun, saat versi kedua terbit, saya juga membeli dan membaca secara acak pada bagian-bagian yang sebelumnya sudah saya tandai sebagai bagian yang penting atau menarik.

Pembacaan ini kemudian memberikan sedikit perbandingan bagi saya terkait aspek penerjemahannya. Sekilas, saya merasa bahwa terjemahan Yanto Musthofa yang diterbitkan Alvabet terasa lebih nyaman dan lebih lincah gaya tuturnya. Misalnya petikan terjemahan dari bagian buku yang menggambarkan cara pandang paradigma modern terhadap pengaturan waktu:

Permulaan yang sederhana ini melahirkan jaringan global jadwal, yang diselaraskan sampai ke bagian terkecil, detik. Ketika media siaran—pertama radio, kemudian televisi—mulai bercokol, mereka memasuki sebuah dunia jadwal dan menjadi pendorong utama dan juru dakwahnya (hlm. 421).

Versi terjemahan Damaring Tyas Wulandari Palar seperti berikut:

Awal yang sederhana itu melahirkan jejaring jadwal global, yang disinkronisasi sampai sepersekian detik. Ketika media siaran—pertama-tama radio, lantas televisi—muncul untuk pertama kali, mereka memasuki dunia jadwal dan menjadi penegak dan penyebar utamanya (hlm. 423).

Pilihan terjemahan versi Alvabet untuk menggunakan frasa “mulai bercokol” dan “juru dakwah”, bukannya “muncul untuk pertama kali” dan “penyebar utama” sebagaimana di versi KPG, terasa lebih nyaman dan lebih berisi muatan maknanya untuk sampai ke ruang pemahaman saya. Versi lengkap bahasa Inggrisnya—saya membaca versi terbitan Vintage—adalah sebagai berikut:

This modest beginning spawned a global network of timetables, synchronised down to the tiniest fractions of a second. When the broadcast media—first radio, then television—made their debut, they entered a worl of timetables and became its main enforcers and evangelists (hlm. 396).

Namun demikian, saya menemukan penerjemahan bagian tertentu di versi Alvabet yang terasa kurang pas. Pengalaman saya sebagai editor buku karya terjemahan dulu di Penerbit Serambi dan di Penerbit Bentang Pustaka menunjukkan bahwa jika terdapat kalimat atau frasa yang kurang berhasil dipahami sepenuhnya maka biasanya penerjemah atau editor akan memilih untuk menerjemahkannya secara literal. Ini yang saya temukan di versi terjemahan Alvabet.

Di halaman 6 misalnya di versi terjemahan Alvabet ada subjudul “Tulang Belulang dalam Kloset”. Dalam pemahaman saya, frasa ini tertangkap agak membingungkan dan kurang jelas maknanya. Ternyata, di versi bahasa Inggrisnya tertulis “Skeletons in the Closet” (hlm. 5), yang jika dicari di kamus bahasa Inggris akan ditemukan bahwa pengertian frasa tersebut adalah “rahasia yang tersimpan yang jika terbongkar akan mempermalukan pihak tertentu”. Di versi terjemahan KPG, teks tersebut diterjemahkan “Rahasia yang Tersimpan Rapat”.

Di bagian lain, kasus serupa saya temukan. Ini kutipan dari versi terjemahan Alvabet:

Jutaan tahun evolusi telah mendesain kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota-anggota komunitas. Hanya dalam waktu dua abad kita sudah menjadi individu-individu teralienasi. Tak ada yang memberi kesaksian lebih baik tentang hebatnya kekuatan kultur (hlm. 428).

Teks berbahasa Inggris untuk terjemahan tersebut adalah sebagai berikut:

Millions of years of evolution have designed us to live and think as community members. Within a mere two centuries we have become alienated individuals. Nothing testifies better to the awesome power of culture (hlm. 403-404).

Kalimat terakhir pada versi terjemahan Alvabet tampak kurang jelas gagasan pokok yang akan disampaikan. Penerjemahannya cenderung literal. Saat membaca versi terjemahan KPG, gagasan pokok kalimat tersebut jadi lebih mudah tertangkap.

Jutaan tahun evolusi telah membentuk kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota masyarakat. Dalam dua abad saja kita telah menjadi individu-individu teralienasi. Itulah bukti terbaik mengenai dahsyatnya kekuatan budaya (hlm. 431).

Buku yang edisi pertamanya terbit di Israel pada 2011 dengan judul Kitzur Toldot Ha’enoshut ini sangat penting dibaca untuk merefleksikan noktah kecil kehidupan kita dalam bentang sejarah semesta yang lebih luas.

Uraiannya yang kaya data, tajam, dan mengalir dalam alur dan cara tutur yang hidup mampu memberi pemaparan sederhana yang cukup jelas tentang bagian-bagian atau unsur-unsur paling menentukan hingga membentuk titik-titik perubahan penting dalam rentang sejarah manusia. Cara pembahasannya yang utuh meski singkat memberi pembaca perspektif yang baru, lebih padu, dan mencerahkan untuk memahami tantangan masa depan umat manusia.

Yang paling mendasar, pesan penting yang hendak disuarakan buku ini juga adalah perihal tantangan etis manusia dengan segala pencapaiannya saat ini yang bisa dibilang cukup luar biasa. Tantangan yang menunggu jawaban mendesak inilah yang menjadi salah satu kesimpulan reflektif pemaparan Harari dalam buku ini.


Tulisan ini dimuat di Karepe Dotkom, 17 Juli 2018.

0 komentar: