Judul buku: Kitab Doa Tertua: Al-Ma’tsurat
Penulis: Abu Bakr al-Thurthusyi al-Andalusi
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 478 halaman
Bagi seorang yang beriman, doa menjadi kunci penting dalam mengarungi tantangan hidup. Doa tidak saja memberi jawaban atas masalah keduniawian tapi juga atas masalah keakhiratan.
Buku ini adalah kitab klasik karya seorang ulama terkemuka dari Andalusia (Spanyol), yakni Abu Bakr al-Thurthusyi al-Andalusi (w. 520 H.). Buku memberi uraian yang sangat lengkap tentang doa, meliputi pengertian, manfaat, tata cara atau panduan, dan contoh-contoh doa Nabi yang semuanya bersumber dari rujukan otoritatif.
Doa pada dasarnya menjadi bagian pokok dari agama sehingga bernilai sangat penting bagi pemeluknya. Seorang mukmin adalah hamba Allah yang membaktikan seluruh hidupnya sebagai ibadah atau penghambaan kepada Allah. Erat dengan status seorang mukmin sebagai hamba, doa menurut Abu Bakr bisa bermakna penyembahan atau juga penghambaan (‘ibadah). Selain itu, doa juga bisa bermakna permintaan tolong (isti‘anah), memohon dan meminta, atau juga berarti panggilan.
Doa menjadi penanda penghayatan seorang mukmin. Dalam surah al-A‘raf ayat 55, setelah memberi perintah untuk berdoa, di akhir ayat Allah menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang yang melampaui batas. Al-Qurthubi kemudian menafsirkan bahwa yang dimaksud orang yang melampaui batas adalah orang yang enggan berdoa. Keengganan untuk berdoa dipandang identik dengan kesombongan atau bahkan sikap menentang.
Dalam pengertian memohon atau meminta, doa adalah sebentuk komunikasi manusia dengan Tuhan. Karena itu, agar lebih sempurna, ada tata cara tertentu yang mesti diperhatikan. Ada yang berkaitan dengan sikap batin. Misalnya, sebelum berdoa, seseorang harus merendahkan dan memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Demikian pula, harus ada kebulatan tekad dan optimisme selain rasa khusyuk. Bahkan, teladan dari para nabi, rasul, wali, dan orang saleh mengajarkan bahwa sebelum berdoa, kita memulai dengan bertobat atas maksiat dan pelanggaran yang telah diperbuat.
Tata cara berdoa yang bersifat lahiriah misalnya sebaiknya kita berdoa dengan suara lirih atau pelan. Ini seperti yang dikisahkan al-Qur’an saat Nabi Zakariya berdoa agar mendapatkan keturunan. Selain itu, berdasarkan hadis, berdoa dilakukan sambil menengadahkan tangan.
Dalam melafalkan doa, telah lazim diketahui bahwa sebaiknya dimulai dengan memuji dan mengagungkan Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan shalawat atas nabi-Nya. Sementara itu, terkait redaksi doa, dikatakan bahwa memohon dengan cara halus lebih baik daripada terang-terangan sebagaimana telah banyak dicontohkan oleh para nabi, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan yang lainnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa memuji kepada Tuhan itu lebih utama daripada sekadar berdoa. Ini yang misalnya dapat kita temukan dalam kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan besar. Al-Qur’an surah al-Anbiya’ ayat 87 merekam apa yang dibaca Nabi Yunus. Dari bacaan itu, kita melihat bahwa yang dilakukan Nabi Yunus bukan memohon, tapi mengesakan dan menyucikan Tuhan serta mengakui kesalahannya.
Abu Bakr menulis bahwa Allah telah memuliakan umat Nabi Muhammad saw dengan diturunkannya surah al-Fatihah yang sangat istimewa. Surah ini menjadi contoh yang sangat baik tentang doa karena paruh awalnya memuat pujian dan pengagungan, dan separuh sisanya memuat doa.
Abu Bakr juga menguraikan tentang waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Berdasarkan keterangan beberapa hadis, disebutkan bahwa di antara waktu yang mustajab adalah tengah malam, hari jum’at, antara azan dan iqamat, setelah shalat fardu, malam lailatul qadar, dan hari ‘Arafah.
Lebih dari separuh buku yang aslinya berjudul al-Du‘a’ al-Ma’tsur wa Adabuhu wa Ma Yajibu ‘ala al-Da‘i Ittiba‘uhu wa Ijtinabuhu ini memuat doa-doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Ada banyak contoh doa, mulai dari yang sifatnya umum seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, atau juga doa yang sifatnya spesifik atau terkait dengan hal tertentu. Ada doa ketika mendengar azan, masuk rumah, mendengar kokok ayam, ditimpa kesusahan, digigit binatang beracun, naik kendaraan, ketika terkejut, dan sebagainya.
Melimpah dan beranekanya contoh doa Nabi ini di satu sisi menegaskan makna spiritual doa bagi seorang mukmin. Ini memberi gambaran ideal bahwa kehidupan seorang mukmin harus selalu diliputi oleh kepasrahan dan kebergantungan pada Zat Yang Mahakuasa yang kemudian terekspresikan melalui doa.
Keunggulan buku ini tidak saja terletak pada sumber rujukannya yang otoritatif, tapi juga pada kelengkapan uraiannya tentang berbagai segi doa. Selain itu, dalam menguraikan doa-doa Nabi, juga dijelaskan latar peristiwa yang ada di balik doa-doa tersebut.
Tulisan ini dimuat di Kabar Madura, 27 Agustus 2015.
Penulis: Abu Bakr al-Thurthusyi al-Andalusi
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 478 halaman
Bagi seorang yang beriman, doa menjadi kunci penting dalam mengarungi tantangan hidup. Doa tidak saja memberi jawaban atas masalah keduniawian tapi juga atas masalah keakhiratan.
Buku ini adalah kitab klasik karya seorang ulama terkemuka dari Andalusia (Spanyol), yakni Abu Bakr al-Thurthusyi al-Andalusi (w. 520 H.). Buku memberi uraian yang sangat lengkap tentang doa, meliputi pengertian, manfaat, tata cara atau panduan, dan contoh-contoh doa Nabi yang semuanya bersumber dari rujukan otoritatif.
Doa pada dasarnya menjadi bagian pokok dari agama sehingga bernilai sangat penting bagi pemeluknya. Seorang mukmin adalah hamba Allah yang membaktikan seluruh hidupnya sebagai ibadah atau penghambaan kepada Allah. Erat dengan status seorang mukmin sebagai hamba, doa menurut Abu Bakr bisa bermakna penyembahan atau juga penghambaan (‘ibadah). Selain itu, doa juga bisa bermakna permintaan tolong (isti‘anah), memohon dan meminta, atau juga berarti panggilan.
Doa menjadi penanda penghayatan seorang mukmin. Dalam surah al-A‘raf ayat 55, setelah memberi perintah untuk berdoa, di akhir ayat Allah menyebutkan bahwa Dia tidak menyukai orang yang melampaui batas. Al-Qurthubi kemudian menafsirkan bahwa yang dimaksud orang yang melampaui batas adalah orang yang enggan berdoa. Keengganan untuk berdoa dipandang identik dengan kesombongan atau bahkan sikap menentang.
Dalam pengertian memohon atau meminta, doa adalah sebentuk komunikasi manusia dengan Tuhan. Karena itu, agar lebih sempurna, ada tata cara tertentu yang mesti diperhatikan. Ada yang berkaitan dengan sikap batin. Misalnya, sebelum berdoa, seseorang harus merendahkan dan memasrahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Demikian pula, harus ada kebulatan tekad dan optimisme selain rasa khusyuk. Bahkan, teladan dari para nabi, rasul, wali, dan orang saleh mengajarkan bahwa sebelum berdoa, kita memulai dengan bertobat atas maksiat dan pelanggaran yang telah diperbuat.
Tata cara berdoa yang bersifat lahiriah misalnya sebaiknya kita berdoa dengan suara lirih atau pelan. Ini seperti yang dikisahkan al-Qur’an saat Nabi Zakariya berdoa agar mendapatkan keturunan. Selain itu, berdasarkan hadis, berdoa dilakukan sambil menengadahkan tangan.
Dalam melafalkan doa, telah lazim diketahui bahwa sebaiknya dimulai dengan memuji dan mengagungkan Tuhan, kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan shalawat atas nabi-Nya. Sementara itu, terkait redaksi doa, dikatakan bahwa memohon dengan cara halus lebih baik daripada terang-terangan sebagaimana telah banyak dicontohkan oleh para nabi, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan yang lainnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa memuji kepada Tuhan itu lebih utama daripada sekadar berdoa. Ini yang misalnya dapat kita temukan dalam kisah Nabi Yunus yang ditelan ikan besar. Al-Qur’an surah al-Anbiya’ ayat 87 merekam apa yang dibaca Nabi Yunus. Dari bacaan itu, kita melihat bahwa yang dilakukan Nabi Yunus bukan memohon, tapi mengesakan dan menyucikan Tuhan serta mengakui kesalahannya.
Abu Bakr menulis bahwa Allah telah memuliakan umat Nabi Muhammad saw dengan diturunkannya surah al-Fatihah yang sangat istimewa. Surah ini menjadi contoh yang sangat baik tentang doa karena paruh awalnya memuat pujian dan pengagungan, dan separuh sisanya memuat doa.
Abu Bakr juga menguraikan tentang waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Berdasarkan keterangan beberapa hadis, disebutkan bahwa di antara waktu yang mustajab adalah tengah malam, hari jum’at, antara azan dan iqamat, setelah shalat fardu, malam lailatul qadar, dan hari ‘Arafah.
Lebih dari separuh buku yang aslinya berjudul al-Du‘a’ al-Ma’tsur wa Adabuhu wa Ma Yajibu ‘ala al-Da‘i Ittiba‘uhu wa Ijtinabuhu ini memuat doa-doa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Ada banyak contoh doa, mulai dari yang sifatnya umum seperti tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, atau juga doa yang sifatnya spesifik atau terkait dengan hal tertentu. Ada doa ketika mendengar azan, masuk rumah, mendengar kokok ayam, ditimpa kesusahan, digigit binatang beracun, naik kendaraan, ketika terkejut, dan sebagainya.
Melimpah dan beranekanya contoh doa Nabi ini di satu sisi menegaskan makna spiritual doa bagi seorang mukmin. Ini memberi gambaran ideal bahwa kehidupan seorang mukmin harus selalu diliputi oleh kepasrahan dan kebergantungan pada Zat Yang Mahakuasa yang kemudian terekspresikan melalui doa.
Keunggulan buku ini tidak saja terletak pada sumber rujukannya yang otoritatif, tapi juga pada kelengkapan uraiannya tentang berbagai segi doa. Selain itu, dalam menguraikan doa-doa Nabi, juga dijelaskan latar peristiwa yang ada di balik doa-doa tersebut.
Tulisan ini dimuat di Kabar Madura, 27 Agustus 2015.
0 komentar:
Posting Komentar