Judul Buku: Dari Hukum Makanan Tanpa Label Halal hingga Memilih Mazhab yang Cocok
Penulis: Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D.
Penerbit: Mizania, Jakarta
Cetakan: Pertama, Juni 2015
Tebal: xliv + 228 halaman
Ada anggapan bahwa hukum Islam itu kaku dan cukup sulit beradaptasi dengan perkembangan dunia. Melalui buku ini, Gus Nadir, panggilan akrab Prof. H. Nadirsyah Hosen, Ph.D., membuktikan bahwa anggapan itu keliru.
Buku ini sebagian besar berisi tanya-jawab tentang hukum Islam dengan mengambil latar situasi masa kini dan dunia global. Bertolak dari pengalaman tinggal di Australia selama 18 tahun, Gus Nadir mengangkat masalah-masalah sederhana di bidang hukum Islam yang biasa dialami sehari-hari di kehidupan modern, terutama di luar negeri.
Misalnya tentang hukum makanan tanpa label halal. Umat Islam yang pernah tinggal di luar negeri pasti akan merasakan masalah mencari makanan halal. Di Eropa, umat Islam biasanya akan berbelanja di toko-toko muslim Maroko atau Turki. Memang ada juga daging yang diberi label halal. Tapi bagaimana hukum daging tanpa label halal?
Dalam buku ini, Gus Nadir mengangkat kegelisahan seorang muslim Indonesia yang belajar di Australia tentang daging yang dibelinya di supermarket biasa dan tanpa label halal. Sebagian rekannya yang juga muslim jadi ragu untuk menikmati hidangan yang dibuatnya.
Atas situasi ini, Gus Nadir, yang memiliki 6 gelar akademik di bidang hukum dan hukum Islam, menjelaskan dengan cukup teperinci, termasuk dari sudut pandang beberapa mazhab hukum Islam. Misalnya, ada yang mewajibkan secara mutlak agar sembelihan itu dilakukan dengan menyebut nama Allah (basmalah). Namun begitu, Imam Syafi’ie memberi hukum sunnah. Yang dilarang adalah menyembelih dengan menyebut selain nama Allah karena itu seolah-olah berarti mempersembahkan sembelihan kepada selain Allah.
Ada lagi kisah yang agak lucu tapi bagi mereka yang pernah hidup di luar negeri pasti sudah terbiasa mengalaminya. Di luar negeri, selain di masjid, cukup sulit menemukan tempat berwudu seperti di Indonesia karena toilet yang ada berjenis toilet kering. Jadinya, jika berwujud di wastafel, seorang muslim harus mengangkat kakinya saat membasuh kaki. Selain terlihat geli, ini juga membuat lantai menjadi basah atau becek.
Gus Nadir menjelaskan bahwa dalam menerapkan syariat, Islam berprinsip untuk memudahkan pelaksanaan ajaran tertentu dalam situasi khusus seperti dalam kasus di atas. Untuk masalah ini, Gus Nadir merujukkannya pada contoh yang diberikan Rasulullah yang memperbolehkan mengusap khuff (sesuatu yang menutupi kaki sampai mata kaki baik berupa sepatu atau kaos kaki) saat berwudu. Nabi melakukan ini baik dalam status bermukin maupun saat di perjalanan. Tentu saja ada syarat dan ketentuan tertentu dan hal lain mengatur hal ini yang diuraikan dengan baik oleh Gus Nadir.
Selain masalah yang spesifik berkaitan dengan hukum Islam, Gus Nadir juga memaparkan tentang masalah keislaman secara umum, seperti ucapan selamat natal, mencari fatwa keagamaan (termasuk bertanya via Google), penghinaan terhadap Nabi Muhammad, dan sebagainya.
Gus Nadir juga mengangkat masalah Islam di Australia. Sebagaimana di masyarakat Barat Kristen pada umumnya, Islam kadang memang disalahpahami di Australia. Misalnya, pada tahun 2005, Menteri Pendidikan Australia, Brendan Nelson, menyarankan agar sekolah Islam di Australia mengadopsi Simpson values atau jika tidak they should “clear off”. Simpson values ini adalah nilai-nilai kepahlawanan yang merujuk pada legenda John Simpson Kirkpatrick (w. 1915).
Gus Nadir, yang kini mengajar di Fakultas Hukum Monash University, Australia, menyesalkan kecurigaan dan miskomunikasi Barat yang bahkan terjadi di kalangan pejabat teras ini. Nelson, tulis Gus Nadir, rupanya tidak tahu tentang kisah kepahlawanan tokoh muslim seperti Shalahuddin al-Ayyubi yang legendaris yang mencerminkan nilai-nilai Islam yang tak jauh berbeda dengan Simpson values yang dimaksud. Yang terjadi, lanjut Gus Nadir, bukanlah the clash of civilization, tapi the clash of ignorance.
Dari kasus-kasus hukum Islam sehari-hari dan politik di Australia pada khususnya, Gus Nadir dengan penguasaannya yang mendalam atas khazanah Islam klasik dalam buku ini berhasil menunjukkan wajah kosmopolitanisme Islam: bahwa dalam hal hukum, syariat Islam itu tidaklah kaku dan dapat hidup dengan selaras di era modern. Selain itu, Islam juga membawa nilai-nilai agung yang sangat relevan dan kontekstual hingga kini.
Penyampaiannya yang bersifat populer, yakni bermodel naratif dan penuh dengan dialog, membuat buku yang ditulis oleh lulusan Pesantren Buntet Cirebon putra almarhum Prof. K.H. Ibrahim Hosen ini renyah dicerna. Meski demikian, dengan referensi yang kaya dan otoritatif, jelaslah bahwa buku ini bukan karya sembarangan dan tak boleh disepelekan.
Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 28 Agustus 2015.
Jumat, 28 Agustus 2015
Kosmopolitanisme Islam ala Gus Nadir
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Buku ini memang bagus, gus. Saya juga sudah baca dan paling suka dengan kalimat penutupnya.
Iya, memang menarik, Dwi. Melihat latar akademisnya, saya menunggu karya-karya akademis dari si penulis.
Terima kasih telah mampir dan meninggalkan komentar.
Posting Komentar