Menteri ESDM diprotes pembaca Kompas karena tidak tertib berbahasa. |
Di rubrik “Redaksi Yth” Harian Kompas tanggal 1 Mei 2012, ada surat pembaca yang sangat menarik perhatian saya. Surat pembaca itu berjudul “Menteri dan Bahasa Indonesia”, ditulis oleh Ketua Umum Yayasan WJS Poerwadarminta, Marius Widjajarta. Dia risau dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, di halaman muka Kompas edisi 23 April 2012.
Berikut kutipan surat pembaca Marius Widjajarta:
Sebagai Ketua Umum Yayasan WJS Poerwadarminta, yayasan yang—antara lain—berupaya melestarikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan betul, saya risau dengan pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengenai pembatasan pemakaian BBM bersubsidi yang konon akan diterapkan dalam waktu dekat.
Pada paragraf kelima berita halaman muka Kompas edisi 23 April 2012, "Mobil Pribadi 1.500 Cc ke Atas Tak Pakai BBM Subsidi", tersua pernyataan langsung Menteri ESDM Jero Wacik: "Tidak ada mobil yang pas 1.500 cc, ada 1.490 cc, 1.492 cc." Lalu, keterangan berikutnya berbunyi: "Mobil dengan kapasitas seperti itu akan digolongkan dengan mobil berkapasitas 1.500 cc ke atas."
Apabila pernyataan itu dikaitkan dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan betul, pengertian 1.500 cc ke atas adalah "1.500 cc, 1.501 cc, dan seterusnya". Jika yang dimaksudkan Menteri ESDM bahwa aturan itu mencakup mobil "1.490 cc, 1.492 cc", seharusnya ia mengatakan bahwa aturan "tidak boleh menggunakan BBM bersubsidi" itu berlaku untuk mobil berkapasitas 1.400 cc ke atas.
Saya sangat sedih mengingat Menteri ESDM merupakan pejabat publik berpendidikan tinggi. Ucapan dan tingkah lakunya semestinya teladan bagi masyarakat luas.
Melalui surat pembaca di atas, saya jadi tersadar bahwa kemampuan berbahasa pengurus publik di negeri kita masih bermasalah. Bahkan sebenarnya bukan hanya tentang kemampuan berbahasa, karena saya percaya bahwa bahasa pada dasarnya juga adalah soal nalar. Bahasa bukan semata soal komunikasi dan ekspresi, tapi juga soal cara berpikir. Manusia itu berpikir dengan bahasa. Jadi, kesalahan berbahasa sangat mungkin terjadi karena kekurangrapian berpikir.
Lalu bagaimana jika yang salah berpikir itu orang-orang yang termasuk pengurus publik atau pemegang kebijakan strategis? Atau mereka yang punya pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, seperti Menteri ESDM atau yang lainnya?
Anda, pembaca, tentu dapat mengemukakan jawabannya. Tapi izinkanlah saya memberikan gambaran yang lebih jelas melalui kasus yang sedang saya hadapi saat ini.
Ceritanya begini. Ada seorang lulusan Madrasah Aliyah 2 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, bernama Azhari, mendaftar dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas di Kepolisian Resor Sumenep. Namun dia dinyatakan tidak lulus karena ijazahnya tidak diakui oleh panitia penerimaan di Polres Sumenep.
Kenapa tidak diterima? Menurut polisi, ijazah Azhari (yakni ijazah MA 2 Annuqayah) tidak diakui atau dianggap tidak memenuhi syarat karena MA 2 Annuqayah berada di bawah naungan pondok pesantren. Sedangkan pesantren yang diakui oleh mereka, katanya, hanya empat pesantren sebagaimana tercantum dalam brosur penerimaan.
Pembaca, agar lebih jelas, saya kutip secara lengkap bagian dari brosur yang menjelaskan hal tersebut:
II. PERSYARATAN LAIN.
1. Berijazah serendah-rendahnya SMU/MA jurusan IPA/IPS atau SMK yang sesuai dengan kompetensi dengan tugas pokok Polri (kecuali Tata Busana dan Tata Kecantikan) dgn nilai rata-rata HUAN (Hasil Ujian Akhir Nasional) min 6,25 (enam koma dua lima) untuk IPA dan 6,5 (enam koma lima) untuk jurusan IPS dan SMK;
2. Khusus untuk lulusan pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: a. Ponpes Gontor Ponorogo; b. Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep; c. Ponpes Mathabul Ulum Sumenep; d. Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk;
Brosur penerimaan brigadir brimob dan dalmas Polres Sumenep. |
Sebelum saya lanjutkan, saya ajak pembaca untuk mencerna kembali dua poin dalam kutipan di atas dengan cermat. Bacalah dengan nalar yang lurus dan tangkaplah pokok gagasannya.
Apabila sudah dicerna ulang, baiklah, sekarang teruskan.
Penolakan polisi dengan alasan sebagaimana disebut di atas menurut saya secara terang benderang menunjukkan kesalahan nalar bahasa polisi. Menurut saya, panitia/polisi gagal memahami persyaratan yang tercantum dalam brosur yang mereka buat sendiri. Gagal bagaimana? Menurut saya, mereka tak bisa memahami pokok gagasan yang hendak disampaikan oleh pembuat kebijakan terkait persyaratan ijazah—siapa sebenarnya pembuat kebijakan tersebut?
Jika kita perhatikan alasan penolakan polisi, mereka sebenarnya berpikir seperti ini: bagi mereka, semua ijazah lembaga pendidikan formal setingkat Madrasah Aliyah atau SMA yang berada di bawah naungan pesantren tak akan diakui—bahkan meskipun telah terakreditasi dan diakui oleh Kementerian Agama atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI—kecuali lembaga pendidikan yang dikelola oleh keempat pesantren tersebut.
Apakah cara berpikir seperti ini dapat dibenarkan secara logika (bahasa)? Mari kita lihat secara lebih cermat dengan akal sehat.
Poin kedua dalam persyaratan tersebut menurut saya sebenarnya adalah untuk mengkhususkan atau mengecualikan poin persyaratan yang pertama. Perhatikan frasa “yang diakui setara dengan SMU” dalam poin kedua persyaratan tersebut. Frasa ini menunjukkan bahwa poin kedua ini ingin mengecualikan pesantren yang tidak memiliki Madrasah Aliyah atau SMA yang mengikuti sistem pendidikan nasional tetapi memiliki sistem pendidikan sendiri yang setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA.
Pesantren Al-Amien, Prenduan, misalnya, memiliki Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI), yakni lembaga pendidikan setingkat Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah atau SMP dan SMA dengan model atau sistem mandiri yang tidak sama dengan sistem pendidikan nasional. Nah, menurut saya, poin kedua ini hendak menyatakan bahwa sistem pendidikan khas pesantren yang berbeda dengan sistem pendidikan nasional sebagaimana terdapat di keempat pesantren tersebut di atas juga diakui oleh Negara, yakni diakui setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA, sehingga lulusannya dapat mendaftar dalam penerimaan brigadir brimob dan dalmas ini.
Karena itu, dalam pengumuman penerimaan siswa TMI di Al-Amien, dijelaskan bahwa ijazah TMI diakui setara dengan Madrasah Aliyah atau SMA oleh Negara. Sebaliknya, dalam pengumuman penerimaan siswa di Madrasah Aliyah atau SMA di Annuqayah, tak perlu ada penjelasan semacam ini. Cukup menjelaskan bahwa madrasah/sekolah ini sudah terakreditasi (oleh Negara).
Masalahnya polisi berpikir terbalik, sehingga kesimpulannya sangatlah fatal. Jika mengikuti logika polisi, maka seluruh lembaga pendidikan formal setingkat Madrasah Aliyah atau SMA yang bernaung di pondok pesantren tidak akan diakui ijazahnya oleh polisi meskipun telah terakreditasi oleh Negara dan mengikuti Ujian Nasional—kecuali lembaga pendidikan di empat pesantren yang disebut dalam brosur tersebut. Logika yang sesat ini akan meruntuhkan wewenang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama dalam menilai mutu dan keabsahan lembaga pendidikan yang mengikuti sistem Negara.
Saya sangat heran mengapa polisi sampai salah paham dan sesat pikir hingga sejauh ini. Saya tak habis pikir, jika mereka tak mencerna kalimat-kalimat dalam brosur itu dengan logika, lalu mereka memahaminya dengan apa? Saya semakin heran ketika di media massa polisi menjawab bahwa mereka hanya mengikuti aturan. Aturan apakah itu tepatnya?
Saya pikir dalam hal ini mungkin mereka hanya ikut-ikutan, ikut apa kata atasan, dan tak mau mencoba mengikuti aturan bahasa, aturan nalar. Apakah mereka menempatkan atasan lebih tinggi daripada nalar?
Bahkan jika pun mereka mau memaksa menggunakan logika terbalik seperti di atas, saya pun masih bisa menunjukkan kelemahan lainnya yang bersumber dari keteledoran berbahasa yang termuat dalam kutipan brosur tersebut di atas, khususnya di poin kedua.
Apa itu? Biar lebih jelas, saya kutip kembali poin kedua di atas:
2. Khusus untuk lulusan pondok pesantren sesuai dengan Surat Departemen Pendidikan Nasional yang diakui setara dengan SMU dan diperbolehkan mendaftar menjadi anggota Polri antara lain: a. Ponpes Gontor Ponorogo; b. Ponpes Al-Amien Prenduan Sumenep; c. Ponpes Mathabul Ulum Sumenep; d. Ponpes Modern Al-Barokah Patianrowo Nganjuk;
Baiklah. Taruhlah saya akan ikut logika sesat polisi, bahwa poin kedua ini akan diperhitungkan pertama kali jika ada pendaftar yang berasal dari lembaga pendidikan di bawah pengelolaan pesantren. Tapi coba perhatikan kata “antara lain” di poin kedua ini.
Bagaimanakah penggunaan kata “antara lain” yang benar dan sesuai nalar?
Menurut saya, “antara lain” digunakan saat kita hendak menyebutkan sejumlah hal/barang dan kita hanya menyebutkan sebagian saja. Perhatikan contoh penggunaan kata “antara lain” yang saya kutip dari Harian Kompas edisi 7 Mei 2012: “Pada tahun yang sama, anggota TNI tercatat melakukan 56 perilaku arogan, yang antara lain berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi”. Kata “antara lain” dalam kalimat ini menunjukkan bahwa perilaku arogan anggota TNI tak hanya berwujud penganiayaan, penembakan, dan intimidasi. Ini hanya sebagian. Ada lagi yang lainnya. Jika Anda membaca lebih lanjut laporan Kompas di edisi 7 Mei 2012 itu, Anda akan menemukan bentuk arogansi anggota TNI yang lain, seperti pelecehan seksual, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, dan yang lainnya.
Contoh penggunaan kata "antara lain" di Kompas, 7 Mei 2012. |
Nah, jika penggunaan kata “antara lain” seperti ini, yakni untuk menyebut sebagian dari sebuah himpunan, maka berarti seharusnya ada pesantren lain yang juga diakui setara dengan SMA selain keempat pesantren tersebut. Apakah Annuqayah termasuk? Apakah Pesantren Al-Is’af, Kalabaan, Guluk-Guluk, juga termasuk? Apakah Pesantren Karay, Ganding, termasuk? Polisi mestinya tahu jawabannya.
Tapi polisi tak bisa menjawab: “Oooo tidak, hanya empat pesantren itu saja yang diakui setara”. Kalau menjawab seperti ini, berarti polisi sedang melawan nalar atau aturan bahasa—melanggar hukum bahasa.
Dua kesalahan fatal ini, sekali lagi, menunjukkan nalar bahasa pengurus publik di negeri ini masih kacau. Untuk kasus yang saya ulas panjang ini, saya sangat heran (saya sesungguhnya butuh ekstra hiperbola untuk mengungkapkan keheranan saya ini) karena di media massa secara cukup lama, sejak kasus ini pertama kali dipersoalkan oleh Azhari ke polisi pada 21 Juni lalu hingga tulisan ini dibuat, polisi tak mau mengubah pandangannya. Bahkan, Kabar Madura edisi 6 Juli 2012 menulis: “Rahbini (Kabag Sumber Daya Manusia Polres Sumenep—MM) juga menjelaskan, Pantia Seleksi Administrasi Tahap Pertama melibatkan pihak Dinas Pendidikan Sumenep yang diwakili Mery Margaret, Penggiat LSM Tajul Arifin, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Sumenep Jazuli, dan dua anggotanya, Aiptu Teguh Prawoto dan Ipda Rasyidi”. Sekali lagi, saya heran.
Pemberitaan kasus ijazah Azhari di Kabar Madura, 6 Juli 2012. |
Saya juga sedih. Sebagai guru Bahasa Indonesia yang juga mengajar Logika, kasus ini dari satu sisi mungkin menunjukkan kegagalan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Belakangan ini, kemampuan menyerap pokok gagasan dalam sebuah paragraf atau kalimat yang diajarkan dalam pelajaran Bahasa Indonesia memang telah disorot oleh banyak kalangan—dinilai belum berhasil. Ada yang mengatakan, ini juga terkait dengan rendahnya kebiasaan membaca.
Namun demikian, dari sisi yang lain, masalah ini memunculkan tantangan bagi saya. Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya tertantang untuk mengupayakan proses pembelajaran bahasa di sekolah yang lebih baik dan bermutu sehingga masyarakat pada umumnya dapat berbahasa secara lebih baik. Saya harus meneguhkan komitmen saya agar dapat mengajar dengan lebih baik, dan juga mengajak rekan-rekan guru Bahasa Indonesia yang lain untuk juga meningkatkan mutu pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.
Siapa tahu di antara murid-murid saya kelak ada yang menjadi pengurus publik, sehingga jika saya dan guru-guru Bahasa Indonesia berhasil memberi dasar-dasar kebahasaan yang baik, terutama dari segi logika bahasa, mereka nantinya akan dapat mengurus masyarakat dengan pola pikir yang tertib, lurus, dan sehat.
Baca juga:
Surat Terbuka untuk Pak Polisi
6 komentar:
Tak hanya pejabat publik dan aparat yang gagal berbahasa dengan baik, wartawan kadang tak berusaha untuk menyusun laporannya dengan taat asas. Kitab bisa melihat hal ini dalam berita Radar Madura (11/7/12), hlm. 31:
KOTA-Pelaksana proyek perpanjangan
landasan pacu Lapter
Trunojoyo Sumenep, di-warning
legislatif. Terutama, agar proyek
tersebut dilaksanakan tepat waktu
dan dengan kualitas yang bagus.
Sebelum kata di-warning tak perlu diletakkan koma. Demikian pula, kata tersebut bisa diganti dengan diperingatkan, seraya diikuti dengan kata oleh. Ini hanya secuil dari pelaporan teman-teman media, baik nasional dan daerah, yang tidak mengindahkan aturan ketatabahasaan.
Apa pun, pemasyarakatan tertib bahasa adalah tugas bersama, terutama guru dan pemerhati bahasa Indonesia. :-)
Betul. Media setempat di Madura pada khususnya masih memprihatinkan mutunya. Bahkan untuk hal yang mendasar, yakni ketepatan menyajikan fakta, mereka kadang masih bermasalah. Saya sedang menghimpun data dan gagasan untuk menuliskan soal ini.
Terima kasih telah meninggalkan komentar.
BUKAN MELAWAN NALAR KEH, TAPI BODOH TAK BISA BERNALAR ITU AJA...HEHE
naif sekali makin lama kehidupan ini
Sayang sekali ya, apabila SDM para pejabat publik sangat minim seperti yang dijabarkan di atas, terlebih dalam kepolisian.
@Imam: menurut saya, Polres mestinya ga harus konsultasi ke Dinas Pendidikan atau siapapun untuk menerima ijazah Moh. Azhari. Jelas yang diminta ijazah MA, dan Azhari menyetorkan ijazah MA. Lha, kok dianggap ijazah pesantren? Ini kesalahan pahaman yang sebenarnya dituntut untuk diakui, yang dari sini kemudian mengimplikasikan tindakan diskrinatif, dan seterusnya.
@BJ: kenaifan terbesar dalam kasus ini menurut saya adalah dalam melihat respons aparat yang semakin menunjukkan kenaifannya.
@Nurul Ikhsan: betul, melihat kasus ini, saya semakin prihatin karena kemampuan pengurus publik kita sangat memprihatinkan.
Posting Komentar