Setelah hampir satu tahun mendampingi siswa-siswa di kegiatan lingkungan, banyak hal yang saya temukan. Pendampingan yang saya lakukan boleh dikatakan serba kebetulan. Di akhir Maret lalu, saya diajak Kiai Naqib untuk ikut kegiatan Environmental Teachers’ International Convention di Kaliandra Pasuruan bersama rekan-rekan yang lain. Sepulangnya dari kegiatan itu, salah satu hal paling berharga yang saya dapatkan adalah “ideologi” lingkungan yang tampak mulai menguat dalam diri saya. Jika jauh-jauh hari sebelumnya saya pernah membaca atau menulis soal lingkungan hidup, saat itu isu lingkungan masih belum terideologikan dalam pikiran dan diri saya.
Saya tidak tahu apakah kata “ideologi” di sini cukup tepat. Saya agak sulit menemukan kata yang lain. Jika dilihat ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi berarti (1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; (2) cara berpikir seseorang atau suatu golongan; (3) paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik. Yang saya maksudkan dengan “ideologi” atau “ideologis” di sini adalah saat kumpulan informasi yang saya peroleh terasa menyelusup tak hanya ke dalam pikiran, tapi juga ke hati, lalu bergerak lebih jauh ke panca indera, mencipta kekuatan yang menggerakkan dan menuntut aksi. Saat melakukan aksi, dimensi ideologis tampak sebagai latar yang kuat yang menjiwai tindakan tersebut.
Dalam konteks kesadaran lingkungan, seperti mungkin juga yang lain, saya merasa bahwa ternyata menanamkan sikap hidup ideologis itu tak dapat dikerjakan dengan mudah. Sepulang dari Kaliandra, alhamdulillah, atas inisiatif sendiri anak-anak di lingkungan sekolah tempat saya mengajar tergerak untuk membentuk satu komunitas pencinta lingkungan yang kegiatannya mendaur ulang sampah plastik menjadi kerajinan. Mereka menamakan diri Pemulung Sampah Gaul atau disingkat PSG. PSG memulai aksinya pada Hari Bumi 22 April 2008 dengan terjun ke tempat-tempat sampah di lingkungan Annuqayah, memulung sampah plastik. Mereka kemudian membuat kerajinan dari sampah-sampah itu. Mereka membuat tas dalam berbagai ukuran dan desain dan atau benda-benda kreatif lainnya.
Rupanya kreativitas anak-anak ini cukup menarik perhatian, karena mungkin memang terbilang unik. Pada saat menggelar pameran karya di sela-sela Haflatul Imtihan Annuqayah di bulan Juli kemarin, banyak sekali pengunjung yang bermaksud membeli karya kerajinan anak-anak. Tapi anak-anak PSG belum siap menjual, karena ritme produksi mereka belum stabil. Lagi pula, tujuan dari pameran karya itu lebih pada sosialisasi isu. Kegiatan PSG kemudian diliput oleh media lokal, yakni Radar Madura dan Madura Channel. Bahkan Madura Channel kemudian mengundang anak-anak PSG untuk tampil di salah satu acara mereka. Anak-anak PSG juga beberapa kali menerima undangan dari sekolah atau komunitas yang meminta mereka untuk presentasi.
Akan tetapi, hingga saat ini saya menemukan bahwa banyak orang keliru menangkap poin penting dari kegiatan PSG. Banyak orang beranggapan bahwa poin penting dari PSG adalah kegiatan keterampilan. Beberapa pekan yang lalu ada dua orang wartawan majalah pesantren daerah Annuqayah yang bertemu dengan saya meminta informasi tentang PSG. Saat pembicaraan baru mulai, saya sudah menangkap kesan bahwa sepertinya mereka sejak berangkat telah menempatkan kegiatan PSG sebagai unit kegiatan keterampilan—tempat siswa/santri diasah keterampilannya. Saya mencoba membelokkan pelan-pelan bahwa ruh kegiatan PSG itu adalah soal pengarusutamaan isu lingkungan dan pembentukan sikap hidup ramah lingkungan. Tapi mereka tetap saja mengembalikan pembicaraan pada kerangka pikir yang mereka bawa: bahwa PSG adalah kegiatan keterampilan.
Sampai di situ, saya mulai masygul dan berpikir, jangan-jangan di antara anak-anak PSG sendiri masih ada yang berpikiran bahwa mereka terutama sedang terlibat dengan upaya peningkatan keterampilan.
Saat saya menceritakan kegelisahan saya ini kepada salah satu rekan lain yang juga ke Kaliandra kemarin, dia ternyata mengalami hal serupa. Ning Oot, yang sudah lama bergiat di pengembangan obat tradisional (herbal) di Annuqayah, juga merasakan hal yang tak jauh berbeda. Menurutnya, beberapa koleganya di unit Herba Madura ada yang kurang paham tentang poin penting dari aktivitas yang mereka lakukan: bahwa ada ideologi lingkungan yang sangat kuat yang melatarinya, bahwa ada unsur pemberdayaan masyarakat di situ, bahwa ada ikhtiar penguatan kearifan lokal, dan sikap-sikap hidup ideologis lainnya.
Saya pikir sikap hidup ideologis ini tak hanya ada dalam isu lingkungan. Ia juga bisa ditemukan pada hal-hal lain, mulai dari yang besar, seperti keberagamaan, hingga aktivitas harian seperti menjadi guru. Guru yang ideologis keluar-masuk ruang kelas tak hanya untuk memenuhi target kurikulum, atau untuk membuat anak didiknya bisa menjawab soal-soal ujian. Guru yang ideologis mungkin seperti Paulo Freire—yang lantang menyuarakan bahwa praktik pendidikan adalah praktik pembebasan. Guru yang ideologis adalah guru yang meletakkan aktivitasnya sebagai ibadah, untuk mempersiapkan generasi masa depan yang dapat membangun peradaban lebih baik.
Dari sini terlihat bahwa salah satu poin penting dari sikap hidup ideologis adalah komitmen dan kesadaran akan pandangan-dunia yang melatarinya. Sikap hidup ideologis hendak menghindar dari sikap hidup yang dangkal, yang luaran. Ia rindu kedalaman, mencari hulu dari semua hulu.
Saat saya menuliskan catatan pengalaman saya tentang sikap hidup ideologis ini, saya jadi bertanya-tanya: bagaimanakah caranya membentuk sikap hidup semacam itu? Apakah pendidikan kita selama ini telah cukup mampu mengantarkan anak didiknya untuk tak hanya menyerap informasi dan pengetahuan, tetapi juga mematrikannya di lubuk hati, lalu dilabuhkan dalam aksi?
Saya rasa ini sebuah pertanyaan yang sulit dijawab—tapi tak berarti mustahil diselesaikan.
Selasa, 23 Desember 2008
Sikap Hidup Ideologis
Label: Environmental Issues, School Corner
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
dalam banyak hal kehidupan di psantren memang kadang komtradiktif, banyak hal-hal yang dilihat dari sisi formalismenya. didengung-dengungkan "Kebersihan sebagian dari iman" tapi dimana-mana sampah berserakan. inikah juga problem dari implementasi sikap hidup ideologis?
Posting Komentar