Judul buku : Menerobos Kegelapan: Sebuah Autobiografi Spiritual
Penulis : Karen Armstrong
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Mei 2004
Tebal : 558 halaman
Merefleksikan perjalanan hidup adalah bagian dari pertanggungjawaban kita dalam menjalani hidup itu sendiri. Ketika alur hidup yang telah lalu dibiarkan tidak direfleksikan, tapak-tapak kita menjadi semakin rapuh dan tak bermakna.
Buku ini mengisahkan perjalanan spiritual Karen Armstrong, seorang pemikir lintas agama yang intens mengkaji soal-soal spiritualitas dan studi agama. Buku ini merupakan kelanjutan dari autobiografinya yang terbit pada 1981, Through the Narrow Gate, yang bertutur panjang lebar tentang kehidupannya di biara (1962-1969).
Sebagai sebuah sekuel, buku ini menjadi semakin menarik karena perkembangan kehidupan spiritual Armstrong dan karier intelektualnya sejak penulisan buku itu menjadi semakin kaya dan mengagumkan. Dari tangannya lahir karya-karya besar, di antaranya A History of God, Holy War, Muhammad, dan Buddha.
Di bagian prakata, Armstrong meringkas pengalamannya ketika hidup sebagai biarawati Katolik Roma selama tujuh tahun. Armstrong menggambarkan bagaimana pilihannya itu pada waktu itu tergolong radikal dan berani, di tengah-tengah latar keluarganya yang bukan tergolong keluarga yang saleh, serta dalam latar perubahan sosial di Inggris pasca Perang Dunia Kedua.
Sialnya, kehidupan Armstrong di biara justru tidak bisa memberikan apa yang dicarinya. Di satu sisi, biara pada tahun 1960-an masih berada dalam kendali rezim tradisional yang berada pada titik terburuknya, sebelum kemudian mendapat pembaruan dari Konsili Vatikan Kedua. Armstrong merasakan kesulitan yang cukup menekan ketika dalam ritual dan doa-doa yang dijalaninya dia ternyata cukup sering tidak bisa merasakan kehadiran Tuhan yang diharapkan datang menyapanya. Akhirnya, pada 1969, setelah melalui pergulatan hebat, Armstrong memilih untuk keluar dari biara.
Sekitar separuh dari bagian awal buku ini Armstrong menuturkan kegelisahannya ketika ia kembali ke kehidupan awam. Pada tahun-tahun itu Armstrong menjalani kehidupan awamnya dengan sulit, mengalami semacam kejutan budaya, yang bahkan menjadi traumatis. Perlu penyesuaian yang cukup menuntut ketegaran untuk dapat berintegrasi kembali dengan suasana hidup yang berbeda. Armstrong merasa seperti terlunta di kamp pengasingan setelah meninggalkan rumah spiritualnya di biara, terkurung dalam dirinya sendiri, tak mampu melarikan diri, atau menjangkau orang lain.
Tapi kemudian datanglah sebuah momen berkah. Di tahun 1972, dalam salah satu kuliahnya, Armstrong tersentuh dengan puisi T.S. Elliot berjudul Ash Wednesday. Puisi yang menggambarkan perjalanan hidup dengan menggunakan ibarat pendakian sebuah tangga spiral inilah yang kemudian menginspirasikan Armstrong untuk terus bertahan, bertawakal, dan memaknai momen kegelisahannya itu secara lebih positif. Namun tekanan kembali datang. Pada tahun 1975 tesisnya di universitas ditolak dan kemudian pada tahun 1976 dia didiagnosis menderita epilepsi. Armstrong semakin kehilangan momentum kebangkitannya kembali. Beruntunglah bahwa pada masa-masa sulit itu Armstrong masih bisa beraktivitas, mengajar di Bedford College dan kemudian menjadi guru di sebuah sekolah menengah.
Pada akhirnya, ketika menulis Through the Narrow Gate (1981), Armstrong tersentak dan ditarik kembali ke dalam suatu perasaan rindu akan yang sakral, seperti yang dulu pernah mengantarnya ke biara. Tak lama berselang, Armstrong kemudian terlibat kerja sama dengan British Channel 4 dalam sebuah pembuatan serial televisi berjudul Opinions. Di situlah kemudian gagasan-gagasan orisinal Armstrong tersemai. Tahun 1983 Armstrong kemudian menjalin kontrak untuk membuat serial dokumenter tentang kehidupan St. Paulus. Dalam riset yang berpusat di Yerusalem itu, Armstrong menemukan banyak hal yang jauh melampaui dari apa yang didapatnya di biara, tentang peran St. Paulus dan perkembangan Kristen awal. Selain itu, riset yang oleh Armstrong pertama diyakini akan dapat membongkar intoleransi dogmatis gereja itu juga telah mengantarkannya untuk berkenalan dengan agama Yahudi. Dari situ terbitlah buku The First Christian (1983).
Persentuhan Armstrong dengan agama Yahudi dan Islam, selain dalam kunjungannya ke Yerusalem selama melakukan riset tentang St. Paulus itu, semakin intens ketika di tahun 1985 dia mendapat kesempatan untuk meneliti tentang Perang Salib, yang meski gagal ditayangkan tapi menghasilkan sebuah karya memukau berjudul Holy War (1988). Pada kesempatan inilah ketertarikannya pada Islam khususnya menjadi semakin bertambah. Armstrong merasa malu bahwa selama ini dia dibesarkan dalam ketidaktahuan tentang Yudaisme dan Islam.
Penjelajahan Armstrong ketika menulis buku A History of God (1993) yang dimulai pada tahun 1989 semakin memperkaya perspektif spiritualitas yang telah didapatnya. Pada saat penulisan buku tersebut Armstrong juga sempat menerbitkan buku Muhammad (1992) yang mendapat sambutan baik di kalangan muslim. Dari situ Armstrong kemudian semakin yakin bahwa perspektif empati akan sangat berguna untuk mempelajari tradisi agama lainnya. Bahwa hal penting yang harus diingat dalam mempelajari teologi adalah kesiapan untuk menyediakan sebuah ruang kosong dalam pikiran kita sehingga dalam keheningan kesadaran akan Wujud Ilahiah itu akan mengungkapkan dirinya, hingga akhirnya menjadi bagian dari kita sendiri.
Pengisahan Armstrong yang jujur, berani, dan lugas sungguh sayang dilewatkan. Kisah perjuangannya menerobos kegelapan dan meniti tangga menuju taman cahaya spiritualitas yang menyejukkan dari biara Katolik Roma hingga ke biara spiritual yang dibangunnya sendiri secara perlahan dan sabar ini pada satu sisi semakin menegaskan makna penting refleksi diri agar orientasi hidup dan transformasi diri kita tetap terjaga. Yang paling penting, buku ini menuturkan pesan kepada kita tentang bagaimana menghayati dan memaknai keberagamaan dan spiritualitas dalam tatanan zaman yang seperti tak menyediakan ruang bagi yang transenden di satu sisi, dan fakta pluralitas dan pergaulan lintas sosial yang semakin terbuka di sisi lain. Melalui kisah pengembaraan Armstrong ini kita diingatkan kembali bahwa keberagamaan dengan dasar empati dapat membimbing kita ke suatu kesadaran teologis yang dapat menghadirkan sikap yang lebih manusiawi dan bermoral.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos. 11 Juli 2004.
0 komentar:
Posting Komentar