Sabtu, 24 Juli 2004. Pagi itu saya membaca berita ringan di Jawa Pos Online, tepatnya di Radar Madura, tentang sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam FKMS (Forum Komunikasi Mahasiswa Sumenep) yang kecewa karena gagal bertemu untuk beraudiensi dengan anggota Komisi A DPRD Sumenep dan Bappeda. Para mahasiswa itu bermaksud akan memperbincangkan soal beasiswa pemerintah untuk mahasiswa. Menurut Ketua FKMS, Moh. Yunus, seperti dikutip oleh harian ini, pemberian beasiswa itu tidak tepat sasaran. Data mahasiswa penerima beasiswa pun tidak jelas, hanya tercantum nama dan universitasnya.
Terlepas dari fakta bahwa akhirnya, pada hari Senin 26 Juli 2004, para mahasiswa itu berhasil melangsungkan dialog seperti yang mereka inginkan, saya tertarik dengan berita tersebut terutama untuk masuk ke soal ruang partisipasi para pemuda daerah bagi pembangunan dan kemajuan tanah kelahirannya. Saya memiliki hipotesis bahwa pemerintah daerah kita selama ini terkesan kurang memberi ruang partisipasi yang cukup aktif untuk para pemuda, dan lebih melihat para pemuda itu sebagai objek.
Dalam kasus pemberian beasiswa untuk mahasiswa di Sumenep, sejauh pengamatan saya di Yogyakarta, saya memang mencatat setidaknya ada dua kejanggalan. Pertama, sebagaimana terungkap dalam dialog pada 26 Juli tersebut, penyebaran informasinya (sosialisasi) yang relatif cukup terbatas. Hanya beberapa kelompok mahasiswa Sumenep tertentu saja yang mengetahui adanya pemberian beasiswa ini. Dalam beberapa hal saya menilai ini sebagai sesuatu yang wajar, dalam arti bahwa hanya mahasiswa-mahasiswa yang aktif mencari informasi atau dekat dengan sumber informasi di Sumenep sajalah yang paling mungkin mendapatkan informasi tentang beasiswa ini. Ketika itu saya sempat berpikiran siapa tahu berita tentang seleksi pemberian beasiswa ini termuat di situs resmi Pemda Sumenep. Ternyata nihil. Keterbatasan informasi seleksi pemberian beasiswa ini saya kira dapat memperkecil peluang pemberian beasiswa secara merata kepada mahasiswa Sumenep yang dipandang memang membutuhkan dan membuat prosesnya menjadi kurang selektif dan kompetitif.
Kejanggalan kedua, dari informasi yang saya dapatkan, persyaratan untuk seleksi penerimaan beasiswa ini saya kira terlalu minimal. Yang ada hanya persyaratan administratif formal yang sangat biasa: transkrip IPK, surat keterangan tidak mampu, keterangan dari kampus, dan semacamnya. Saya tak menemukan item persyaratan yang dapat menjadi pengikat formal atau emosional antara mahasiswa penerima beasiswa dengan kepentingan Pemda untuk pengembangan dan pembangunan daerah.
Menurut saya, beasiswa yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah daerah sebenarnya dapat memiliki fungsi ganda. Pertama, untuk membantu mereka yang memang kurang mampu tetapi cukup memiliki potensi dan prestasi, dan kedua, untuk lebih menumbuhkan dan memperkuat sense of belonging para mahasiswa terhadap proses pembangunan dan pengembangan tanah kelahirannya. Untuk fungsi yang kedua ini pemerintah sebagai pemberi beasiswa, misalnya, dapat menugaskan para mahasiswa calon penerima beasiswa ini untuk menuangkan gagasan-gagasannya tentang suatu tema tertentu mengenai pembangunan di daerah. Atau, lebih jauh lagi, para penerima beasiswa yang sudah terpilih nantinya ditugasi untuk mendiskusikan tema-tema tertentu oleh Pemda (melalui forum mailing list, misalnya) yang dikoordinasi oleh pihak Pemda yang secara institusional berhubungan dengan fungsi humas dan atau kepemudaan. Atau bisa dengan menawari mereka untuk mengadakan penelitian yang dibutuhkan pemerintah untuk bahan pertimbangan kebijakan pembangunan.
Agak keluar dari konteks beasiswa tersebut, dalam konteks pemberian dana dari Pemda untuk mahasiswa dan konteks ruang partisipasi yang bersifat interaktif, cukup menarik misalnya untuk dipertimbangkan jika Pemda dapat memberikan bantuan dana untuk para mahasiswa daerah yang sedang meneliti (baik dalam bentuk skripsi, tesis, atau disertasi) sesuatu hal tentang problem di daerah. Selain sebagai bentuk penghargaan dan apresiasi pemerintah terhadap kreativitas dan kepedulian kaum muda, ini juga dapat lebih menyemarakkan penggalian data dan analisis tentang segi-segi kedaerahan, yang selama ini sepertinya kurang cukup diminati.
Dengan landasan pola pandang dua fungsi seperti tersebut di atas, saya pikir seleksi pemberian beasiswa untuk mahasiswa dengan hanya menggunakan seleksi administrasi, seperti diakui oleh Kabid Kesra Bappeda, Sustono, S.E. (Radar Madura, 27 Juli 2004), menjadi sangat tidak memadai. Pemberian beasiswa tersebut mestinya sekaligus bermakna sebagai ruang yang bisa dimanfaatkan untuk ajang partisipasi para pemuda bagi pembangunan daerahnya. Yang terjadi selama ini seolah-olah Pemda “hanya” berperan sebagai pengucur dana yang memandang para mahasiswa itu sebagai kelompok yang diberi saja—lebih sebagai objek. Padahal saya kira para mahasiswa itu pada dasarnya juga memiliki sejumlah kepedulian dan mungkin pemikiran tertentu dalam konteks pembangunan daerah, yang siapa tahu cukup berguna dan berharga. Seorang kawan yang kebetulan juga mahasiswa kelahiran Sumenep dalam beberapa email pribadinya ke saya sempat mendiskusikan masalah pemilihan Bupati Sumenep yang tak lama lagi akan digelar. Beberapa kawan mahasiswa di Yogyakarta juga sempat aktif membicarakan isu PLTN di Madura. Bahkan Forum Silaturahim Keluarga Mahasiswa Madura Yogyakarta (FS-KMMY) beberapa hari yang lalu juga telah mengadakan acara seminar di Madura tentang berbagai tema, seperti telah diberitakan oleh harian ini.
Hal-hal semacam ini saya kira adalah bentuk kepedulian para pemuda kita terhadap peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi di tanah kelahirannya, yang menurut saya juga perlu direspons dan diapresiasi secara positif oleh pemerintah daerah di Madura. Saya memang masih belum terlalu jelas menemukan format pemberian ruang partisipasi untuk kaum muda ini. Tapi saya kira pemerintah harus dapat memanfaatkan momen-momen interaksi yang terjadi antara pemerintah dan para pemuda daerah ini (seperti kasus beasiswa) untuk dimaksimalkan dalam konteks ruang partisipasi tersebut.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, sebagai perbandingan, saya ingin sedikit bercerita tentang aktivitas dan kreativitas mahasiswa Jember di Yogyakarta yang dalam pengamatan sekilas saya cukup diperhatikan oleh Pemda Jember. Di Yogyakarta, Pemda Jember mendirikan Asrama Jember yang digunakan sebagai tempat tinggal dan pusat kegiatan mahasiswa Jember. Yang menarik, Asrama Jember, yang aktivitas dan kreativitasnya selalu didukung oleh Pemda, saat ini juga menjadi cukup dikenal karena dari sana muncul kelompok kesenian Patrol yang dalam beberapa ajang kesenian baik di tingkat Yogyakarta maupun nasional cukup mendapat apresiasi yang baik dari komunitas kesenian dan masyarakat seni pada umumnya.
Apresiasi dan dukungan untuk memberi ruang partisipasi terhadap kaum muda daerah ini tentu saja di sisi yang lain menuntut kesediaan dan keseriusan kaum muda itu sendiri untuk lebih peduli dengan perkembangan dan pembangunan di tanah kelahirannya. Artinya, jika ada suatu ruang partisipasi yang terbuka lebar, kaum muda harus betul-betul memanfaatkannya dengan baik. Dari sinilah kemudian terlihat bahwa ruang partisipasi yang saya bicarakan ini pada dasarnya adalah sebentuk jalinan kemitraan yang saling menguntungkan kedua belah pihak sekaligus, pemerintah dan kaum muda.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa jika soal ruang partisipasi kaum muda ini terus diabaikan, saya khawatir para pemuda kita nantinya akan (dianggap) menjadi “Si Malin Kundang”. Bila sudah demikian, mungkin sekali tanah airnya tidak akan dapat menerimanya dan menampiknya untuk kembali. Padahal, “Si Malin Kundang” itu punya banyak cerita tentang perasaan-perasaan yang digelisahkannya selama ini—tentang tanah airnya yang masih dilanda epidemi korupsi, kaum elit sosial yang tak punya empati, rakyat yang masih sering dibodohi, atau tentang petani tembakau yang masih sering dikibuli.
Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, Minggu, 1 Agustus 2004.
Senin, 02 Agustus 2004
Ruang Partisipasi Pemuda di Daerah
Label: :: Published - All ::, Madura, Social-Politics
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar