Judul buku : Sang CEO Bernama Aristoteles:
Sukses Berbisnis dengan Kearifan Filosofis
Penulis : Tom Morris
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, Juli 2003
Tebal : 362 halaman
Kelesuan aktivitas bisnis bisa saja terjadi tanpa adanya serangan krisis moneter dan ekonomi akibat efek global. Kelesuan bisnis mungkin saja terjadi lantaran redupnya semangat dan kepuasan hakiki para pelakunya, sehingga aktivitas bisnis hanya menjadi kegiatan untuk menumpuk keuntungan material. Kelesuan semacam ini bisa berakibat telak bagi pertumbuhan kehidupan seorang manusia atau bahkan peradaban dunia, karena tak dapat dipungkiri bahwa kegiatan bisnis pun berakar pada keinginan manusia untuk mengecap kebahagiaan hidup.
Buku ini berusaha mengajak para pelaku bisnis untuk kembali ke kedalaman lubuk potensi kemanusiaan dengan mempertanyakan kembali konsep-konsep bisnis yang bersifat mendasar, menyangkut tujuan aktivitas bisnis maupun cara-cara untuk melanggengkan keunggulan bisnis. Maksud dari penjelajahan ke dunia kearifan filosofis kuno ini adalah untuk memasok semangat baru dalam berbisnis sehingga bisnis menjadi aktivitas yang membahagiakan dan tidak hanya menyumbangkan ketertekanan.
Tom Morris, penulis buku ini, tidak sepakat dengan orang-orang yang mengatakan bahwa kelesuan atau masalah dalam dunia bisnis khususnya diakibatkan oleh dunia eksternal. Menurut Morris, faktor terpenting saat seseorang berhadapan dengan masalah adalah kemampuannya untuk melihat ke dalam diri dan meninjau landasan dalam diri mengenai praktik dan hubungan bisnis yang dijalankan. Ada empat dimensi landasan dan jalan kearifan yang tertanam dalam diri manusia yang bila digali, dipelajari, dan dipraktikkan, dapat memberikan semangat baru dalam kegiatan bisnis, terciptanya kepuasaan dalam bekerja, dan diraihnya keberhasilan yang berkelanjutan dan berjangka panjang.
Keempat dimensi itu mencakup dimensi intelektual, estetis, moral, dan spiritual, yang mewujud dalam nilai kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keutuhan. Buku ini menjelajahi keempat nilai mendasar ini dengan harapan agar seluruh potensi dan keunggulan manusia itu dapat teraktualisasikan sehingga dapat memberi kekuatan yang tak terbatas dalam menjalankan aktivitas bisnis.
Nilai yang pertama adalah kebenaran. Dalam konteks bisnis, kita dituntut untuk memupuk suatu lingkungan yang di dalamnya orang-orang tidak takut untuk mengutarakan kebenaran. Kebenaran, kejujuran, keterusterangan, harus dihargai sedemikian rupa sehingga terjalin iklim yang sehat untuk terus mengembangkan potensi dan kemajuan perusahaan. Kebenaran yang terlanggar akibat kebohongan, sekecil apa pun itu, hanya akan menimbulkan ketidakpastian berantai dan di situ tinggal menunggu waktu bagi timbulnya masalah yang bisa jadi akan lebih akut.
Ketika aktivitas bisnis menghadapi suatu masalah, pada saat itu tuntutan tersingkapnya kebenaran menjadi keniscayaan, karena hanya dengan itulah masalah itu akan dapat teratasi secara baik. Memang kadang pengungkapan kebenaran bisa menjadi sesuatu yang rumit dan dilematis, apalagi dalam lingkungan bisnis dengan sistem hierarki dan struktur yang kaku. Untuk itulah, pengungkapan kebenaran ini juga harus dapat terjalin sedemikian rupa dengan ketiga nilai lainnya yaitu keindahan, kebaikan, dan keutuhan.
Nilai keindahan amat sangat terkait dengan nilai kebenaran, karena keduanya memang lebih sering tampil bersama-sama. Bila kebenaran absen, keindahan sangat sulit ditemukan. Nilai keindahan ini penting diakomodasi dalam aktivitas bisnis sehari-hari karena dimensi estetis ini adalah bagian integral dari sosok manusia. Lingkungan kerja yang nyaman dan indah dijamin akan memacu kreativitas, produktivitas, dan konsentrasi kerja.
Moralitas yang tercermin dalam nilai kebaikan sering kali kurang dihargai dalam aktivitas bisnis. Moralitas sering digambarkan sebagai pembatasan dan pemaksaan. Morris menunjukkan bahwa moralitas diperlukan terutama dalam kerangka kesinambungan jangka panjang aktivitas bisnis, karena dengan mengindahkan moralitas sama halnya dengan berusaha menciptakan hubungan sosial yang harmonis di antara para pelaku bisnis. Prinsip dasar moralitas, terutama dalam berbisnis, adalah bahwa kita tidak boleh semata-mata mengedepankan kepentingan diri sendiri atau kelompok. Dengan memperluas cakrawala berpikir dalam konteks keuntungan yang lebih luas, jalinan bisnis akan dipoles cantik menjadi aktivitas yang mulia dan bermartabat.
Spiritualitas dalam berbisnis adalah penyelaman terdalam hakikat hidup yang berlandaskan pada nilai keutuhan. Upaya untuk menghidupkan spiritualitas dalam lingkungan usaha ditampakkan dalam perilaku yang manusiawi dengan kedalaman penghayatan makna yang menempatkan para pelaku bisnis dalam cermin kemanusiaan.
Semangat baru dunia bisnis yang hendak dibangun oleh Morris melalui buku ini tidak hanya akan menguntungkan bagi masa depan perusahaan semata. Tak dapat disangkal bahwa keempat dimensi nilai yang disosialisasikan dalam buku ini juga amat dibutuhkan dan sungguh bernilai bagi masa depan kehidupan dan peradaban manusia itu sendiri. Penggalian keempat nilai tersebut pada dasarnya adalah penggalian dan pengembaraan kedalaman diri manusia yang memiliki keunggulan dan potensi mulia. Apabila keempat dimensi nilai itu dipupuk dan dihujamkan dalam aktivitas bisnis, dan juga dalam kegiatan lainnya, maka tidak hanya kesuksesan material yang akan diraih para pelakunya. Kebahagiaan, kepuasaan, serta aktualisasi diri akan ditemukan, sehingga orang-orang bergerak ke arah yang lebih baik.
Buku berjudul asli If Aristotle Ran General Motors: The New Soul Business (1997) ini menunjukkan bahwa pengenalan diri amatlah dibutuhkan untuk dijadikan landasan kegiatan kita sehari-hari. Dengan mengenali diri secara baik dan tepat, langkah-langkah kita dapat terpandu menurut kebutuhan dimensi-dimensi diri (manusia) yang begitu kaya itu. Menghidupkan urgensi pengenalan diri seakan kembali kepada ungkapan terkenal filsuf Yunani Kuno, Sokrates: kenalilah dirimu sendiri (Gnothi se auton). Dengan kedalaman perspektif yang menggambarkan kearifan dan komitmen kemanusiaan dalam prinsip-prinsip yang disajikan dalam buku ini, tidak salah bila dikatakan bahwa jika Aristoteles memimpin General Motors, ia akan menerapkan cara pendekatan seperti yang diuraikan buku ini.
Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 16 November 2003.