Judul Buku : Memberi Suara pada yang Bisu
Penulis : Dr. Dede Oetomo
Pengantar : Benedict Anderson
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, September 2001
Tebal : xliv + 348 halaman
Ambruknya otoritas negara yang menjadi “monster paling dingin”—begitu istilah Nietzsche—yang mencengkeram kebebasan para warganya telah menebar ladang kebebasan di mana-mana, tempat orang-orang memanggungkan ekspresi sosialnya kepada khalayak. Bagi kelompok-kelompok yang secara sosial ter(di)pinggirkan, seperti kaum oposisi rezim, atau bahkan kelompok homoseks (gay dan lesbian), suasana seperti ini menjadi tumpuan dan titik tolak dari setumpuk harapan mereka tentang masa depan.
Buku ini adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh kelompok homoseks Indonesia untuk menyuarakan dan mengekspresikan sikap dan tindakan yang diambilnya selama ini. Hidup sebagai seorang gay atau lesbian memang masih menjadi sesuatu yang sulit, baik secara sosial, politik, maupun budaya. Homoseks selama ini masih dilihat secara apriori, sebagai suatu epidemi sosial yang berhubungan dengan sikap moral kurang terpuji. Asumsi apriori yang sudah menggumpal dan membeku dalam kesadaran masyarakat itu pada akhirnya justru melahirkan sikap-sikap diskriminatif. Bahkan di masyarakat muncul sikap homofobia, suatu kekhawatiran berlebihan terhadap kaum gay dan lesbian.
Tanpa suatu pretensi untuk menggurui para pembacanya, Dede Oetomo—dosen luar biasa Fisip Unair yang dikenal sebagai aktivis organisasi gay pertama di Indonesia (Lambda Indonesia)—dalam buku ini bertutur panjang lebar tentang homoseksualitas dari berbagai kisi. Pada bagian awal Dede memaparkan secara jelas bahwa ternyata homoseksualitas di kawasan nusantara sudah memiliki akar historis yang cukup dalam. Tinjauan antropologis yang dilakukan Dede menunjukkan bahwa dalam kebudayaan masyarakat Aceh, Bugis, Bali, Dayak, Jawa, Madura, Minangkabau, Papua, dan Toraja, homoseksualitas sudah dikenal jauh-jauh hari.
Di daerah-daerah tertentu, homoseksualitas bahkan sampai dilembagakan secara sosial. Hingga awal abad ke-20, di Ponorogo, misalnya, dikenal adanya gemblak, lelaki muda yang dipiara oleh seorang warok (orang sakti). Di Sulawesi Selatan, sampai akhir tahun 1920-an, konon ada pranata berupa tarian yang dilakukan oleh anak laki-laki dengan pakaian kewanita-wanitaan, yang ketika menari diraba-raba badannya dan diselipi uang pada kutangnya.
Selain itu, seorang sarjana ahli Aceh, Snouck Hurgronje melaporkan bahwa laki-laki Aceh sangat menggemari budak lelaki remaja dari Nias yang menjadi penari untuk ‘melayani nafsu tak alamiah orang-orang Aceh’.
Dalam berbagai karya sastra nusantara klasik maupun dalam karya berupa candi-candi, banyak ditemukan ungkapan-ungkapan erotis yang berhubungan dengan homoseksualitas. Dalam Serat Centhini banyak gambaran tentang adegan homoseksual yang cukup grafis, tanpa ada kesan menilai atau menghakimi.
Sayang, fakta antropologis ini kurang begitu menjadi perhatian masyarakat umum, sehingga keberadaan kaum homoseks betul-betul tak dihiraukan. Malah, pembicaraan tentang mereka ditabukan.
Selain minimnya kesadaran sosiologis-historis yang berusaha dibongkar oleh buku ini, kesadaran masyarakat juga terhegemoni oleh pandangan dikotomis normal-abnormal terhadap fenomena atau kelompok barisan kaum sehati (sebutan untuk kaum homo). Pelacakan historis terhadap berbagai kebudayaan dunia menunjukkan bahwa label abnormal yang dilekatkan pada fenomena homoseks adalah hasil dari suatu konstruksi sosial.
Adalah Michel Foucault, filsuf besar Perancis yang juga aktivis pembela hak-hak minoritas gay, yang menggolongkan wacana seksualitas sebagai suatu bentuk penaklukan internal-subyektif bagi tubuh yang pada gilirannya membentuk identitas diri kelas menengah masyarakat Eropa. Dalam buku The History of Sexuality, Foucault mengungkap bahwa dahulu, dalam periode Yunani Kuno, wacana seks sama sekali tidak dihubungkan dengan sesuatu di luar tubuh—ini kurang lebih mirip dengan apa yang tersirat dalam Serat Centhini. Baru pada abad pertengahan otoritas gereja masuk dalam wacana seks, dengan memandang hasrat seksual sebagai sesuatu yang jahat, sehingga harus ditundukkan.
Pada salah satu bagian buku ini, Dede Oetomo secara kritis mempertanyakan semua cap buruk yang dilekatkan otoritas agama kepada fenomena atau kelompok homoseks. Tidakkah agama yang lahir demi kesejahteraan semua umat manusia mau mendengarkan temuan-temuan ilmu pengetahuan yang memandang homoseksualitas sebagai sesuatu yang wajar? Lebih lanjut Dede menguraikan bahwa secara antropologis homoseksualitas merupakan bagian dari keanekaragaman sifat yang ada pada umat manusia. Homoseks adalah sesuatu yang alami, karena seperti menurut Alfred C. Kinsey, seorang seksolog Amerika terkenal, “tindakan seks yang tidak alami hanyalah tindakan seks yang tidak bisa dilakukan oleh manusia”.
Buku ini penting untuk dibaca dan dikaji oleh khalayak Indonesia, agar kaum homoseks yang terkucil mendapat teman dialog kritis guna memperbincangkan kesulitan dan dilema kehidupan yang mereka hadapi. Buku yang merupakan karya pertama yang memperbincangkan homoseksualitas secara komprehensif ini adalah suatu pernyataan sikap yang penuh kejujuran sehingga harus disambut dengan sikap arif. Sisi menarik yang lain dari buku ini juga terlihat dari beberapa penuturan pribadi Dede Oetomo yang mengisahkan perjalanan pribadinya sebagai seorang homoseks bersama suka-duka yang dialaminya.
Menilai tanpa data dan pengetahuan yang cukup adalah sikap membabi-buta yang bersifat totaliter. Karena itu, dengan membaca buku ini, masyarakat akan dapat menentukan sikap yang lebih tepat terhadap kaum homoseks, ketimbang memusuhi dan menyikapinya secara tidak adil dan tidak manusiawi.
Tulisan ini dimuat di Harian Media Indonesia, 6 Januari 2002.
0 komentar:
Posting Komentar