Jumat, 21 Desember 2001

Mengasah Kepekaan Kemanusiaan

Diskursus masalah hakikat manusia yang kemudian menerbitkan kesadaran nilai martabat kemanusiaan sebenarnya sudah cukup lama dilakukan, terutama di kalangan para filsuf. Demikian pula semangat rasa kemanusiaan yang menjadi spirit perjuangan sosial sudah cukup purba dimiliki oleh pelbagai kekuatan sosial, seperti agama, atau gerakan politik tertentu. Akan tetapi, pengakuan martabat manusia dalam konteks kehidupan bernegara yang lebih luas sepertinya memang merupakan sesuatu yang melalui proses panjang dan tidak serta merta terdefinisikan secara pasti. Dari sini sebenarnya tampak betapa yang namanya Hak-Hak Asasi Manusia—yang merupakan rumusan nilai martabat kemanusiaa—terbentuk secara historis-sosiologis sesuai dengan dialektika masyarakat. Lokalitas epistemologis terbentuknya nilai inilah yang memicu perdebatan masalah universalitas HAM itu sendiri.
Tulisan berikut tidak akan mengurai perdebatan klasik tersebut, tapi lebih ingin menyoroti masalah kepekaan kemanusiaan yang dalam bentangan panjang sejarah perjuangan HAM mengalami pasang-surut. Yang menarik, pasang-surut kepekaan kemanusiaan itu justru banyak pula ditentukan oleh berbagai institusi sosial yang mula-mula meniatkan untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Ambil saja contoh dua institusi sosial yang sudah cukup akrab: agama dan negara. Seringkali tindakan kekerasan yang mencederai nilai kemanusiaan dilakukan atas nama panji agama atau juga atas nama pembangunan oleh aparat negara. Penghalalan darah kelompok lain oleh suatu kelompok agama misalnya adalah suatu bentuk ekstrimisme yang mengakumulasi melahirkan keabaian orang terhadap martabat kemanusiaan. Sementara negara dengan kekuasaannya yang menggurita dapat dengan seenaknya menggusur warga miskin di perkotaan, misalnya dengan alasan penertiban dan berlindung di balik dalih peraturan.
Dalam terang pemahaman HAM yang bersifat historis-sosiologis, fenomena semacam ini dari suatu perspektif memang mengandung kewajaran, seiring dengan arus perkembangan kehidupan sosial yang semakin tak terkontrol. Anthony Giddens (1999) mengatakan bahwa proses globalisasi saat ini telah menjebak manusia dewasa dalam situasi hiruk-pikuk keserbatakpastian, yang merupakan konsekuensi logis yang inheren dari sistem relasi yang diciptakan manusia sendiri (manufactured uncertainties). Sementara harkat kemanusiaan memang amat terkait dengan perkembangan pengalaman hidup manusia. Artinya, kesadaran kemanusiaan muncul terutama sebagai respons negatif terhadap ancaman yang berusaha merenggutnya.
Pernyataan Hak Asasi Manusia yang diterima Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948 misalnya tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme atau sosialisme di Barat, tapi juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezim-rezim fasis dan nasional-sosialis tahun 1920-an hinggal 1940-an. Kemudian pada tanggal 9 Desember 1983 lahir Declaration of the Basic Duties of ASEAN Peoples and Governments yang tampak amat memperhatikan perkembangan konstelasi politik regional Asia (Franz Magnis-Suseno, 1994: 125).
Jadi, jelas bahwa rumusan hak-hak asasi yang merupakan salah satu representasi martabat kemanusiaan ini lahir dari pengalaman pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat.
* * *
Mengamati sejumlah proses sosial yang berlangsung di negeri ini, maka penting untuk dipikirkan agar elit-elit bangsa ini merenung ulang untuk mendapatkan rasa kepekaan kemanusiaan yang wajar. Persoalan perlakuan manusiawi sesuai harkat kemanusiaan terhadap warga negara di negeri ini memang cukup banyak ditentukan oleh kesadaran dan perilaku elit. Selama berpuluh-puluh tahun masyarakat Indonesia sama sekali tidak dididik untuk memiliki kesadaran kritis atas hak-hak asasi yang dimilikinya. Ini adalah bagian dari strategi negara untuk melanggengkan tindakan penindasan dan represi yang dilakukannya.
Gelombang reformasi dan terbukanya akses masyarakat luas terhadap informasi sedikit demi sedikit telah menyemaikan benih-benih kesadaran kritis masyarakat terhadap hak-hak asasi yang memang dimilikinya itu. Meski demikian, peranan para elit sosial dalam konteks ini masih amat dominan, baik itu elit negara (politisi di eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif), elit agama (ulama, rohaniawan, pemuka agama), ataupun elit akademik (ilmuwan, pengamat, peneliti). Hal ini karena berbagai institusi sosial itu saat ini justru berpeluang menjadi aktor pembunuh rasa kepekaan kemanusiaan setelah dieksploitasi oleh setting sosial modernitas yang penuh paradoks.
Pemenuhan hak-hak asasi sosial oleh negara terhadap warganya misalnya saat ini di negeri kita menjadi sesuatu yang betul-betul sulit. Di tengah suasana krisis multidimensional yang berkepanjangan, beban 40 juta penganggur—demikian menurut sebuah data—menjadi sesuatu yang amat berat. Sementara berbagai indikasi tindakan korupsi masih belum juga terselesaikan dengan baik di jalur hukum, sehingga rasa keadilan rakyat yang sudah lama menderita itu belum juga terpenuhi. Bahkan, belakangan muncul tindakan penggusuran yang tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan di negeri ini harus berpikir ulang tentang langkah-langkah konkret yang perlu diambil menangani masalah ini. Tidak terpenuhinya kesamaan minimal, terutama di bidang ekonomi, antara semua warga negara pada gilirannya akan menularkan bentuk ketidakadilan di bidang lainnya: sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Peluang-peluang sosial terhadap mereka yang masih lemah perlu mendapat prioritas, sehingga akses mereka terhadap pekerjaan, keterampilan, pendidikan, informasi, teknologi, lebih terbuka lebar. Langkah semacam ini terasa lebih penting tinimbang memberi mereka segepok uang tanpa dapat mengelolanya dengan baik.
Dari sini terlihat betapa pemenuhan hak-hak asasi manusia kepada segenap warga negara adalah merupakan sine-qua-non bagi pembangunan yang adil dan beradab. Pembangunan hanya dapat disebut maju bila menunjang perkembangan manusia secara utuh, yakni bila perlakuan hormat yang utuh terhadap hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi (Franz Magnis-Suseno, 1995, 222-223).
Elit intelektual juga telah mendapat kritik pedas dalam hal perhatiannya terhadap pengabdian martabat kemanusiaan. Adalah Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998 dari India, dalam On Ethics and Economics (1988) yang secara lantang mengatakan bahwa selama ini ilmu ekonomi cenderung lebih berorientasi pada perkembangan pasar dan bisnis tingkat dunia saja tanpa memperhatikan proses-proses pembangunan ekonomi yang menurut kenyataannya telah merampas hak-hak asasi manusia. Untuk itulah, Sen dalam berbagai kajiannya selalu berusaha mempertemukan ekonomi dan etika—yang menurutnya juga sudah pernah diulas Aristoteles. Asumsi dasarnya amat sederhana: kegiatan ekonomi pada dasarnya adalah suatu kegiatan manusiawi biasa yang karena itu semestinya juga memperhatikan segi-segi etis. Dengan memberi perhatian yang lebih besar secara eksplisit terhadap pertimbangan-pertimbangan etis inilah, lanjut Sen, ilmu ekonomi nantinya dapat lebih bersifat efektif mengatasi persoalan-persoalan ekonomi masyarakat yang sebenarnya.
Demikian juga elit-elit agama perlu juga mendapat kritik atas cara-cara berpikir yang bersifat dogmatis terhadap ajaran agama, sehingga menghilangkan sifat manusiawi agama itu sendiri. Sikap semacam ini terbukti hanya akan melahirkan sikap infantilisme keberagamaan dan justru hanya semakin menyumbangkan tindakan kekerasan. Abdurrahman Wahid (1999: 167) mengkritik upaya menjadi agama sebagai alternatif terhadap kekuasaan. Menurutnya, ini justru akan berpotensi mengundang sikap represif agama untuk mempertahankan dirinya. Bagi Gus Dur, agama hanya berfungsi suplementer dan hanya menyediakan "sarana" bagi proses perubahan, karena dunia berkembang menurut "dunianya" sendiri.
Sementara itu, I. Bambang Sugiharto dan Agus Rachmat W. (2000: 263) menyerukan agar agama seharusnya memerlukan suatu lingkaran hermeneutik kritis, yakni suatu penafsiran timbal-balik antara paradigma agama dan modernitas: paradigma modern dikritik oleh agama, dan agama juga perlu dikritik oleh paradigma modern, untuk menemukan kembali energi pembebasan (humanisme) yang dimilikinya.
***
Kekuatan yang dimiliki negara dan para elit yang berada di dalamnya—selain juga elit sosial yang lain—memang sebegitu besar. Perhatian mereka terhadap rakyat kecil yang belum sepenuhnya terlindungi hak-hak asasinya mestinya harus lebih ditampakkan. Ini bukannya suatu bentuk sikap mengemis yang berlebihan, tapi lebih berdasar pada rasa keprihatinan mendalam atas nasib mereka yang terpinggirkan. Selain itu, perlakuan manusiawi antara sesama manusia tidak lain merupakan tolok ukur keberadaban sebuah masyarakat dan negara.
Salah satu tantangan yang dihadapi cara berpikir para elit saat ini adalah pola-pola pikir birokratis yang mengabaikan rasa kepekaan kemanusiaan. Fenomena kemanusiaan hanya dilihat sebagai data kering, data statistik yang tidak menyentuh naluri kemanusiaan. Di sinilah, maka usaha penegakan HAM, baik yang bersifat kultural (konsientisasi, penyadaran) maupun struktural pada dasarnya adalah suatu praksis etis yang pada momen-momen tertentu kadang harus berhadapan dengan perangkat birokrasi modern yang bersifat impersonal. Jadinya, rasa tanggung jawab sosial menjadi terkikis ditelan pola rasionalitas prosedural.
Berbagai tantangan inilah yang sudah waktunya dijawab oleh para elit dengan tindakan-tindakan nyata, bukannya retorika belaka.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 21 Desember 2001.

0 komentar: