Judul Buku : Humanisme dan Kebebasan Pers: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama
Editor : St. Sularto
Penulis : Sindhunata, H. Rosihan Anwar, Atmakusumah, dll
Penerbit : Penerbit Buku Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2001
Tebal : xxx + 228 halaman
Suatu hal yang paling menonjol semenjak reformasi digulirkan adalah begitu besarnya luapan ekspresi kebebasan masyarakat di semua bidang. Bila sebelumnya kuasa negara begitu menggurita, maka sejak tumbangnya rezim Orde Baru tak ada lagi tangan-tangan rezim yang mencengkeram dan mengawasi partisipasi politik masyarakat. Media massa adalah kelompok yang secara nyata merasakan situasi ini. Lahirlah puluhan—atau bahkan ratusan—media massa baru, dari tabloid yang berisi berita-berita sensual atau sensasional hingga media yang diterbitkan partai politik tertentu. Akan tetapi, belakangan muncul kritik bahwa pers saat ini cenderung kebablasan dalam menikmati kebebasannya itu.
Sikap protes atau tidak terima terhadap beberapa pemberitaan pers muncul di mana-mana. Demikian pula terbit beberapa buku yang mencoba mencermati fenomena tersebut, seperti buku yang disunting oleh Dedy N. Hidayat, dkk berjudul Pers dalam Revolusi Mei (Gramedia, 2000), atau Politik Media dan Pertarungan Wacana karya Agus Sudibyo (LKiS, 2001). Kedua buku tersebut melihat pergeseran dunia pers mulai dari proses jatuhnya Presiden Soeharto hingga proses reformasi.
Buku ini adalah semacam refleksi atas perjalanan sebuah media massa, yakni Harian Kompas—koran terbesar di Indonesia—selama menapak perjalanannya di antara berbagai rentang masa: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Momentum yang melatarbelakangi terbitnya buku ini adalah peringatan ulang tahun ke-70 Bapak Jakob Oetama yang menjadi Pemimpin Umum Kompas semenjak tahun 1970. Seperti disebutkan oleh editor buku ini, St. Sularto, buku ini merangkum tiga pokok persoalan bahasan: humanisme transendental, kebebasan pers, dan Harian Kompas.
Humanisme transendental merupakan semacam komitmen perjuangan Harian Kompas yang tidak bisa dilepaskan dari sosok Jakob Oetama yang telah memimpin Kompas sekian lama. Pada bagian ini ditegaskan latar belakang dan eksplanasi teoritik mengenai visi dan misi pendirian Kompas dan semangat perjuangan yang berusaha diwujudkannya. Dua tulisan pertama, yakni oleh Sindhunata dan Kees de Joeng, menegaskan bahwa Harian Kompas memiliki semangat dan jiwa humanisme transendental. Kompas berusaha menyajikan nilai-nilai humanisme kepada pembacanya. Humanisme yang hendak dihidangkan Kompas ke khalayak pembaca bukan sekedar nilai humanisme belaka, tetapi bersifat transendental. Kees de Jong menjelaskan lebih lanjut bahwa kemanusiaan yang dimaksudkan di sini adalah perikemanusiaan yang disublimasikan, disempurnakan oleh kepercayaan atau iman (nilai-nilai ilahi) (hal. 27).
Erat kaitannya dengan humanisme, Sindhunata mencatat beberapa aspek-aspek penting yang berhubungan dengan humanisme ini, yakni adanya semangat pencerahan dan pembebasan serta upaya untuk menangkap suatu kekayaan yang khas manusiawi melalui mengasah kepekaan hati dan emosi atas kenyataan sosial yang dihadapi. Keseluruhan daya kekuatan humanisme itu sendiri menurut Sindhunata diarahkan untuk menciptakan suatu sikap dewasa (Mündigkeit, keakilbaligan) yang tidak lain adalah pengakuan otonomi manusia yang penuh tanggung jawab. Akan tetapi penting dicatat bahwa kedewasaan ini bukan sekedar situasi atau keadaan, melainkan juga kemampuan yang harus terus-menerus diperbarui seiring dengan tantangan yang dihadapi manusia (hal. 14).
Sementara itu, ada dua sisi menarik yang cukup penting dalam ide tentang humanisme yang berusaha digali dalam tulisan Sindhunata dan Kees de Jong. Pertama, bahwa humanisme yang berada dalam kerangka pendewasaan manusia juga tidak bisa melepaskan diri dari kritik terhadap agama. Hal ini, menurut Sindhunata, karena agama bisa sesekali berpotensi ‘merendahkan martabat manusia sendiri’ dan melupakan cita-cita kemanusiaan yang mestinya diperjuangkan. Agama tidak boleh bersifat episodis, periferis, individual, eskapis, atau anti-intelektual, tapi juga hadir secara aktif dalam totalitas suasana hidup manusia sehari-hari.
Kedua, bahwa sesuai dengan kodratnya humanisme harus bersifat sosial, tidak mengecualikan solidaritas terhadap sesama dan lingkungan. Dalam kerangka itulah maka Kompas menurut Kees de Jong harus menjadi forum dialog yang bersifat infrastruktural-kultural dalam masyarakat sosial-politik yang pluriformistik (hal. 32).
Selanjutnya, pada bagian kedua buku ini secara konkret berusaha memberi pengamatan terhadap sajian Kompas dalam era reformasi ini. Tulisan Rizal Mallarangeng dalam bab ini berusaha mengamati model-model Tajuk Kompas yang menurutnya memiliki tiga model: Model Jalan Tengah, Model Angin Surga, dan Model Ajing Penjaga. Dalam pengamatan Rizal, memang ada perubahan yang cukup signifikan setelah Kompas tiba dalam atmosfer kebebasan era reformasi. Tajuk yang disajikan mulai lugas, berani, tajam, yang merupakan tajuk Model Anjing Penjaga. Model semacam inilah yang menurut Rizal patut dikembangkan, karena dalam masa-masa sulit semacam ini publik membutuhkan pandangan-pandangan jernih yang membuka pikiran, tajam, serta lugas (hal. 74).
Bagian ketiga buku ini berusaha mencermati iklim suasana kebebasan yang dihadapi pers Indonesia. Hal yang menjadi sorotan para penulis para bagian ini terutama adalah berbagai ekses yang terjadi setelah kran keterbukaan itu dibuka, ketika kontrol terhadap pers sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat. Memang tindakan masyarakat terhadap pemberitaan pers yang dianggap tidak imbang (cover both side) cukup beragam—hingga kadang-kadang berbentuk anarkis. Akan tetapi, para penulis pada bagian ini tetap memandang kebebasan pers sebagai sesuatu yang penting. Lukas Luwarso, Direktur Eksekutif Dewan Pers, menulis bahwa masa depan kebebasan pers di Indonesia bergantung pada tiga faktor: komitmen komunitas pers untuk meningkatkan profesi dan memegang etika pers, komitmen pemerintah untuk tetap menjamin kebebasan, dan tekad masyarakat untuk tetap mendukung kebebasan pers (hal. 130).
Bunga rampai tulisan dalam buku ini hampir sepenuhnya ditulis oleh ‘orang luar’ Kompas yang memang concern dengan perkembangan media massa, seperti Ashadi Siregar, Sirikit Syah, Ishadi S.K., Atmakusumah, David T. Hill, atau A. Muis.
Dengan memperhatikan arah perkembangan sosial-politik di Indonesia saat ini, maka buku ini jelas memiliki nilai relevansi dan kontekstualitas yang cukup signifikan. Dalam situasi sosial yang carut-marut, ada beberapa pandangan yang mengatakan bahwa pers justru semakin menambah suasana menjadi semakin membingungkan. Buku ini di satu sisi secara implisit menjadi semacam ajakan bagi kalangan pers untuk merefleksikan diri, menegaskan dan merunut kembali cita-cita dan komitmen perjuangan pers yang selama ini diemban, kemudian dihadapkan dengan praktik pemberitaan yang diterapkan setiap hari.
Buku ini adalah refleksi cerminan perjalanan perjuangan Kompas yang patut dicontoh oleh media yang lain. Buku ini juga merupakan suatu pernyataan kerendahhatian serta bentuk pelaksanaan komitmen untuk lebih bersikap profesional mengelola sebuah media jurnalistik, karena dengan berusaha merefleksikan segenap langkah perjuangannya, diharapkan dapat diperoleh bahan-bahan berupa saran untuk maju ke depan.
Bahan refleksi ini dari sudut pandang yang lain juga merupakan sebuah upaya pendidikan dan penyadaran politik yang ditujukan kepada semua pihak terkait: masyarakat, insan pers, dan juga pemerintah. Ketiga pihak ini sama-sama diingatkan betapa berharganya udara bebas yang saat ini sedang dihirup bersama—coba bayangkan dan bandingkan dengan sumpeknya atmosfer politik jurnalisme di era Orde Baru. Dengan mengingat dan menyadari harga kebebasan yang saat ini dinikmati itulah, kiranya semua pihak dapat secara bertanggung jawab mengelola dan mengisinya dengan sikap bijak sebagai manifestasi dari rasa syukur yang mendalam. Singkatnya, pers transisi di era reformasi ini harus menyumbangkan yang terbaik untuk negeri ini. Dan refleksi serta introspeksi diri adalah sebuah langkah awal yang tepat untuk dilakukan guna menggapai cita-cita bersama membangun Indonesia.
Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 13 Januari 2002.
0 komentar:
Posting Komentar