Judul Buku : (Re)politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?
Penulis : Bahtiar Effendy
Editor: A. Suryana Sudrajat
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Juli 2000
Tebal: 387 halaman (termasuk indeks)
Buku ini adalah potret dinamika Islam politik di Indonesia menjelang dan semasa era reformasi. Istilah Islam politik dipergunakan penulis buku ini, Bahtiar Effendy, doktor ilmu politik dari Ohio State University, dengan tanpa hendak terjebak kepada distingsi-diametral antara Islam politik dan Islam kultural. Istilah tersebut mengacu kepada kenyataan bahwa ternyata elemen-elemen sosial umat Islam bersama gugus ajaran agamanya tidak bisa lepas sama sekali dari aktivitas berpolitik.
Untuk kasus Islam di Indonesia, hal ini sudah sudah tercermin sejak awal kemerdekaan hingga di masa reformasi ini. Di awal kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sudah terjadi perdebatan tentang dasar negara: antara pilihan agama (Islam) dan Pancasila. Perdebatan itu terus berlanjut pada sidang Konstituante hingga akhirnya dipotong oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden 1959. Demikian pula pemerintahan Orde Baru yang melakukan depolitisasi Islam untuk kemudian mengajukan sebuah ungkapan yang agak membingungkan: “Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler” (hlm. 190.).
Pada awal dekade 1990-an, sikap pemerintah Orde Baru terhadap elemen Islam politik mulai berubah. Menurut Bahtiar, sikap akomodatif yang mulai terlihat dalam keputusan-keputusan politik Orde Baru itu, seperti diberhentikannya SDSB, lahirnya ICMI dan berdirinya BMI, dilaksanakannya Festival Istiqlal, didasarkan atas dua faktor objektif. Pertama, adanya proses mobilitas sosial-ekonomi pada komunitas Islam sejak awal dekade 1970-an sehingga membuka akses keterlibatan yang tinggi bagi aktivis-aktivis muslim. Hal ini kemudian mengubah konfigurasi struktur sosial masyarakat Indonesia, dan menjadikan umat Islam sebagai bagian dari kelompok kelas menengah. Kedua, adanya pergeseran pemikiran generasi baru Islam, dari cara pandang yang legalistik-formalistik menjadi lebih substansialistik. Dengan pergeseran paradigma berpikir ini, negara (Orde Baru) tidak lagi melihat Islam politik sebagai ancaman (hal. 237).
Era reformasi merubah semua konfigurasi politik nasional secara cukup frontal. Liberalisasi politik termanifestasikan dengan munculnya kembali kekuatan-kekuatan politik yang selama Orde Baru didepolitisasikan. Kemunculan partai-partai Islam—baik dengan asas Islam atau bukan—adalah salah satu fenomena yang muncul. Simbol-simbol politik, yaitu simbol agama “Islam”, menonjol begitu rupa. Bagi Bahtiar, hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Di satu sisi mereka ingin memperoleh dukungan sebesar mungkin, sehingga simbol-simbol agama ditampilkan secara lebih terbuka (hlm. 209).
Memang kemudian ada kekhawatiran apakah fenomena itu menunjukkan munculnya kembali upaya “repolitisasi Islam”. Dengan istilah ini dimaksudkan sebagai semacam rekayasa yang bersifat manipulatif terhadap agama, sehingga sering berkonotasi negatif (hlm. 195). Atau bahkan itu menunjukkan bangkitnya kembali politik aliran dengan konsekuensi mengabaikan aspek substansial dari (Islam) politik. Karena itu, tidak salah misalnya bila dalam pandangan Bahtiar hal tersebut rawan untuk memunculkan pandangan yang bercorak ideologis bagi kelompok partai tertentu (hlm. 203).
Kekhawatiran akan semakin mengentalnya pandangan ideologis semacam ini jelas akan merugikan bagi Islam politik. Bisa-bisa, pengakuan atas keberislaman seseorang kemudian lebih didasarkan kepada ukuran afiliasi sosial-politik yang dipilih, daripada mengacu kepada ajaran Islam itu sendiri. Cita-cita politik Islam lalu dimonopoli oleh kelompok politik tertentu, bukan oleh masyarakat Islam secara keseluruhan.
Paradigma berpikir dan pola pandangan yang menurut Bahtiar bersifat kontraproduktif itu tentu akhirnya akan mereduksi pengertian Islam. Karena itu, Bahtiar menyarankan agar kalangan umat Islam selalu melakukan introspeksi ke dalam terhadap Islam politik, sehingga kemudian dikembangkan pemikiran dan tindakan yang lebih berorientasi inklusivistik, yang melibatkan basis sosio-kultural masyarakat Indonesia yang heterogen. Ini adalah upaya untuk lebih mengharmoniskan elemen keislaman dan elemen keindonesiaan (hlm. 50).
Selain itu, untuk menghindari perlakuan yang terlalu ideologis terhadap Islam, Bahtiar sepakat dengan Kuntowijoyo yang mengajak umat Islam untuk melakukan objektivikasi terhadap negara dan politik. Objektivikasi berarti penerjemahan nilai-nilai internal Islam ke dalam kategori objektif dalam politik, sekaligus pula berarti eksternalisasi atau konkretisasi nilai-nilai internal. Karena menyandarkan pada realitas objektif, maka objektivikasi berusaha menghindari sikap mendominasi (hlm. 26).
Dalam kerangka objektivikasi inilah, peringatan untuk lebih mengembalikan semua perdebatan politik praktis kepada prinsip-prinsip politik sebagaimana yang telah digariskan Islam (seperti keadilan, musyawarah, persamaan, persaudaraan, dan sebagainya) menjadi relevan. Peringatan ini juga dapat menjadi ukuran sejauh mana sebenarnya keberpihakan Islam terhadap politik yang pluralistik di era reformasi ini (hlm. 222).
60 esai Bahtiar yang mengisi buku ini kurang lebih memberikan gambaran dinamika Islam politik sejak Orde Baru hingga era reformasi. Kemasan serta gaya penyampaiannya yang mengalir dan enak dibaca merupakan kelebihan dari buku ini, selain bobot analisis yang ditopang oleh serangkaian perangkat teoritik yang cukup matang. Akan tetapi, karena sifatnya yang merupakan kumpulan tulisan, yakni berasal dari publikasi berbagai media massa dari 1995 hingga 1999, maka pengulangan-pengulangan tidak dapat dihindari. Idealnya, penyunting melakukan seleksi yang cukup kental untuk meminimalisasi pengulangan semacam itu.
Kamis, 12 Oktober 2000
Sketsa Dinamis Islam Politik Indonesia
Label: Book Review: Politics
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar