Kamis, 16 Januari 2014

Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim




Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan Pemelihara kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Dia memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu - Q., s. Annisa’ [4]: 1


Islam bukanlah agama yang hanya mengurus soal peribadatan dengan Tuhan dalam arti yang sempit. Masalah tata hubungan antarmanusia dalam ajaran Islam juga mendapat perhatian yang cukup besar.

Ayat ini, misalnya, bahkan menempatkan perintah untuk menjaga silaturrahim dalam kerangka teologis yang sangat kuat. Melalui ayat ini, Allah memberikan perintah untuk menjaga silaturrahim. Redaksi ayat ini memerintahkan untuk menjaga “arhâm”. Kata “arhâm” merupakan bentuk jamak dari kata “rahim” yang berarti tempat peranakan. Kata ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan kandungan atau tempat janin. Pada mulanya, kata “rahim” ini berarti “kasih sayang” (sebagaimana juga dalam makna kata serapan bahasa Indonesia). Kata “rahim” ini digunakan dalam arti “kandungan” untuk menjelaskan bahwa anak yang dikandung senantiasa mendapatkan curahan kasih sayang dari orangtuanya.

Quraish Shihab menerangkan bahwa rahim inilah yang menghubungkan seseorang dengan manusia yang lain. Semua manusia pasti pernah tinggal di dalam rahim seseorang yang kesemuanya itu akan memiliki simpul keterkaitan satu sama lain. Karena melalui rahim Allah mengikat erat hubungan antarmanusia, maka dari itu Allah pun mengancam siapa pun yang memutuskan atau tidak menjaga ikatan (shilat) rahim ini. Sebaliknya, Allah juga menjanjikan rahmat berupa rezeki dan panjang usia bagi mereka yang benar-benar merawat silaturrahim.

Gambaran tentang bagaimana sikap yang termasuk memutus silaturrahim ini dapat dibaca dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Nabi menerangkan bahwa di antara yang termasuk dosa yang tak terampuni adalah manakala ada seorang muslim yang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari tiga malam. Mendiamkan di sini maksudnya tidak bertegur sapa atau malah membuang muka setiap kali berjumpa. Nabi menjelaskan bahwa yang paling baik di antara dua orang yang demikian ini adalah yang lebih dahulu sudi mengucapkan salam.

Makna silaturrahim ini dapat dilihat dari sisi “konservasi” atau pemeliharaan ataupun “restorasi” atau pemulihan. Dalam situasi asal, ikatan kasih sayang dan kekerabatan dalam arti yang luas memang sudah ada. Inilah yang perlu dijaga agar jangan sampai terputus. Sebaliknya, jika ada ikatan yang sudah renggang atau terputus, maka itu harus segera disambung.

Perintah untuk menjaga jalinan ikatan keluarga atau silaturrahim ini bahkan juga berlaku bagi mereka yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Wahbah al-Zuhayli dalam menjelaskan ayat ini mengutip sebuah riwayat bahwa Nabi pernah mengiyakan Asma’ bint Abu Bakar saat ditanya apakah ia tetap harus menjaga hubungannya dengan ibunya, Qutaylah bint 'Abdul 'Uzza, yang berstatus kafir-musyrik.

Lebih jauh, yang dimaksud ikatan kekeluargaan dalam kata “silaturrahim” ini menurut Wahbah meliputi mereka yang termasuk kategori mahram (keluarga dekat yang statusnya tidak boleh dinikahi, seperti paman/bibi dan keponakan dari jalur ayah atau ibu) ataupun yang di luar kelompok mahram (seperti saudara sepupu, dan sebagainya).

Perintah untuk menjaga ikatan persaudaraan ini dijelaskan Allah setelah pada bagian sebelumnya di ayat yang sama Allah menyeru umat manusia untuk bertakwa kepada Tuhan Pemelihara mereka yang telah menciptakan umat manusia dari “diri yang satu” (nafs wâhidah). Makna kata “diri yang satu” (nafs wâhidah) ini dalam khazanah tafsir diperdebatkan. Kebanyakan mufassir mengartikan “diri yang satu” (nafs wâhidah) ini sebagai “Nabi Adam as”. Jika diartikan demikian, maka pada bagian ayat selanjutnya muncullah penafsiran bahwa pasangan Adam, yakni Hawa, diciptakan dari Adam.

Pendapat mayoritas mufassir ini didasarkan pada hadis Nabi riwayat al-Tirmidzi melalui Abu Hurairah yang berbunyi: “Saling berwasiatlah untuk berbuat baik kepada perempuan karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Kalau engkau membiarkannya, ia tetap bengkok, dan bila engkau berupaya meluruskannya, ia akan patah.” Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Berdasar hadis ini, kita akan menemukan penjelasan naratif bahwa pada saat Adam tidur, Allah mengambil tulang rusuk kirinya sehingga terciptalah Hawa. Begitu Adam terbangun, muncul rasa sayang kepada Hawa, karena memang Hawa tercipta dari bagian diri Adam.

Quraish Shihab tampak tidak sepakat dengan pendapat kebanyakan ulama tafsir ini. Quraish mengutip Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manâr yang menyatakan bahwa penjelasan atau pemahaman atas hadis di atas yang sedemikian rupa dipengaruhi oleh teks Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa saat Adam terlelap, Allah mengambil tulang rusuk Adam untuk mencipta Hawa.

Dalam memahami hadis sahih tentang tulang rusuk yang bengkok tersebut, Quraish mengatakan bahwa tidak sedikit ulama kontemporer yang memahaminya secara metaforis. Dengan pembacaan metaforis, hadis ini merupakan peringatan bagi kaum laki-laki agar memperlakukan perempuan dengan bijaksana dalam menghadapi kodrat sifat pembawaan perempuan yang berbeda.

Quraish juga mengutip Thabathaba’i yang memberikan pemahaman berbeda atas ayat ini, yakni bahwa Hawa diciptakan bukan dari Adam, tapi dari jenis yang sama dengan Adam. Penafsiran seperti ini juga dikemukakan oleh Abu Muslim al-Ishfahani sebagaimana dikutip oleh Fakhruddin al-Razi. Al-Ishfahani menguatkan pendapatnya dengan mengutip ayat-ayat lain dalam al-Qur’an yang juga memuat kata “min anfusikum”.

Nasaruddin Umar dalam disertasinya membahas ayat ini dengan panjang lebar. Senada dengan Quraish Shihab, Nasaruddin Umar juga mengutip pendapat Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir al-Manâr yang menolak tafsir “diri yang satu” (nafs wâhidah) sebagai Adam. Abduh juga mengemukakan pendapat para filosof dalam memahami kata nafs dan juga mengutip pendapat al-Alusi tentang sosok Adam dalam al-Qur’an.

Namun demikian, terlepas dari perdebatan topik yang berkaitan dengan soal penciptaan perempuan ini, jika dikaitkan dengan perintah silaturrahim di bagian ayat berikutnya, semuanya tetaplah mengarah pada kesimpulan yang sama. Jika “diri yang satu” (nafs wâhidah) dipahami sebagai Adam, maka berarti semua manusia berasal dari leluhur yang sama sehingga sangatlah penting untuk menjaga ikatan persaudaraan di antara sesama. Demikian pula, jika “diri yang satu” (nafs wâhidah) dipahami dalam arti jenis yang sama dengan Adam, maka ikatan persaudaraan di antara sesama manusia juga tetaplah sama eratnya.

Atas dasar ini pula, maka kewajiban untuk menjaga silaturrahim tak dapat dielakkan. Ikatan persaudaraan antarmanusia, terlepas dari berbagai perbedaan yang dimilikinya, seperti perbedaan kelas sosial, perbedaan derajat ekonomi, termasuk juga perbedaan keyakinan (agama), harus tetap dijaga dalam situasi apa pun.

Dalam konteks yang luas berkaitan dengan penciptaan manusia dan ikatan persaudaraan di antara mereka, maka tentu saja ikatan pernikahan dalam kerangka sosiologis sebagai ikatan sah untuk melanjutkan keturunan juga penting untuk ditempatkan dalam kerangka silaturrahim. Artinya, penyebaran atau pengembangbiakan manusia melalui pernikahan haruslah juga berpegang pada nilai-nilai dasar silaturrahim yang sebagaimana tergambar di atas memiliki kerangka teologis yang kuat.

Dengan sudut pandang demikian inilah mungkin kita bisa memahami saran dari tuntunan fikih dalam mencari calon pasangan: yakni bahwa di antaranya hendaknya calon pasangan berasal dari orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Adapun pengertian kerabat dekat adalah mereka yang berada pada tingkat pertama dari jalur saudara ayah atau ibu (yakni sepupu). Jika berasal dari famili dekat, dikhawatirkan apabila ada konflik maka akan berpotensi memutus jalinan ikatan kekerabatan—sesuatu yang secara sosiologis memang mungkin terjadi di masyarakat. Namun, apabila sebab operatif (‘illat) tidak disarankannya menikah dengan kerabat dekat ini dapat dipastikan bisa dihindari, maka tentu saja tidak dipandang sebagai masalah.

Dari gambaran ini, maka penting digarisbawahi bahwa nilai-nilai silaturrahim ini harus dipegang teguh dalam ikatan pernikahan dan bahkan harus juga menjadi salah satu nilai utama dalam kehidupan berkeluarga. Karena itu, nilai-nilai silaturrahim ini juga harus mendapatkan perhatian yang kuat dalam kehidupan berkeluarga untuk dipupuk dan diwariskan pada semua anggota keluarga dalam pengertian yang luas.

Ini meliputi baik silaturrahim dalam pengertian konservasi maupun restorasi. Makanya, dalam tuntunan fikih dijelaskan bahwa menikahi kerabat jauh itu lebih utama daripada menikah orang yang tidak tersambung kekerabatannya (ajnabiyyah), karena diharapkan dengan menikahi kerabat jauh maka ikatan persaudaraan dapat erat kembali dan tidak terputus.

Wallahua‘lam.



Daftar Pustaka

Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf Annawawi, Riyadlus Shalihin, Alharamayn, t.t., 2005.

Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.

M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran, Mizan, Bandung, 2007.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 2001.

Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dâr al-Fikr, Damaskus, 2010.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.

Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibari, Fathul Mu‘in bi Syarh Qurratil-‘Ayn, Syirkah Nur Asiya, t.t.


Baca juga:
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mengapa Quraish Syihab selalu membuka ruang terhadap tafsiran-tafsiran yang berasal dari tokoh-tokoh Syiah namun tidak memperlakukan hal yang sama ketika dari kelompok atau minimal dicurigai sebagai dari kelompok Sunni? penting melihat QS alias Quraish Shihab dari perspektif hermeneutika. ini untuk memuluskan komprehensifitas penafsiran tidak hanya kepada teks melainkan kepada authornya juga. bukan apa-apa, penting juga dilihat karena si Quraish ini adalah pentolan Syiah yang tak terbantahkan.