Minggu, 13 Januari 2002

Fiqh Perempuan Ditinjau Kembali

Judul Buku : Wajah Baru Relasi Suami-Istri: Telaah Kitab `Uqud al-Lujjayn
Penulis : Tim Forum Kajian Kitab Kuning (FK3)
Penerbit : LKiS Yogyakarta bekerjasama dengan The Ford Foundation dan FK3
Cetakan : Pertama, November 2001
Tebal : xxviii + 210 halaman


Atmosfer kebebasan yang menyelimuti era reformasi hingga saat ini telah banyak digunakan berbagai kelompok untuk semakin menegaskan komitmennya terhadap keadilan. Buku ini adalah salah satunya. Buku ini adalah hasil kajian intensif selama hampir empat tahun terhadap sebuah warisan khazanah keilmuan Islam tentang fiqh perempuan yang ditulis oleh Muhammad bin Umar Al-Banteni Al-Jawi pada tahun 1877. Kitab karya Imam Nawawi—demikian beliau dikenal di kalangan luas—berjudul `Uqud al-Lujjayn ini mengupas masalah hak dan tanggung jawab suami-istri, dan menjadi bacaan serta referensi kalangan muslim tradisional Indonesia tentang masalah pergaulan keluarga. Otoritas Imam Nawawi sebagai seorang ulama dan ketidakmampuan kalangan awam mengakses dan meneliti sumber-sumber utama yang otentik dalam ajaran-ajaran Islam menjadikan kitab ini nyaris sebagai sebuah ajaran yang disucikan dari kritik. Belakangan, muncul banyak kritik terhadap kitab ini, terutama dengan melihat pendasaran-pendasaran ajarannya yang dinilai lemah.

Sistematika buku yang ditulis oleh Tim Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) ini—tim yang terdiri dari 12 orang, dikoordinasi oleh Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid—mengikuti kitab Imam Nawawi tersebut. Jadi, buku ini berisi terjemahan kitab Imam Nawawi itu sendiri, yang diikuti dengan upaya kajian ulang berupa pentakhrijan (telaah atas riwayat) hadits-hadits yang terdapat dalam kitab tersebut serta komentar-komentar berkaitan dengan kata kunci tertentu yang menentukan arah penafsiran.

Ada empat bab utama dalam kitab Imam Nawawi, yaitu tentang kewajiban suami terhadap istri, kewajiban istri terhadap suami, keutamaan shalat di rumah bagi wanita, dan larangan melihat lawan jenis. Dari keempat bab tersebut, terlihat betapa penafsiran yang dilakukan cenderung mengokohkan superioritas laki-laki atas perempuan. Sejak awal, ini sudah ditegaskan—dengan mengutip al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228 sebagai landasan—bahwa secara mutlak perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Padahal, menurut Muhammad 'Abduh, keutamaan laki-laki berkaitan dengan tugas dan kewajiban dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi keluarga, yang tentu bila tak terpenuhi maka kelebihan itu menjadi hilang.

Ada pula hadits yang menyebutkan bahwa istri adalah tawanan suami, sehingga dijadikan legitimasi untuk memperlakukan istri sebagai the second class. Tim FK3 dengan mengutip Ibn Sidah dalam kitab Lisan al-`Arab menjelaskan bahwa hadits itu mengangkat realitas konteks sosial yang memperlakukan istri seperti tawanan, sehingga sering dizalimi, tanpa memiliki kemampuan menghindar dan mendapat pertolongan yang cukup. Oleh karena itu, hadits tersebut mestinya dipandang sebagai sebuah seruan agar suami selalu berbuat baik kepada istri, serta melindunginya dari tindak aniaya.

Paparan tentang kewajiban istri terhadap suami semakin memperlihatkan posisi perempuan yang terdesak dari kehidupan sosial (ruang publik). Pelayanan dan kepatuhan istri yang bersifat total terhadap suami ditekankan begitu kuat, bahkan hingga menutupi peran sosial perempuan. Ada sebuah hadits—yang kemudian dinilai lemah (dla`if) oleh Tim FK3—yang menjelaskan bahwa kepatuhan kepada suami dan menunaikan haknya sebagai istri sebanding dengan pahala jihad. Ini dijadikan alasan agar kaum perempuan tidak usah terlibat dalam ruang publik. Padahal, menurut hadits-hadits shahih diceritakan bagaimana Ummu `Athiyah al-Anshariyyah, Al-Rabi’ binti al-Mu’awwiz, Ummu Sulaim, dan Nusaibah binti Ka’ab aktif ikut memanggul senjata bersama nabi dalam berbagai peperangan.

Lebih jauh lagi, perempuan seperti didorong untuk menjadi “manusia kamar”, dengan mengiming-imingi keutamaan shalat di rumah bagi perempuan—bukannya di masjid. Padahal, menurut Ibn Hazm dalam al-Muhalla, bila perempuan dilarang ke masjid, tentu mereka juga dilarang ke pasar, jalan-jalan, atau ke tempat umum.
Secara keseluruhan, hasil penelitian Tim FK3 menunjukkan bahwa dari 90 hadits dalam 'Uqud al-Lujjayn ternyata 50 di antaranya mengidap masalah. Sembilan hadits di antaranya palsu dan 21 hadis lainnya yang dipakai kitab itu hampir palsu atau tidak ada sandarannya.

Buku ini adalah bagian dari upaya demaskulinisasi epistemologis—meminjam istilah Nasharuddin Umar—dan cermin sikap arif menyikapi warisan khazanah ulama klasik. Buku ini memberikan interpretasi yang lebih imbang dan berkeadilan jender terhadap fiqh perempuan yang bias, dengan landasan pemikiran bahwa mahligai keluarga yang adil dan sakinah adalah landasan bagi pembentukan masa depan masyarakat bangsa yang lebih baik.



Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 13 Januari 2002.


0 komentar: