A few days before the Indonesian legislature election will be held on 9 April 2009, I wonder what do the people think about this election. Do they still keep their hope for the betterment of their lives? During the time of public campaign provided by General Election Commission, I didn’t see glittering campaigns in my district except a little that I read the news in mass media. I found cold responses from people’s everyday talks concerning this election. The exited interest maybe only on the money politics. I conclude that people’s enthusiasm to discuss and participate to this election tend to be decreased. Some people talk about political apathism, the indifferences of people’s participation in this celebration of democracy.
Bringing to light on this case and revealing from a more radical question, I wonder what do the people think about this election. More exactly: do they think that they will vote their representatives, their leaders—people who speak, act, and struggle on behalf their interests and aspirations? I am increasingly doubtful that they have this kind of point of view. Political corruption, the conduct of member of legislative assembly and the candidates, even in this reformation period, frustrated and shrunk their hopes to this election. I read about the candidates who were arrested for criminal causes on the magazine: distributing marijuana, ecstasy, or illegal drugs, even stealing motorcycle.
I was really disappointed when I thought that this election had lost its ethical meaning, its substantive meaning. How many times, material and social cost had wasted for this election? Is it fair enough if I hope nothing—maybe just a little? As an individual, what should I do? Thus, importantly, I wonder for whom the people must hope?
Ooo the true leader of our community, please save our nation.
Sabtu, 04 April 2009
For whom the People (don’t) Hope
Kamis, 02 April 2009
Pesantren dan Pendidikan Lingkungan
Di antara ajaran agama yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw yang diajarkan cukup awal dan cukup populer adalah hadis yang menjelaskan tentang salah satu cabang iman, yang berbunyi: “Kebersihan adalah bagian dari iman.” Sayangnya, hadis ini di pusat komunitas muslim sendiri ternyata nyaris berhenti sebagai slogan dan kehilangan kekuatannya untuk menyuntikkan kesadaran akan kebersihan dan kepedulian lingkungan pada umumnya. Ironisnya, pesantren, yang sering digambarkan sebagai pusat pendidikan muslim tradisional yang telah cukup lama berakar di Indonesia, seperti sulit untuk dilepaskan dari citra yang berseberangan dengan ajaran tersebut. Bagaimana kita bisa memahami salah satu ironi di dunia pesantren ini?
Secara sosiologis, kebanyakan pesantren di Indonesia tumbuh dari lingkungan alam pedesaan. Dengan latar seperti ini, maka kedekatan komunitas pesantren dengan alam terajut secara natural. Seperti di lingkungan masyarakat pedesaan pada umumnya, santri mula-mula terbiasa membersihkan lingkungan pondoknya dua kali sehari, yakni pada pagi hari dan sore hari. Nasi bungkus atau sejenisnya yang dijual di lingkungan pondok menggunakan daun pisang. Warung atau toko di dalam pesantren relatif tidak banyak, karena santri-santrinya kebanyakan masih memasak sendiri untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Perubahan pola konsumsi masyarakat akibat semakin masifnya infiltrasi dunia industri dan bisnis (lebih tepatnya: kapitalisme) ke wilayah pelosok pedesaan pada satu sisi telah menantang proses pendidikan lingkungan berbasis pendidikan moral yang dilakukan di pesantren. Sementara pesantren masih bergulat keras untuk lebih membumikan ajaran-ajarannya tentang kebersihan, cinta lingkungan, pola hidup sederhana, dan semacamnya, pesantren tiba-tiba juga harus berhadapan dengan tantangan terpaan badai global berupa gaya hidup konsumeristik dan instan yang pada gilirannya dapat menyurutkan pencapaian upaya penanaman pendidikan lingkungan tersebut.
Seperti halnya di komunitas masyarakat lain pada umumnya, modernisasi dengan berbagai produk teknologi dan mesin kapitalismenya telah menceraikan kesadaran akan persaudaraan manusia dengan alam. Masyarakat kita, seperti juga terjadi di pesantren, menjadi miskin wawasan, informasi, dan—yang terpenting—kepekaan, tentang berbagai dampak buruk dari pola dan gaya hidup kita yang berubah itu. Miskinnya informasi dan kepekaan ini praktis kemudian tak memberikan dorongan yang berdaya untuk memikirkan secara lebih intens penanganan teknis masalah lingkungan, kebersihan, dan semacamnya secara lebih terpadu dan “radikal”.
Berbagai potensi bidang studi di sekolah formal, baik sains maupun humaniora, yang dapat diarahkan pada upaya pendidikan lingkungan tetap bergerak dengan alur kurikulum yang standar: mengikuti kehendak negara—bukankah hampir semua pesantren kini memiliki sekolah formal “bermazhab negara” yang seperti nyaris “lebih kuat” dibandingkan dengan kegiatan kepesantrenannya? Kalaupun ada beberapa guru atau sekolah yang mulai melakukan terobosan baru untuk memasukkan unsur ekopedagogi dalam aktivitas kependidikannya, itu masih membutuhkan dukungan integratif dari pihak-pihak dan sistem terkait, termasuk yang bersifat teknis.Pendidikan sains dan humaniora di sekolah kita tak cukup mampu merespons perubahan cepat pola konsumsi dan gaya hidup instan yang terjadi di masyarakat, sehingga ia tak memberi porsi yang cukup besar untuk memperkaya informasi dan wawasan serta memupuk kesadaran akan kecintaan terhadap bumi—satu-satunya rumah bersama umat manusia. Padahal, jika ditarik ke dimensi religius, penghargaan terhadap sumber daya alam pada dasarnya adalah sebentuk rasa syukur terhadap anugerah Allah swt.
Dewi Lestari, seorang novelis yang belakangan juga memberi perhatian yang besar terhadap isu lingkungan, menulis di weblognya ihwal bagaimana kita tidak dididik untuk tahu—atau mau tahu—tentang dari mana benda-benda yang kita konsumsi berasal, berapa banyak sumber daya alam yang digunakan untuk memproduksi itu semua, dan ke mana semua itu akan berakhir riwayatnya—kertas, tisu, bungkus permen, puntung rokok, komputer, pakaian, dan sebagainya.
Mungkin matematika akan sedikit menunjukkan manfaatnya jika kita secara kasar mencoba berhitung tentang satu segi atau salah satu sumber daya yang terpakai di lingkungan Pesantren Annuqayah ini. Pasta gigi, misalnya. Dari empat ribu lebih santri Annuqayah, ke manakah kemasan pasta gigi mereka tiap bulannya, dan bagaimana nasibnya? Dari sedikitnya 17 unit pendidikan formal di Annuqayah yang hampir dipastikan semuanya mengkonsumsi air dalam kemasan plastik, bagaimana dan ke mana sampah-sampahnya ditangani?
Lemahnya upaya untuk memperkuat dan menyebarkan informasi dan kepekaan ini membuat tantangan untuk membumikan ajaran-ajaran moral tentang kebersihan dan pendidikan lingkungan di pesantren menghadapi tantangan berat. Pendidikan moral untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk merawat kehidupan dan alam semesta menjadi seperti tak berjangkar jika tak dibarengi dengan informasi, media, contoh, dan “basis material” yang memadai.
Dari paparan singkat di atas ini, dapatlah disimpulkan bahwa untuk membenahi pendidikan lingkungan di pesantren, pesantren setidaknya harus bermain di dua wilayah sekaligus: perhatian di bidang pengayaan dan penyebaran informasi serta aspek teknis terkait, serta integrasi pendidikan lingkungan berbasis moral ke dalam seluruh aktivitas kependidikan.
Pergulatan pesantren untuk mengokohkan pendidikan lingkungan di komunitasnya pada sisi yang lain juga memperlihatkan cara pesantren merespons perubahan yang bersumber dari luar. Aspek yang cukup terkait dengan pendidikan lingkungan ini dapat berupa pola konsumsi komunitas pesantren pada umumnya dan juga praksis pendidikan moral, yakni pendidikan nilai-nilai keagamaan, di lingkungan pesantren. Sungguh, dua hal ini sangat menarik dan menggoda untuk ditelaah secara lebih serius dan mendalam, terutama hal yang terakhir. Karena bagaimanapun, pendidikan di pesantren sejatinya adalah pendidikan moral yang berlandaskan ajaran-ajaran Islam.
Rabu, 01 April 2009
Belajar Bersama tentang Persoalan Lingkungan
Setelah sempat tertunda dua kali, akhirnya program pelatihan dan penguatan kapasitas untuk seluruh anggota tim proyek School Climate Challenge (SCC) Competition British Council SMA 3 Annuqayah terlaksana. Memang, realisasinya tidak persis sama dengan yang direncanakan. Jika mulanya program pelatihan dan penguatan kapasitas di awal ini dirancang berlangsung tiga hari berturut-turut, namun akhirnya terlaksana tidak demikian.
Pelatihan yang isinya membahas persoalan-persoalan lingkungan hidup yang bersifat mendasar dalam konteks perubahan iklim terlaksana dengan waktu yang terpisah selama empat kali. Putaran yang pertama berlangsung pada hari Rabu, 18 Maret 2009 bertempat di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.
Sebelumnya, anak-anak sudah disuplai dengan bahan-bahan berupa buku, majalah, dan berbagai kutipan dari internet yang cukup melimpah yang berisi berbagai pembahasan tentang masalah lingkungan hidup dengan berbagai aspeknya. Awal Maret kemarin, ketiga anggota tim juga mencari data dengan mengkliping koran-koran beberapa bulan terakhir. Jadi, fungsi saya hanya lebih sebagai fasilitator saja, atau mencoba mengarahkan pembicaraan berdasar apa yang mereka baca.
Pesertanya bukan hanya anggota tim inti tiga proyek, yakni proyek sampah plastik, proyek konservasi pohon siwalan, dan proyek pupuk. Siswi yang juga menyatakan diri siap sebagai pendamping tim inti juga mengikuti kegiatan pelatihan ini.
Dalam sesi yang berlangsung mulai 13.45 hingga 16.00 WIB ini, saya memfasilitasi anak-anak untuk berdiskusi masalah perubahan iklim atau pemanasan global. Sebelum memulai diskusi, saya memutar video pendek bertajuk “Pemanasan Global dan Dampaknya” yang dikeluarkan oleh Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI. Video berdurasi sekitar 11 menit ini menjadi pengantar yang baik untuk memahami masalah perubahan iklim. Bahan utama sesi ini juga adalah hasil unduhan dari situs Wikipedia dan National Geographic edisi khusus yang membahas tentang Perubahan Iklim.
Putaran kedua diskusi berlangsung pada hari Ahad, 22 Maret 2009. Tempatnya juga masih di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah. Pada kesempatan ini, diskusi diarahkan untuk menggali masalah-masalah lingkungan hidup secara umum. Khusus pada putaran kedua ini, saya mencoba fokus pada masalah penanganan sampah dan energi.
Putaran ketiga diskusi berlangsung pada hari Selasa, 24 Maret 2009. Diskusinya melanjutkan perbincangan pada pertemuan sebelumnya, dengan berpindah pada isu hutan, problem pangan, dan keanekaragaman hayati. Sesi ketiga ini berlangsung agak lama, karena setelah berdiskusi anak-anak saya ajak nonton film The Day After Tomorrow.
Putaran terakhir diskusi dilaksanakan pada hari Selasa, 31 Maret 2009. Kali ini tempatnya di Markas Tim Lomba SCC yang baru saja direhab. Meski tempatnya sangat sederhana, anak-anak tetap antusias. Pada putaran terakhir ini, diskusi diarahkan pada solusi penanganan masalah perubahan iklim. Saya juga mengajak anak-anak untuk mencoba memahami akar masalah perubahan iklim ini, yang sejatinya berakar pada problem akhlak manusia terhadap lingkungan. Sentuhan pendekatan etis saya masukkan di sini.
Dengan modal sentuhan etis itu, saya mencoba menghubungkan kegiatan masing-masing proyek sebagai refleksi dan tindak lanjut yang diperlukan untuk mengatasi salah satu aspek persoalan lingkungan yang sudah dibahas sebelumnya. Jadi, saya mencoba meneguhkan konteks masing-masing proyek.
Empat rangkaian diskusi ini saya harapkan dapat menjadi modal dan penyemangat bagi anak-anak untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan cinta lingkungan pada umumnya. Menurut saya, miskinnya informasi dan wawasan tentang masalah-masalah lingkungan menjadi salah satu penyebab rendahnya kepedulian masyarakat pada umumnya untuk bersikap lebih ramah pada alam. Karena itu, dengan terus memperkaya pengetahuan tentang masalah-masalah lingkungan, diharapkan muncul sikap dan kepedulian yang lebih kuat untuk bersahabat dengan alam.
Minggu, 29 Maret 2009
Menyemarakkan Dunia Kepenulisan
Hampir tiga tahun resmi berdomisili di tanah kelahiran, Guluk-Guluk, Sumenep, beberapa bulan yang lalu saya nyaris berputus asa bergiat mendampingi beberapa kelompok siswa yang fokus belajar di bidang kepenulisan.
Pertengahan 2006 lalu, begitu kembali dari Jogja, saya langsung diminta OSIS MA 1 Annuqayah Putri untuk mendampingi Klub Jurnalistik, sebuah kelompok kegiatan ekstra siswa di bidang kepenulisan. Dengan alur yang seadanya, saya hadir tiap pekan berbincang dan berlatih di bidang kepenulisan dengan sekitar dua puluh hingga tiga puluh siswa. Namun, seleksi alam pun terjadi. Seiring waktu, menjelang akhir kegiatan, yang mungkin total sekitar 12-15 pertemuan, jumlah itu pun susut hingga mungkin hanya sekitar sepuluh siswa.
Begitulah juga yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak pertengahan 2007, kelompok dampingan saya secara formal bertambah, yakni kelompok siswa di SMA 3 Annuqayah—yang juga putri. Pada tahun kedua, saya mencoba menyiapkan alur dan bahan secara lebih baik, berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya yang memang masih sangat seadanya. Hukum survival of the fittest pun ternyata juga berlaku di kelompok ini.
Pertengahan 2008 muncul lagi permintaan untuk mendampingi dua komunitas yang ingin belajar menulis—juga di putri. Tapi saya hanya bisa memenuhi satu saja. Itu pun dengan jadwal yang lebih lepas.
Selain ketiga komunitas tersebut, sesekali saya diundang ke semacam acara pelatihan kepenulisan atau jurnalistik, baik yang diadakan oleh OSIS, organisasi santri dari daerah tertentu, dan sebagainya. Atau juga menjadi juri dari lomba kepenulisan. Saya sebenarnya agak enggan berbicara di kegiatan semacam ini, karena rasanya hasil dan kelanjutannya lebih sering tak cukup menggembirakan. Apalagi, hampir semua pelatihan jurnalistik dan semacamnya yang ada hanya berhenti pada penyampaian materi. Kalaupun ada sesi latihan, waktunya sangat terbatas. Pernah saya mencoba format pelatihan yang ditindaklanjuti dengan praktik membuat buletin sederhana secara berkelompok oleh peserta pelatihan—format yang saya contek dari model pengkaderan Jurnal Pentas dulu di tahun-tahun 1995-1997.
Saya menyadari bahwa hal penting yang harus ditanamkan untuk masuk ke dunia kepenulisan adalah konsistensi, kerja keras, dan mental pantang menyerah. Saya selalu katakan bahwa untuk menjadi penulis yang baik itu tak bisa diraih dengan proses yang singkat. Harus banyak latihan. Dan, yang terpenting, latihan itu dilakukan secara konsisten.
Atas dasar ini, maka dalam mendampingi kegiatan kepenulisan, saya mesti memasukkan unsur motivasi agar semangat mereka terpompa.
Meski begitu, setelah memasuki tahun ketiga dari kegiatan saya ini, saya merasa hampir putus asa, karena kebanyakan dari mereka tak bisa menjaga konsistensi berlatih menulis. Anggota di komunitas-komunitas itu jarang sekali yang hadir secara rutin: selalu bergantian dengan anggota lain, sehingga tak utuh mengikuti sesi-sesi materi dan latihan. Akibatnya, mereka yang masih kesulitan menyusun kalimat yang lengkap, efektif, mudah dipahami, tak cepat menemukan jalan keluarnya karena mungkin tunduk pada rasa malas atau suasana hati negatif serupa.
Alhamdulillah, saat-saat kritis yang saya hadapi, yakni saat saya nyaris berputus asa, secara tak sengaja tertolong oleh sekelompok santri putra yang menjadi relawan untuk menulis berita di blog Pesantren Annuqayah. 12 orang ini bergabung setelah mereka membaca pengumuman yang saya edarkan atas nama Sekretariat Pondok Pesantren Annuqayah yang mencari santri yang bersedia menjadi relawan tim pusat data Sekretariat Annuqayah.
Mereka kemudian saya kumpulkan, dan sedikit diberi materi kepenulisan, untuk kemudian menulis berita-berita di lingkungan Annuqayah untuk diunggah ke blog Annuqayah. Posting pertama, 10 November 2008, ditulis oleh Ahmad Al Matin, santri Latee yang duduk di kelas akhir MA Tahfizh Annuqayah. Tulisan-tulisan oleh relawan yang lain berdatangan masuk ke email saya.
Seperti pengalaman saya sebelumnya, seiring waktu, kedua belas relawan itu ternyata gugur satu per satu, bahkan sebelum mereka genap bergabung satu bulan. Akan tetapi, ini dia kabar gembiranya, mereka yang tersisa, hingga kini, ternyata kian hari kian menunjukkan semangat yang luar biasa. Ada yang pada tiga bulan pertama, yakni hingga Januari 2009, hanya mengirimkan empat tulisan, tetapi kemudian sepanjang Maret 2009 dia mengirimkan sembilan tulisan! Wow!
Di antara mereka, ada pula yang semangat pantang menyerahnya patut diacungi jempol. Pernah ada satu tulisan yang saya koreksi dan minta untuk diperbaiki sampai tiga kali. Tapi si penulis masih terus bekerja memoles tulisannya untuk bisa layak muat di blog Annuqayah.
Saat ini, setelah hampir genap lima bulan blog Annuqayah aktif berkat kontribusi para relawan dan santri lain pada umumnya, saya pun mencoba mengompori kelompok-kelompok penulis dampingan saya untuk saling bersaing mengirimkan tulisan untuk blog Annuqayah. Alhamdulillah, provokasi saya lumayan berhasil. Selain tim pusat data yang bersisa sekitar lima orang, saat ini beberapa kontributor sudah cukup konsisten mengirimkan tulisan-tulisannya.
Sekarang saya rasanya jadi bersemangat mendampingi rekan-rekan santri belajar menulis di dunia maya. Pendekatan yang lebih personal mungkin juga menjadi penyemangat tersendiri bagi mereka, meski tentu dengan konsekuensi waktu saya yang tambah tersita. Akan tetapi, itu semua bisa terbayar dengan rasa puas yang saya rasakan, saat kotak surat email saya setiap hari mendapat kiriman tulisan-tulisan para muda yang ingin mencatatkan kreasi mereka, berwarta kepada dunia.
Pengalaman saya ini memberi saya hipotesis baru: bahwa mendampingi komunitas kepenulisan butuh dukungan adanya wadah untuk menampung kreasi mereka, sehingga jika bisa terpublikasi dan diakses serta diapresiasi orang banyak, semangat mereka akan terpompa. Pencarian atas media-media pendukung inilah yang saat ini masih terus saya lakukan, agar aktivitas kepenulisan semakin semarak dan lebih baik.
Label: Literacy
Senin, 16 Maret 2009
One Night in Jogja
I had a nice trip to Jogja last weekend. Actually, this trip should be done before the weekend, because I want to take advantage of Maulid holiday. But my unhealthy condition for about one week constrained the plan. The main purpose of this trip is to accompany my mother to visit Pesantren Nurul Ummah Kota Gede, where my little sister has been living for seven months.As usual, we departed for Jogja at night, after Isya’. Last Thursday night, we left to Jogja at 08.40 pm. We had an exiting ride that night—as the trip on the way home too. We rode a new bus, serving for a recovered route: Sumenep-Jogja. But the driver, conductor and his assistant, were the new comer for this route.
We arrived at Jogja at 06.30 am. The street was crowded. I tried to join to the crowd on the city bus for a little while. The atmosphere of Jogja started to penetrate me. The conductor, passengers in the morning, and traffic.
I took a rest in my brother’s dormitory until noon. At 1.30 pm, I went out to the Ikapi Jogja Book Fair 2009. This event held at Jogja Expo Center. I tried to contact my friends to come with me to the Book Fair. But finally I went alone, because they had already had appointments with their friends.
Book hunting is always interesting for me. On the Book Fair, I seek through the stack of books, trying to find some cheap, unique, uncommon, and fascinating books—the books that I didn’t find them in the common bookstore. I went around the exhibition area for more than one hour, and I was frustrated because I just got one book on the Insist Press Publisher.At last, I left the exhibition and went out to a new book store near UIN campus. Its name is Yusuf Agency. The store sells used and cheap books. This would be an interesting books-hunting. Among the dusty shelves, I was looking for a surprise. At last, I found a series of books about easy scientific experiments written by Janice Pratt VanCleave, a winner of Phil Delta Outstanding Teacher of the Year 1982. The books are about physics, biology, chemistry, astronomy, and geography. It seems that the books are especially designed for kids, but I think they are also suitable for junior or senior high school students. These books were enough to cure my weary day.
After dinner, I went out to my friend’s dormitory at Gowok. I spent the night there with my friends—one night in Jogja. Next day, Saturday, I went along with my mother and my brother to Pesantren Nurul Ummah Kota Gede. We were there until 11 am.
We left Jogja at 7 pm. One night in Jogja—it seems that it was a too short nostalgic trip. But I have to compromise on this. At least, I got something new on this trip—new experiences, new books.
During the way home, I really enjoyed the way of the driver handle the bus. He often overtook another vehicles in front us. It’s like a bus-racing. So, I didn’t sleep at the bus until we got near to Jombang.
On the way home, I wonder when I can make a satisfied memorable trip to Jogja. I am waiting for that moment. Always.
Label: :: In English ::, Journey
Minggu, 08 Maret 2009
Mendampingi Guru Belajar Internet
Meski dengan kondisi kesehatan yang kurang sehat, Sabtu (7/3) siang kemarin, akhirnya saya memaksakan diri untuk hadir bersama sekitar 25 guru Madaris 3 Annuqayah untuk belajar internet. Sekitar dua pekan sebelumnya saya sempat membuat semacam janji dengan beberapa guru yang tampak begitu antusias untuk berkenalan dengan teknologi komunikasi mutakhir ini. Di antara mereka ada yang bilang, “Wah, saya lihat murid-murid di sini sekarang sudah pinter internetan di Perpus. Masa kami kalah dengan mereka.” Saya pun menjanjikan bahwa sebelum liburan Maulid saya akan mendampingi mereka belajar internet.
Acara belajar internet bareng Sabtu siang kemarin dimulai sekitar pukul 10.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 12.30 WIB. Tempatnya di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah. Sebelum masuk ke penjelasan yang agak teknis tentang internet, saya memberi semacam pengantar tentang internet. Saya ingin para guru memahami alur, logika, dan cara kerja internet, sehingga mereka dapat memahami “hakikat” internet.
Sebelum acara dimulai, dan beberapa guru sudah ada yang datang di tempat acara, sempat ada seorang guru yang melontarkan komentar menarik. “Pokoknya internet masih kalah sama malaikat Munkar dan Nakir,” katanya. Di sesi pengantar, saya menjelaskan bahwa internet itu adalah cara komunikasi baru berbasis teknologi yang cepat dan mudah. “Jadi, apa yang termuat di dunia maya ini ada yang menyajikan—ya, manusia juga—yang tentu saja bisa baik, benar, salah, dan semacamnya,” begitu saya memaparkan. “Nah, kita bisa menjadi penikmat informasi yang disajikan orang-orang itu. Lebih dari itu, kita juga bisa berbuat lebih, dengan membuat sajian juga yang bisa dinikmati oleh orang lain sedunia,” lanjut saya.
Materi internet saya fokuskan pada browsing, email, chatting, dan secara khusus tentang penggunaan mesin pencari (search engine). Saya ajak guru-guru membuka Ensiklopedi Wikipedia, baik dalam versi bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Indonesia, juga bahasa Jawa. Saya coba guru-guru chatting dengan Kiai Faizi, Direktur Madaris 3 Annuqayah, yang kebetulan sedang online. Tak lupa saya mencoba teknologi webcam dan berbincang dengan suara. Saat chat via webcam sambil berbicara dengan Kiai Faizi, Kiai Masyhudah, salah seorang guru senior yang hadir dan cukup aktif bertanya, iseng minta kiriman rokok Surya 12. Di kamera Kiai Faizi memperlihatkan sebungkus Surya 12 yang dijanjikan untuk Kiai Masyhudah.
Setelah presentasi secukupnya, guru-guru diberi kesempatan untuk praktik. Kebetulan di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah ada dua unit komputer yang sudah terjaring internet menggunakan fasilitas WiFi Annuqayah. Untuk praktik, guru-guru juga menggunakan laptop. Jadi, ada 3 komputer yang digunakan untuk praktik. Saat praktik, beberapa guru mencoba membuat akun email dan saling berkirim surat. Ada juga yang mencoba browsing ke situs Pemkab Sumenep dan mencoba menuliskan saran perihal pendidikan di Sumenep.
Meski semua guru belum sempat mencoba praktik, kegiatan belajar internet bareng ini diakhiri sekitar 12.30 WIB. Yang jelas, dengan modal pengetahuan sekadarnya ini, diharapkan nanti guru-guru Madaris 3 Annuqayah sudah tak terlalu bingung untuk mencoba berselancar di internet menggunakan komputer di kantor-kantor unit pendidikan di Sabajarin yang sudah terjaring dengan WiFi Annuqayah. Karena tidak semua guru bisa hadir di acara kemarin, kemungkinan pelatihan serupa akan diselenggarakan kembali. Selain itu, rencananya di lain waktu saya akan menyelenggarakan pelatihan internet yang lebih spesifik, seperti tentang blogging, dan sebagainya.
Label: Daily Life, School Corner
Jumat, 06 Maret 2009
Made of Rain
Last night, when a group of flying termites swarmed about the lamp on the veranda in front of my room, I was curious to know about their life cycle. I just had a little information about them. And, actually, that information is such common sense knowledge, not scientific.
From experience of life, I know that flying termites usually come at night after rain fell. Always after rain. They swarm about the light, crashing their bodies into the shining lamp. I don’t really know why they seem to be so obsessed by a source of light.
It is said that they originated from termites, a small insect like an ant that does a lot of damage by eating wood and papers. They break through the wall, destroy plastics, cable and other blockage. They produce the offspring in their colonies. The female termite can produce eggs until 36.000 eggs per day for 50 years. What a number! Unfortunately, I never see their kingdom.
Living in the darkness, maybe they yearned for the light when they became a flying termite. But all creatures maybe are still surrounded by principle of absurdity. When they were about to come to the light, and finally collided with the lamp, their wings came down towards the ground. Their bodies chased down their couple golden wings.
Their obsession couldn’t be satisfied. That was an irony. They walked slowly in the ground, and small house lizards hunted them skillfully to complete their adventures and fates.
Thinking and learning about flying termites reminded me to someone who is completely obsessed by rain. He even feels that he was made of rain. I wonder does he think that he is a flying termite. O life!
Label: :: In English ::, Daily Life
Rabu, 25 Februari 2009
Closer: Love and the Will to Power
Last Wednesday, I watched a movie from my own collections. The title is Closer. The movie, directed by Mike Nichols and released in 2004, starred by Julia Roberts, Jude Law, Natalie Portman, and Clive Owen. Actually, I bought this VCD last year, January 8, 2008 in Surabaya. But I had just watched it this week.
Closer is a romantic drama about four people trapped in a complicated love story. They are Larry (Clive Owen), Anna (Julia Roberts), Dan (Jude Law), and Alice (Natalie Portman). Plot of this movie is somewhat puzzling, moving quickly between the scenes. But, the bright dialogues and fascinating performances of the actors made me keep watching and follow the stream of this intriguing story.
This love story actually is also about the impact of chance meetings, instant attractions, and betrayals. In the beginning of this movie, two strangers, Dan and Alice, met in an accident, and I knew that the meeting wouldn’t stop right there. Then, Dan and Alice became a couple of lovers.
Another chance meeting was between Larry and Anna. Larry, a dermatologist, unexpectedly met Anna at London Aquarium after he had an appointment with his mysterious friend when he surfed at internet chat room—in fact, the mysterious friend of Larry was Dan, the friend of Anna. This meeting also had subsequent affair de coeur—they married.
A witty, dangerous, and complicated love story began when the two couples met together at Anna’s Photo Exhibition. Love affairs is about to be started, and the affairs devastated the romantic relationship between them. The meaning of love became problematic, not only a romantic. At this point, we can understand that love also has a strong connection with deception, egocentrism, betrayal, and revenge.
For me, this is the most interesting part of this movie. This point reminded me to Sartre and Nietzsche. I remembered my Course of Ethics last week when discussed about the Others. Sartre argued that relations between freedoms are inherently conflictual. The other is a threat. So, Sartre didn’t believe in love. In love, there is self-deception.
And Nietzsche spoke about the Will to Power. Interestingly, he emphasized that the Will to Power is not only about politics, knowledge, and relation with the others. The world is the Will to Power. Nietzsche brings the Will to Power to the ontological perspective.
This movie gave me a good example about the tension between love and the Will to Power. Of course I didn’t believe in Nietzsche and Sartre who tend to annihilate the possibility of sincerity between people. For me, this movie confirmed the ambiguity and strict negotiations in our relations with the others, and the pervasive power of our egocentrism.
I really enjoyed watching this movie. Clive Owen, Julia Roberts, Jude Law, and Natalie Portman presented quite good performance in their respective roles. Most importantly, this movie challenged me to think of deeply and gave me fresh perspective and reflection about our relations and about love.
Label: :: In English ::, Movie
Sabtu, 07 Februari 2009
When the Alien Comes
“This journey really exhausted me,” I whisper to myself, when I am surrounded by cloudy sky, thundering wave, and an inconvenient absurd twilight. Strong biting wind drives away the ancient spirit of the sea. I stand alone staring at the sun while it has been going down to keep his spirit safe from the darkness.
I wonder where am I going from here. In my solitude, I think that I am leaving for a place that I don’t really know where it is. An unknown country where strangers walking around me. I feel that I am moving away from my initial destination, from the substance of my life, from my primordial home. I am really worried about it, thinking about mystifying path that I will pass alone and I lost my way. The idea about alienation haunts me.
As the wind get to rage, I try not to be knocked over by these terrifying notions. One thing that I am sure: I can’t overlook such acute problem. I am asking myself when these ideas exactly come to me. I am thinking about the weapons and tools that I must prepare. I am thinking about a hundred possibilities that I may deal with. Because I don’t know where the journey will get to the end.
Label: :: In English ::, Diary
Minggu, 01 Februari 2009
Of Environmental Education
I have been engaging to environmental education activities since a year ago. My interest to involve in this project became strong after I had participated in Environmental Teachers’ International Convention 2008 last year. In that event, I was awaked by abundant facts of environmental problems caused by man’s exploitation and activities. Actually, I have had such information about environmental problems—not only from the convention. I had written an essay about environmental problems when I was a senior high school student fourteen years ago.
But the convention not only gave me information and knowledge. It gave me enthusiasm, spirit, and the soul of environmental education. Implicitly, it had accentuated the ethical and emancipatory objectives of the environmental actions. It emphasized that environmental problems have strong relation to our moral attitudes, about how human being sees the natural world, wildlife, even the Creator. To some extent, it has a profound connection with spiritual world view.
In epistemological context, environmental problems are often associated with natural sciences, and sometimes with social sciences. Both sciences, according to Jürgen Habermas, actually have no deep concern with emancipatory values. From Habermas explanation we can conclude that both sciences almost sweep away all human interest from knowledge—i.e. divorce praxis from theory. And then such knowledge and sciences married with positivistic paradigm.
With this background, integrative actions of environmental education, as far as my understanding, try to return the emancipatory values (“the interest”) to its place and make scientific activities as a critical self-reflection of human being. And technical-instrumental interest and practical interest of natural and social sciences originate from interest of reason itself, that is emancipation. Term emancipation as a general concept or value can find its synonym from different thinkers, like liberation, etc.
If we put the problem of environment and environmental education in this perspective and sustainably encourage acting in this standpoint, we will have radical and critical actions of environmental education. And I think those who involve in these projects perhaps will find themselves struggling hard on ideological battleground. Determination, patience, consistency, sincerity, persuasive and cooperative actions, etc., maybe will be the best weapons for this battle, because, particularly in this battle, we frequently have to fight against ourselves.