Minggu, 11 Februari 2024

Era Disrupsi dan Tantangan Peran Pesantren

Era disrupsi menghadirkan tantangan bagi pesantren dan santri untuk mengambil peran dalam kehidupan masyarakat. Peran yang dimainkan pesantren dan santri saat ini sebagian bisa digantikan oleh institusi-institusi modern dan infrastruktur yang merupakan turunannya. Peran yang terkait dengan pengetahuan keagamaan pun sebagian juga terdisrupsi dengan munculnya otoritas baru di berbagai saluran media baru berbasis teknologi digital yang saat ini aksesnya lebih mudah menjangkau khalayak umum.

Pesantren dikenal telah memainkan peran yang cukup menyeluruh dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya di Madura, mulai dari urusan pertanian, perdagangan, penyelesaian konflik sosial, keluarga, pendidikan, politik, kesehatan, dan juga masalah-masalah keagamaan. Namun seiring dengan kemajuan yang bersifat teknis pada bidang-bidang sekular tersebut yang telah meluas sebagai dampak dari perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial yang bersifat masif hingga ke wilayah pedesaan, peran pesantren menghadapi tantangan. Cara berpikir masyarakat yang semula banyak menaruh kepercayaan pada kiai sebagai tokoh sentral pesantren dalam memberi nasihat di bidang perdagangan, misalnya, kini mulai bergeser karena sebagian masyarakat merasa telah memiliki kemampuan otonom untuk membuat keputusan.

Dalam situasi tersebut, sejauh ini sebagian pesantren merespons dengan turut masuk ke dalam gelanggang aspek-aspek yang telah berkembang tersebut dengan mereformasi lembaga dan arah pendidikan yang di antaranya dilakukan dan juga dengan mengembangkan lembaga yang bersifat kekinian. Berdirinya lembaga-lembaga bisnis dan keuangan dan dibukanya pendidikan dengan minat keilmuan yang terbilang baru di pesantren di Madura, seperti bidang sains dan teknologi, menunjukkan hal tersebut. Belakangan, beberapa pesantren juga berusaha membekali santri-santrinya dengan kecakapan digital saat menyadari bahwa disrupsi digital bahkan dapat berdampak serius pada pemahaman keagamaan dan cara berpikir santri. Kita menyaksikan banyak santri di Madura belakangan aktif menjadi pembuat konten di berbagai kanal media digital. Namun apakah hal tersebut cukup berhasil? Terlalu dini rasanya untuk memberikan penilaian karena apa yang dilakukan pesantren atau santri secara perorangan tersebut banyak yang masih berada dalam tahap rintisan.

Meminjam kacamata analisis Yuval Noah Harari dalam buku 21 Lessons for the 21st Century (2018), agama tampak sulit untuk mengambil peran dalam ikut mengatasi persoalan-persoalan teknis dan kebijakan (technical problems dan policy problems) masyarakat modern. Masalah teknis dalam kehidupan sudah banyak dipecahkan oleh sains dan teknologi, sedangkan peran pesantren dalam bidang ini sudah jauh tertinggal. Sementara itu, perkembangan sains dan teknologi di luar pesantren melesat begitu pesat.

Ada sebagian pesantren yang berusaha masuk ke bidang-bidang sains dan teknologi alternatif, seperti halnya Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep yang turut menggarap konsep kesehatan swadaya sejak awal tahun 2000-an—mungkin termasuk juga isu-isu lingkungan hidup yang sudah dikerjakan oleh Annuqayah sejak 1980-an. Namun kita tahu, bidang-bidang alternatif seperti itu tidak berada pada arus utama pengembangan sains, sehingga kerja-kerja artikulatif yang dibutuhkan menuntut kerja keras dan upaya yang luar biasa. Padahal, dibutuhkan infrastruktur dan jaringan yang kuat untuk menopang pengembangan bidang alternatif seperti itu untuk dapat benar-benar berkembang dan memberi dampak yang signifikan.

Berkaitan dengan masalah kebijakan, pesantren tampak masih kesulitan untuk memberikan tawaran visioner atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks agama, Harari dalam bukunya mencontohkan bagaimana agama hanya sampai pada level mengecam materialisme modern tapi tidak bisa ikut berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Dalam kaitannya dengan kritik terhadap ekonomi kapitalis, agama bisanya hanya “to redo the paint and place a huge crescent, cross, Star of David, or om on the roof”, atau memberi aksesoris bersimbol agama pada bangunan ekonomi kita dan belum mampu untuk menyentuh aspek mendasar yang bisa menjadi tawaran alternatif bagi kebijakan pengembangan ekonomi.

Lagi-lagi, dalam konteks Pesantren Annuqayah, kita juga melihat upaya untuk masuk ke bidang teknis di bidang pengembangan ekonomi atau keuangan mikro masih berupa rintisan. Lembaga di internal Annuqayah yang dicita-citakan membawa tawaran konsep dan praktik baru di bidang pengelolaan keuangan ternyata masih menghadapi banyak tantangan teknis di tengah apresiasi awal pada konstruksi visi yang berusaha untuk dikembangkannya.

Demikian pula, lembaga keuangan mikro yang dikelola oleh kalangan santri lainnya tak lepas dari kritik dan pada level substansi tampak belum memberikan terobosan alternatif bagi sistem keuangan konvensional yang ada.

Identitas Santri

Jika demikian, lalu apa yang tersisa? Harari menjelaskan bahwa agama juga bisa berperan di wilayah identitas (identity), yang di antaranya digambarkan terkait dengan visi yang lebih luas dalam bidang-bidang kehidupan. Harari meyatakan bahwa identitas terbukti telah menjadi kekuatan sejarah yang penting. Meski identitas oleh Harari dihubungkan dengan konstruksi yang bersifat “fiktif”, kita tampaknya patut untuk merenungkan: apakah konsep identitas santri dapat menjadi kekuatan untuk mengharapkan peran pesantren yang lebih baik dalam kehidupan masyarakat di era disrupsi?

Pada titik inilah menurut saya kita diajak untuk berefleksi hal yang mungkin sudah terbilang klasik tentang identitas santri. Apa sebenarnya hal yang khas dari identitas santri? Bagaimana visi hidup seorang santri itu? Mengutip almarhum KH A Warits Ilyas pada saat pembukaan Lokakarya Visi Pendidikan Annuqayah tahun 2008, disampaikan rumusan visi seorang santri (Annuqayah) sebagai berikut: “lahirnya generasi abdullah (‘ibadullah) yang mutafaqqih fiddin dan mempunyai ketakwaan dan berilmu pengetahuan sehingga menjadi mundzirul qawm”. Pada rumusan ini, kita bisa menemukan beberapa poin gagasan kunci, seperti kesadaran akan posisi penghambaan, pentingnya bekal keilmuan dan ketakwaan sebagai fondasi, dan peran kemasyarakatan.

Selain itu, kita juga sering sekali mendengar penekanan para kiai di pesantren di Madura pada khususnya tentang Islam ahlussunnah wal jama’ah yang menjadi fondasi keagamaan pesantren. Memang, istilah ini kadang menjadi cukup problematis pada tataran praktis karena menaungi sebuah konsep yang “diperebutkan” oleh kalangan Islam dari berbagai kelompok. Namun secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa Pondok Pesantren Annuqayah, misalnya, atau pesantren di Madura pada umumnya, mengajarkan pemahaman ahlussunnah wal jama’ah melalui praktik-praktik yang dapat kita serap dari teladan para kiai/pengasuh terutama dari generasi awal (pendiri atau perintis).

Namun demikian, living aswaja yang dipraktikkan para kiai/pengasuh tersebut menurut saya masih menjadi sesuatu yang masih terus perlu digali dan dieksplorasi sehingga semakin jelas dimensi paradigmatiknya. Meminjam istilah Ismail Fajrie Alatas dalam What is Religious Authority? (2021), penting bagi kita untuk melihat secara lebih dekat dan mendalam articulatory labor (kerja artikulasi) yang dilakukan para kiai tersebut di dalam menerjemahkan (sunnah) aswaja dalam agenda kerja kumulatif memupuk dan membangun (jamaah) pesantrennya dengan ciri khas masing-masing.

Jika diturunkan pada level praktis, persoalan identitas itu bisa muncul dalam refleksi atau pertanyaan tentang bagaimana identitas santri berpengaruh bagi seorang santri yang menjalankan perannya sebagai kepala desa dan pengurus publik lainnya di tengah disrupsi politik yang luar biasa. Demikian juga, bagaimana identitas santri dapat memberi arahan bagi seorang santri yang terjun dalam dunia bisnis yang karena proses transformasi digital melahirkan banyak tantangan baru yang dapat menantang orientasi kesantriannya. Atau, bagaimanakah identitas santri sebagai pendidik dapat meletakkannya dalam posisi yang ajek berhadapan dengan gonjang-ganjing dan tarikan dunia pendidikan yang cenderung mekanis dan kapitalistik.

Demikianlah mungkin sebagian dan sekelumit tantangan yang dihadapi pesantren dan kalangan santri menghadapi era disrupsi yang membutuhkan refleksi bersama. Wallahu a’lam.

Versi awal tulisan ini semula dibuat untuk bahan pengantar Seminar Pemikiran Pesantren Kerja Sama Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Jember dengan Pusat Pengembangan Studi Pesantren (PSP) LP2M UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember pada 3 Februari 2024, yang kemudian disunting dan dimuat di Radar Madura, 11 Februari 2024.

0 komentar: