Dari kutipan ini, tampak Alatas menggiring kita untuk sedikit mengesampingkan soal objektivitas atau keberjarakan peneliti dengan subjek yang dia teliti dalam pengertian konvensional. Alatas mengajak kita untuk masuk tidak saja ke ruang refleksi tentang identitas yang semakin kompleks, tapi juga ke dalam ketegangan personalitas dan sosialitas manusia yang mungkin dapat dikatakan merupakan salah satu diskursus filosofis tentang manusia yang lebih luas. Sosialitas dan personalitas tak harus dilihat dalam posisi yang bertentangan. Justru ketegangan di antara keduanya dapat menjadi nilai lebih, termasuk dalam konteks penelitian ilmiah.
Salah satu persoalan dalam penelitian ilmiah adalah soal objektivitas. Peneliti harus dapat mengambil jarak dengan objek material yang akan dia cermati. Bagaimana jika posisi peneliti adalah bagian dari objek yang akan dia teliti?
Masalah ini telah melahirkan perdebatan tentang posisi insider dan outsider dalam penelitian ilmiah dan telah menjadi tema diskusi penting yang terus berkembang. Dalam khazanah studi agama, saya pernah diperkenalkan dengan tulisan Kim Knott yang membahas masalah ini. Knott membuat pembedaan posisi insider dan outsider dalam empat kategori: complete observer (peneliti seutuhnya), observer as paticipant (peneliti sebagai partisipan), participant as observer (partisipan sebagai peneliti), dan complete participant (partisipan seutuhnya).
Belakangan, melalui buku Ismail Fajrie Alatas saya mendapatkan rujukan beberapa sarjana lain mengenai diskursus masalah ini. Alatas mengutip tiga sumber dalam diskusi masalah ini, yakni karya Lila Abu-Lughod (1988) berjudul “Fieldwork of a Dutiful Daughter” dalam buku Arab Women in the Field: Studying Your Own Society, Nathaniel Mackey (1992) berjudul “Other: From Noun to Verb”, Gayatri Spivak (1992) berjudul “Acting Bits/Identity Talk”, dan buku karya Trinh T Minh-Ha (1989) berjudul Woman, Native, Other: Writing Postcoloniality and Feminism.
Alatas mengutip tiga sumber itu dalam bukunya What is Religious Authority (2021) di akhir bab pertama saat menjelaskan problem metodologis terkait subjek yang dia tulis. Buku itu membahas tentang Habib Luthfi, sedangkan Alatas juga adalah seorang muslim Indonesia dari kalangan Ba Alawi—sama seperti Habib Luthfi. Lalu apa kata Alatas?
The extended time I have spent outside Indonesia since I was fourteen and the historical and anthropological training that I have received have created some measure of critical distance to the tradition and culture that I was born into.
Lamanya waktu yang saya habiskan di luar Indonesia sejak berusia 14 tahun serta pendidikan sejarah dan antropologi yang saya peroleh menciptakan jarak kritis dengan tradisi dan budaya tempat saya lahir.
Di sini Alatas menyampaikan tentang jarak kritis yang dapat dia ciptakan dengan objek yang dia teliti yang terbentuk oleh dua faktor: pendidikan sejarah dan antropologi yang dia peroleh, dan waktu yang dia habiskan di luar Indonesia mulai dia berusia 14 tahun.
Yang lebih menarik, di bagian akhir pendahuluan, Alatas menulis:
In my view, the best anthropological research is one that maintains, rather than ignores or suspends, the tension between estrangement and intimacy and uses it to sketch a simultaneously objectifiable and personal, but nevertheless incomplete, picture of human sociality that “arises from within human sociality.”
Bagi saya, penelitian antropologi yang paling baik adalah yang mempertahankan, dan bukannya mengabaikan atau mengesampingkan, ketegangan antara keterasingan dan kedekatan serta menggunakannya untuk membuat sketsa gambaran sosialitas manusia yang dapat diobjektivikasi sekaligus bersifat pribadi. Sketsa tersebut tentu tidak akan pernah lengkap karena ia “muncul dari dalam sosialitas manusia” itu sendiri.
Lalu bagaimana tentang jarak kritis yang terbentuk melalui proses pendidikan? Saya percaya bahwa proses pendidikan secara umum akan dapat membentuk sikap kritis untuk bersikap objektif atau memupuk kemampuan mengambil jarak dengan objek yang sedang diamati. Ini adalah kemampuan khas manusia. Tanpa pendidikan akademik pun, kemampuan mengambil jarak ini sudah dimiliki oleh manusia. Melalui proses pendidikan yang intensif, kemampuan ini akan semakin kuat.
Karena itu, ketika kemarin ada yang mempertanyakan kepada saya “…kamu mau meneliti pesantren atau kiai di Madura, kira-kira bagaimana kamu bisa mengambil jarak dan bersikap objektif? Jangan-jangan nanti penelitiannya hanya melegitimasi hal tertentu dari apa yang sudah mapan di pesantren di Madura selama ini…”, saya santai saja.
Saya pernah menulis tentang hal-hal yang saya merupakan bagian di dalamnya. Saya pernah menulis hal-hal yang memungkinkan saya mengalami bias personal dalam tulisan saya. Tapi nyatanya saya tidak selalu terjerembab ke dalam sikap buta dan bias sepenuhnya. Saya tetap bisa mengambil jarak—dengan batas-batas tertentu. Seperti tulisan saya tentang sastra pesantren, yang dibilang bias oleh Ariel Heryanto (2014: 72-73), tapi juga mendapatkan apresiasi oleh Ariel karena ada catatan kritis yang saya kemukakan di sana.
Tapi komentar tentang atas sikap objektif itu tentu tak bisa saya lewatkan begitu saja. Komentar itu memancing pertanyaan lebih jauh: kalau Alatas mengemukakan dua unsur yang berperan untuk dapat menciptakan jarak kritis agar dapat bersikap objektif secara proporsional, lalu apa kira-kira faktor lain yang dapat berperan untuk menjaga jarak kritis tersebut?
Mari, bantu saya untuk menjawab pertanyaan ini lebih lanjut.
Keterangan: kutipan terjemahan dari buku Ismail Fajrie Alatas diambil dari terjemahan versi Penerbit Bentang/Mizan (2024).
Jumat, 01 Maret 2024
Objektivitas dan Jarak Kritis
Label: Diari BIB, Reflection
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar