Catatan Membaca The First Muslims (2007) karya Asma Afsaruddin
Buku karya Asma Afsaruddin, The First Muslims: History and Memory (Oxford: OneWorld Publication, 2007), ini berusaha menyajikan peta perebutan makna sejarah dan ajaran Islam oleh umat Islam masa kini. Secara garis besar, buku ini memuat dua bagian. Bagian pertama, buku ini menyajikan secara singkat sejarah dan pemikiran tiga generasi muslim awal yang juga dikenal dengan sebutan al-salaf al-shalih. Kedua, buku ini memaparkan beberapa butir pemikiran umat Islam masa kini yang dibagi dalam dua kelompok besar tentang beberapa isu pokok yang banyak diperbincangkan. Dua kelompok itu disebut kelompok islamis dan kelompok modernis.
Bagian yang pertama merupakan titik tolak yang menjadi landasan perdebatan dari dua kelompok yang dituturkan di bagian kedua. Pergulatan sejarah umat Islam di tiga generasi awal dipandang telah melahirkan memori dan menjadi basis legitimasi bagi aneka penafsiran sikap keagamaan yang muncul saat ini, termasuk yang dikemukakan oleh kelompok islamis dan kelompok modernis.
Dengan menyadari pentingnya pemaparan fase sejarah tiga generasi awal tersebut, buku ini menyandarkan rujukannya pada sumber-sumber klasik berbahasa Arab baik berupa biografi atau sejarah, tafsir, adab, dan sebagainya. Terkait sumber rujukan ini, Asma sejak awal menegaskan bahwa klaim kaum revisionis yang cenderung meragukan beberapa sumber Islam awal dapat tertolak, sebagian juga karena adanya rujukan dan manuskrip terkini yang memperkuat posisi sumber-sumber klasik tersebut.
Asma memaparkan bagian pertama ini dalam delapan bab, meliputi periode kehidupan Nabi Muhammad saw, khulafa’ al-rasyidun, masa sahabat, tabi’un, dan tabi’ al-tabi’in, dalam 147 halaman (dari total 199 halaman bagian isi). Dengan ruang pembahasan yang singkat, Asma memberi penekanan pada penggalan sejarah yang penting seperti tentang Konstitusi Madinah, isu-isu kunci dalam kepemimpinan setelah Rasul, perubahan tata kehidupan bermasyarakat setelah meluasnya wilayah Islam, dan sebagainya.
Konstitusi Madinah misalnya memuat term jihad militer tapi dalam arti bertahan. Perjanjian itu juga memaknai ummah tidak saja beranggotakan komunitas muslim tapi juga umat Yahudi dan juga Kristen. Menarik dicatat bahwa sejauh terkait konflik Nabi dengan suku Yahudi di Madinah, yang mengemuka menurut Asma adalah lebih terkait dengan pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh suku Yahudi tersebut. Tak ada sentimen Yahudi yang mengemuka. Ini juga terbukti dalam kisah seorang perempuan Yahudi yang berusaha meracun Nabi tapi kemudian terbongkar. Nabi tidak menjadikan kasus ini untuk mengangkat sentimen Yahudi di kalangan umat Islam.
Pada masa khulafa’ al-rasyidun, beberapa khalifah mengambil keputusan yang cukup menarik diperbincangkan dan menjadi cermin tentang bagaimana para sahabat membaca norma Islam sepeninggal Nabi. Abu Bakar misalnya memutuskan untuk memerangi pada pembangkang yang tidak mau membayar zakat di masa kepemimpinannya. Keputusan ini diprotes oleh sebagian sahabat karena tak ada teks yang tegas yang dapat melegitimasi keputusan tersebut. Namun Abu Bakar kemudian menjelaskan landasan keputusannya dengan baik. Dari poin ini, menurut al-Jahiz, Abu Bakar menunjukkan bahwa untuk mengikuti ajaran Islam diperlukan kedalaman pemahaman dan pengetahuan yang dapat melampaui permukaan teks. Hal serupa juga terjadi pada masa Umar bin al-Khaththab, misalnya ketika Umar menangguhkan hukuman bagi pencuri saat wilayah kekuasaannya mengalami masa paceklik. Sementara ada sumber yang menggambarkan Umar bersikap diskriminatif terhadap kelompok agama lain, Asma menolak dengan menyatakan bahwa sumber tersebut baru muncul pada abad ke-9, dan apalagi banyak fakta sejarah lain yang menunjukkan sikap toleran Umar dalam pendudukan di beberapa wilayah seperti Yerusalem, yang jauh lebih baik daripada penguasa Bizantium sebelumnya.
Tarik menarik antara semangat egalitarianisme Islam yang dibangun sejak awal kelahirannya terus terjadi pada masa tabi’un. Jika pada masa pemerintahan Bani Umayyah suku Arab tampak dominan dan superior, pada era Abbasiyah hal itu bisa dikatakan tidak terlihat lagi. Berbagai unsur warga wilayah kekuasaan Islam yang multi-etnis berpartisipasi aktif dalam tata pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Namun, pada saat yang sama, pada era Abbasiyah ini mulai muncul pemaknaan jihad sebagai aktivitas militer. Pada masa ini, jihad juga kadang dimaknai sebagai qital (pertempuran).
Bagian kedua buku ini kemudian memetakan pandangan kelompok islamis dan modernis masa kini dalam menyikapi beberapa masalah, seperti negara Islam, syariah, posisi perempuan, dan jihad. Menurut Asma, pembacaan kaum modernis jauh lebih berhasil dalam berusaha bercermin dari pemikiran dan praktik kaum al-salaf al-shalih daripada kaum islamis. Kaum modernis lebih adaptif dalam soal penerapan hukum Islam, terbuka dalam membincang konsep kenegaraan, toleran terhadap kelompok minoritas, dan juga membuka ruang partipasi publik bagi kaum perempuan. Kaum islamis yang terpengaruh dengan doktrin takfir akhirnya cenderung gagal menampilkan teladan wajah Islam yang tecermin dari generasi al-salaf al-shalih.
* * * * *
Kesan dan pertanyaan yang pertama muncul setelah membaca buku ini terkait ruang kosong yang dilewatkan oleh Asma pada fase sejarah setelah periode tabi’ al-tabi’in. Jika tujuan menulis buku ini tidak sekadar berbicara tentang umat Islam awal, tapi juga kaitannya dengan umat Islam masa kini, maka seorang diasumsikan bahwa umat Islam masa kini semata merujukkan sikap dan pandangannya pada periode tiga generasi muslim awal sebagaimana yang dibahas Asma dalam buku ini.
Menurut saya, sikap dan pandangan umat Islam masa kini bisa saja juga terbentuk oleh peristiwa, memori, atau warisan dari periode yang tidak dibahas Asma. Misalnya, periode yang melibatkan terjadinya peristiwa Perang Salib pada akhir abad ke-11 hingga abad ke-13. Mungkin benar, bahwa perujukan pada periode generasi al-salaf al-shalih lebih banyak terkait dengan soal legitimasi. Namun penyikapan kaum muslim saat ini tidak hanya tentang legitimasi, tapi bisa juga terbentuk dari apa yang oleh Karen Armstrong dalam The Holy War (2001) disebut sebagai krisis identitas, seperti yang juga melatari peristiwa Perang Salib, sehingga kaum islamis misalnya oleh Asma disebut lebih menempatkan Islam sebagai ideologi politik semata.
Apakah dengan demikian berarti Asma berasumsi bahwa peristiwa Perang Salib, misalnya, tidaklah signifikan dalam pembentukan sikap dan pandangan kaum islamis dan modernis?
Pembacaan terhadap titik sejarah yang dianggap penting, seperti Perang Salib, penting juga untuk menelusuri pembentukan cara pandang diri kaum islamis dan modernis, atau pembentukan identitas. Beberapa sejarawan menulis pemaparan sejarah juga kadang dari perspektif pencarian makna identitas ini, seperti Tamim Ansary yang menulis Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes (2009), atau Tariq Ramadan yang menulis In the Footsteps of the Prophet (2006).
Selanjutnya, jika dibandingkan dengan buku Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005), mungkin akan lebih baik jika secara khusus Asma juga memberi porsi untuk menjelaskan sedikit latar kemunculan kelompok islamis ini, terutama dalam konteks tatanan sosial-politik dunia. Di buku The Great Theft, misalnya, Abou El Fadl secara khusus menjelaskan cukup panjang lebar kelahiran kaum puritan baik di era awal maupun di masa kini, sebelum kemudian menguraikan satu persatu doktrin atau pemahaman keagamaan mereka.
Pertanyaan yang menarik dan mungkin cukup menantang adalah jika uraian Asma dihubungkan dalam konteks Islam di Indonesia, baik itu menyangkut perujukan pada memori sejarah, legitimasi, dan klaim autentisitasnya secara doktrinal, maupun juga pada identifikasi dan pengelompokan kecenderungan pemikiran yang berkembang saat ini.
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar