Minggu, 20 Juni 2021

Membangun Dunia dengan Asumsi Baik Sangka

Judul buku: Humankind: Sejarah Penuh Harapan
Penulis: Rutger Bregman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2021
Tebal: xxiv + 444 halaman
ISBN: 978-602-06-4919-1

Saat ini dunia dikelola di atas pandangan dasar yang suram. Dunia bisnis, pendidikan, juga negara, ditata dengan asumsi bahwa manusia itu bersifat dasar egois dan digerakkan oleh kepentingan pribadi.

Adam Smith, ahli ekonomi pencerahan, dalam karya klasiknya, The Wealth of Nations (1776), menjelaskan bahwa roda ekonomi berputar bukan karena dorongan kemanusiaan, tapi karena rasa cinta individu pada diri sendiri. Karena itu, egoisme jangan diredam.

Buku ini mengajukan argumen yang berbeda, yakni bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Manusia itu memiliki naluri untuk bekerja sama, bukan bersaing. Manusia itu cenderung menaruh kepercayaan pada sesama, bukannya saling curiga.

Rutger Bregman, sejarawan muda dari Belanda yang menulis buku ini, menggambarkan betapa pandangan suram bahwa hakikat manusia itu bersifat durjana begitu dominan. Persepsi keliru ini utamanya terbentuk karena kita setiap hari mengonsumsi berita di berbagai media. Berita, menurut Bregman, cenderung mengangkat hal-hal yang negatif sehingga akhirnya membentuk persepsi bahwa manusia itu bersifat dasar buruk.

Bukan hanya berita, dari sisi ilmiah, banyak teori atau penemuan ilmiah yang menegaskan sisi muram manusia. Penelitian Philip Zimbardo pada 1971 menemukan bahwa manusia biasa berubah menjadi monster jika berada dalam situasi tertekan. Penelitian Milgram pada 1961 menunjukkan bahwa manusia patuh berbuat jahat saat berada dalam tekanan otoritas.

Untuk membongkar pandangan yang sudah mendarah daging ini, Bregman merangkum dan menelaah kembali beberapa penelitian mutakhir di bidang sejarah, humaniora, dan sains secara kritis. Pertama, Bregman membahas kemunculan homo Sapiens dan bagaimana ia bisa bertahan hingga kini.

Berdasar beberapa penelitian dari perspektif evolusioner, Bregman menyimpulkan bahwa manusia tidak dibentuk oleh gen egois seperti digagas Richard Dawkins. Jenis homo yang bertahan adalah yang ramah. Keramahan dan kerja sama melahirkan kecerdasan yang jauh lebih dahsyat ketimbang genius individual yang egois seperti Neanderthal.

Bregman membahas penyebab sifat baik manusia yang berubah menjadi jahat. Menurut Bregman, paling tidak ada dua pokok penyebab manusia menjadi jahat, yakni empati dan kekuasaan. Empat itu tak sepenuhnya baik. Empati bisa membutakan, membuat sifat baik manusia digusur oleh sifat buruk. Sebuah penelitian psikologis atas tentara Nazi mengungkapkan bahwa mereka bisa berperang dengan luar biasa bukan karena daya tarik ideologi Nazi, tapi karena persahabatan (Kameradschaft).

Sementara itu, kekuasaan cenderung membuat orang kehilangan sifat baik dan kebersahajaannya –sesuatu yang mungkin membuat dia terpilih sebagai pemimpin. Dari beberapa riset, Bregman menulis bahwa kekuasaan itu seperti obat bius yang mematikan kepekaan seseorang pada orang lain.

Bregman menjajaki kemungkinan membangun dunia dan lembaga-lembaga masyarakat dengan pandangan berbaik sangka. Prasangka baik atas sifat dasar manusia ini adalah sebuah harapan atau optimisme atas masa depan sejarah dunia.

Ada beberapa contoh konkret praktik lembaga yang menurut Bregman dikelola dengan asumsi sifat baik manusia. Di antaranya adalah pengelolaan dua penjara di Norwegia (Halden dan Bastøy) yang tak biasa karena dibangun dengan pendekatan yang lebih manusiawi –tak ada sel dan jeruji di sana.

Bregman menunjukkan bahwa dua penjara yang dibangun dengan asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik itu justru lebih berhasil dan efektif dalam mengembalikan para narapidana pada kehidupan normal di masyarakat. Setelah dua tahun keluar dari Bastøy, misalnya, hanya 16 persen yang kembali dipenjara sesudah dua tahun –sedangkan di Amerika, angkanya mencapai 60 persen.

Gagasan reformasi yang diajukan Bregman diakuinya tidak mudah untuk diterima. Selalu ada alasan yang dikemukakan untuk berpegang bahwa manusia itu jahat. Selain itu, membela sifat baik manusia bisa menantang kekuasaan. Asumsi bahwa sifat manusia itu dasarnya adalah baik menuntut jenis kepemimpinan yang berbeda dengan yang lazim dipraktikkan saat ini.

Ide besar yang digagas buku ini menarik untuk dicermati lebih lanjut dan dikontekstualisasikan dengan situasi masyarakat kita. Reformasi kelembagaan di masyarakat kita sangat pantas untuk mempertimbangkan perspektif baru yang diajukan buku ini.

Selain gagasan dasar yang ditawarkan, kelebihan buku ini terletak pada kekayaan data dan argumentasinya yang dibangun secara kritis di atas banyak penelitian ilmiah mutakhir. Ketajaman analisisnya berpadu dengan gaya bertutur yang renyah dan nyaman dicerna. Namun sayang, edisi terjemahan buku ini tidak dilengkapi dengan indeks yang dapat memudahkan pembaca untuk mencari subjek penting tertentu secara lebih cepat.

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 20 Juni 2021.


1 komentar:

MG Makruf mengatakan...

Andaikan buku ini diasaskan dengan dasar-dasar nilai islam, dan kemudian didukung oleh data-data hasil penelitian ilmiah. Wah,.. luar biasa.

Tapi dengan hanya dasar data penilitian dan tanpa mengemukakan fakta yang ada, bahwa buku ini bersifat netral bagi semua kepercayaan. Benar, pengaruh media begitu mengakar membentuk “persepsi-persepsi negatif”.

Kesimpulannya, husnu-dhan kepada siapapun, lebih-lebih kepada Allah SWT.

Mator sakalangkong, RA ….