Judul buku: Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001
Penulis: Ahmad Suaedy
Penerbit: Gramedia, Jakarta
Cetakan: Pertama, November 2018
Tebal: xxxiv + 488 halaman
ISBN: 978-602-06-1813-5
Diceritakan bahwa suatu hari Presiden Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—menerima laporan bahwa di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora–bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kalangan tentara melihat ini sebagai bentuk ancaman separatisme. Setelah mengetahui bahwa ada juga bendera merah putih yang dikibarkan dengan posisi lebih tinggi, Gus Dur dengan santai menanggapi, “Anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.”
Jawaban ini bukan sekadar guyonan khas Gus Dur. Jawaban ini dapat menjadi pintu masuk untuk memahami strategi penyelesaian konflik ala Gus Dur khususnya dalam kasus Aceh dan Papua secara lebih menyeluruh, sebagaimana yang dipaparkan dengan baik oleh Ahmad Suaedy dalam buku ini.
Menurut Suaedy, Gus Dur mendobrak asumsi dan visi mendasar dalam penanganan konflik Aceh dan Papua yang sebelumnya hanya parsial, belum radikal, bahkan salah jalur. Untuk konflik Aceh, misalnya, Presiden Habibie memberi jalan keluar dengan diterbitkannya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mengakomodasi penerapan syariah Islam di Aceh. Padahal, masalah pokok konflik Aceh adalah ketidakadilan ekonomi dan represi militer. Demikian pula, penanganan konflik di Papua pada masa pemerintahan Soeharto cenderung manipulatif, represif, dan melibatkan kekerasan oleh tentara.
Bagi Gus Dur, konflik Aceh dan Papua berakar pada visi kewarganegaraan yang keliru yang membuat kepedulian negara pada warganya cenderung formalistik belaka. Sentralisme Orde Baru ala Soeharto menempatkan protes rakyat sebagai ancaman. TNI masa itu mendefinisikan tantangan nasional di antaranya dalam wujud separatisme.
Gus Dur memperjuangkan visi kewarganegaraan bineka yang berusaha menempatkan seluruh unsur warga negara secara setara. Masyarakat Papua dan Aceh bukanlah musuh negara. Mereka juga warga negara yang setara, sama-sama memiliki aspirasi dan juga ingin mendapatkan perlakuan yang adil dari negara.
Kesetaraan ini diterjemahkan dengan memberikan pengakuan (recognition) terhadap eksistensi masyarakat Papua atau OPM dan Aceh atau GAM. Pengakuan ini kemudian diikuti dengan penghormatan (respect) yang berwujud kesediaan untuk memberikan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan juga jaminan keamanan.
Tentu saja, langkah-langkah ini oleh Gus Dur dimulai dengan membangun hubungan saling percaya (trust) yang sebelumnya tidak ada antara pemerintah dan kelompok-kelompok di Aceh dan Papua. Kebijakan Gus Dur untuk mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua dan Bulan Bintang di Aceh juga dalam kerangka tersebut. Gus Dur juga menunjuk Jacobus Perviddya Solossa, yang ikut menandatangani pernyataan tuntutan merdeka kepada Presiden Habibie, sebagai Gubernur Papua.
Langkah Gus Dur dalam usaha menyelesaikan konflik Aceh dan Papua secara damai berpuncak pada capaian tersusunnya RUU Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua yang mengakomodasi aspirasi politik, ekonomi, dan budaya masyarakat Aceh dan Papua. Proses pembahasan RUU ini di DPR mendapatkan pengawalan oleh gerakan masyarakat sipil sehingga meskipun Gus Dur dilengserkan semangat UU tersebut tidak berubah arah.
Buku yang semula merupakan disertasi penulisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini adalah karya yang sangat berharga yang berusaha merekam warisan pemikiran dan aksi nyata Gus Dur dalam penyelesaian konflik Aceh dan Papua yang telah banyak memakan korban. Suaedy dalam buku ini juga menunjukkan bahwa pemikiran dan aksi Gus Dur dalam penyelesaian konflik Aceh dan Papua ini berlandaskan pada metodologi Islam post-tradisional yang merupakan khazanah Islam Nusantara. Gus Dur, menurut Suaedy, memilih jalan non-ideologis sebagai landasan penyelesaian konflik dengan memberi penekanan pada tujuan dan misi Islam untuk kesejahteraan masyarakat yang dalam terma Islam Nusantara populer dengan istilah rahmatan lil ‘alamien.
Kita tahu bahwa hingga kini penyelesaian konflik Aceh dan Papua masih belum benar-benar tuntas. Dengan demikian, buku ini mengingatkan bahwa perjuangan visi kewarganegaraan bineka yang menjadi semangat Gus Dur harus terus dikawal ketat, termasuk mengawal unsur keadilan kepada kelompok-kelompok yang (dulunya) terpinggirkan. Sebab, kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 9 Desember 2018.
0 komentar:
Posting Komentar