Judul buku: Tiada Sufi Tanpa Humor
Penulis: Imam Jamal Rahman
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: viii + 240 halaman
Masyarakat modern dengan kehidupan yang bernuansa materialistis sering digambarkan mengalami kehampaan makna hidup. Spiritualitas dalam diri mereka mati dan terabaikan. Tasawuf tampil sebagai jalan untuk menghidupkan unsur mendalam pada diri manusia.
Buku ini mengambil sudut pandang yang unik dalam mengajukan tasawuf sebagai langkah reflektif menuju penyucian diri. Buku ini mengemukakan humor sebagai hal yang merupakan dasar kesamaan di antara berbagai aliran sufi yang ada. Menurut penulis buku ini, secara umum kaum sufi sering tertawa. Pada saat yang sama, banyak hikmah-hikmah tasawuf dituturkan melalui tokoh Nasruddin Hoja atau Sang Mullah yang digambarkan sebagai orang bahlul (hlm. 3-5).
Imam Jamal Rahman, penulis buku ini, percaya bahwa campuran antara kejenakaan dan kebahlulan dapat menerbitkan kebijaksanaan. Untuk itu, penulis menghimpun kisah-kisah jenaka yang populer di dunia tasawuf dan kemudian disusun secara tematis dalam buku ini. Ada 48 bab singkat yang terangkum dalam 9 tema besar. Di antaranya tentang kondisi manusia yang fana, perubahan dalam kesadaran, latihan spiritual, dan aktif dalam dunia. Meski sebagian besar kisah-kisahnya fiktif, namun nilai inspiratifnya tak dapat disepelekan.
Saat mengangkat tema tentang cara mengubah diri dalam kerangka spiritualitas, penulis menekankan bahwa spiritualitas adalah pengalaman langsung. Penulis mengangkat kisah seorang anak dokter yang mendapat tugas untuk membersihkan jamban di pondokan sufinya. Karena tahu bahwa jamban penuh dengan penyakit, sang ayah mengirimkan 12 budak Ethiopia untuk menggantikan tugas anaknya. Pada titik ini sang guru sufi memberi pertanyaan retoris: “Jika anakmu terkena radang empedu, apa kau akan memberikan obatnya pada seorang budak Ethiopia?” (hlm. 38-40).
Kisah ini menyinggung orang yang ingin mengubah dirinya tapi hanya berhenti di tingkat pemahaman yang bersifat formal. Padahal, inti perubahan ada pada diri, tepatnya pada pengalaman diri terjun pada jalan perubahan tersebut.
Di tingkat pemahaman pun, bahkan ada orang yang enggan menerima informasi atau pengetahuan yang dirasa akan merugikan bagi dirinya, tapi di saat yang lain dia dengan senang hati akan menerima informasi serupa bila dirasa akan menguntungkan. Inilah yang disebut dengan kebenaran selektif.
Alkisah seorang tetangga Mullah ragu untuk meminjamkan pancinya pada Mullah. Namun setelah dipinjamkan dan kemudian dikembalikan, Mullah memberi dua panci. Mullah bilang, panci itu hamil dan melahirkan saat dipinjamnya. Beberapa bulan kemudian, saat kembali meminjam panci, ternyata Mullah tidak mengembalikan panci itu. Katanya, pancinya meninggal saat proses melahirkan. Si tetangga protes bahwa itu tidak mungkin. Tapi Mullah mempertanyakan mengapa dulu si tetangga percaya bahwa pancinya bisa hamil (hlm. 79).
Perubahan diri sering membutuhkan keteguhan dan kesungguhan. Saat seseorang mengalami perasaan negatif, ego yang terluka perlu berusaha keras untuk keluar dari situasinya. Tapi kadang orang enggan untuk bertahan dalam situasi yang tidak mengenakkan dalam proses perubahan diri. Ini tecermin dalam kisah yang diangkat oleh Rumi tentang seorang pria yang ingin punya tato singa di bahunya. Saat jarum ditusukkan, si pria melolong kesakitan dan bertanya bagian singa mana yang sedang dikerjakan. Saat dijawab bahwa itu adalah bagian ekor, si pria bilang bahwa singanya tak usah ekor saja. Demikian seterusnya hingga akhirnya tato gagal dibuat (hlm. 144-145).
Meski kisah-kisah jenaka dan reflektif dalam buku ini sumbernya beragam dan tidak faktual, di setiap bab penulis buku ini menyajikan kutipan hikmah dari al-Qur’an, hadis, atau aforisme tokoh-tokoh sufi terkemuka terkait tema yang sedang diangkat. Sumber hadisnya diambil dari kitab hadis yang otoritatif. Selain itu, penulis juga memberi panduan praktis bagaimana untuk melatih hal yang terkait tema yang diangkat.
Saat mengangkat tema syukur, misalnya, penulis di antaranya memandu dengan latihan agar kita secara rutin membuat ritual bersyukur sebelum tidur. Kita diajak menghitung kenikmatan apa saja yang sudah diterima dalam satu hari. Melakukan hal ini, menurut guru sufi, sama dengan menciptakan bulu dan sayap pada burung rohani kita untuk terbang menjumpai Tuhan (hlm. 123).
Jika berbicara tentang perubahan diri, pendidikan karakter, atau bahkan revolusi mental, buku ini sangat tepat untuk dinikmati dan dijadikan bahan pengaya dan penuntun menuju perubahan sejati yang nyata.
Versi yang lebih pendek dari tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 19 Mei 2015.
Selasa, 19 Mei 2015
Mutiara Pencerahan di Balik Kisah Jenaka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar