Saat pertama kali mengenal internet di Yogyakarta tahun 1999, di antara hal menarik yang dilakukan dalam berinternet bagi saya dan para penggemar buku atau mahasiswa adalah berburu buku elektronik. Waktu itu buku-buku berhaluan kiri sedang populer, terutama di kalangan mahasiswa, dan internet memberi kesempatan yang luas untuk mengakses buku-buku semacam itu. Jika di dunia offline buku-buku kiri waktu itu cukup sulit didapat karena adanya pelarangan dari pemerintah, internet menjadi ruang yang lebih bebas untuk buku-buku yang diberangus tersebut.
Dalam konteks yang lebih luas, proyek digitalisasi buku yang kemudian dapat diakses lewat internet hingga kini terus berlangsung. Project Gutenberg, perpustakaan digital tertua yang didirikan oleh Michael S. Hart pada tahun 1971, hingga November 2011 menyatakan telah memiliki 38.000 koleksi, dan terus bertambah setiap pekan. Ini adalah salah satu contoh tentang bagaimana internet menyediakan ruang bagi akses yang lebih terbuka.
Seiring dengan kecepatan perkembangan teknologi internet yang luar biasa dan sulit diterka, akses pengetahuan dan informasi di internet tersaji dengan cara yang semakin beragam dan menarik. Di antaranya saya temukan dalam salah satu situs yang sangat terkenal: YouTube.
Situs tempat berbagi video yang didirikan pada Februari 2005 ini pada dasarnya mirip pasar swalayan. Aneka rupa video tersaji. Saya bisa menemukan video gol-gol indah para pesepakbola terkenal dunia, berita meninggalnya seorang ulama dari Madura, dokumentasi kegiatan lingkungan di sebuah SMA swasta di Madura, seekor anjing yang bisa melafalkan nama Obama, dan sebagainya.
Yang menarik, situs yang kini setiap hari dikunjungi lebih dari satu miliar peselancar itu sejak akhir Maret 2009 lalu membuka sebuah saluran yang sangat menarik yang diberi nama YouTube EDU. Saluran ini dibuat untuk maksud menghimpun content pendidikan yang diunggah oleh civitas akademika di Amerika. Belakangan, kampus-kampus Eropa dan negara lain juga berkontribusi di saluran ini.
Saluran ini semakin memperkaya pilihan bagi para pembelajar otodidak yang haus ilmu dan informasi. Saya dapat membayangkan, bagi masyarakat Indonesia atau warga negara dunia ketiga lainnya, menikmati ceramah ilmuwan-ilmuwan terkemuka melalui saluran ini akan serupa dengan harta karun bernilai tinggi.
Setelah saya membaca esai reflektif Peter Singer tentang kemiskinan di Bangladesh di jurnal Philosophy and Public Affair (1972) yang merupakan bahan diskusi di kelas saya saat kuliah di Utrecht University bulan September 2009 lalu, saya betul-betul menikmati saat kemudian menyimak ceramah filsuf terkemuka ini di Macquarie University Australia pada Juli 2009 yang saya temukan di saluran baru YouTube ini. Ceramah sekitar 70 menit bertajuk “Climate Change, Eating Meat and Ending Poverty” ini tidak saja membantu saya untuk lebih memahami esai klasik di bidang etika terapan tersebut, tetapi juga berhasil mendorong saya untuk membaca buku terbaru Singer: The Life You Can Save: Acting Now to End World Poverty (2009).
Hal serupa berulang saat saya menemukan ceramah seorang filsuf, dan aktivis lingkungan India terkemuka: Vandana Shiva. Ceramah-ceramahnya yang kritis dan radikal yang cukup banyak di saluran YouTube ini sungguh menyemangati saya untuk segera menuntaskan membaca beberapa bukunya.
Sebenarnya, berbagai disiplin keilmuan dan tema dapat kita temukan di saluran ini, mulai dari soal perdagangan karbon, bailout dalam konteks resesi ekonomi, game internet, diferensial dan kalkulus integral, dan yang lainnya. Banyak kampus terkemuka yang membuka akun untuk berbagi video kuliah atau ceramah di saluran ini, seperti MIT, Harvard University, Cambridge University, dan yang lainnya.
Fenomena semakin terbukanya akses pendidikan ini dalam konteks internet tentu saja terjadi tak hanya melalui saluran YouTube ini. Newsweek edisi 9 November 2009 menyebutkan bahwa pada tahun 1999 Tübingen University di Jerman menjadi kampus pertama yang membuka akses file-file ceramah dan perkuliahannya melalui internet. Pada tahun 2002, MIT menyusul. Dilaporkan bahwa dari 1,2 juta pengunjung situs MIT tiap bulan, 45 persen di antaranya adalah para pembelajar otodidak yang mengakses ceramah-ceramah ilmiah tersebut.
Lalu apa arti semua ini bagi masyarakat Indonesia? Terbukanya akses content pendidikan melalui internet memang sebuah hal yang sangat menggembirakan. Tak perlu kuliah ke luar negeri jika hanya mau menyimak perkuliahan dari kampus terkemuka dunia atau presentasi orang-orang atau pemikir ternama. Akan tetapi ini tentu mengandaikan beberapa hal yang bisa jadi masalah, atau lebih tepatnya tantangan, bagi masyarakat Indonesia.
Secara teknis, akses internet di Indonesia masih belum merata, dan kalaupun ada, kebanyakan masih belum bisa secara nyaman mengakses file video semacam di YouTube dengan lancar. Masalah teknis lainnya terkait dengan kemampuan bahasa, karena semua ceramah di YouTube EDU mensyaratkan penguasaan bahasa Inggris yang cukup baik untuk bisa menyerapnya secara optimal.
Content pendidikan berbahasa Indonesia, terutama dalam bentuk video, memang masih belum banyak dikembangkan. Belakangan ini, di YouTube ada channel TEDxJakarta yang merupakan program pengembangan dari situs TED yang berdiri sendiri dan telah cukup lama berbagi content video presentasi dengan narasumber terkemuka dan tema-tema aktual yang inspiratif. TED, yang berpusat di New York, telah mempublikasikan video-video ceramah atau presentasinya secara gratis sejak Juni 2006 dan hingga kini memuat lebih dari seribu video untuk berbagai tema.
Kehadiran saluran TEDxJakarta ini sementara bisa mengatasi keterbatasan bahasa masyarakat Indonesia, karena TEDxJakarta memuat presentasi orang-orang Indonesia—dan dengan bahasa Indonesia. Di saluran tersebut, kita bisa mendengarkan kisah Anies Baswedan dengan program Indonesia Mengajar-nya, juga Ade Rai tentang masyarakat Indonesia yang sehat, atau juga Ridwan Kamil, arsitek dan desainer yang penuh inspirasi dan belakangan dikenal dengan gerakan Indonesia Berkebun.
Tentu saja content pendidikan di internet tak hanya berupa video. Akan tetapi, saya pikir kita akan sepakat bahwa media video akan lebih mudah diterima oleh masyarakat luas daripada, misalnya, buku atau bahan bacaan yang mengandaikan kemampuan mencerna yang lebih kompleks.
Bagaimana dengan di Madura? Dalam pengamatan saya, masyarakat Madura mulai mengenal internet secara lebih luas sejak tahun 2007, saat Telkom mulai mengembangkan jaringan internet mereka ke wilayah kecamatan. Belakangan, penetrasi internet ke wilayah desa mulai semakin meluas. Tambahan lagi, beberapa kalangan di Madura juga mulai menggunakan provider telepon seluler untuk akses internet.
Akan tetapi, seperti masyarakat Indonesia umumnya, tantangan yang paling besar sebenarnya terkait dengan mental. Sepertinya, sosok pembelajar mandiri yang haus akan ilmu dalam arti yang sebenarnya dan tak terikat dengan formalitas masih tak merata. Fenomena penjiplakan dan semacamnya, seperti juga soal ijazah atau sertifikat palsu, yang sampai sekarang masih saja muncul, dan mungkin saja juga terbantu dengan teknologi internet, jelas sangat bertolak belakang dengan semangat sosok pembelajar mandiri yang diandaikan dalam kasus ini.
Sayangnya, di Madura, momentum penetrasi internet bersamaan dengan booming-nya situs-situs jejaring sosial seperti Facebook. Akhirnya, cukup banyak orang di Madura yang pertama kali mengenal internet melalui Facebook. Ini juga terjadi di kalangan pelajar atau mahasiswa. Dengan demikian, pelajar dan mahasiswa jenis ini mengenal internet pertama kali sebagai tempat bersosialisasi, atau bahkan mungkin bernarsis-ria, dan bukan sebagai tempat untuk mengatasi keterbatasan perpustakaan di kampus atau sekolahnya—juga keterbatasan guru dan dosennya.
Jika belakangan ini mulai muncul gerakan-gerakan bertajuk “internet sehat” maka menurut saya salah satunya harus berupa upaya untuk mendorong masyarakat memanfaatkan internet sebagai ruang belajar alternatif dalam konteks akses yang terbatas dan kualitas pendidikan yang perlu terus ditingkatkan. Umpama ada anak lulusan SMA dan sederajat yang tak bisa melanjutkan kuliah, kita bisa memberinya saluran alternatif. Mungkin dia bisa “kuliah” di semacam YouTube University, atau TED, dan sebagainya. Saya juga berpikir bahwa saluran-saluran semacam ini, terlepas dari kekurangannya sebagaimana kelemahan internet pada umumnya yang dinilai kurang mendalam dan mendangkalkan cara berpikir (Nicholas Carr, 2011), mungkin saja bisa membantu mendorong tumbuhnya sosok pembelajar mandiri. Artinya, memanfaatkan kelebihan internet sebagai batu loncatan untuk membentuk mental pembelajar.
Seorang pembelajar karbitan akan resah jika tak mendapatkan selembar ijazah setelah melalui proses pendidikannya. Tapi seorang pembelajar mandiri lulusan YouTube University, sebutlah demikian, tak sedikit pun risau bila tak punya sertifikat atau apa pun yang menyatakan bahwa ia telah mengikuti perkuliahan di sana. Siapa hendak bergabung?
Tulisan ini dimuat di Majalah Suluh MHSA, edisi VIII, Januari 2012.
4 komentar:
Tulisan yang sangat inspiratif..pemikiran-pemikiran seperti ininah yang bisa menjadi madu penawar dalam dunia pendidikan Indonesia yang sudah sangat "beracun".
Kalo ada relawan yang bisa mendownload dan menyediakan subtitle untuk video-video tersebut, keterbatasan seperti yang di maksud M.Musthafa saya rasa dapat teratasi. :)
Oya, saya lupa tidak menceritakan bahwa saya menggarap proyek penerjemahan film-film bagus, termasuk juga dokumenter, yang bisa jadi pembelajaran. Dibuatkan subtitle Indonesia. Ini bisa mengatasi keterbatasan bahasa. Jika ada yang berminat untuk berpartisipasi, silakan. Chacings berpartisipasi menerjemahkan film Gandhi, tapi belum selesai...ditunggu..
Menarik. Menarik dan menarik!!!
*btw, suluh MHSA itu milik MH Said Abdullah, ya gus?
Di majalahnya tampaknya tidak dijelaskan secara khusus. Saya pikir begitu. Jelas bukan kepanjangan "mahasiswa".. :-)
Posting Komentar