“Kalian ini adalah para elite. Kalian punya kesempatan belajar di luar negeri. Kira-kira bagaimana jika Indonesia kelak dipimpin oleh kalian? Apakah bisa lebih baik, bisa lebih bersih?”
Kurang lebih, begitulah kalimat-kalimat yang sempat terlontar dari Ibu Tatiana malam itu di pesta ulang tahun salah seorang rekan mahasiswa Indonesia di Utrecht. Kehadiran Bu Tati, yang telah cukup lama tinggal di Zeist dan punya cukup banyak pengalaman internasional, memang terasa cukup mengubah suasana—tak seperti lazimnya acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Utrecht pada umumnya.
Bu Tati menanyai satu per satu rekan-rekan mahasiswa Indonesia yang malam itu datang ke Warande 190: apa program studi yang ditekuni di Utrecht, apa saja aktivitas di Indonesia, dan sebagainya. Jadilah kami seperti harus presentasi singkat tentang diri kami masing-masing. Bu Tati tak segan untuk menggali lebih dalam. Salah seorang di antara kami ada yang kemudian presentasi tentang tesis yang dikerjakannya.
Pembicaraan kami sebenarnya cukup lepas. Bu Tati, yang juga bisa berbahasa Prancis dan Spanyol, juga banyak berbagi cerita dan pengalaman hidupnya di Belanda. Di bagian ini, tampak sikap kritis Bu Tati dalam melihat realitas sosial. “Bagi kalian, yang relatif tak begitu lama tinggal di Belanda, mungkin akan melihat bahwa hidup di sini enak. Sebenarnya, tantangan hidup dan masalah sosial di sini juga banyak,” katanya.
Masalah kesejahteraan masyarakat, prasangka kepada etnis atau kelompok tertentu, menurut Bu Tati tak sepenuhnya selesai di negeri Kincir Angin ini. Jangan dikira bahwa di negara maju dan liberal seperti Belanda tak ada diskriminasi. Tentang hal ini, Bu Tati menuturkan beberapa pengalaman kecil yang relevan. Hmmm... rupanya tajam juga cara pandang Bu Tati ini.
Malam itu, kami tak sekadar berkumpul untuk merayakan dan mensyukuri ulang tahun rekan kami. Secara tidak langsung, ada sedikit peringatan dari Bu Tati tentang hidup yang sedang kami jalani di sini—juga tentang hari depan. Ya, benar, kami mungkin memang bisa disebut sebagai para elite sosial. Kami menikmati kesempatan untuk merantau dan belajar di sini, di tempat yang disebut sebagai “negara maju”—sebuah kesempatan yang mungkin hanya bisa diimpikan oleh orang lain.
Apa yang bisa kami bawa pulang dari sini? Apa yang akan kami kerjakan nanti? Pertanyaan semacam ini sejatinya menuntut banyak hal dari kami: bahwa kami harus punya proyek masa depan, proyek peradaban, sesuai dengan minat dan kepedulian kami, di komunitas masing-masing. Apakah harapan ini terlampau berlebihan, atau memang wajar?
Beberapa pekan setelah obrolan di malam itu, kata-kata Bu Tati masih cukup sering terngiang di ingatan saya: “Kalian ini adalah para elite...”
Jumat, 25 Desember 2009
“Kalian Ini Adalah Para Elite...”
Label: European Adventures
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Elite = istimewa
Dalam hal ini, Bu Tati mungkin bermaksud bahwa yang elite adalah mereka punya "kebetulan dan kesempatan" sekaligus. Mereka teristimewakan dengan mereka yang punya keinginan belajar di luar negeri tetapi belum mendapatkan kesempatan.
Aku ingin baca puisi di Rotterdam, festival puisi internasional. Aku masih cari kebetulan dan kesempatan sekaligus.
-Sulit bukan berarti tidak mOmkin..
Posting Komentar