Setelah agak terlantar beberapa waktu karena masih merampungkan tugas-tugas di sekolah dan yang lainnya, akhirnya saya pun mulai mengurus kepentingan saya untuk melanjutkan studi. Pengumuman kelulusan saya di program Master of Applied Ethics di Utrecht University (Belanda) dan NTNU (Norwegian University of Science and Technology) Trondheim (Norwegia) beasiswa dari Komisi Eropa (badan eksekutif Uni Eropa) sebenarnya sudah agak lama, tepatnya 1 Mei yang lalu. Tapi sejak pengumuman keluar, saya tidak bisa fokus ke berbagai persiapan yang perlu saya lakukan, baik teknis maupun nonteknis. Saya hanya sempat membuat paspor dan mengumpulkan informasi awal dari internet tentang beberapa hal.
Satu hari sebelum Pilpres 2009, saya mengirimkan aplikasi visa saya ke Belanda. Pengiriman aplikasi visa sempat tertunda agak lama, dan saya sempat sangat khawatir gara-gara nomor mahasiswa saya di Utrecht University tak kunjung diinformasikan oleh International Office—padahal saya sudah kirim email dan sempat menelepon juga.
Sementara itu, aplikasi visa Norwegia tidak bisa diproses karena saya mesti memproses legalisasi akta kelahiran. Legalisasi akta kelahiran ini juga saya perlukan untuk keperluan di Belanda nanti, termasuk untuk pengambilan visa Belanda di konsulat/kedutaan. Dan untuk urusan inilah saya masih terhambat oleh birokrasi Catatan Sipil di Sumenep.
Berdasarkan informasi yang saya himpun di internet (milis, blog), terutama berdasarkan pengalaman mereka yang sebelumnya pernah studi ke Belanda dan Norwegia dan juga negara Eropa lainnya, ketentuan dan persyaratan tentang legalisasi akta kelahiran ini memang beragam. Khusus di Belanda, secara umum bisa dibilang agak ribet. Mereka mensyaratkan bahwa akta kelahiran yang akan digunakan berusia tak lebih dari lima tahun. Saya menjadi lebih jelas ketika saya bertanya langsung ke Kedutaan Belanda. Selain itu, katanya, juga ada kantor kependudukan di salah satu kota di Belanda yang tak menerima dokumen legalisasi versi fotokopi—jadi yang dilegalisasi harus dokumen asli.
Urutan proses legalisasi adalah sebagai berikut. Dokumen akta kelahiran yang akan dilegalisasi (asli dan atau fotokopi) diproses di Departemen Hukum dan HAM RI, setelah itu dilegalisasi di Departemen Luar Negeri RI, kemudian dilegalisasi di kedutaan negara yang kita tuju. Untuk legalisasi di Dephukham, mereka mensyarakatkan kita untuk membawa spesimen tanda tangan pejabat yang mengesahkan atau menandatangani dokumen kita itu (untuk diverifikasi).
Hambatan di Catatan Sipil Sumenep dimulai ketika pada hari Kamis tanggal 25 Juni saya hendak membuat kutipan akta kelahiran yang baru, karena akta yang saya punya dikeluarkan 12 tahun yang lalu sehingga tak akan diterima di Belanda nanti. (Lagipula, andai saya menggunakan akta keluaran tahun 1997, bagaimana saya bisa mendapatkan spesimen tanda tangan pejabat yang tanda tangan di akta tersebut?) Pejabat di Kantor Catatan Sipil Sumenep bersikeras bahwa jika sudah memiliki kutipan akta kelahiran, maka saya tidak bisa membuat kutipan yang baru. “Ini kan berlaku seumur hidup?” kata si pejabat. Ya, siapa yang tidak tahu bahwa akta kelahiran itu berlaku seumur hidup, pikir saya. Masalahnya: bisakah saya mendapatkan spesimen tanda tangan R.B.H. Abd. Karim, BA, pejabat Catatan Sipil yang katanya sudah pensiun itu? Sampai di sini si pejabat tak bisa memberi solusi, dan berargumen bahwa menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, saya tak boleh membuat kutipan baru (karena sudah punya).
Saya berbincang agak lama dengan pejabat Catatan Sipil Sumenep itu, sampai akhirnya saya sama sekali tak diberi pilihan jalan keluar. Pokoknya tidak bisa! Saya masih ingat, pertama pejabat di loket malah meminta saya agar membawa surat dari Dephukham yang menerangkan bahwa saya butuh kutipan akta kelahiran yang baru. Walah, ada-ada saja. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan langsung dari Dephukham via telepon di hari itu, mereka mengatakan bahwa saya akan sia-sia saja jika terpaksa membawa akta kelahiran yang lama, karena itu nanti tidak akan diterima di Belanda. Saat ditanya tentang spesimen tanda tangan, pejabat di Dephukham itu mengatakan bahwa ketentuan soal itu tidak ada di undang-undang, tapi dijelaskan melalui surat edaran.
Hari itu saya pulang dengan kecewa. Setiba di rumah, saya pun mencoba mencari jalan keluar sendiri. Tampaknya saran rekan-rekan di milis benar: daripada ribet, lebih baik memproses ulang membuat kutipan akta kelahiran baru dengan alasan kutipan yang lama hilang. Ini kurang lebih mirip dengan saran dua orang yang saya jumpai di luar Kantor Catatan Sipil Sumenep, setelah mereka menyaksikan saya agak lama sedikit bersitegang dengan petugas di sana.
Penasaran, saya mencoba mencari ketentuan perundangan, termasuk yang disebut oleh si petugas Capil Sumenep. UU No 23/2006 berhasil saya unduh di internet. Juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah, dan juga beberapa peraturan daerah di beberapa kabupaten/kota di Indonesia (termasuk Sumenep) terkait dengan itu. (Sebagai catatan, mendapatkan perda melalui laman instansi pemerintah di Sumenep tidaklah mudah; padahal, katanya, instansi di Sumenep sudah lama menerapkan E-Government). Saya coba baca-baca, dan ternyata tak satu pun saya temukan klausul eksplisit atau implisit yang menyatakan bahwa jika sudah punya kutipan akta kelahiran, tak boleh membuat kutipan yang baru. Bahkan, di perda kependudukan beberapa kabupaten, termasuk Sumenep, tercantum tarif/biaya pembuatan kutipan akta kelahiran yang kedua (dan seterusnya)—nah, berarti mestinya bisa buat lagi kan?
Kesimpulan saya: si pejabat Capil Sumenep sebenarnya tidak mengerti aturan yang sebenarnya. Mungkin dia cuma tidak mau ambil pusing dengan kasus baru (permintaan saya) yang dia alami siang itu, sehingga langsung saja ambil jalan pintas dengan mengatakan: tidak bisa! Saat saya mencoba berbagi dengan beberapa rekan soal kejadian ini, beberapa di antaranya mencatat beberapa kemungkinan yang lain. Ada yang mengatakan bahwa mental sebagian pejabat kita bukan melayani, dan mereka tampil arogan di hadapan masyarakat yang membutuhkan pelayanan yang mestinya menjadi kewajiban mereka. Apalagi, dalam konteks Sumenep, sebagian pejabat (merasa) berasal dari kasta masyarakat yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Adik saya menyebut kemungkinan seperti yang saya tulis di atas: ini kasus baru, mereka tak tahu peraturan yang sebenarnya, dan tetap saja tak mau bergerak keluar dari tempurung mereka yang sebenarnya pengap itu.
Sebenarnya, yang paling membuat saya kesal adalah karena mereka tak mau memberi saya jalan keluar—bahkan terkesan mempersulit. Mereka tidak mencerahkan saya dengan peraturan atau ketentuan yang mungkin dapat saya jadikan dasar untuk menjadi jalan keluar. Saya bertambah kesal setelah saya tahu bahwa ketentuan undang-undang yang mereka jadikan tameng dibawa dari alam mimpi!
Akhirnya saya memutuskan jalan yang akan saya ambil: saya mau membuat lagi kutipan akta kelahiran yang baru dengan alasan hilang. Saya minta tolong adik saya untuk menguruskan kelengkapan persyaratannya ke pejabat desa dan kecamatan. Lagi-lagi, saya menemukan versi yang berbeda dengan informasi yang saya dapatkan dari Kantor Capil Sumenep dan perda. (Artinya, peraturan yang ada tidak tersosialisasikan dengan baik, bahkan di kalangan mereka yang bertugas—apalagi ke masyarakat).
Akan tetapi, akhirnya saya tidak mengikuti jalur ini. Secara kebetulan, ada seorang santri alumnus Annuqayah yang siap membantu saya mendapatkan kutipan akta kelahiran dengan jalur cepat: satu hari jadi. Okelah, saya ikut jalur ini saja, karena sudah mencoba baik-baik tapi tidak diberi solusi. (Sempat terlintas di pikiran: apa saya yang sedikit bego ya, tidak memahami sosiologi politik-kebudayaan pejabat di Sumenep, sehingga saya “memaksa” ikut aturan?).
Alhamdulillah, akhirnya pada hari Kamis 2 Juli saya bisa mendapatkan kutipan akta kelahiran yang baru. Biayanya cuma 15 ribu rupiah. Sama seperti yang tercantum di perda kependudukan Sumenep.
Tapi hambatan dari Capil belum berakhir di sini. Saya masih butuh spesimen tanda tangan pejabat yang menandatangani kutipan akta kelahiran saya yang baru. Maka pada hari Senin tanggal 6 Juli, saya minta tolong si santri yang membantu saya untuk mendapatkan spesimen itu. Saya tidak bisa mengurus sendiri karena di hari itu saya masih ada tugas di pesantren, sambil menyiapkan kelengkapan informasi dan dokumen yang harus saya urus ke Jakarta.
Dan, ini dia berita yang paling lucu: pejabat di Kantor Capil Sumenep mengatakan bahwa untuk mendapatkan spesimen itu, saya harus izin kepada Bupati Sumenep. Hhhaaah?? Apakah bupati memang masih mengurusi tetek bengek macam ini? Sungguh kasihan jika K.H. Moh. Ramdan Siraj, Bupati Sumenep, di tengah berbagai kesibukannya yang lebih strategis masih akan dibuat repot dengan hal seperti ini. Lagipula, tak satu pun pasal saya temukan soal itu di peraturan perundangan kependudukan yang saya punya.
Pembaca, dalam konteks ini, akhirnya saya pun merasa perlu untuk mengungkapkan satu hal berikut ini: bahwa menurut UU No 23/2006 tentang Kependudukan, yang mulanya disebut-sebut oleh pejabat Capil Sumenep itu, tepatnya di pasal (2) tentang hak dan kewajiban penduduk, disebutkan bahwa “Setiap Penduduk mempunya hak untuk memperoleh... (a) Dokumen Kependudukan; (b) Pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; (c) Perlindungan atas data pribadi; (d) Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen.” Ya, kita berhak memperoleh kepastian hukum atas kepemilikan dokumen. Faktanya, saya, warga negara Indonesia, tak menemukan kepastian itu, dan seperti dipermainkan oleh abdi negara.
Karena saya saat itu sungguh sudah terdesak oleh waktu (jika tak segera diproses, aplikasi visa Norwegia saya tak kunjung bisa dimasukkan ke Kedutaan), maka saat itu pun saya menelepon salah seorang anggota DPRD Sumenep yang pernah menjadi guru wali kelas saya selama tiga tahun saat duduk di MTs 1 Annuqayah (1991-1994). Saya bertanya tentang kebenaran kata-kata si pejabat tentang syarat untuk mendapatkan spesimen tanda tangan itu. Beliau, yang memang bertugas di bidang yang menangani masalah ini, menyangkal keterangan si pejabat Capil. Saya pun meminta kesediaannya untuk membantu mengatasi masalah ini.
Alhamdulillah, keesokan harinya, beliau membantu saya mendapatkan spesimen tanda tangan tersebut. Sayangnya, saya sendiri tidak bisa mengurus ini dan bertemu dengan beliau, karena di hari Senin malam saya berhasil mendapatkan nomor mahasiswa saya di Utrecht University, dan karena itu di hari Selasa pagi saya segera berangkat ke Surabaya untuk mengirimkan dokumen aplikasi Visa ke Utrecht melalui jasa pengiriman DHL.
Di perjalanan pulang dari Surabaya, melintasi Jembatan Suramadu yang ketika itu hampir genap satu bulan diresmikan, saya tak habis pikir dengan pengalaman saya berurusan dengan kantor yang juga sempat terkait dengan kisruh DPT Pemilu/Pilpres 2009. Jika orang yang cukup berpendidikan seperti saya saja mengalami kesulitan berurusan langsung dengan mereka (dan harus menggunakan “orang dalam” atau “orang kuat”), bagaimana dengan masyarakat yang kurang berpengalaman dan atau kurang berpendidikan?
Dalam hati saya merasa kasihan kepada mereka, para pejabat itu—termasuk kepada seorang ibu di kantor itu yang ikut nyletuk seperti untuk menyudutkan saya—, bila melihat dari sudut pandang betapa mereka sebenarnya tidak sadar dengan kekeliruan cara mereka bersikap. Kita sudah hidup di zaman baru, era informasi dan komunikasi yang canggih. (Buktinya, saya dapat dengan cukup mudah memperoleh undang-undang yang mereka jadikan alasan untuk sedikit merepotkan saya, dan saya juga sangat mudah untuk berbagi pengalaman saya ini dengan orang-orang sedunia). Dan mereka bersikap seolah-olah ini adalah zaman ketika informasi masih dimonopoli oleh para clerus, sehingga mereka berani saja bicara dengan dasar aturan yang keliru.
Bagaimanapun, kita harus mengakui bahwa ini adalah gambaran tingkat peradaban masyarakat kita yang masih tak kunjung dewasa.
Semoga mereka, dan kita juga, dapat segera bangun dari tidur nyenyak ini, dan segera menyadari bahwa untuk menghadapi tantangan milenium ini, kita harus membangun keadaban yang sejati, dengan kerja keras dan ketulusan, penghargaan kepada sesama, kerja sama, dan sikap progresif lainnya.
Kamis, 16 Juli 2009
Arogansi, Mental-Tak-Mau-Melayani, ataukah Hidup-Salah-Zaman?
Label: Daily Life, European Adventures, Madura, Public Service
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
4 komentar:
pertama, selamat ya Va udah bisa dan siap mau bernagkat ke Belanda.
soal Birokrasi (pemerintahan) di manapun, memang ibarat "Manco' Baceng", adanya seperti tidak ada. mereka memang tdak ada gunanya. saya sudah biasa menemukan kasus seperti in. Ternyata Birokrasi iru diciptakan UNTUK BKIN LEBH RUMIT PADA RAKYAT. Apalagi SUMENEP...
Tulisa aja Va dalam bentuk surat pembaca ke koran. dan apolud ja kasus ini biar trans[paran...
sekarang sudahmasanya terbuka dan saling paham
pertama, selamat ya Va udah bisa dan siap mau bernagkat ke Belanda.
soal Birokrasi (pemerintahan) di manapun, memang ibarat "Manco' Baceng", adanya seperti tidak ada. mereka memang tdak ada gunanya. saya sudah biasa menemukan kasus seperti in. Ternyata Birokrasi iru diciptakan UNTUK BKIN LEBH RUMIT PADA RAKYAT. Apalagi SUMENEP...
Tulisa aja Va dalam bentuk surat pembaca ke koran. dan apolud ja kasus ini biar trans[paran...
sekarang sudahmasanya terbuka dan saling paham (BJ)
"Kalau bisa di persulit, kenapa dipermudah?" Inilah yang menjadi karakter birokrasi kita saat ini. Sungguh sy tidak habis fikir tentang kejadian yang juga menimpa saya dan teman saya beberapa hari yang lalu... Kenapa sperti ini "pelayan" kita? Ingin sekali rasanya merekam kejadian waktu itu... (Fahmi)
Saya juga baru saja menerima penolakan untuk meminta akte kelahiran kutipan kedua,pihak catatan sipil tempat saya lahir langsung bilang tdk bisa akte hanya berlaku satu seumur hidup..ms saya hrs urus pembuatan akte kutipan kedua via biro jasa yg notabene hrs mengeluarkan dana 1juta-1,5juta???mending uangnya buat urusan lain yg lbh penting(henny)
Posting Komentar