Judul buku: Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool Sampai ke IKIP (1852-1998)
Penulis: Mochtar Buchori
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2007
Tebal: xiv + 206 halaman
Dalam beberapa pekan ini, berbagai media menyorot program sertifikasi guru yang sedang dilakukan pemerintah. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan meningkatkan mutu pendidikan. Banyak yang menyorot berbagai kemungkinan “permainan” dalam program yang pelaksanaannya secara hukum berlandaskan pada Peraturan Mendiknas No 18/2007 tersebut. Dugaan negatif semacam itu pada satu sisi tampak seperti sebentuk rasa cemas bahwa tujuan program sertifikasi itu tidak cukup mudah untuk dapat terwujud sepenuhnya.
Meski tidak secara langsung mengupas masalah sertifikasi guru, buku terbaru karya Mochtar Buchori ini sangat bernilai penting untuk dibaca dalam konteks sekarang ini, untuk merefleksikan kembali masalah-masalah yang dihadapi guru pada khususnya dan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya. Dalam buku ini, Mochtar Buchori berusaha meneliti perkembangan konsep kompetensi guru sejak masa kolonial Belanda hingga era reformasi, membentang dari tahun 1852 hingga 1998, yang diterjemahkan dalam program pendidikan dalam sekolah guru.
Secara garis besar, Mochtar Buchori membagi rentang tahun yang cukup panjang itu menjadi tiga fase utama, yakni fase zaman Hindia Belanda (1852-1942), zaman Jepang (1942-1945), dan zaman kemerdekaan (1945-1998). Pendidikan guru pada masa Belanda berwatak segregatif. Memang, pada saat itu sekolah mengenal sistem yang segregatif baik secara rasial, etnis, dan sosial-ekonomi. Ada sekolah untuk orang Eropa, untuk pribumi, dan untuk orang keturunan Cina. Untuk itu, setiap sistem persekolahan memiliki lembaga pendidikan guru sendiri. Ini menyebabkan timbulnya masyarakat guru yang heterogen.
Pada zaman Jepang, pendidikan guru dirampingkan. Pada satu sisi, hal ini tampak cocok dengan mulai menurunnya tingkat keragaman dan pelapisan sosial di masyarakat. Tapi di sisi yang lain muncul masalah: ketika menjadi relatif seragam, kendali mutu sekolah dan kinerja guru menjadi rumit. Belum lagi suasana militeristik yang sangat terasa pada zaman pendudukan Jepang ini, sehingga aspek akademis pendidikan guru kurang mendapat perhatian.
Memasuki era kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang berdaulat mulai mengambil langkah-langkah serius untuk membenahi pendidikan guru. Mochtar Buchori membagi fase zaman kemerdekaan ini ke dalam empat periode. Periode 1945-1949, yang disebut periode rehabilitasi, ditandai dengan langkah pemulihan atas kondisi sistem pendidikan yang kurang membumi pada masa Jepang. Selanjutnya, pada periode ekspansi (1950-1965), dilakukan penambahan sekolah-sekolah guru, mulai dari sekolah guru yang paling bawah, hingga berdirinya IKIP pada tahun 1954 (semula bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru atau PTPG). Sayangnya, pada periode ini, syahwat politik yang penuh nuansa persaingan antara “kekuatan kiri” dan “kekuatan kanan” telah memberi warna yang kurang kondusif bagi pendidikan guru. Situasi yang demikian telah membuat sulitnya suasana belajar atau iklim akademis yang cukup baik.
Mochtar Buchori membagi masa Orde Baru ke dalam dua periode. Awal Orde Baru (1966-1984) merupakan periode modernisasi pendidikan guru. Dalam periode ini, ada langkah-langkah untuk memutakhirkan kondisi pendidikan guru dengan memperkenalkan antara lain metode pembelajaran terbaru beserta perlengkapan teknologinya. Akan tetapi, pada paruh kedua periode Orde Baru (1985-1998) Mochtar Buchori menyebutnya sebagai periode ambivalensi. Pada periode ini terlihat kegamangan lembaga pendidikan guru dalam mendefinisikan identitasnya di antara perguruan tinggi yang lain serta dalam konteks perkembangan dan tantangan dunia global.
Bagian paling menarik dan kontekstual dalam buku ini terdapat dalam dua bab terakhir, yang berusaha mempertajam dan merefleksikan persepsi masyarakat dan kondisi pendidikan guru dalam sekitar tiga dasawarsa terakhir. Salah satu hal yang disorot dalam bagian ini adalah tentang mulai merosotnya status sosial dan wibawa guru di tengah masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi kerja, kinerja, dan sarana kerja guru. Sudah jamak diketahui kesejahteraan guru yang amat rendah saat ini, di tengah sistem manajemen sekolah yang cukup menekan guru dengan kurikulum yang dipandang terlampau sarat (overloaded). Kondisi yang demikian telah menghambat terbentuknya hubungan pedagogis yang ideal antara guru dan murid.
Pada bagian refleksi akhir, Mochtar Buchori memberikan renungan yang lebih bersifat paradigmatis tetapi cukup membumi dan tajam berkaitan dengan makna kompetensi mengajar dan profesionalisme guru. Salah satu poin menarik yang disorot adalah penciutan makna keterampilan pedagogik yang hanya dipandang sebagai kemampuan menyampaikan materi pembelajaran semata. Aktivitas mengajar cenderung hanya dipahami sebagai upaya untuk menyelesaikan agenda kurikulum, yaitu membahas semua topik pembelajaran, tanpa kedalaman mutu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat di antaranya pada model evaluasi belajar di lembaga pendidikan kita yang tak mampu memberikan penilaian kualitatif yang memadai tentang potensi dan prestasi belajar siswa sebagai sosok pribadi yang utuh. Yang berkembang hanya sistem ranking yang sungguh impersonal.
Nilai penting buku ini tampak mengemuka dalam konteks berbagai upaya bersama bangsa ini untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan yang ada. Belakangan ini, selain program sertifikasi guru, media massa juga semarak menyoroti masalah Sekolah Bertaraf Internasional yang.sedang ngetren, yang pada dasarnya juga berada dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan. Demikian pula, pemikiran tentang model pendidikan alternatif mulai bermunculan pula, seperti pendidikan rumahan (home schooling), pendidikan berbasis komunitas ala Qaryah Thayyibah Salatiga, dan sebagainya.
Dalam sistem pendidikan, guru termasuk elemen signifikan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan pembelajaran. Buku ini menghadirkan sebuah refleksi yang sangat berharga, terutama bagi kalangan guru, untuk merenungkan dan mengevaluasi kembali langkah pengabdian yang diperjuangkannya untuk melahirkan generasi bangsa yang mampu bersaing di pentas dunia. Dengan refleksi ini, diharapkan kalangan pendidik pada khususnya dan civitas pendidikan pada umumnya dapat tergugah untuk tidak terjebak ke dalam formalisme administratif atas pengakuan penguasaan dan kompetensi keilmuan yang dimilikinya.
* Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 23 September 2007.
1 komentar:
Terimakasih telah mengular terbitan INSISTPress. Rehal buku ikut dilansirkan di: http://blog.insist.or.id/insistpress/?p=12791
Posting Komentar