Suatu malam yang hening, di suatu bilik dalam hati…
+ Aku ingin bertanya, ke mana perginya cinta, bila salah seorang yang sedang menjalin cinta itu harus pergi untuk menjadi tiada, tak peduli entah ke mana?
- Kupikir jika cinta mereka itu cinta yang sebenarnya, maka cinta mereka tak akan ke mana-mana…
+ Rupanya kau percaya bahwa di dunia ini ada sesuatu yang abadi, bahwa cinta sejati itu ada…
- Memang kenapa
+ Tak kenapa juga. Cuma aku kurang begitu percaya. Karena aku dapat merasakan kesementaraan yang terus memeluk kita, yang membekap kita diam-diam, meski kadang kita enggan untuk menyadarinya, atau mengakuinya.
- Lalu menurutmu, apakah cinta mereka itu kemudian akan mengikuti arus kesementaraan itu, menghilang di suatu tikungan, tanpa kemudian ada yang harus merasa kehilangan?
+ Entahlah… Tapi kupikir waktu akan cukup berkuasa dalam soal ini. Waktu bukan cuma tak mau berkompromi, tapi ia akan melumerkan segalanya, hingga orang selalu ingin bertanya tentang makna. Karena hanya dengan cara begitu, orang menghadapi tirani waktu yang terlalu perkasa untuk kita manusia…
- Ngomong-ngomong, tak adakah yang pernah mencoba memberontak pada Si Waktu?
+ Aku tidak sedang ingin membicarakan itu. Aku masih tetap penasaran, ke mana perginya cinta, bila salah seorang yang sedang menjalin cinta itu harus pergi untuk menjadi tiada, tak peduli entah ke mana?
- Mungkin ke negeri dongeng… Karena hanya di sana, kisah cinta selalu berakhir dengan bahagia, selamanya…
+ Sebentar… Berbicara tentang kebahagiaan, kukira kebahagiaan itu, yang diburu oleh orang dalam jalinan cinta, dapat saja berubah definisinya. Bahwa suatu saat cinta menghilang, bukan berarti bahwa kebahagiaan juga akan ikut menghilang. Ada banyak cara untuk mengungkapkan cinta, dan itu juga berarti bahwa ada banyak cara untuk meraih-kebahagiaan-dalam-cinta, bahkan jika mungkin pasangan cinta kita itu pergi lebih cepat dari yang kita duga…
- Maksudmu?
+ Aku tidak ingin, cinta hanya diartikan sebegitu sempit, sebagai sesuatu yang harus berakhir dengan pernikahan.
- Hmm… apakah kau sedang menghibur diri?
+ Entahlah… Mungkin saja begitu. Tapi menurutku, yang sebenarnya cinta, harus dapat memberi cahaya untuk semesta.
- Seperti matahari…
+ Ya… Coba aku berandai-andai… Jika aku kehilangan seseorang yang kucintai, aku ingin sekali berubah menjadi matahari… Aku ingin energi cintaku memuai mengikuti cahaya matahari yang memberi terang ke seluruh pelosok negeri. Matahari itu begitu mulia. Dia tidak pernah membedakan orang-orang. Dia menebarkan cahayanya sebagai energi untuk makhluk lainnya, tanpa membeda-bedakan mereka… Matahari tidak bersikap rasis, tidak ideologis …
- Mungkin kau benar. Tapi matahari hanya tunduk kepada hukum alam yang tercatat untuknya…
+ Mungkin memang begitu. Tapi aku begitu ingin menjadi matahari, karena dengan begitu, aku menjadi berarti. Karena dengan begitu, aku tak menjadi gerhana. Bukankah cinta adalah bagian dari upaya kita untuk menjadi berarti, paling tidak untuk orang-orang yang kita cintai?
- Artinya, seseorang yang mengalami “kegagalan” cinta, dengan begitu, sedang berusaha mencari jalan lain untuk mewujudkan kebahagiaannya…
+ Kurang lebih demikian… Karena tak dapat dipungkiri bahwa menyalurkan energi cinta itu memang sungguh menyehatkan bagi perkembangan diri kita. Dan alangkah tak bahagianya jika seseorang terus dikuasai oleh dendam dan tak mau berdamai dengan kenyataan pahit yang menimpa dirinya. Justru dengan terus setia dengan makna cinta, bahwa ia adalah bagian dari langkah untuk tiada henti menyempurnakan sisi-sisi kemanusiaan kita, seseorang akan menemukan kebahagiaan dalam wujud yang tak kalah indahnya dengan “cinta yang berakhir sempurna”…
- Maka kau lalu ingin menjadi matahari… Tapi apakah kau tidak punya maksud lain dari pernyataan ini? Apakah kau tidak menyimpan hasrat yang lain dari pernyataan ini?
+ Maksudmu?
- Aku teringat, bahwa dalam astrologi, simbol matahari melambangkan pusat semesta; dan matahari digunakan sebagai lambang dari orang yang lahir dengan bintang Leo. Konon, sosok Leo, seperti halnya matahari, selalu ingin menjadi pusat peristiwa; ia ingin menjadi fokus perhatian orang-orang dan selalu ingin merasa dihargai. Tak heran jika ia kemudian selalu ingin menonjolkan dirinya, meski mungkin dibalut dengan retorika. Nah, jangan-jangan keinginanmu menjadi matahari, pada saat kau berbicara tentang “cinta yang hilang”, justru semakin mempertegas bahwa kau memang sosok Leo yang sebenarnya…
+ Apakah ini sesuatu yang buruk?
- Buruk bagaimana?
+ Apakah kualitas-kualitas semacam itu bukan sesuatu yang manusiawi? Lagipula, menyalurkan energi cinta tentu tak harus berarti menjadi pusat perhatian… Aku hanya ingin berusaha untuk tetap mempertahankan kebermaknaan, saat bibir jurang kehampaan menganga lebar-lebar…
- Maksudku, jangan-jangan dalam soal cinta pun kau terlalu mempertonjolkan dirimu, sehingga pada saat itu kau tak lagi berbagi dengan tulus, tapi berbagi untuk—mungkin dengan cara yang diam-diam atau tak disadari—menonjolkan diri…
+ Hmm… Kukira ini sebuah peringatan berharga. Bahwa dalam lintasan yang berusaha kita bangun dengan baik, kadang ada duri yang tersisa… Tapi satu hal. Mungkin kau lupa, bahwa matahari hanyalah satu pusat tata surya di antara sekian banyak tata surya lainnya di semesta maha luas tak terbatas…
- Apakah kau sedang berusaha mencari pembenaran?
+ Bukan begitu… Tapi pelajaran di sekolah dulu menerangkan demikian. Bahkan, di Bima Sakti saja, terdapat sekitar 400 milyar bintang selain matahari.
- Lalu apa poin yang ingin kau tekankan?
+ Poinnya adalah, kukira kita memang harus memulai menjadi matahari untuk diri kita sendiri. Bahwa kita harus terus menyalakan matahari-diri… Aku teringat, seorang novelis yang kebetulan seorang artis pernah menulis: “Semua orang menyimpan sebongkah matahari dalam dirinya. Ada yang terbit dan ada yang terbenam. Matahariku bersinar nonstop dua puluh empat jam. Masih adakah cucian yang belum kering? Adakah sampah yang ingin kalian bakar? Mari, dekatkan pada wajahku.”
- Baguslah kalau pemaknaannya akan dibawa ke situ. Itu artinya, matahari tak lagi terlalu identik bermakna sebagai pusat satu tata surya. Mungkin tepat, seperti yang pernah dilantunkan pada sebuah larik puisi, bahwa “kesadaran adalah matahari”…
+ Sebuah pernyataan yang mungkin oleh para filsuf posmodernis akan dibilang logosentris…
- Wah, aku tak tahu berbincang soal itu… Namun poinnya adalah, hubungannya dengan pertanyaanmu di awal, cinta yang kau maknai adalah cinta dengan pengertian yang seluas-luasnya, yang tak terpusat pada satu sosok objek cinta tertentu, tapi berusaha dikaitkan pada wilayah yang seluas-luasnya…
+ Begitulah. Karena aku kadang menemukan, cinta yang terlalu terpusat pada satu objek kadang justru merupakan cerminan dari cinta-diri yang berlebihan atau bentuk cinta yang terlalu sempit sehingga cenderung membuat pengap…
- Semoga kita terhindar dari hal-hal yang buruk…
+ Ya, semoga…
Senin, 25 April 2005
Aku Ingin Menjadi Matahari
Label: Celestial Bodies, Diary
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Philosophy kamu bagus banget, tapi aku ragu bahwa tiap orang bisa memahami & melakukan yang kamu katakan itu, pun kamu sendiri. Untuk membaca dan memberitahukan sesuatu memang gampang, tapi untuk benar-benar mampu menjadi seperti yang kita bayangkan tidaklah seperti kita menelan pizza. See you next!
cinta sebuah kata dan makna yang begitu dalam. ada tapi tiada seperti adanya. kita tak pernah tahu bagaimana tuhan selain dengan merasakannya dengan kesadaran. begitu pula cinta karena bagiku Tuhan itu bermakna cinta.
Posting Komentar